Anda di halaman 1dari 36

G e j a l a i r

STATUS ILMU KEPANITERAAN KLINIK SMF BEDAH RUMAH SAKIT OTORITA BATAM Nama Mahasiswa NIM : Stephanie Margareth Ciwendro : 030.08.232

Dokter Pembimbing : dr. Ahmad Mubin, Sp U I IDENTITAS Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan Status perkawinan Pendidikan Agama MR Masuk RS : : : : : : : : : : Tn. M 61 tahun Laki-laki Sebanti Senggarang RT 01, RW 05 Nelayan Menikah SMA Islam 31-44-60 20 Juli 2012

II

ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Selasa, 24 Juli 2012, jam 08.00 Keluhan Utama OS datang dengan keluhan tidak dapat buang air kecil sejak 2 minggu SMRS. Riwayat Penyakit Sekarang

OS datang dengan keluhan tidak dapat buang air kecil sejak 2 minggu SMRS. OS juga mengaku sulit untuk memulai BAK, setiap BAK harus mengedan. Kencing yang keluar juga tersendat-sendat, pancaran aliran kencing lemah, dan pada akhir kencing ada yang menetes.

OS juga merasa tidak puas setelah BAK, sehingga malam hari sering terbangun untuk kencing. Os mengaku setiap malam BAK sekitar 3-4 x. OS juga mengaku ada sakit di ujung penis tiap BAK. Os mengaku tidak pernah ada keluar seperti berpasir saat kencing dan BAK tidak pernah bercabang. Urin OS warna kuning teh. Nyeri perut bagian kanan bawah dan perut bawah dikeluhkan pasien. BAB lancar. Demam, penurunan berat badan, mual muntah, sakit pinggang tidak dikeluhkan pasien. 6 bulan SMRS, OS mengaku sudah pernah mengalami keluhan buang air kencing tidak lancar, tetapi tidak seberat sekarang, dan timbulnya perlahan-lahan sampai 2 minggu SMRS OS tidak bisa kencing, dan OS belum pernah berobat sebelumnya. Riwayat Penyakit Dahulu OS mengaku pernah mengalami keluhan yang sama seperti ini sebelumnya sekitar 6 bulan SMRS, tetapi tidak seberat sekarang dan timbulnya perlahan-lahan, dan OS belum pernah berobat sebelumnya. Os mengaku tidak ada riwayat darah tinggi. Riwayat kencing manis, asma, alergi, keganasan disangkal pasien. Riwayat sakit batu saluran kencing dan infeksi saluran kemih disangkal pasien Riwayat Penyakit Keluarga Dalam keluarga OS tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti OS. Keluarga OS tidak memiliki riwayat kencing manis, asma, alergi, penyakit jantung dan keganasan, batu saluran kemih. Riwayat Kebiasaan OS mengaku tidak mengkonsumsi alkohol maupun rokok.

III

PEMERIKSAAN FISIK dilakukan tanggal 24 Juli 2012, jam 8.00 Keadaan Umum Kesadaran Kesan sakit Tanda Vital TD Nadi : : 160/100 64x/menit : : Compos Mentis Tampak sakit ringan

RR Suhu

: :

18x/menit 36,8 C

STATUS GENERALIS Kepala Mata Konjungtiva Sklera Pupil Refleks cahaya langsung :Tidak pucat :Tidak ikterik :Bulat, isokor :+/+ : normocephali

Refleks cahaya tidak langsung:+/+ Telinga Hidung : normotia, serumen (-), sekret (-) : normal, septum deviasi, sekret (-), mukosa hiperemis (-) : OH bagus, Gigi tidak ada karies, Lidah tidak kotor : T1-T1, tonsil tidak hiperemis, uvula ditengah, dinding faring tidak hiperemis : KGB ttm, tiroid ttm

Mulut

Tenggorokan

Leher

THORAKS Paru-paru Inspeksi : Pergerakan hemitoraks kanan dan kiri simetris, tidak ada retraksi sela iga. Palpasi Perkusi Auskultasi : Vocal fremitus simetris pada kedua hemitoraks. : Sonor di kedua lapang paru. : Suara nafas vesikular, ronchi -/-, wheezing -/-

Jantung Inspeksi : Tampak pulsasi ictus cordis pada 2cm medial di garis
midklavikula kiri setinggi sela iga V.

Palpasi

: Teraba pulsasi ictus cordis pada 2cm medial di garis


midklavikula kiri setinnggi sela iga V.

