Anda di halaman 1dari 24

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pertumbuhan Janin Normal


Pertumbuhan janin manusia ditandai dengan pola-pola sekuensial
pertumbuhan, diferensiasi, dan maturasi jaringan sera organ yang ditentukan
oleh kemampuan substrat oleh ibu, transfer substrat melalui plasenta, dan
potensi pertumbuhan janin yang dikendalinkan oleh genom. Pada kehidupan
awal janin penentu utama pertumbuhan adalah genom janin tersebut, tetapi
pada kehamilan lanjut, pengaruh lingkungan, gizi, dan hormonal menjadi
semakin penting. (Cuningham et al., 2005).
Pertumbuhan janin dibagi menjadi tiga fase pertumbuhan sel yang
berurutan. Fase awal hiperplasia terjadi selama 16 minggu pertama dan
ditandai oleh peningkatan jumlah sel secara cepat. Fase kedua, yang
berlangsung sampai minggu ke-32, meliputi hiperplasia dan hipertropi sel.
Setelah usia gestasi 32 minggu, pertumbuhan janin berlangsung melalui
hipertrofi sel dan pada fase inilah sebagian besar deposisi lemak dan glikogen
terjadi. Laju pertumbuhan janin yang setara selama tiga fase pertumbuhan sel
ini adalah dari 5 g/hari pada usia 15 minggu, 15-20 g/hari pada minggu ke24, dan 30-35 g/hari pada usia gestasi 34 minggu (Cuningham et al., 2005).

2.2.

Berat Bayi Lahir Rendah


2.2.1.
Definisi
Berat badan merupakan ukuran antropometrik yang penting,
dipakai pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan anak pada
semua

kelompok

umur.

Berat

badan

merupakan

hasil

peningkatan/penurunan dari tulang, otot, lemak dan cairan tubuh.

Berat badan dipakai sebagai indikator terbaik pada saat ini untuk
mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak (Sistiarini,
2008).
Berat badan bayi lahir adalah berat neonatus saat lahir yang
ditimbang segera setelah lahir sampai waktu maksimal 24 jam.
Berat badan bayi lahir diklasifikasikan menjadi 2 yaitu berat badan
lahir normal (BBLN) dan berat badan lahir rendah (BBLR). Berat
bayi lahir normal adalah antara 2500 4000 gram, dan dikatakan
berat badan lahir rendah apabila kurang dari 2500 gram (sampai
2499 gram) (Wiknjosastro, 2005; Sistiarini 2008).
BBLR adalah berat neonatus saat lahir yang ditimbang
segera setelah lahir sebelum waktu 24 jam yang kurang dari 2500
gram (sampai 2499) tanpa memandang masa gestasi. Dahulu bayi
ini dikatakan prematur kemudian disepakati disebut Low birth
weight infant

atau Berat Bayi Lahir Rendah. BBLR tidak

selamanya prematur atau kurang bulan tetapi dapat cukup bulan


maupun lebih bulan (Bobak, 2005; Wiknjosastro, 2005; Depkes RI,
2009). Dari pengertian dia atas maka bayi dengan BBLR dapat
digolongkan menjadi 2 golongan yaitu prematur murni dan
dismatur. Prematur murni adalah neonatus dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai dengan
berat badan untuk masa kehamilan, atau biasa disebut neonatus
kurang bulan sesuai masa kehamilan. Dismaturitas adalah neonatus
dengan berat badan kurang dari berat badan masa kehamilan, hal
ini bisa terjadi karena janin mengalami gangguan pertumbuhan

dalam kandungan atau Intra Uterine Growth Retardation dan


disebut bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK) (Depkes RI, 2005;
2.2.2.

Wiknjosastro, 2005).
Faktor yang mempengaruhi berat badan lahir
Berat badan lahir merupakan hasil interaksi dari berbagai
faktor melalui suatu proses yang berlangsung selama berada dalam
kandungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berat badan
lahir secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal, meliputi: usia ibu,
jarak kelahiran, paritas, anemia kehamilan, status gizi ibu, penyakit
pada saat kehamilan, faktor kehamilan dan faktor plasenta. Faktor
eksternal, meliputi: faktor lingkungan, tingkat sosial ekonomi,
teratogen kimiawi dan pemeriksaan kehamilan (Manuaba, 2008;
Turhayati, 2006; IDAI, 2004)
a. Faktor Internal:
1) Usia ibu hamil
Usia ibu erat kaitannya dengan berat badan lahir. Usia
reproduksi yang optimal bagi seorang ibu adalah 20-35 tahun,
di bawah dan di atas usia tersebut meningkatakan risiko
kehamilan dan persalinannya (Depkes RI, 2009). Pada usia
yang masih muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan
fungsi fisiologinya belum optimal, ukuran panggul dan rahim
pun masih sempit karena masih dalam masa pertumbuhan
(Hartanto, 2004). Pada kehamilan usia remaja kebutuhan
nutrisi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
dirinya sendiri dan juga untuk janin dan plasentanya, hal ini
dapat mempengaruhi berat badan bayi saat dilahirkan. Selain

