Anda di halaman 1dari 0

4

Bab II Tinjauan Pustaka



II.1 Enzim
Enzim merupakan biokatalisator, terdapat dalam semua sistem hidup. Enzim dapat
mengaktifkan, mengkatalisis dan mengendalikan reaksi kimia yang penting untuk
mempertahankan keberadaan organisme itu sendiri. Berbeda dengan katalisator kimia
biasa, enzim mempunyai karakteristik yang sangat spesifik. Pada reaksi yang tidak
dikatalisis enzim dapat terjadi macam-macam produk samping. Sedangkan pada reaksi
yang dikatalisis enzim, hanya menghasilkan produk yang spesifik dari substrat yang
spesifik pula (Voet & Voet, 2006).

II.1.1 Sifat katalitik enzim
Spesifitas sifat katalitik enzim disebabkan, molekul enzim tersebut mengandung gugus-
gugus spesifik yang orientasinya dalam struktur tiga dimensi molekul protein enzim
sangat khas (Fersht, 1999).

Substrat akan terikat dengan enzim pada bagian yang sangat spesifik, yang disebut sisi
aktif atau sisi katalitik enzim. Sisi aktif enzim tersebut hanya merupakan bagian yang
relatif kecil dibandingkan dengan molekul enzim (Matthews, 2000).

II.1.2 Kinetika enzim
Pada tahun 1913, Leonor Michaelis dan Muad Menten mengajukan hipotesis yang
menerangkan hubungan antara konsentrasi substrat dengan laju reaksi awal. Reaksi
enzimatis ini melibatkan pembentukan kompleks enzim-substrat yang kemudian terurai
menjadi produk dan melepaskan enzim kembali (Matthews, 2000).

Dalam reaksi enzimatik, bila konsentrasi substrat tetap maka kenaikan laju reaksi
berbanding lurus dengan konsentrasi enzim. Sedangkan bila konsentrasi enzim yang
5
tetap, maka kenaikan laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi substrat. Tetapi
pada konsentrasi substrat yang tinggi, laju reaksi tidak meningkat lagi dengan
bertambahnya konsentrasi substrat. Pada keadaan ini laju reaksi mencapai batas
maksimum dan enzim seolah-olah sudah jenuh dengan substrat.
Secara sederhana, hipotesis Michaelis-Menten dapat dituliskan sebagai berikut :

1
3
2
k
k
E+S ES P+E
k


Dengan : E = enzim bebas
S = substrat
ES = kompleks enzim substrat
P = produk / hasil reaksi
k
1
= tetapan kesetimbangan reaksi pembentukan ES
k
2
= tetapan kesetimbangan reaksi penguraian ES
k
3
= tetapan kesetimbangan reaksi pembentukan produk.
Laju reaksi awal suatu reaksi enzimatis dapat dituliskan sebagai V = k
3
[ES], karena baik
[ES] maupun k
3
tidak dapat diukur langsung, maka untuk menghitung v harus dicari dulu
besaran-besaran lain yang dapat diukur langsung. Pada keadaan tunak (steady state)
berlaku [E] = [E]
0
- [ES] dengan [E]
0
= konsentrasi enzim mula-mula.
Maka : Laju pembentukan ES = k
1
[E] [S] = k
1
{[E]
0
[ES]} x [S]
Laju penguraian ES = k
2
[ES] + k
3
[ES]
Untuk reaksi berkesetimbangan (reversibel) laju pembentukan ES sama dengan laju
penguraian ES sehingga : k
1
{[E]
0
[ES]} x [S] = k
2
[ES] + k
3
[ES] = (k
2
+k
3
)[ES]
[E]
0
[S] [ES] [S] =
2 3
1
+
k k
k
[ES]
Dimana
2 3
1
+
k k
k
= K
M
(konstanta Michaelis-Menten yang nilainya menunjukkan afinitas
antara enzim / katalase dan substrat / H
2
O
2
)

sehingga diperoleh persamaan :
0
M
[S] [E]
[ES] =
+ [S]
K

V = k
3
[ES] = k
3
0
M
[S] [E]
+ [S]
K

6
Jika [S] >> sehingga E semuanya menjadi ES, maka [ES][E]
o
akibatnya k
3
[E]
o
= V
maks

V
maks
menyatakan banyaknya molekul yang terbentuk atau substrat yang diolah secara
maksimum, sehingga diperoleh persamaan Michaelis-Menten :
maks
M
[S]
V
V=
+[S]
K