Perkusi

: Batas kanan
Batas kiri

: Sela iga V linea sternalis kanan. : Sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula kiri.

Aukultasi ABDOMEN Inspeksi Palpasi

: BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

: buncit, tidak ada lesi, tidak ada sikatrik. : supel NT (+) di regio kuadran kanan bawah dan suprapubik. Hepar Lien undulasi (-) Ballotemen (-)/(-) : Tidak teraba membesar : Tidak teraba membesar

Perkusi Auskutasi EKSTREMITAS

: Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)/(-) : Bising usus (+) normal, 5 kali/menit

Oedem

Akral Hangat

+ +

+ +

STATUS UROLOGIS Regio Costovertebralis I: warna kulit sama dengan sekitarnya, alignment tulang belakang baik. P: nyeri tekan (-), teraba massa (-) P: nyeri ketok CVA (-)/(-) Regio Suprapubik I: perut buncit, tidak tampak ada massa P: nyeri tekan (+), tidak teraba buli penuh ataupun massa P: timpani Regio Genitalia eksterna Penis I: terpasang kateter 20 f 3 way, urin warna kuning ada sedikit gumpalan darah, urin lancar, tanda-tanda radang(-) P: nyeri tekan (-) Skrotum dan isi I: tidak tampak ada pembesaran skrotum, tanda radang (-) P: nyeri tekan (-), tidak teraba ada massa, testis ada 2 teraba normal. Perianal I: warna kulit lebih gelap, odem (-), tanda-tanda radang (-), abses (-), sikatriks (-) P: nyeri tekan (-), teraba ada massa (-) Rektal Toucher Sphincter ani: tonus baik Ampulla recti tidak kolaps, mukosa rectum licin, nyeri tekan (-), tidak teraba ada massa.

Prostat teraba membesar > 60 mm , konsistensi keras, permukaan tidak berbenjol dan reguler, nyeri tekan (-), sulcus mediana tidak teraba, teraba pool atas Sarung tangan: darah (-), lendir (-), sisa feses sedikit (+) III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH Tgl 21/07/2012 Hasil pemeriksaan WBC RBC HGB HCT PLT PCT 8500/mm3 4.370.000/mm3 13,7 g/dl 41,10% 192.000/mm3
214,00%

Nilai normal 3500-10000 3.800.000- 5.800.000 11-16,5 35-30 150-390 100-500

Hasil pemeriksaan MCV MCH MCHC 94 31,4 33,3 80-97

Nilai normal

26,5-33,5 31,5- 35,0

LED Gol darah Bilirubin total SGOT SGPT

: 2 mm/jam : AB : 1,58 mg/dl : 8 U/I : 15 U/I

Alkali Phosphatase Ureum Creatinin Total Protein Albumin Globulin Elektrolit

: 85 U/I : 20,0 mg/dl : 0,8 mg/dl : 6,8 g/ dl : 4,5 g/dl : 2,3 g/dl : Na K Cl : 138 meq/l : 4,2 meq/l : 101 meq/l

GDS

: 102 mg/dl

URINALISA Tgl 21/07/2012 Warna Kejernihan BJ pH Protein Benda Keton Reduksi Bilirubin Urobilinogen Darah samar : Merah : sangat keruh : 1015 :7 : ++++ :+ :::+ :+++++

SEDIMEN Leukosit : 15-20/ LPB

Eritrosit Silinder

: penuh : Hyalin (-) Granular (-)

Epitel

:+

IV . PEMERIKSAAN PENUNJANG USG Ginjal dan buli tg1 21/7/2012 Ginjal kanan dan kiri : ukuran dan bentuk normal, tidak tampak batu/ SOL, tidak tampak hidronefrosis, tidak tampak hidroureter. Vesica urinaria : tampak terisi balon kateter yang diliputi bayangan massa isodens yang tampak berhubungan dengan prostat membesar Kesan : pembesaran kelenjar prostat, curiga prostat membesar ke arah buli, balon kateter tampak terisi posisi ada pars prostatika USG ginjal dan buli tgl 22/7 2012 Prostat : sagital panjang : 76,9 mm : 54,1 mm

lebar : 40,6 mm Kesan prostat 84,4 m3 : terdapat pembesaran kelenjar prostat , membesar ke arah buli, volume

USG ginjal dan buli tgl 25/7/2012 Vesica urinaria Prostat : terdapat penebalan mukosa vesica urinaria, massa (-) : sagital panjang lebar Kesan : sistitis (+) massa (-) pembesaran prostat 120,4 m3 Pemeriksaan PSA tgl 29/7/2012 : 77,4 mm : 60,9 mm : 51,1 mm

PSA total

: 19,3

V. RESUME OS, usia 61 tahun datang dengan keluhan tidak dapat buang air kecil sejak 2 minggu SMRS. OS juga mengaku sulit untuk memulai BAK, setiap BAK harus mengedan. Kencing yang keluar juga tersendat-sendat, pancaran aliran kencing lemah, dan pada akhir kencing ada yang menetes. OS juga merasa tidak puas setelah BAK, sehingga malam hari sering terbangun untuk kencing. Os mengaku setiap malam BAK sekitar 3-4 x. OS juga mengaku ada sakit di ujung penis tiap BAK. Urin OS warna kuning teh. Nyeri perut bagian kanan bawah dan perut bawah dikeluhkan pasien. 6 bulan SMRS, OS mengaku sudah pernah mengalami keluhan buang air kencing tidak lancar, tetapi tidak seberat sekarang, dan timbulnya perlahan-lahan sampai 2 minggu SMRS OS tidak bisa kencing. Pemeriksaan fisik: Status urologis Regio suprapubik Penis darah Rektal Toucher Prostat teraba membesar > 60 mm , konsistensi kenyal, permukaan tidak berbenjol dan reguler, nyeri tekan (-), sulcus mediana tidak teraba, teraba pool atas : NT + : terpasang kateter 20 f 3 way, urin warna kuning ada sedikit gumpalan

URINALISA Warna Kejernihan Protein Darah samar : Merah : sangat keruh : ++++ :+++++

SEDIMEN

Leukosit Eritrosit

: 15-20/ LPB : penuh

USG: terdapat pembesaran kelenjar prostat dengan curiga ke arah buli, dan kesan sistitis. PSA tinggi VI. DIAGNOSIS KERJA Retensi urin et causa BPH Sistitis VII. DIAGNOSIS BANDING Retensi urin et causa suspek Ca prostat VIII. PENATALAKSANAAN Kateterisasi urethra dengan kateter 20 f 3 way, irigasi NaCl 60 tts/menit, spooling kateter bila macet RL 500 cc/12 jam Ceftriaxone disodium inj 1x1 gr Tranexamic acid inj 3x500 mg Ketoprofen 1x1 Saw Palmetto Extract1x1 lutein, lycopene, vitamin E, vitamin C, Zn, beta carotene, selenium yeast 1x1

IX. PROGNOSIS

Ad vitam Ad fungsionam Ad sanationam

: dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad malam

X. FOLLOW UP Tanggal 24 Juli 2012 TD: 140/100 RR: 20x/ menit S: 36,5 C HR: 72x/m Hasil follow up S : BAK (+,) sakit saat A: retensi urin et causa BPH, kencing (+), kencing DD/ ca prostat sistitis DD: ISK

tersendat-sendat (+), nyeri perut -, demam (-) O :Abdomen: perut buncit,

supel, NT + pada regio P: terapi lanjut. suprapubik dan kanan

bawah, balotemen (-)/(-), CVA -/Status urologis:terpasang

kateter 20 f 3 way, urin 200 ml, NaCl jernih, sedikit darah, lancar

25 Juli 2012 TD: 150/90 RR:20x/m HR: 80x/m S: 36,5 C

S:

BAK

+, (-),

sakit

saat A: retensi urin et causa BPH DD: Ca prostatika Sistitis

kencing

kencing

tersendat (-), nyeri perut (-) O: Abdomen: perut buncit,

supel, NT (-), ballotemen(- P: terapi lanjut )/(-), CVA (-)/(-) Status urologis: infus Stop, kalnex inj diganti kalnex tab 3x1

terpasang kateter 20 f 3 way, urin 500 ml, urin lancar, jernih, tidak ada darah. Rektal Toucher Prostat teraba membesar > 60 mm , konsistensi kenyal, permukaan tidak berbenjol dan reguler, nyeri tekan (-), sulcus mediana tidak teraba, teraba pool atas USG:Vesica urinaria : terdapat penebalan mukosa vesica urinaria, massa (-) Prostat sagital : 77,4 mm :

panjang

: 60,9 mm

lebar Kesan sistitis (+)

: 51,1 mm :

massa (-)

pembesaran prostat 120,4 m3 26 Juli 2012 TD: 140/80 S: BAK+ lancar, tidak ada A: retensi urin et causa BPH, tersendat, tidak ada sakit saat kencing, nyeri perut (-), DD/ ca prostat

HR 80x/menit RR 20x/menit S 36,7 C

demam (-)

- sistitis

O : Abdomen: perut buncit, P : th/ lanjut, menunggu hasil supel, NT(-), Ballotemen -/- PSA , CVA-/Status urologis: terpasang kateter 20 f 3 way, urin 450 ml, urin lancar, jernih, tidak ada darah.