itu emosi dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga


pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat menanggapi
kehamilannya. Kehamilan di bawah umur 20 tahun
merupakan

kehamilan

berisiko

tinggi,

lebih

tinggi

dibandingkan kehamilan pada wanita yang cukup umur


(Wiknjosastro, 2005).
Kehamilan di atas usia 35 tahun juga tidak dianjurkan
karena sangat berbahaya. Mengingat mulai usia ini sering
muncul penyakit seperti hipertensi dan penyakit degeneratif
lainnya. Hipertensi akan menyebabkan preeklampsia dan
eklampsia. Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah
disertai dengan retensi garam dan air. Jika semua arteriola
dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan
naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer
agar oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah ke
plasenta akan menuruun dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi
gawat janin yang akan berdampak pada berat bayi lahir
(Mochtar, 2004).
Ibu dengan kategori umur berisiko (<20 tahun dan >35
tahun) mempunyai peluang untuk melahirkan BBLR
dibandingkan dengan ibu yang umurnya tidak berisiko
(Sistiarini, 2008). Menurut Mutiara (2006) ibu hamil berusia
35 tahun berisiko melahirkan BBLR 1,8 kali lebih besar
daripada ibu hamil berusia 20-34 tahun. Pengaruh tersebut

10

terlihat mengikuti fenomena huruf U terbalik yang berarti


bahwa pada umur muda (<20 tahun) dan tua (>35 tahun)
berat bayi yang dilahirkan cenderung lebih rendah daripada
umur 21-35 tahun.
2) Paritas dan Jarak Kelahiran
Paritas adalah jumlah anak yang dikandung dan
dilahirkan oleh ibu. Pada ibu dengan paritas yang tinggi,
vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atropi pada
desidua akibat persalinan yang lampau sehingga aliran darah
ke plasenta tidak cukup, hal ini akan dapat mengganggu
fungsinya yang akan berdampak pada pertumbuhan janin
(Wiknjosastro, 2005). Ibu dengan paritas > 4, melahirkan
bayi dengan BBLR 20,2% (Simanjuntak, 2009).
Menurut anjuran yang dikeluarkan oleh

Badan

Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN), jarak kelahiran


yang ideal adalah 2 tahun atau lebih, karena jarak kelahiran
yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup
untuk memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan
sebelumnya. Jarak kehamilan yang pendek cenderung akan
menguras nutrisi ibu dari kehamilan dan hilangnya darah
selama melahirkan, juga selama laktasi yang dapat menguragi
nutrisi ibu melaui pemberian Asi. Ibu hamil ini cenderung
menderita status gizi kurang sampai buruk yang dapat
berkorelasi dengan berat lahir bayi, dan sering melahirkan
bayi berat badan lahir rendah (Saifuddin, 2006).

11

Saraswati (2006), menyatakan bahwa jarak kelahiran


< 2 tahun memiliki risiko melahirkan BBLR 3,17 kali lebih
besar daripada jarak kelahiran 2 tahun. Sistiarini (2008)
juga menyatakan jarak kelahiran < 2 tahun memilki peluang
untuk melahirkan BBLR 5,11 kali dibandingkan dengan ibu
yang melahirkan anak dengan jarak > 2 tahun.
3) Anemia pada Kehamilan
Kadar Hb ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi
yang dilahirkan. Seorang ibu hamil dikatakan menderita
anemia bila kadar hemoglobinnya dibawah 11 gr/dl. Hal ini
terjadi akibat peningkatan volume plasma dibandingkan
volume sel darah merah. Anemia dapat menyebabkan
pengangkutan oksigen menjadi terganggu sehingga nutrisi ke
janin berkurang Hal ini jelas menimbulkan gangguan
pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas,
prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan berat
badan yang rendah.
Anemia biasanya terjadi pada usia kehamilan 8
minggu sampai 32 minggu (Depkes RI, 2009; Mitchell,
2003). Keadaan ini disebabkan karena kurangnya suplai
oksigen dan nutrisi pada plasenta yang akan berpengaruh
pada

fungsi

plasenta

terhadap

pertumbuhan

janin.

