Anda di halaman 1dari 4

E-CASE

Judul:
Manajemen Nyeri Pasca Operasi Amputasi e.c Gangrene Ulkus Diabetika pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II Tak Terkontrol

Abstrak
Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi yang disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob. Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sebesar 15% dari penderita DM. Di RSCM, pada tahun 2003 masalah kaki diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan DM selalu terkait dengan ulkus diabetika. Angka kematian dan angka amputasi masih tinggi, masingmasing sebesar 32,5% dan 23,5%. Nasib penderita DM paska amputasi masih sangat buruk, sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun paska amputasi dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun paska amputasi. Tujuan dari manajemen nyeri pasca operasi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin. Dengan adanya manajemen nyeri pasca operasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akan menjadi baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan pasca operasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.

Isi
Tuan S, laki-laki, 49 tahun, datang dengan keluhan utama luka pada kaki kiri yang tidak mengering. RPS: luka tidak mengering selama 4 hari post opname karena operasi amputasi jari kaki. Luka di kaki kiri tertutup balut. Balut dibuka, tampak gangrene berwarna kehitaman pada jempol dan telapak kaki hingga mendekati mata kaki kiri, bau busuk, dan terdapat cairan kecoklatan. Lebih kurang 7 tahun ini pasien merasa sering kesemutan pada anggota gerak, nyeri kaki saat istirahat, kulit anggota gerak kering dan dingin, tebal, dan sensasi rasa berkurang. RPD: DM selama 7 tahun; HT, penyakit jantung, asma, dan alergi disangkal. RPK: Saudara kandung pasien meninggal karena DM. Riwayat operasi: 1 minggu sebelum kontrol, OS telah menjalani operasi amputasi jari kaki II, III, IV, dan V kiri et causa ulkus diabetika grade IV. Pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum baik, sadar penuh, CM. Vital sign: T: 36,4 C; RR: 20x/m; N: 84x/m; TD: 130/90. Status generalis dalam batas normal. Status lokalis kaki kiri gangrene kehitaman hingga mendekati mata kaki dengan jari 2 5 telah diamputasi.
1

Pemeriksaan laboratorium diperoleh hematologi: Golongan darah B; lekosit 12,4 rb/uL () 8,2 rb/uL; limfosit 16 % (); monosit 22 % (); AE 3,21 juta/uL (); Hb 8,3 g/dL () 9,5 g/dL 17,8 g/dL (pra op) 9 g/dL () (post op); HMT 25% (); AT 696 rb/uL (); PPT 14,6 s (N); APTT 23,1 s (); HBsAg (-); GDS: 299 mg/dl () 160 mg/dl () 156 mg/dl () 180 mg/dl () 153 mg/dl () 73 mg/dl. Rontgen Thorax: besar cor dan pulmo normal.

Diagnosis
Ulkus diabetika grade V (gangrene klasifikasi Wagner) et causa DM tipe II tidak terkontrol dengan pro amputasi cruris sinistra (below knee).

Terapi
Anestesi saat intra OP: Regional Anestesi (spinal anestesi) induksi bupivacaine 1 amp. Medikasi: ketorolac 1 amp, ondansentron 1 amp, tramadol 1 amp. Infus: RL 500 cc, FIMA HES 500 cc, NaCl 500 cc. Terapi post OP: ceftriaxone 2 x 1, metronidazole 3 x 500 cc, ketorolac 3 x 1, asam traneksamat 3 x 1, novorapid 3 x 10 IU, RL 20 tpm. Kondisi pasien pasca OP: pasien merasa nyeri pada luka operasi, raut muka menahan nyeri, skala nyeri 5 6/10, luka belum kering, imobilisasi.

Diskusi
Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tak terkontrol selama kurang lebih 7 tahun. Pasien adalah seorang penderita DM tipe II yaitu diabetes akibat resistensi insulin dan atau defisiensi sekresi insulin relatif. Keluhan pasien terhadap penyakitnya selama 7 tahun ini mengarah pada tanda dan gejala DM. Tanda dan gejala di awal sakit DM yaitu banyak makan (polifagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing (poliuri), berat badan menurun drastis, mudah lelah, dll sedangkan gejala kronis DM meliputi kesemutan, rasa tebal di kulit, kram, capai, mudah mengantuk, pandangan mata mengabur, dll. Ditambah lagi pasien memiliki faktor risiko berupa riwayat keluarga DM yaitu saudara kandung pasien ada yang meninggal akibat komplikasi penyakit DM. Pasien telah terkena komplikasi metabolik kronik yang terjadi pada pembuluh darah di bagian tubuh (angiopati diabetik). Angiopati diabetik dibagi menjadi dua yaitu makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler), yang tidak berarti satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi sekaligus bersamaan. Ulkus diabetika adalah satu bentuk komplikasi kronik diabetes mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. Pasien menderita ulkus diabetika yang semakin parah karena sebelumnya, berdasarkan klasifikasi Wagner, gangrene/kematian jaringan hanya terlokalisir (grade IV) namun kemudian berkembang menjadi grade V (kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki)
2

sehingga perlu dilakukan tindakan invasif yaitu amputasi dengan harapan kematian jaringan tidak menyebar ke jaringan di atasnya. Level amputasi yang dilakukan pada pasien ini yaitu transtibial/below knee (4 6 inchi dari tibial plateau, bentuk ideal silinder. Manajemen pasca operasi meliputi penyembuhan luka dengan melakukan perawatan luka postoperasi, mengontrol nyeri, membantu pasien untuk beradaptasi dengan perubahan citra diri, mencegah kontraktur, serta aktivitas perawatan diri. Tujuan dari manajemen nyeri pasca operasi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin. World Federation of Societies of Anesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder dirancang untuk mengobati nyeri akut. Pada anak tangga pertama, nyeri dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat (injeksi opioid kuat, analgesik/anestesi lokal). Biasanya nyeri pasca operasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua adalah pemulihan dengan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesik. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan kombinasi dari obat-obatan yang bekerja di perifer dan opioid lemah. Anak tangga terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer (aspirin dan OAINS).

Kesimpulan
Pada kasus ini, pasien diberi anestesi regional berupa bupivacaine dan ketorolac IV saat pembedahan. Medikasi analgesik post operasi adalah ketorolac 3 x 1. Seharusnya dalam manajemen nyeri pasca operasi pada kasus ini dapat menggunakan sistem WFSA Analgesic Ladder yaitu dengan memberi analgesik dosis kuat di awal kemudian dosis diturunkan berturut-turut hingga nyerinya mereda dan ambang nyeri pasien meningkat sehingga bila dibuat skema maka manajemen nyeri pasca operasi dimulai dari pemberian opioid kuat/anestesi lokal opioid lemah + analgesik perifer analgesik perifer ex: aspirin atau OAINS).

Referensi
Gwirtz K. Single-dose Intrathecal Opioids in The Management of Acute Postoperative Pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992: 253 268 Hastuti, Rini Tri. Tesis Magister Epidemiologi: Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Mellitus (Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta). Program Pasca Sarjana Magister Epidemiologi, Universitas Diponegoro Semarang. 2008 Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London: Elsevier Churhill Livingstone. 2006

Penulis
Dimas Muhammad Akbar, Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi, RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai