Anda di halaman 1dari 4

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang Keberhasilan pembangunan, terutama di bidang kesehatan, secara tidak langsung telah menurunkan angka kesakitan dan kematian penduduk, serta meningkatkan usia harapan hidup. Hal tersebut juga memicu perkembangan jumlah penduduk Lanjut usia (lansia) yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada tahun 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah 70,0 tahun. Tahun 2006 meningkat menjadi 70,2 tahun. Jumlah ini terus meningkat menjadi 70,4 tahun pada tahun 2007 dan di perkirakan pada tahun 2025 angka harapan hidup penduduk indonesia akan menjadi 73 tahun (BPS 2007). Jumlah penduduk lansia Indonesia mencapai 19,32 juta orang atau 8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia dimana pada tahun 2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini naik menjadi 18,96 juta orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada tahun 2009 (Komnas Lansia 2010). Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA) melaporkan tahun 1980 usia harapan hidup (UHH) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%), sedangkan pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan UHH juga meningkat menjadi 66,2 tahun. Tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77 % dan UHH sekitar 67,4 tahun. Sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34 % dengan UHH sekitar 71,1 tahun (Depsos 2007). Semakin meningkatnya usia harapan hidup, maka semakin meningkat pula upaya untuk mempertahankan atau menjaga status kesehatan pada lansia. Kondisi kesehatan pada lansia sangat ditentukan oleh asupan makanannya, baik kualitas maupun kuantitas. Seiring dengan bertambahnya usia dan proses penuaan, timbul masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah fisik, biologik, psikologik, sosial, maupun penyakit degeneratif (Safithri 2005). Salah satu masalah yang banyak diderita para lansia adalah sembelit atau konstipasi (susah BAB) dan terbentuknya benjolan-benjolan pada usus (Depkes 2003). Sekitar 3040% orang diatas usia 65 tahun di Inggris mengeluh konstipasi, 30% penduduk diatas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Sekitar 20% populasi diatas 65 tahun di Australia, mengeluh menderita konstipasi (Siswono 2003). 1

2
Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan, karena volume feses terlalu kecil sehingga penderita jarang buang air besar. Kondisi ini akan memperlama waktu transit atau perjalanan makanan dari mulut sampai dubur (Soelistijani 2002). Semakin lama tinja tertahan dalam usus, konsistensinya semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah dikeluarkan. Hal tersebut berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding usus akibat penuaan yaitu kegiatan fisik yang mulai berkurang, serta kurangnya asupan serat dan cairan (Arisman 2007). Saat ini masyarakat Indonesia terutama yang di perkotaan mengalami pergeseran pola konsumsi pangan. Seiring dengan kemajuan zaman dan perbaikan sosial ekonomi masyarakat, maka terjadi pula perubahan kebiasaan makan yang cenderung kebarat-baratan (western style diet). Makanan jadi dan makanan siap saji telah menjadi kegemaran dan tren di masyarakat. Masyarakat umumnya belum tahu atau kurang menyadari bahwa makanan jadi telah kehilangan banyak komponen-komponen essensial makanan, khususnya serat. Asupan serat yang terlampau rendah dalam kurun waktu lama akan mempengaruhi kesehatan (seperti konstipasi), kegemukan, dan serangan penyakit degeneratif (Soelistijani 2002). Para ahli klinis, ahli gizi dan ahli teknologi pangan dalam dasawarsa terakhir ini sepakat bahwa serat merupakan komponen yang sangat dianjurkan dalam pola diet, ini disebabkan oleh banyaknya penyakit yang muncul akibat rendahnya konsumsi serat, terutama di negara-negara maju. Meskipun masih memerlukan penelitian lebih lanjut, cukup bukti bahwa berbagai serat dapat membantu mencegah atau mengatasi penyakit seperti sembelit, gangguan usus, obesitas dan penyakit jantung (Bangun 2005). Menurut Kusharto (2006), serat mampu mengatasi konstipasi karena serat dimetabolisme oleh bakteri yang berada dan melalui saluran pencernaan. Pengaruh nyata yang telah dibuktikan adalah bertambahnya volume feses, melunakkan konsistensi feses, memperpendek waktu transit di usus, dan memproduksi flatus. Selain konsumsi serat yang rendah, konstipasi juga disebabkan oleh kurangnya asupan cairan. Menurut Muhammad (2010), salah satu masalah cairan yang lebih sering dialami lansia adalah kekurangan cairan tubuh. Hal ini terjadi karena adanya berbagai perubahan perubahan yang dialami lansia, diantaranya adalah peningkatan jumlah lemak pada lansia, penurunan fungsi

3
ginjal untuk memekatkan urin, dan penurunan rasa haus. Penurunan rasa haus pada lansia otomatis akan menurunkan asupan cairan, padahal dalam fungsinya cairan memegang peranan penting terutama untuk mengolah makanan dalam usus, tanpa cairan yang cukup usus tidak dapat bekerja secara maksimal sehingga timbullah sembelit. Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan mengenai pentingnya peranan aktivitas fisik, asupan serat dan cairan sebagai penyebab konstipasi yang terjadi pada lansia, maka peneliti ingin mengetahui perbedaan asupan serat, cairan, dan aktivitas fisik serta hubungannya dengan gejala konstipasi pada lansia di Panti Wreda Sukma Raharja yang dikelola pihak Pemda dan Panti Wreda Salam Sejahtera yang dikelola pihak swasta. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui perbedaan asupan serat dan cairan, aktivitas fisik, serta hubungannya dengan gejala konstipasi pada lansia di Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda (RPSTW) Sukma Raharja yang dikelola pihak Pemda dan Panti Wreda (PW) Salam Sejahtera yang dikelola pihak swasta. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi karakteristik sosial dan status gizi contoh. b. Menganalisis perbedaan asupan energi dan zat gizi (protein, karbohidrat, dan lemak) pada lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam Sejahtera. c. Menganalisis perbedaan asupan serat, cairan, aktivitas fisik, dan kejadian konstipasi pada lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam Sejahtera. d. Menganalisis hubungan antara asupan serat dan cairan dengan kejadian konstipasi pada lansia contoh. e. Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan gejala konstipasi pada lansia contoh. Hipotesis 1. Ada perbedaan asupan serat, cairan, dan aktivitas fisik pada lansia di RPSTW Sukma Raharja dan PW Salam Sejahtera. 2. Ada hubungan antara asupan serat, cairan, dan aktivitas fisik dengan kejadian konstipasi pada lansia contoh.

4
Kegunaan Penelitian Kegunaan bagi Pihak Panti Sebagai informasi dan masukan bagi pengelola panti mengenai konsumsi pangan yang meliputi asupan serat dan cairan, serta aktivitas fisik penghuni panti. Kegunaan bagi Pihak Pemda Sebagai informasi dan masukan bagi pihak pemda mengenai pelaksanaan dan pengelolaan panti, konsumsi pangan yang meliputi asupan serat dan cairan, serta aktivitas fisik penghuni panti, terutama Rumah Perlindungan Sosial Tresna Wreda Sukma Raharja yang merupakan pelaksana dari UPTD Balai Perlindungan Sosial Tresna Wreda Ciparay Bandung dan Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan.

Anda mungkin juga menyukai