Penentuan nilai V
maks
dan K
M
langsung dari grafik persamaan Michaelis-Menten tidaklah
selalu memuaskan karena grafiknya membentuk kurva sehingga menyulitkan untuk
melakukan ekstrapolasi dengan akurat. Lineaweaver-Burk (1934) menyelesaikan masalah
diatas dengan menata ulang persamaan Michaelis-Menten ke dalam bentuk persamaan
linear:
M
maks maks
1 1 1
K
= +
V [S]
V V

Nilai V
maks
dan K
M
ditentukan dengan plot Lineaweaver-Burk seperti gambar II-1
dibawah ini

Gambar II-1 Plot Lineaweaver-Burk

Bila nilai K
M
semakin besar berarti ikatan kompleks ES semakin lemah atau afinitas
enzim terhadap substrat kecil. Sebaliknya jika nilai K
M
kecil berarti ikatan kompleks ES
semakin kuat atau afinitas enzim terhadap substrat besar. Nilai K
M
bersifat spesifik untuk
Kemiringan = K
M
/V
maks

Perpotongan = 1/V
maks

7
setiap enzim terhadap substrat tertentu yang dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan tingkat
kemurnian enzim (Fersht, 1999)
II.2 Enzim Katalase
Pada tahun 1818, Thenart penemu hidrogen peroksida H
2
O
2
, menyatakan bahwa H
2
O
2
dapat diuraikan oleh suatu enzim. Hal ini dibuktikan oleh Jacobson pada tahun 1892.
Loew menamai enzim itu pada tahun 1901 sebagai katalase, salah satu nama trivial enzim
yang tetap bertahan hingga kini. Pada tahun 1937 Summer dan Dounce untuk
pertamakalinya berhasil mengkristalkan katalase dari hati sapi (Sadikin, 2002).

Sumber enzim katalase cukup banyak, murah dan mudah didapat. Typical Katalase,
bagian jenis yang paling besar, ditemukan di dalam hampir semua organisma, kedua-
duanya prokarya maupun eukarya (Delpech, 2007).

Struktur detail dari katalase berbeda dari satu makhluk hidup dengan yang lain, tetapi
struktur kuartener analog dengan Hb dimana katalase mempunyai beberapa unit dan
masing-masing mengandung 500-residu sub unit Fe pada pusat cincin prophyrin seperti
dilihat pada gambar II-2 berikut :

Gambar II-2 Struktur heme Katalase dan Haemoglobin dengan K lambang untuk protein
katalase dan G lambang untuk protein globin.

8
Enzim katalase (EC 1.11.1.6) adalah bagian terbesar bodyguard makhluk hidup dalam
melindungi tubuh dari bahaya radikal bebas anion superoksida, suatu hasil samping dari
metabolisme lemak dan karbohidrat (Walsh, 1979).
.
O
2 Berbahaya
superoksida di smutase
H
2
O
2
.
OH Berbahaya
gl utation peroksidase
katalase
H
2
O
H
2
O + O
2

Gambar II-3 Diagram proses katalitik anion superoksida

Gambar II-3 memperlihatkan bahwa enzim superoksida dismutase (SOD) adalah garis
pertama yang melawan radikal bebas anion superoksida yang diubah menjadi hidrogen
peroksida. Hidrogen peroksida masih bersifat racun untuk sel. Katalase adalah jawaban
untuk mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen yang sama sekali tidak
berbahaya bagi tubuh, dimana pada reaksi ini hidrogen peroksida direduksi dan
dioksidasi (Luck, 1974).
Mekanisme reaksi katalisasi dari katalase dianggap sebagai proses dua langkah, yaitu :
1. Satu molekul hidrogen peroksida direduksi menjadi air dan katalase dioksidasi
menjadi kompleks I.
2.
Satu molekul hidrogen peroksida dioksidasi menjadi oksigen dan kompleks I
direduksi menjadi katalase.