Berdasarkan hasil penelitian Hilli (2009) menyatakan bahwa


ada hubungan yang linier antara anemia ibu hamil dengan
berat badan lahir. Berat badan lahir rendah ditemukan pada
ibu hamil dengan anemia berat, sementara berat badan lahir

12

masih dalam batas normal pada ibu hamil dengan anemia


ringan

dan

anemia

sedang

meskipun

lebih

rendah

dibandingkan dari ibu hamil tidak anemia.


4) Status Gizi ibu hamil
Kejadian BBLR erat kaitannya dengan status gizi.
Status gizi ibu hamil baik sebelum maupun selama hamil,
dapat menggambarkan ketersediaan zat gizi dalam tubuh ibu
untuk mendukung pertumbuhan janin. Pertumbuhan cepat
terjadi terutama pada trimester ketiga kehamilan ibu. Maka
kekurangan

makanan

dalam

periode

tersebut

dapat

menghambat pertumbuhannya, hingga bayi dilahirkan dengan


berat dan panjang yang kurang daripada seharusnya
(Hutabarat, 2012; Noviza, 2006).
Prediktor status gizi ibu selama hamil dapat dilakukan
dengan pengukuran lingkar lengan atas (LLA) (Arisman,
2009). Pengukuran LLA pada ibu hamil berkaitan dengan
kekurangan energi kronik (KEK). KEK merupakan masalah
yang sering terjadi pada ibu hamil. LLA < 23,5 cm harus
mendapatkan penanganan agar tidak terjadi komplikasi pada
janin. Ibu yang memiliku ukuran Lingkar Lengan Atas (LLA)
di bawah 23,5 cm berisiko melahirkan bayi BBLR (Depkes
RI, 2009).
5) Penyakit pada Kehamilan
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
BBLR adalah penyakit infeksi seperti TORCH (Toxoplasma,
Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes), malaria, sifilis, dan
HIV/AIDS (WHO, 2007). Yang paling terkenal adalah

13

infeksi yang disebabkan oleh rubella dan cytomegalovirus.


Mekanisme yang mengganggu pertumbuhan janin tampaknya
berbeda pada kedua infeksi virus ini. Cytomegalovirus
dikaitkan dengan sitolisis langsung dan kehilangan sel-sel
fungsional.

Infeksi

rubella

menyebabkan

insufisiensi

vaskular dengan merusak endotelium pembuluh darah kecil.


Laju pembelahan sel juga menurun pada infeksi rubela
kongenital (Cunningham et al., 2005).
Selain penyakit infeksi, penyakit yang diderita selama
hamil yang lain dapat menyebabkan BBLR. Ibu yang
mengalami penyakit memilki risiko melahirkan BBLR 2,91
kali dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengalami
penyakit

selama

hamil, seperti: hipertensi,

hipotensi,

preeklamsi, eklamsi, kekurangan energy protein, TBC


(Tuberculosis), jantung, asma, malaria, serta cacat kongenital
(Sistiarini, 2008; Rochjati, 2003).
6) Faktor Kehamilan
Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan
ante partum, serta komplikasi kehamilan seperti preeklampsia/eklampsia,

ketuban

pecah

dini,

dapat

mempengaruhi pertumbuhan berat badan janin. Hamil dengan


hidramnion yaitu cairan ketuban yang melebihi normal.
Hamil ganda yaitu jumlah janin yang dikandung lebih dari
satu. Kehamilan dengan dua janin atau lebih kemungkinan
besar dipersulit oleh pertumbuhan kurang pada salah satu

14

atau kedua janin dibanding dengan janin tunggal normal


(Cunningham et al., 2005). Perdarahan ante partum adalah
pedarahan yang keluar dari jalan lahir yang terjadi pada masa
kehamilan. Pre-eklampsia/eklampsia adalah keadaan ibu
hamil dengan tekanan darah yang meningkat, keadaan ini
sangat mengancam jiwa ibu dan janin yang dikandung.
Ketuban pecah dini yaitu kondisi dimana air ketuban pecah
sebelum waktunya dan biasanya penyebab paling sering
benturan pada kandungan (Karasahin et al., 2006)
7) Kelainan Plasenta dan Tali Pusat
Pemisahan plasenta parsial kronis, infark luas, atau
korioangioma

kemungkinan

menyebabkan

hambatan

pertumbuhan janin. Plasenta sirkumvalata atau plasenta


previa dapat mengganggiu pertumbuhan. Insersi marginal tali
pusat dan khususnya insersi velamentosa lebih mungkin
disertai gangguan pertumbuhan janin (Cunningham et al.,
2005).
b. Faktor Eksternal
1) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi kebersihan dan kesehatan
lingkungan serta ketinggian tempat tinggal. Kebersihan
lingkungan yang kurang akan dapat berdampak pada
kesehatan ibu hamil yang merupakan kelompok rentan
terhadap penyakit. Lingkungan yang kurang bersih dapat
menyebabkan penyakit infeksi misalnya herpes, diare yang

15

dapat menganggu petumbuhan janin yang dikandungnya


(Bobak, 2005).
Kehamilan pada daerah dataran ketinggian akan dapat
terjadi gangguan transportasi oksigen dan menyebabkan
kapilerisasi sitotrofoblas sebagai respon terhadap hipoksia.
Hipoksia

pada

pembentukan

vili

plasenta
berupa

menyebabkan
percabangan

perubahan
angiogenesis

berlebihan, sehngga plasenta akan mengalami kegagalan


sirkulasi

uteroplasenta

yang

berpengaruh

terhadap

terganggunya pertumbuhan janin (Huliah, 2008). Kelahiran


neonatus pada wanita kulit putih di dataran tinggi lebih kecil
daripada meraka yang dilahirkan di daerah ketinggian
permukaan laut. Sebagai contoh bayi aterm rata-rata 3400
gram pada permukaan laut, 3200 gram pada ketinggian 5000
kaki, dan 2900 gram pada ketinggian 10.000 kaki
(Cunningham et al., 2005).
2) Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi meliputi pendapatan, tingkat
pendidikan dan pengetahuan ibu hamil. Pendapatan memiliki
pengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian BBLR.
Keluarga dengan pendapatan tinggi akan mampu memenuhi
kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan. Sebaliknya keluarga
dengan pendapatan rendah akan mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan gizi. Pada ibu hamil, kekurangan
nutrisi sangat berpengaruh pada kondisi janin yang
dikandung. FAO (2003) mengatakan bahwa kondisi ekonomi

16

mempengaruhi konsumsi makanan. Konsumsi makanan yang


rendah berakibat pada gizi yang buruk. Gizi buruk pada ibu
hamil mengakibatkan anak yang dikandungnya mengalami
BBLR.
Wanita

dalam

keluarga

berpendidikan

tinggi

cenderung

dan

masyarakat

lebih

yang

memperhatikan

kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan wanita dengan


tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya
pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu
hamil

maupun

bayinya.

Pendidikan

ibu

juga

akan

berpengaruh terhadap prilaku ibu dalam pencarian pelayanan


kesehatan pemeriksaan antenatal, lebih dari 90 % wanita
yang berpendidikan minimal sekolah dasar telah mencari
tempat pelayanan kesehatan pemeriksaan antenatal (Fibriani,
2007). Pengetahuan kesehatan reproduksi menyangkut
pemahaman tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan,
penyuluhan, tanda dan cara mencegah kelahiran BBLR .
3) Teratogen Kimiawi
Semua teratogen dapat mengganggu pertumbuhan
janin.

Beberapa

antikonvulsan

seperti

fenitoin

dan

trimetadoin, dapat menimbulkan sindrom yang spesifik


termasuk gangguan pertumbuhan janin (Cunningham et al.,
2005). Merokok menyebabkan gangguan pertumbuhan serta
kelahiran preterm yang berhubungan langsung dengan jumlah
rokok yang dikonsumsi (Shah et al., 2000). Narkotika dan
obat-obat sejenis bekerja dengan menurunkan asupan

17

makanan pada ibu dan jumlah sel janin. Alkohol adalah


teratogen poten yang efeknya setara dengan dosis yang
dikonsumsi. Penggunaan kokain juga dikaitkan dengan
pertambahan berat janin yang buruk (Cunningham et al.,
2005).
4) Pemeriksaan Kehamilan
Pemeriksaan kehamilan bertujuan untuk mengenal dan
mengidentifikasi

masalah

yang

timbul

selama

masa

kehamilan sehingga kesehatan selama ibu hamil dapat


terpelihara dan yang terpenting ibu dan bayi dalam
kandungan akan baik dan sehat sampai saat persalinan.
Pemeriksaan kehamilan dilakukan agar kita dapat segera
mengetahui apabila terjadi gangguan atau kelainan pada ibu
hamil dan janin yang dikandung, sehingga dapat segera
ditolong oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 2009).
Selama kehamilan berbagai program yang termasuk
dalam paket pelayanan ANC adalah 5T (Timbang Berat
badan, Ukur tinggi fundus, Tablet Fe, Imunisasi TT) dengan
paket tersebut diharapkan ibu secara rutin mengontrol
kehamilannya minimal 4 kali selama kehamilan dengan
sebaran, 1 kali pada trimester pertama, 1 kali pada trimester
ke dua dan 2 kali pada trimester ke tiga (Depkes RI, 2006).
Menurut WHO (2007) jumlah kunjungan yang dianjurkan
bagi seorang ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya
adalah lebih dari 4 kali kunjungan pada masa kehamilan.