27 Juli 2012 TD:140/90 HR 88x/m RR 24x/m S 36,7 C

S: BAK+ lancar jernih, A: retensi urin et causa BPH, tidak ada tersendat, tidak ada sakit saat kencing, nyeri perut (-), demam (-) DD/ ca prostat - sistitis

O : Abdomen: perut buncit, P :Th/lanjut, menunggu hasil supel, NT(-), Ballotemen -/- PSA , CVA-/Status urologis: terpasang kateter 20 f 3 way, urin 250 ml, urin lancar, jernih, tidak ada darah.

28 Juli 2012 TD:140/90 HR 88x/m

S: BAK+ lancar jernih, A: retensi urin et causa BPH, tidak ada tersendat, tidak ada sakit saat kencing, nyeri perut (-), demam (-) DD/ ca prostat - sistitis

RR 20x/m S 36,5 C

O : Abdomen: perut buncit, P :Th/lanjut, menunggu hasil supel, NT(-), Ballotemen -/- PSA , CVA-/Status urologis: terpasang kateter 20 f 3 way, urin 750 ml, urin lancar, jernih, tidak ada darah.

29 Juli 2012 TD:130/80 HR 88x/m RR 20x/m S 36,5 C

S: BAK+ lancar jernih, A: retensi urin et causa BPH, tidak ada tersendat, tidak ada sakit saat kencing, nyeri perut (-), demam (-) DD/ ca prostat sistitis

O : Abdomen: perut buncit, P: Th/ lanjut supel, NT(-), Ballotemen -/, CVA-/Status urologis: terpasang kateter 20 f 3 way, urin 500 ml, urin lancar, jernih, tidak ada darah. PSA total: 19,3 aff kateter

ANALISA KASUS
Pada kasus ini, Tn M usia 61 tahun, diagnosis retensi urin et causa BPH, ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang: Anamnesis OS datang dengan keluhan tidak dapat buang air kecil sejak 2 minggu SMRS. OS juga mengaku sulit untuk memulai BAK, setiap BAK harus mengedan. Kencing yang keluar juga tersendat-sendat, pancaran aliran kencing lemah, dan pada akhir kencing ada yang menetes. OS juga merasa tidak puas setelah BAK, sehingga malam hari sering terbangun untuk kencing. Os mengaku setiap malam BAK sekitar 3-4 x. OS juga mengaku ada sakit di ujung penis tiap BAK. Os mengaku tidak pernah ada keluar seperti berpasir saat kencing dan BAK tidak pernah bercabang. Urin OS warna kuning teh. Nyeri perut bagian kanan bawah dan perut bawah dikeluhkan pasien. BAB lancar. Demam, penurunan berat badan, mual muntah, sakit pinggang tidak dikeluhkan pasien. 6 bulan SMRS, OS mengaku sudah pernah mengalami keluhan buang air kencing tidak lancar, tetapi tidak seberat sekarang, dan timbulnya perlahan-lahan sampai 2 minggu SMRS OS tidak bisa kencing, dan OS belum pernah berobat sebelumnya. Dari anamnesis yang didapatkan, diagnosis retensi urin et causa BPH berdasarkan: 1. Usia pasien, 61 tahun : merupakan faktor resiko. 2. Gejala obstruktif: 1. Sulit untuk memulai BAK (hesitancy) 2. Miksi terputus-putus (intermittency) 3. Pancaran miksi lemah (poor stream) 4. menetes pada akhir miksi (terminal dribbling) 5. merasa tidak puas setelah miksi (sensation of incomplete bladder emptying) 3. Gejala iritatif:

1. Nokturia 2. Nyeri pada waktu miksi (disuria)

Pemeriksaan fisik: Status urologis Regio suprapubik Penis darah Rektal Toucher Prostat teraba membesar > 60 mm , konsistensi kenyal, permukaan tidak berbenjol dan reguler, nyeri tekan (-), sulcus mediana tidak teraba, teraba pool atas Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan status urologis didapatkan nyeri tekan pada regio suprapubik yang menunjukkan adanya vesica urinaria yang penuh, selain itu pasien dipasang kateter untuk membantu pengeluaran urin. Terdapat ada sedikit gumpalan darah menunjukkan adanya infeksi saluran kemih/ vesica urinaria. Selain itu terdapat pembesaran prostat yang menjadi penyebab terjadi retensi urin dan infeksi. Dari hasil pemeriksaan colok dubur didapatkan prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan tidak berbenjol menunjukkan adanya pembesaran prostat akibat BPH Pemeriksaan laboratorium dan penunjang URINALISA Warna Kejernihan Protein Darah samar : Merah : sangat keruh : ++++ :+++++ : NT + : terpasang kateter 20 f 3 way, urin warna kuning ada sedikit gumpalan

SEDIMEN

Leukosit Eritrosit

: 15-20/ LPB : penuh

USG: terdapat pembesaran kelenjar prostat dengan curiga ke arah buli, dan kesan sistitis. PSA tinggi Dari hasil pemeriksaan urinalisa didapatkan makroskopik warna urin merah dan terdapat darah samar, mikroskopik eritrosit penuh menunjukkan adanya hematuria, leukosituria yang penyebab nya bisa karena adanya infeksi pada saluran kemih/ vesica urinaria. Dari hasil USG didapatkan adanya kesan sistitis dan pembesaran kelenjar prostat. Hal ini dapat mendukung diagnosis adanya sistitis pada pasien PSA 19, 3 menunjukkan angka yang tinggi yang menjadikan DD suspek adanya ca prostat Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang diberikan adalah: Kateterisasi urethra dengan kateter 20 f 3 way, irigasi NaCl 60 tts/menit, spooling kateter bila macet RL 500 cc/12 jam Ceftriaxone disodium inj 1x1 gr Tranexamic acid inj 3x500 mg Ketoprofen 1x1 Saw Palmetto Extract1x1 lutein, lycopene, vitamin E, vitamin C, Zn, beta carotene, selenium yeast 1x1

BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA

I. LATAR BELAKANG Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO).

Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam

proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi selsel

kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor- faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang

berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik

growth factor dikenal sebagai faktor intrinsik yang menyebabkan

hiperplasia kelenjar prostat. Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian dokter di daerah terpencilpun diharapkan dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya. Penyusunan guidelines di berbagai negara maju ternyata berguna bagi para dokter maupun spesialis urologi dalam menangani kasus BPH dengan benar. II. ANATOMI Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus (kerucut) terbalik yang dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesica urinaria, mengelilingi bagian proksimal urethrae (uretrae pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknyasebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm. Basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica urinaria, otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ lain. Urethrae masuk bagian tengah dari basis prostat. Apex prostat menghadap ke arah diafragma urogenitalia. Urethrae meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior. Pada bagian anterior digantung oleh ligamen puboprostatika yang melekatkan prostat pada simfisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat vesikula seminalis, vas deferen, fasia denovilliers dan rectum. Fasia denovilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum. Fasia ini cukup keras dan dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, dimasuki oleh ductus ejaculatorius yang

berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum didasar urethrae prostatika persis di bagian proksimal spingter eksterna. Pada permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna, sedangkan dibagian inferior terdapat diafragma urogenitalis yang dibentuk oleh lapisan kuat fasia pelvis dan perineal membungkus otot levator ani yang tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih sedikit dan fasia lebih tipis. Prostat terdiri atas kelenjar 50 % dan jaringan ikat fibromuskular (25 % myofibril otot polos dan 25 % jaringan ikat) jaringan fibromuscular ini tertanam mengelilingi prostat dan berkontraksi selama proses ejakulasi untuk mengeluarkan sekresi prostat ke dalam urethrae. Kelenjar prostat adalah modifikasi bagian dinding urethrae.

Jaringan kelenjar membentuk tiga buah gugusan konsentris, dibedakan oleh lokasi duktus masing-masing ke dalam urethra, perbedaan lesi patologinya dan pada beberapa kasus berdasarkan embryologinya, yaitu: 1. Gugusan mucosal (Zona Transisional) Sekitar 5 % dari volume prostat, yang terletak paling profunda dengan saluran keluarnya yang bermuara ke dalam urthrae di sebelah cranial dari colliculus seminalis. BPH umumnya muncul dari zona ini. BPH awalnya merupakan mikronodul kemudian berkembang membentuk makronodul disekitar tepi inferior dari urethrae preprostatik tepat diatas verumontanum. Makronodul ini selanjutnya menekan jaringan normal sekitarnya pada posteroinferior zona perifer dengam membentuk kapsul palsu disekitar jaringan hyperplasia. Perkembangan zona transisi ini menghasilkan gambaran lobus pada sisi atas urethrae, lobus ini pada saatnya akan menekan urethrae pars prostatic dan preprostatik untuk menimbulkan gejala. Sekitar 20 % dari adenocarcinoma terjadi pada zona ini. 2. Gugusan submucosal (Zona Central) terletak dibagian intermedia, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular, dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-buli. Saluran-salurannya bermuara pada uretrae pars prostatika bagian distal. Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong yang berisikan segmen urethrae proksimal dan bagian ventralnya tidak lengkap tertutup melainkan dihubungkan oleh stroma fibromuskular. 3. Gugusan utama (Zona perifer) Bentuk besar sekitar 70 % dari volume prostat dan membungkus kedua gugusan lainnya kecuali bagian depan, dihubungkan satu sama lain oleh isthmus prostat ( serabut otot polos) yang tidak bersifat kelenjar. Gugusan ini mempunyai saluran keluar yang bermuara ke dalam sinus prostatius sepanjang tempat masuk urethrae pars prostatika. Sekitar 70 % kanker prostat timbul pada zona ini dan umumnya disebabkan oleh prostatitis kronik. Lebih dari 1/3 massa prostat mengandung stroma fibromuscular anterior non glandullar. Bagian ini normalnya terbentang antara collum vesica urinaria sampai spinkter striata, meskipun kemungkinan

bagian ini dapat digantikan oleh jaringan kelenjar pada pembesaran adenoma prostat. Bagian ini juga secara langsung bersambung dengan capsul prostat, fascia viseral anterior dan bagian anterior spinkter preprostatik yang terdiri dari elastin, kolagen dan otot polos yang jarang diinvasi oleh karsinoma Prostat terbagi dalam beberapa lobus. Secara klinis prostat membentuk lima buah lobus, yaitu dua buah lobus lateralis, sebuah lobus medius, anterior dan posterior. Kedua lobus lateralis dibagi oleh sulcus sentralis yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan colok dubur dan dihubungkan satu sama lain disebelah ventral urethra oleh isthmus prostatae, yang tidak tampak dari luar. Lobus lateralis merupakan pembentuk massa prostat yang utama. III. ETIOLOGI Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah: 1.Teori Hormonal Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Dengan bantuan enzim aromatase, sifat estrogen akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogen yang berperan untuk pembentuka stroma. Kemungkinan lain ialah adanya perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan pembesaran prostat. Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofisis akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertolli. Dilihat dari fungsional histologis,

prostat terdiri dari 2 bagian yaitu sentral sekitar urethra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen. 2. Teori growth factor Peranan dari growth factor adalah sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat dibawah pengaruh androgen. Terdapat empat peptic growth factor yaitu basic transforming growth factor, transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor b (TGF- b) akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat. 3. 4. Teori peningkatan lama hidup sel sel prostat karena berkurangnya sel yang mati Teori stem cell Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periurethral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state antara pertumbuhan sel dan sel yang mat, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferas9. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periurethral prostat menjadi berlebihan 5. Teori Dehidrotestosteron DHT dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90 %) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98 % akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2 % dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, didalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alphareductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang merangang pertumbuhan kelenjar prostat.

IV. PATOFISIOLOGI

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupahipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuhke dalam gagal ginja. .Hiperplasia prostat

Penyempitan lumen uretra posterior Tekanan intravesikal

Buli-buli Ginjal dan Ureter Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter Trabekulasi - Hidroureter Selula - Hidronefrosis Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis

Gagal ginjal Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan denganadanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi

otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.

V. GEJALA KLINIK

Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar saluran kemih. 1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah : 1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy) 2. Pancaran miksi yang lemah (weak stream) 3. Miksi terputus (Intermittency) 4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling) 5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor, yaitu : 1. Volume kelenjar periuretral 2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat 3. Kekuatan kontraksi otot detrusor Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehinggameskipun volume kelenjar periurethral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan dayakontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat

menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.Gejalanya ialah : 1. 2. 3. 4. Bertambahnya frekuensi miksi (frequency) Nokturia Miksi sulit ditahan (urgency) Nyeri pada waktu miksi (disuria)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi : Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 m Grade III: Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150ml Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yangmenyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu: -Ringan : skor 0-7 -Sedang : skor 8-19 - Berat : skor 20-35 Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut. Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa faktor pencetus, antara lain:

Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang berlebihan

Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain: golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.

2. Gejala pada saluran kemih bagiann atas Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis)., atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis. 3. Gejala di luar saluran kemih Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.

VI.

DIAGNOSIS

a. Anamnesis Gejala obstruktif dan gejala iritatif b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan : 1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensi kenyal) 2. Adakah asimetris 3. Adakah nodul pada prostat 4. Apakah batas atas dapat diraba 5. Sulcus mediana prostat
6. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan dankiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadiretensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretraanterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.

c. Urinalisis Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miks, diantaranya karsinoma buli- buli in situ atau striktur urethrae, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaat karena sering kali telah ada leukosituria maupun eritrosituria akibat pemasangan kateter. D. Pemeriksaan Fungsi Ginjal Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.

E. Prostat Spesific Antigen PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Sesuai yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA meningkat pada saat retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah o 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml o 50-59 tahun: 0-3,5 ng/ml o 60-69 tahun: 0-4,5 ng/ml o 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat. Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya.

F. Catatan harian miksi (voiding diaries) Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas detrusor. G. Uroflometri Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor. Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut: Qmax < 10 ml/detik 90% BOO Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO Qmax >15 ml/detik 30% BOO Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik. Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut Steele et al (2000) kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya BOO. Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume urine >150 mL dan

diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan BOO diukur beberapa kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et al (1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada tidaknya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali

h. Pemeriksaan residual urine Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam bulibuli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 ml. Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melaku-kan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia. Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna. Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih. Namun, bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi. Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak, demikian pula pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal.

I. Pencitraan traktus urinarius Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya: (a) kelainan pada saluran kemih bagian atas, (b) divertikel atau selule pada buli-buli, (c) batu pada buli-buli, (d) perkiraan volume residual urine, (e) perkiraan besarnya prostat. Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata bahwa 7075% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas, sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan adanya: (a) hematuria, (b) infeksi saluran kemih, (c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG), (d) riwayat urolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia. Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan. Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak menjalani terapi: (a) inhibitor 5-reduktase, (b) termoterapi, (c) pemasangan stent, (d) TUIP atau (e) prostatektomi terbuka. Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun transrektal (TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya karsinoma prostat

J. Uretrosistoskopi Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan bulibuli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH.

Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi pada bulibuli.

K. Pemeriksaan urodinamika Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan uro-dinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH bergejala. Meskipun merupakan pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pembedahan. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan urodinamika pada BPH adalah: berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine>300 mL, Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.

VII. PENATALAKSANAAN 1. Watchful waiting Pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakit dan keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Ditujukan untuk pasien dengan gejala ringan atau sedang dengan keluhan yang tidak mengganggu (IPSS7) dan pasien yang menolak terapi medikamentosa. Pasien hanya diberikan petunjuk, di antaranya adalah: o Hindari obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya serangan LUTS atau retensi urine akut o Batasi minum yang menyebabkan diuresis, terutama pada malam hari o Diperbanyak melakukan aktivitas fisik.

Setiap 6 bulan dilakukan evaluasi, dan jika tidak ada kemajuan selama terapi atau keluhan bertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberian terapi medikamentosa.

2. Medikamentosa. Ditujukan untuk pasien dengan keluhan sedang (IPSS 8-19) hingga berat (20-35) atau pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah watchful waiting. Pilihan pertama adalah antagonis adrenergik(doksazosin, terazosin, atau tamsulosin), kemudian pilihan kedua adalah inhibitor 5 reduktase. Inhibitor 5 reduktase dipilih pada volume prostat yang cukup besar (>40 gram) sehingga diperlukan pemeriksaan besarnya prostat. Evaluasi untuk mengetahui keberhasilan terapi dan efek samping obat perlu dilakukan untuk menentukan perlu tidaknya pemberian obat dilanjutkan atau diganti dengan metode lain. Untuk itu diperlukan waktu 2-4 minggu jika diberikan terapi antagonis adrenergik- dan paling sedikit 3 bulan pada pemakaian inhibitor 5 reduktase. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi medikamentosa atau terjadi efek samping yang tidak diinginkan, pasien dirujuk ke spesialis urologi guna mendapatkan terapi intervensi. 3. Intervensi. Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternatif. Termasuk ablasi jaringan prostat adalah: pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi. Sedangkan teknik instrumentasi alternatif adalah interstitial laser coagulation, TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra. Pembedahan Mungkin sampai saat ini solusi terbaik pada BPH yang telah mengganggu adalah pembedahan, yakni mengangkat bagian kelenjar prostat yang menyebabkan obstruksi. Cara ini memberikan perbaikan skor IPSS dan secara obyektif meningkatkan laju pancaran urine. Hanya saja pembedahan ini dapat menimbulkan berbagai macam penyulit pada saat operasi maupun pasca bedah. Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya adalah: (1) retensi urine karena BPO, (2) infeksi saluran kemih berulang karena BPO, (3) hematuria makroskopik karena BPE, (4) batu buli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal yang disebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum bulibuli yang cukup besar karena BPO. Guidelines di beberapa negara jugamenyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada BPH yang telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa. Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat transuretra.

Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan transvesikal yang mula-mula diperkenalkan oleh Hryntschack dan pendekatan retropubik yang dipopulerkan oleh Millin. Pendekatan transvesika hingga saat ini sering dipakai pada BPH yang cukup besar disertai dengan batu buli-buli multipel, divertikula yang besar, dan hernia inguinalis. Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat volumenya diperkirakan lebih dari 80-100 cm. Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka menimbulkan komplikasi striktura uretra dan inkontinensia urine yang lebih sering dibandingkan dengan TURP ataupun TUIP. Prosedur TURP merupakan 90% dari semua tindakan pembedahan prostat pada pasien BPH. Menurut Wasson et al (1995) pada pasien dengan keluhan derajat sedang, TURP lebih bermanfaat daripada watchful waiting. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memper-baiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Komplikasi dini yang terjadi pada saat operasi sebanyak 18-23%, dan yang paling sering adalah perdarahan sehingga membutuhkan transfusi. Timbulnya penyulit biasanya pada reseksi prostat yang beratnya lebih dari 45 gram, usia lebih dari 80 tahun, ASA II-IV, dan lama reseksi lebih dari 90 menit. Sindroma TUR terjadi kurang dari 1%. Penyulit yang timbul di kemudian hari adalah: inkontinensia stress <1% maupun inkontinensia urge 1,5%, striktura uretra 0,5-6,3%, kontraktur leher buli-buli yang lebih sering terjadi pada prostat yang berukuran kecil 0,9-3,2%, dan disfungsi ereksi. Angka kematian akibat TURP pada 30 hari pertama adalah 0,4% pada pasien kelompok usia 65-69 tahun dan 1,9% pada kelompok usia 80-84 tahun. Dengan teknik operasi yang baik dan manajemen perioperatif (termasuk anestesi) yang lebih baik pada dekade terakhir, angka morbiditas, mortalitas, dan jumlah pemberian transfusi berangsur-angsur menurun. TUIP atau insisi leher buli-buli (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 cm3), tidak dijumpai pembesaran lobus medius, dan tidak diketemukan adanya kecurigaan karsinoma prostat. Teknik ini dipopulerkan oleh Orandi pada tahun 1973, dengan melakukan mono insisi atau bilateral insisi mempergunakan pisau Colling mulai dari muara ureter, leher buli-bulisampai ke verumontanum. Insisi diperdalam hingga kapsula prostat. Waktu yang dibutuhkan lebih cepat, dan lebih sedikit menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan TURP. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB. Hiperplasia prostat: Dasar- dasar Urologi. 3th ed. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69-85 2. Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Available:

http://www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf 3. Deters LA. Benign Prostatic Hypertrophy. Available: http://

emedicine.medscape.com/article/437359-overview

4. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of Benign Prostat Hyperplasia. In: Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell's urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998. p1429-52 5. Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. Robbins Basic Pathology. Philadhelphia: Elsevier; 2007.p699-700 6. McConnell. Guidelines for diagnosis and management of BPH. Available:
http://www.urohealth.org/bph/specialist/future/chp43.asp

7. Ramsey EW, Elhilali M, Goldenberg SL, Nickel CJ, Norman R, Perreault JP et al. Practice patterns of Canadian urologist in BPH and prostate cancer. J Urol 163: 499502, 2000 Kirby RS, Christmas TJ. Benign prostatic hyperplasia, 2nd edition. Mosby Int, 1997.

Anda mungkin juga menyukai