Gambar II-4 Mekanisme Reaksi Enzim Katalase
9
Reaksi penguraian ini mengikuti reaksi orde pertama sekurang-kurangnya reaksi dengan
waktu pendek (kurang dari 3 menit) pada konsentrasi enzim yang relatif tinggi
(Murshudov, 1992).

II.3 Enzim Katalase dalam Kentang ( Solanum tuberosum L )
Tanaman kentang adalah salah satu tanaman yang berasal dari Amerika Selatan dan telah
dibudidayakan oleh penduduk Indonesia sejak ribuan tahun silam. Tanaman ini
merupakan herba (tanaman pendek tidak berkayu) semusim dan menyukai iklim yang
sejuk. Di daerah tropis cocok ditanam di dataran tinggi. Menurut sistematika, tanaman
kentang termasuk dalam :
Kerajaan : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliospida
Subkelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Familia : Solanaceae
Genus : Solanum
Species : Solanum tuberosum
Nama binominal : Solanum tuberosum L

Umbi tanaman kentang yang biasa dimakan, dinamakan kentang juga dan sudah
termasuk salah satu makanan pokok penduduk Indonesia. Granola dan atlantik
merupakan dua varietas kentang yang sudah cukup lama dibudidayakan di Indonesia.
Granola mempunyai kekhasan sebagai kentang sayur, sedangkan atlantik merupakan
bahan baku industri kripik kentang (Wales, 2001).

Pada tahun 1990 kentang yang dijual dipasaran lokal Perancis berhasil diisolasi,
dimurnikan dan ditentukan sifat enzim katalasenya. Isolasi dilakukan dengan sonikasi
dan sentrifugasi, sedangkan pemurnian dilakukan dengan fraksinasi amonium sulfat,
kromatografi filtrasi gel dan kromatografi affinitas. Enzim katalase murni yang
10
dihasilkan sebanyak 35% dengan aktivitas spesifik 3000 unit/mg protein. Beberapa sifat
yang ditentukan dari enzim murni yang dihasilkan diantaranya adalah massa molekul
sub-unitnya 56 2 kDa, massa molekul proteinnya 224 8 kDa, konsentrasi substrat
optimum 30mM, pH optimum antara 6,2 sampai 7,5 (Beaumont et al, 1990).

II.4 Isolasi dan Pemurnian Enzim
Ketika suatu enzim dimurnikan, prosedur pemurnian harus dipilih dengan tepat sehingga
diperoleh hasil enzim murni yang optimal. Sebelum pemilihan prosedur, perlu
diperhatikan sumber enzim yang tepat, pengujian aktivitas enzim yang sensitif, dan
Metode penentuan kandungan protein yang tepat. Semua proses pemurnian biasanya
melibatkan prosedur berikut : (1) pemecahan sel dan ekstraksi protein pada buffer yang
sesuai, (2) tahap pengendapan dalam medium dengan pelarut yang memiliki konstanta
dielektrik kecil, (3) satu atau lebih teknik kromatografi dengan prinsip pemisahan yang
sesuai. Parameter yang digunakan untuk melihat efektivitas prosedur pemurnian antara
lain adalah : (1) aktivitas spesifik, (2) hasil atau perolehan kembali aktivitas enzim.
Keberhasilan penelitian yang diharapkan adalah peningkatan yang besar dalam aktivitas
enzim dan perolehan yang besar pada setiap tahap pemurnian (Alexander and Griffiths,
1993)

II.4.1 Sentrifugasi
Sentrifugasi memiliki berbagai kegunaan, tapi kegunaan utamanya adalah untuk preparasi
sampel biologis dan pengukuran analitik sifat-sifat hidrodinamik makromolekul yang
telah dimurnikan atau organel sel. Pada sentrifugasi suatu sampel biologis diberi suatu
gaya yang besar dengan memutar sampel tersebut pada kecepatan yang sangat tinggi.
Pada keadaan seperti ini, menyebabkan terjadinya sedimentasi partikel, organel sel atau
makromolekul pada suatu kecepatan yang tergantung pada massa, ukuran dan kecepatan
(Boyer, 1993).