18

Hasil penelitian Ridwan (2005) menunjukkan bahwa bila ibu


tidak teratur melaksanakan ANC, maka 42,1% bayinya lahir
BBLR.
2.2.3.

Cara pengukuran berat badan bayi baru lahir


Berat badan bayi baru lahir yang ditimbang sesuai cara
penimbangan bayi baru lahir menurut Bobak (2005) yaitu : 1)
Periksa timbangan bayi dalam kondisi baik atau tidak rusak. 2)
Sebelum ditimbang, jarum menunjukkan ketelitian angka nol (0).
3) Bayi ditimbang dengan posisi ditidurkan tanpa kain atau pakaian
bayi. 4) Catat berat badan bayi baru lahir pada angka yang telah
ditunjukkan jarum timbangan dengan teliti. Alat ukur berat badan
bayi baru lahir yang dipergunakan adalah timbangan bayi yang
sudah terstandar dengan ketelitian 0,01 kg (Widodo dkk., 2005).

2.3.

Anemia pada Kehamilan


2.3.1.
Definisi
Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah sel darah
merah atau penurunan konsentrasi hemoglobin di dalam sirkulasi
darah. Menurut WHO Anemia kehamilan dapat didefinisikan
sebagai kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dalam darahnya di
bawah 11 gr%. Sedangkan menurut Depkes RI (2009) disebut
anemia dalam kehamilan jika kadar hemoglobin di bawah 11 gr%
pada trimester I dan III dan di bawah 10,5 pada kehamilan trimester
II.

Keadaan

kurangnya

hemoglobin

tersebut

menyebabkan

kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan organ-organ vital


pada ibu dan janin menjadi berkurang (Varney, 2006).

19

Anemia pada ibu hamil akan menambah risiko mendapatkan


Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), risiko perdarahan sebelum dan
saat persalinan bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan
2.3.2.

bayinya (Depkes RI, 2009).


Faktor risiko Anemia Kehamilan
Anemia pada kehamilan dapat disebabkan berbagai faktor,
antara lain (Wiknjosastro, 2005):
a. Defisiensi zat besi (Fe)
Defisiensi zat besi pada kehamilan mencapai kurang
lebih

95%.

Terjadinya

peningkatan

volume

darah

mengakibatkan hemodilusi atau pengenceran darah sehingga


kadar Hb mengalami penurunan dan terjadi anemia. (Varney,
2006).
b. Status ekonomi
Menurut Varney (2006), terdapat sejumlah faktor yang
menjadi penyebab anemia seperti status ekonomi. Status
ekonomi yang lebih rendah menimbulkan angka nutrisi pada
ibu hamil buruk dan mengakibatkan angka anemia defisiensi
zat besi lebih tinggi.
c. Ras
Ras juga memainkan peranan sebagai contoh rata-rata
orang kulit hitam kadar hemoglobinnya lebih rendah daripada
orang kulit putih tanpa memperhatikan tingkat sosio-ekonomi
(Arisman, 2009).
d. ANC (Antenatal Care)
Dipandang dari segi sosio-ekonomi wanita hamil yang
tidak pernah memeriksakan kehamilan atau memeriksakan diri
ke dukun (diasumsikan sebagai miskin), 90% diantara mereka
tidak pernah menelan tablet besi, sementara mereka yang

20

mampu ANC (Antenatal Care) di dokter justru memperoleh


lebih dari 90 butir tablet besi (Arisman, 2009).
e. Pendidikan
Faktor pendidikan juga berpengaruh saat pemberian
tablet besi. Efek samping dari tablet besi yang dapat
mengganggu seperti mual muntah sehingga orang cenderung
menolak tablet yang diberikan. Penolakan tersebut berpangkal
dari ketidaktahuan mereka bahwa selama kehamilan mereka
memerlukan tambahan zat besi (Darlina, 2003).
f. Usia kehamilan
Menurut Darlina (2003), meningkatnya kejadian
anemia dengan bertambahnya umur kehamilan disebabkan
terjadinya perubahan fisiologis pada kehamilan yang dimulai
pada minggu ke-6, yaitu bertambahnya volume plasma dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-26 sehingga terjadi
penurunan kadar Hb.
g. Jarak Kelahiran
Salah satu penyebab