11
Suatu partikel, baik itu berupa makromolekul atau organel sel, jika diberi suatu gaya
sentrifugal ketika diputar dengan kecepatan yang tinggi, maka akan timbul gaya
sentrifugal. Gaya sentrifugal (F) dinyatakan dengan persamaan (Boyer, 1993):
F = mr
dengan : F = Kekuatan gaya sentrifugal
m = massa efektif partikel yang diendapkan
=
kecepatan sudut perputaran (rad/detik)
r = jarak perpindahan partikel dari pusat sumbu perputaran
Gaya yang menyebabkan partikel-partikel bersedimentasi bertambah dengan
bertambahnya kecepatan perputaran dan jarak partikel dari sumbu rotasi. Suatu ukuran
yang umum untuk F, sebagai pengganti kekuatan gravitasi bumi (g), adalah relatife
centrifugal force (RCF), yang dinyatakan dengan rumus (Boyer, 1993):
RCF = (1,119X10
-5
)(rpm)(r)
dengan : rpm = revolution per minute
r = jarak partikel terhadap sentrifugasi (cm)

Tujuan utama sentrifugasi dalam pemurnian enzim adalah untuk memperoleh endapan
yang padat dan supernatan yang jernih (Scopes, 1994).
II.4.2 Pengendapan Protein
Salah satu tahap yang banyak digunakan pada pemurnian protein adalah pengendapan
protein. Pengendapan ini dapat dilakukan dengan mengubah kekuatan ionik, pH,
penambahan pelarut organik, polimer dan penambahan garam (Scopes, 1994). Pada
penggunaan pelarut organik, kerusakan protein dicegah dengan menjaga suhu tetap
rendah (Holme & Peck, 1993). Terjadi atau tidaknya suatu pengendapan tergantung pada
derajat hidrasi, yaitu suatu fenomena ketika molekul-molekul air terikat pada bagian
polar yang berada pada bagian luar dari suatu protein. Muatan efektif yang diemban oleh
suatu partikel koloid disebut sebagai potensial zeta, dan bukan hanya dipengaruhi oleh
sifat ionik residu-residu asam amino tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Dengan adanya garam, terjadi adsorpsi muatan, menyebabkan reduksi muatan yang
diemban oleh partikel koloid. Pada saat tertentu, konsentrasi garam akan menyebabkan
12
potensial zeta menjadi nol dan akibatnya protein akan terendapkan. Proses ini dikenal
sebagai salting out. Efek ini terjadi karena adanya perubahan molekul-molekul air oleh
konsentrasi garam yang tinggi (Holme & Peck, 1993).

Garam-garam yang efektif untuk digunakan pada proses pengendapan protein adalah
garam multianionik, seperti sulfat, fosfat dan sitrat. Jenis kation tidak terlalu penting,
namun harus tidak membentuk kompleks karena kation-kation kompleks akan
berinteraksi dengan protein. Suatu keuntungan fraksionasi dengan garam ammonium
sulfat adalah terjadinya suatu stabilisasi protein. Suatu suspensi potensi atau kristal hasil
pengendapan ammonium sulfat stabil untuk beberapa tahun. Selain itu, konsentrasi garam
yang tinggi juga mencegah terjadinya proteolisis dan aktivitas bakteri (Scopes, 1994).
II.4.3 Dialisis
Teknik dialisis ini digunakan untuk memisahkan molekul-molekul yang memiliki berat
molekul yang kecil dengan molekul-molekul yang memiliki berat molekul yang besar,
sehingga dapat digunakan untuk proses desalting. Selain itu proses dialisis ini dapat
digunakan untuk menyetimbangkan suatu larutan sampel dengan kondisi awal yang akan
digunakan pada proses pemisahan selanjutnya.

Proses dialisis dilakukan dengan memasukan suatu larutan sampel yang mengandung
makromolekul dan molekul yang kecil ke dalam suatu membran yang berpori. Membran
yang sudah berisi larutan sampel ditempatkan pada suatu wadah yang berisi larutan
penyangga dengan kekuatan ion yang rendah. Pori-pori membran terlalu kecil untuk
dapat terjadi difusi makromolekul yang besar. Sedangkan molekul-molekul yang kecil
dapat dengan bebas berdifusi. Lewatnya molekul-molekul yang kecil melalui membran
terus berlangsung sampai konsentrasi di dalam dan di luar membran sama (Boyer, 1993).

II.4.4 Kromatografi Pertukaran Ion
Gugus yang dapat terionisasi pada suatu molekul memberikan sifat ionik pada molekul
tersebut, sehingga pada kondisi tertentu, molekul tersebut akan mengemban muatan.
Intensitas muatan dan jenis muatan yang diemban oleh molekul tertentu tergantung pada
13
pH dan komposisi larutan. Karena perubahan komposisi larutan dapat mengubah muatan
yang diemban oleh suatu molekul, maka hal ini dijadikan suatu dasar pemisahan pada
kromatografi pertukaran ion (Holme & Peck, 1993).

Kromatografi pertukaran ion merupakan salah satu jenis kromatografi adsorpsi yang zat
terlarutnya bersifat ionik berinteraksi secara elektrostatik dapat balik dengan fasa diam
yang bermuatan (Boyer, 1993). Penukar ion memanfaatkan muatan total protein yang
berbeda pada pH tertentu, dan matrikss penukar ion berinteraksi dengan protein
berdasarkan pada gaya tarik elektrostatik (Scopes, 1994).

Penukar ion terdiri atas matriks yang tidak larut dalam air yang mengikat gugus-gugus
bermuatan secara kovalen. Gugus bermuatan tersebut dapat bergabung dengan counter
ion seperti, ion logam, ion klorida, dan ion-ion dari buffer. Ion-ion tersebut dapat diganti
oleh ion-ion lain tanpa mengubah matriks (Boyer, 1993).

Ada dua golongan penukar ion, yaitu penukar anion (matriks bermuatan positif) dan
penukar kation (matriks bermuatan negatif). Dari dua macam penukar ion ini, ada
berbagai jenis matriks yang berbeda dalam hal substituen kimianya, derajat substitusi dan
jenis keterikatan substituen (Scopes, 1994).

Penukar anion yang paling umum digunakan adalah dietilaminoetil- (DEAE-), dan
aminoetil kuartener (TEAE-, QAE-). Setiap adsorben ini memiliki satu muatan positif
pada atom nitrogen. Pada substituen kuartener muatan positif ini tidak dapat berdisosiasi.
Namun pada adsorben DEAE, proton pada atom nitrogen berdisosiasi pada pH yang
tinggi membentuk suatu matriks yang tidak bermuatan di atas pH 9,5. Selain itu,
adsorben DEAE tidak bemuatan sebagian pada pH netral, dan bahkan tidak sepenuhnya
terprotonisasi pada pH 6. Meskipun ini berarti pada kondisi operasi (pH 7 sampai 8),
adsorben ini hanya sebagian terprotonisasi, matriks ini dapat bertindak sebagai
penyangga kuat, dan ini merupakan suatu hal yang mendukung pemisahan yang tidak
dapat terjadi pada sustituen kuartener (Scopes, 1994).

14

Penukar kation dibagi menjadi tiga kategori kimia, yaitu penukar kation lemah, misalnya
substituen karboksimetil, penukar kation kuat, misalnya gugus sulfonat (S- dan SP-) dan
fosfat. Adsorben karboksimetil- paling luas penggunaannya, dan bermuatan penuh diatas
ph 4,5. Tetapi penggunaan pada pH di bawah 4, digunakan jenis sulfo yang lebih kuat,
karena gugus karboksimetil menjadi terprotonasi dan menjadi tidak bermuatan pada pH
di bawah 4,5. Gugus sulfonat terikat pada matriks melalui rantai propil dan hidroksipropil
(Scopes, 1994).