yang

dapat

mempercepat

terjadinya anemia pada wanita adalah jarak kelahiran yang


pendek (Darlina, 2003). Hal ini disebabkan karena adanya
kekurangan nutrisi yang merupakan mekanisme biologis dari
pemulihan faktor hormonal (Darlina, 2003). Menurut data
Badan Koordinasi Berencana Nasional (BKKBN) (2010), jarak
persalinan yang baik adalah minimal 24 bulan.
h. Paritas
Paritas atau jumlah persalinan juga berhubungan
dengan anemia. Wijianto (2002) menurut Hasil SKRT 19851986 menyatakan bahwa prevalensi anemia pada kelompok

21

paritas 0 lebih rendah daripada paritas 5 ke atas. Semakin


sering seorang wanita melahirkan maka semakin besar resiko
kehilangan darah dan berdampak pada penurunan kadar Hb.
i. Kurang Energi Kronik (KEK)
Darlina (2003) menyebutkan bahwa 41% (2.0 juta) ibu
hamil menderita kekurangan gizi. Deteksi KEK dengan ukuran
lingkar lengan atas (LILA) yang rendah yaitu <23,5 cm
mencerminkan kekurangan energy,protein dan zat gizi lain
dalam intake makanan sehari-hari. Dapat diasumsikan bahwa
ibu hamil yang menderita KEK berpeluang untuk menderita
anemia.
j. Infeksi dan penyakit
Zat besi merupakan

unsur

penting

dalam

mempertahankan daya tahan tubuh agar tidak mudah terserang


penyakit. Menurut penelitian, orang dengan kadar Hb <10 g/dl
memiliki kadar sel darah putih (untuk melawan bakteri) yang
rendah pula. Ibu yang sedang hamil sangat peka terhadap
infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun
tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan
2.3.3.

dampak berbahaya bagi janin (Bahar, 2006).


Klasifikasi Anemia pada Kehamilan
Secara umum menurut Wiknjosastro (2005), anemia dalam
kehamilan diklasifikasikan menjadi:
a. Anemia defisiensi besi sebanyak 62,3%
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi
akibat kekurangan zat besi dalam darah. Biasanya kekurangan
ini disebabkan karena kurang masuknya unsur besi dengan

22

makanan dan karena perdarahan. Pengobatannya adalah


pemberian tablet besi yaitu keperluan zat besi untuk wanita
hamil, tidak hamil dan dalam laktasi yang dianjurkan. Untuk
menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi didapatkan
keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang
dan keluhan mual muntah pada hamil muda.
b. Anemia Megaloblastik sebanyak 29%.
Anemia ini disebabkan karena defisiensi asam folat
(pteryglutamic

acid)

dan

defisiensi

vitamin

B12

(cyanocobalamin) walaupun jarang. Menurut Hudono (2007),


tablet asam folat diberikan dalam dosis 15-30 mg, apabila
disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dengan dosis 100-1000
mikrogram sehari, baik per os maupun parenteral.
c. Anemia Hipoplastik dan Aplastik sebanyak 8%
Anemia disebabkan karena sumsum tulang belakang
kurang mampu membuat sel-sel darah baru. Wanita yang
menderita anemia hipoplastik biasanya akan menderita anemia
di kehamilan berikutnya. Cara memperbaiki anemia ini ialah
transfusi darah.
d. Anemia Hemolitik sebanyak 0,7%
Anemia disebabkan karena penghancuran sel darah
2.3.4.

merah berlangsung lebih cepat daripada pembuatannya.


Patofisiologi Anemia pada Kehamilan
Anemia adalah berkurangnya kadar hemoglobin (Hb)
dalam darah. Hb adalah komponen di dalam sel darah merah
(eritrosit) yang berfungsi menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh.
Jika Hb berkurang, jaringan tubuh kekurangan oksigen. Oksigen
diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses metabolisme. Zat besi

23

merupakan bahan baku pembuat sel darah merah, jika jumlah sel
darah banyak, jumlah Hb pun banyak. Begitupula sebaliknya jika
kekurangan (Gibney, Margetts, Kearney, & Arab, 2008).
Anemia lebih sering dijumpai dalam kehamilan. Hal itu
disebabkan karena dalam kehamilan keperluan akan zat-zat
makanan bertambah dan terjadi pula perubahan-perubahan dalam
darah dan sumsum tulang. Dalam kehamilan volume darah
bertambah banyak 30% sampai 40% yang dimulai dari minggu ke
10 dan puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Semakin
matang usia kehamilan semakin banyak pula produksi sel darah
merah yang dibutuhkan ibu hamil sesuai dengan proses
pertumbuhan dan

perkembangan janin

(Maryunani,

2008).