Pada proses pemisahan dengan kromatografi penukar ion dapat terjadi dua tahap. Tahap
pertama jika protein yang dipisahkan bermuatan sama dengan muatan gugus pada
matriks, maka protein tersebut akan terelusi dengan mudah oleh buffer awal sehingga
keluar terlebih dahulu dari kolom. Tahap kedua, jika muatan pada protein berlawanan
dengan muatan pada gugus matriks, maka protein akan terikat pada matriks oleh gaya
elektrostatik yang berbeda. Untuk melepaskan protein tersebut diperlukan eluen dengan
kekuatan ion yang berbeda pula. Semakin kuat protein terikat pada matriks, maka
diperlukan eluen dengan kekuatan ion yang semakin besar (Scopes, 1994).

II.4.5 Liofilisasi (freeze drying)
Larutan protein yang diperoleh saat ekstraksi atau beberapa tahap pemurnian terkadang
terlalu encer untuk pemeriksaan selanjutnya. Karena protein tidak dapat dipekatkan
dengan penguapan pada suhu tinggi, maka liofilisasi dilakukan. Pada teknik ini, pelarut
dihilangkan dari sampel yang dibekukan. Metode ini efektif untuk mengeringkan atau
memekatkan materi yang sensitif terhadap panas. Larutan biologis yang dipekatkan
terlebih dahulu dibekukan pada dinding labu bundar. Materi biologis membeku secara
berlapis pada dinding labu sehingga memberikan permukaan yang luas untuk penguapan
sampel. Labu ini kemudian dihubungkan dengan liophilizer yang terdiri dari unit
pendingin dan pompa vakum. Gabungan unit ini menjaga sampel tetap stabil pada -40
o
C
dan tekanan -25mmHg. Semua materi biologis hasil freeze dry biasanya stabil untuk
waktu yang lama (Boyer, 1993)
15

II.4.6 Penentuan Aktivitas Enzim
Aktivitas enzim merupakan salahsatu parameter yang harus dikontrol selama pemurnian
agar dapat diperoleh informasi tentang aktivitas spesifik enzim (unit/mg protein)
sehingga peningkatan kemurnian pada setiap tahap dapat diketahui.

II.4.7 Penentuan Kandungan Protein
Enzim berupa senyawa protein sehingga didalamnya terdapat kandungan protein tertentu.

Penentuan kandungan protein dapat menggunakan berbagai Metode, diantaranya metode
Kjeldahl (1883), Metode biuret, Metode Lowry (1951), Metode bicinchoninic acid
(BCA), Metode serapan UV 280 nm, Metode pengikatan pewarna anion, Metode
Bradford

(1976), Metode ninhidrin,dan Metode turbidimetri.

Metode penentuan kandungan protein dalam pemurnian enzim yang paling banyak
digunakan adalah Metode Bradford menggunakan Bovine Serum

Albumin (BSA) sebagai
protein standar. Hal ini disebabkan karena pereaksi Bradford dapat bereaksi sempurna
dalam waktu singkat 2 menit; mudah digunakan; sensitif; tidak terkontaminasi dengan
kation seperti K
+
, Na
+
, dan Mg
2+
; tidak berinterferensi dengan amonium sulfat, polifenol,
karbohidrat; dan dapat mengukur protein dengan bobot molekul 40.000 daltons.
Pereaksi Bradford ada yang sudah tersedia dalam bentuk kit (Bio Rad) atau dibuat sendiri
secara manual (Stoscheck, 1990)

II.4.8 SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate- Polyacrilamide Gel Electrophoresis)
Protein dapat diuraikan menjadi rantai polipeptida penyusunnya dengan menggunakan
detergen SDS (sodium dodecyl sulphate) setelah mereduksi ikatan disulfide (Holme &
Peck, 1993). Dodesil sulfat terikat kuat pada protein sehingga hanya memerlukan 0,1%
dodesil sulfat untuk menjenuhkan rantai peptida, dengan rata-rata satu molekul detergen
tiap dua residu asam amino. Setiap dodesil sulfat mengemban muatan negatif, sehingga
muatan total dari suatu polipeptida akan menjadi negatif. Akibatnya, perbandingan antara
16
muatan dan ukuran molekul akan identik untuk semua protein dan pemisahan terjadi
hanya karena adanya perbedaan berat molekul, sehingga terpisah karena proses
penyaringan molekul melalui pori-pori gel (Scopes, 1994).
Ada dua keuntungan utama menggunakan SDS-PAGE dibandingkan dengan
elektroforesis biasa, yaitu (Scopes, 1994):
1. Agregat dan partikel-partikel yang tidak larut seringkali menyebabkan hasil yang
tidak baik jika dilakukan pemisahan dengan elektroforensis biasa, karena adanya
pori-pori yang terhalang. Ketika didenaturasi, agregat-agregat ini akan menjadi larut
dan berubah menjadi polipeptida tunggal.
2. Mobilitas suatu protein ditentukan oleh ukuran polipeptidanya, sehingga dapat
langsung menentukan berat molekul dari tiap komponen yang ada pada sampel.

II.5 Pembelajaran Kinetika Enzim di SMU / MA
Materi pembelajaran kinetika enzim tidak terdapat secara mandiri dalam satu mata
pelajaran / bidang studi. Materi ini terdapat secara terpisah dalam mata pelajaran Biologi
dan Kimia (Depdikbud, 2007).

Dalam mata pelajaran Biologi semester 1 kelas XII terdapat standar kompetensi 2, yaitu
Siswa mampu menganalisis proses metabolisme dan implikasinya pada sains,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat (salingtemas) yang memuat materi pokok tentang
enzim sebagai biokatalisator (Depdikbud, 2007). Pada Materi pokok Enzim dijelaskan
tentang konsep susunan enzim, ciri-ciri enzim, penamaan enzim, cara kerja enzim dan
inhibitor (Syamsuri dkk, 2007). Pengalaman belajar siswa yang diharapkan diantaranya
melakukan praktik uji enzim katalase dengan berbagai perlakuan untuk mendeskripsikan
fungsi dan kerja enzim (Dikdasmen Depdiknas, 2007). Jadi secara kualitatif percobaan
tentang enzim katalase sudah ada dalam mata pelajaran biologi tetapi belum menyangkut
sisi kinetikanya.

Dalam mata pelajaran Kimia semester 1 kelas XI terdapat standar kompetensi 3. Siswa
mampu memahami kinetika reaksi, kesetimbangan kimia, dan faktor-faktor yang
17
mempengaruhinya, serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan industri yang
memuat materi pokok tentang Laju Reaksi / Kinetika (Depdikbud, 2007). Pada materi
pokok Laju Reaksi / Kinetika dijelaskan tentang laju dan orde reaksi (kemolaran,
pengertian laju reaksi, persamaan laju reaksi, orde reaksi), faktor-faktor yang
mempengaruhi laju reaksi (konsentrasi, suhu, luas permukaan zat, katalis), teori
tumbukan (energi aktivasi, katalis) (Michael Purba, 2007). Pengalaman belajar siswa
yang diharapkan diantaranya melakukan percobaan tentang enzim sebagai katalis dalam
makhluk hidup (Dikdasmen Depdiknas, 2007). Jadi pada dasarnya percobaan tentang
enzim sebagai katalis seharusnya ada dalam proses pembelajaran kimia.

Selain konsep-konsep dalam kedua mata pelajaran tersebut ada satu konsep yang
diperbantukan yaitu konsep tentang persamaan regresi linear dalam mata pelajaran
matematika untuk mengolah data yang dihasilkan. Jadi untuk dapat memahami konsep
kinetika enzim maka guru / siswa harus mampu menggabungkan ketiga konsep tersebut.

Anda mungkin juga menyukai