Peningkatan volume darah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan


adanya sirkulasi ke plasenta, uterus, dan mamma yang membesar
dengan pembuluh-pembuluh darahnya yang membesar pula.
Akan tetapi, bertambahnya sel-sel darah kurang
dibandingkan dengan bertambahnya plasma, sehingga

terjadi

pengenceran darah. Pertambahan tersebut yaitu sebagai berikut:


plasma 30%, sel darah 18%, dan hemoglobin 19%. Pengencerean
darah atau hemodilusi dianggap sebagai penyesuaian diri secara
fisiologi dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita agar suplai
darah untuk pembesaran uterus terpenuhi, meringankan kerja
jantung, melindungi ibu dan janin dari efek negatif penurunan
venous return pada posisi terlentang (supine), dan melindungi ibu
dari efek negatif kehilangan darah saat proses melahirkan

24

(Cunningham et al., 2005). Pengenceran itu meringankan beban


jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena
sebagai akibat hipervolemia cardiac output meningkat. Kerja
jantung lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi
perifer juga berkurang, sehingga tekanan darah tidak naik.
Pengenceran juga bermanfaat pada saat persalinan. Perdarahan
waktu persalinan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit
dibandingkan dengan apabila darah itu tetap kental (Wiknjosastro,
2005).
Di samping itu kehamilan memerlukan tambahan zat besi
untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel
darah merah janin dan plasenta (Gani et al., 2002). Selain itu, ibu
hamil memiliki tingkat metabolisme tinggi untuk membuat jaringan
tubuh janin, membentuknya menjadi organ, dan juga memproduksi
energi agar ibu hamil bisa tetap beraktivitas normal sehari-hari
(Paul, 2008).
Menurut Leveno (2009) pada gestasi tipikal dengan satu
janin, terdapat kebutuhan total ibu akan zat besi yang dipicu oleh
kehamilan rata-rata mendekati 1.000 mg dengan rincian sebagai
berikut
1 Penambahan komponen darah-eritrosit 450 mg
2 Plasenta 75 mg
3 Kebutuhan janin 300 mg
4 Kehilangan pada persalinan per vaginam 200 mg
5 Tindakan operasi seksio sesarea 225 mg
6 Kebutuhan untuk laktasi 1 mg/ hari
Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap
kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya

25

menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya (Manuaba et. al.,


2008). Jika asupan Fe tidak mencukupi dari yang dibutuhkan
menyebabkan kadar Fe dalam darah menurun. Jika keadaan ini
terjadi terus menerus maka akan mengambil cadangan Fe di
sumsum tulang yang berguna untuk eritropoiesis. Penurunan
cadangan Fe di sumsum tulang dapat menyebabkan gangguan
pembentukan heme dan produksi eritrosit juga terganggu. Keadaan
ini menyebabkan berkurangnya produksi eritrosit oleh sumsum
tulang yang kemudian menyebabkan anemia (Murray, Granner &
Rodwell, 2009).
2.3.5.

2.3.6.

Gejala Anemia pada Kehamilan


Tanda dan gejala anemia pada kehamilan menurut Varney
(2007) dan Sin Sin (2008) adalah:
a. Letih, sering mengantuk, malaise
b. Pusing, lemah
c. Nyeri kepala
d. Luka pada lidah
e. Kulit, kuku, membrana mukosa, konjungtiva mata pucat
f. Tidak ada nafsu makan, mual, dan muntah
g. Mudah pingsan
h. Berdebar
i. Mata berkunang-kunang
Penegakan Diagnosis
Untuk mengetahui apakah seseorang tersebut mengalami
anemia atau tidak maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar
hemoglobin. Salah satu cara yang dapat digunakan dan disarankan
oleh WHO adalah pemeriksaan dengan hemoglobin metode
cyanmethemoglobin. Metode cyanmethemoglobin ini cukup teliti
dan dianjurkan oleh International Committee for Standardization
in Hemathology (ICSH) (Masrizal, 2007). Sampai saat ini baik di

26

Puskesmas maupun di Rumah Sakit masih menggunakan alat Sahli


(Depkes, 2009; Kusumah, 2009).
Menurut Depkes RI (2009) anemia berdasarkan hasil pemeriksaan
digolongkan menjadi:
a. Hb 11gr% : tidak anemia
b. Hb 9-10,9gr% : anemia ringan
c. Hb 7-8,9gr% : anemia sedang
d. Hb <7gr% : anemia berat
2.4.

Hubungan Anemia pada Ibu Hamil dengan Berat Badan Lahir


Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau
menurunnya hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk
kebutuhan organ-organ vital pada ibu dan janin menjadi berkurang
(Depkes RI, 2009). Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik
bagi ibu maupun janin yang dikandung. Terhadap janin meningkatkan risiko
kelahiran berat badan lahir rendah. Pertumbuhan janin dipengaruhi oleh suplai
O2 dari plasenta ke janin. Terganggunya fungsi plasenta pada anemia
kehamilan akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan janin intra uterin
dan kelahiran berat badan lahir rendah (Wiknjosastro, 2005; Robert et.al.,
2008).
Pertumbuhan janin tergantung pada nutrisi yang baik dari ibu ke janin
oleh karena itu dibutuhkan perfusi uterus yang baik sehingga akan
berpengaruh terhadap kelahiran berat badan bayi. Selama kehamilan rahim,
plasenta dan janin memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi (Smith et al., 2010). Pada ibu hamil dengan anemia terjadi
gangguan penyaluran oksigen dan zat makanan dari ibu ke plasenta dan janin,
yang mempengaruhi fungsi plasenta. Ibu hamil dengan anemia akan
berhubungan dengan fungsi plasenta karena terjadi gangguan penyaluran O2
dan zat makanan dari plasenta ke janin. Plasenta menunjukkan adanya

27

hipertrofi, kalsifikasi dan infark sehingga fungsinya terganggu. Hal ini


menyebabkan gangguan pertumbuhan janin (Wiknjosastro, 2005). Fungsi
plasenta yang menurun dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang
janin (Cunningham et al., 2005). Hilli (2009), berdasarkan hasil penelitiannya
menyatakan bahwa ada hubungan yang linier antara anemia ibu hamil dengan
berat badan bayi lahir. Berat badan bayi lahir rendah umumnya ditemukan
pada ibu hamil dengan anemia berat. Berat badan lahir biasanya masih dalam
batas normal pada ibu hamil dengan anemia ringan dan anemia sedang
meskipun lebih rendah dibandingkan dari ibu hamil tidak anemia.
Simanjuntak (2008) yang meneliti hubungan anemia pada ibu hamil
dengan kejadian BBLR di Rumah Sakit Umum Rantauprapat Kabupaten
Labuhan Batu mendapatkan bahwa 86 dari 162 ibu hamil (53%) menderita
anemia, dan 36% ibu hamil dengan anemia melahirkan bayi BBLR. Hasil
penelitian Karasahin (2006) juga menunjukkan bahwa ibu hamil dengan
anemia, empat kali lebih berisiko melahirkan bayi premature dan 1.9 kali
berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR).

28

2.5.

Kerangka Teori

Faktor internal ibu :


1. Anemia pada
kehamilan
2. usia ibu hamil < 20, >
35
3. multiparitas dan jarak
kehamilan < 2 tahun
4. status gizi ibu buruk
5. penjakit jantung
6. KEK
7.Faktor
Tuberculosis
kehamilan:
8. Infeksi TORCH
1. kehamilan ganda
2. hidramnion
3. preeklamsi
4. perdarahan antepartum
5. kelainan plasenta dan
tali pusat
6. KPD

Perfusi O2
dan nutrisi ke
plasenta

Plasenta
hipertrofi,
kalsifikasi,
infark

2.6.

Gangguan
tumbuh
kembang
janin

BBLR

Faktor eksternal:
1. demografi
2. sosial ekonomi
rendah
3. ANC buruk
4. Teratogen kimiawi
(merokok, alkohol,
obat, narkotika)

Fungsi
plasenta
terganggu

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Variabel perancu:
Usia Ibu
Paritas dan Jarak kelahiran
Kerangka Konsep
Penyakit jantung
hipertensi
Diabetes mellitus
Tuberculosis
Keganasan
Perdarahan Antepartum
Kehamilan Hidramnion
Preeklamsi/eklamsi
KPD

29

Variabel Dependen

Variabel Independen

Anemia pada Kehamilan

Kejadian BBLR

Variabel perancu :
ANC buruk
Sosial ekonomi rendah
Satus gizi ibu
Penyakit infeksi
Teratogen kimiawi
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Keterangan:
Variabel perancu yang sudah dikendalikan :
Variabel perancu yang belum dikendalikan
2.7.
Hipotesis
Terdapat hubungan anemia pada kehamilan dengan kejadian BBLR di RSUD
Margono Soekardjo Purwokerto tahun 2013.

Anda mungkin juga menyukai