Anda di halaman 1dari 25

BAB I PENDAHULUAN

Demam dengue dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan dirongga tubuh.1 Demam berdarah dengue disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Terdapat 4 jenis serotipe virus dengue, yaitu ; DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.3 World Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 2,5 miliar orang di 100 negara endemik DBD dalam, mentransmisikan virus dengue sehingga 50 juta infeksi terjadi setiap tahun dengan 500.000 kasus demam berdarah dengue dan 22.000 kematian berasal dari kalangan anak-anak.9 Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007, menyatakan bahwa prevalensi nasional demam berdarah dengue (berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan responden) adalah 0,62%. Sebanyak 12 provinsi mempunyai prevalensi demam berdarah dengue diatas prevalensi nasional, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Bengkulu, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan gejala umum berupa demam, nyeri otot/sendi, ruam, hepatomegali, tanda perembesan plama (asites, efusi pleura) dan ditemukannya trombositopenia serta peningkatan hematokrit pada pemeriksaan laboratorium. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. Aegypti dan A. albopictus).1 B. Epidemiologi Sebanyak 1,8 milliar (lebih dari 70%) dari populasi di seluruh dunia yang tinggal di negara-negara anggota dari WHO, Asia Tenggara, dan Pasifik wilayah Barat berisiko terkena demam berdarah dengue dan hampir 75% dari beban penyakit global akibat demam berdarah dengue.2 Demam berdarah adalah masalah kesehatan terbesar di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste yang berada di zona khatulistiwa dan musim tropis. Aedes aegypti tersebar luas di perkotaan dan pedesaan, serotipe virus beredar dan demam berdarah adalah penyebab utama rawat inap dan kematian pada anak-anak. Lebih dari 35% dari penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (rekor tertinggi) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat.2 Peningkatan kasus demam berdarah setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat peindukan bagi nyamuk betina, yaitu bejana yang berisi air jernih. Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue, yaitu1: 1. Vektor; perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, dan ruang gerak vektor dari satu tempat ke tempat lain. 2. Pejamu; adanya penderita di lingkungan sekitar, paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.

3. Lingkungan; curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk. C. Etiologi Virus Virus dengue (DEN) adalah virus RNA kecil beruntai tunggal yang terdiri dari empat serotipe yang berbeda (DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4). Virus ini terkait erat serotipe virus dengue memiliki genus flavivirus, dan famili flaviviridae.3 Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.2 Di Asia genotipe DEN 2 dan DEN 3 sering terkait dengan penyakit berat yang menyertai infeksi dengue sekunder.2

Gambar : Struktur Virus Dengue


Sumber : M. Z. Fanani, 2011

Partikel matur dari virus dengue berbentuk bulat dengan diameter 50 nm yang mengandung beberapa isi dari tiga protein struktural yang berasal dari host, membran tunggal dan bilayer genom RNA beruntai tunggal.2

Panjang genom virus 11 kb dan genom dengan urutan yang lengkap berguna untuk isolasi dari keempat serotipe virus dengue.4 Virus DEN virionnya tersusun oleh suatu untaian genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu envelope (selubung) dari lipid yang mengandung 2 protein, yaitu selubung protein (E) dan protein membran (M). Genom RNA virus Dengue mengkode tiga protein struktural, kapsid (C),

membran (M), dan selubung (E) serta tujuh protein nonstruktural, yaitu NS1, NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5.5 Vektor Berbagai serotipe virus dengue ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi. Selain itu, nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini walaupun merupakan vektor yang kurang berperan.2 Nyamuk Aedes aegypti termasuk spesies tropis dan subtropis yang di distribusikan secara luas di seluruh dunia, terutama di antara garis Lintang 350 Lintang Utara dan 350 Lintang Selatan. Aedes aegypti telah ditemukan sejauh 450 lintang utara, dan nyamuk tidak bertahan di musim dingin. Karena suhu yang lebih rendah, Aedes aegypti relatif jarang ditemukan di atas ketinggian 1000 meter.2 Aedes aegypti berasal dari Afrika, yang merupakan spesies liar dari hutan independent yang berasal di Afrika. Aedes aegypti adalah spesies yang antropofilik, pengumpan saraf (menggigit lebih dari satu host untuk yang

menyeleseikan satu kali makan darah), dan merupakan spesies

membutuhkan lebih dari satu umpan untuk penyelesaian siklus gonotropic. Kebiasaan ini mempengaruhi epidemiologis di kota yang mengakibatkan generasi beberapa kasus dan pengelompokan kasus demam berdarah di kota.6 Sedangkan dalam beberapa dekade terakhir Aedes albopictus telah menyebar dari Asia ke Afrika, Amerika dan Eropa. Aedes albopictus merupakan pengumpan yang agresif dan spesies sesuai, yaitu spesies yang dapat menyeleseikan makan darah dalam sekali perjalanan pada satu orang dan juga tidak memerlukan kedua darah makan untuk penyeleseian siklus gonotropic. Oleh karena itu, Aedes albopictus membawa vectorial dengan kapasitas sedikit dalam siklus epidemi perkotaan.6

Host Setelah masa inkubasi 4-10 hari, infeksi salah satu virus dari empat serotipe dapat menghasilkan spektrum yang luas dari penyakit, walaupun infeksi tanpa gejala atau subklinis. Infeksi primer menyebabkan kekebalan perlindungan seumur hidup terhadap infeksi serotipe. Individu yang terkena infeksi akan dilindungi dari penyakit dengan serotipe yang berbeda dalam 2-3 bulan infeksi primer tetapi tanpa kekebalan jangka panjang.2 Faktor-faktor risiko yang menentukan derajat keparahan penyakit yaitu infeksi sekunder, usia, etnis, dan mungkin penyakit kronis (asma, anemia sel sabit, dan diabetes melitus). Pada usia anak, kurang mampu mengkompensasi kebocoran kapiler sehingga dapat berisiko besar menjadi sindrom syok dengue.2 Virus dengue memasuki tubuh manusia melalui proses gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah nyamuk menggigit manusia disusul oleh periode tenang kurang lebih 4 hari, virus melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh manusia, virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia) apabila jumlah virus sudah cukup, dan manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala demam. Penularan dari manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul. Tubuh memberi reaksi setelah adanya virus dengue dalam tubuh manusia. Bentuk reaksi terhadap virus antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda dan memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis dan perjalanan penyakit. Penularan Virus Dengue Manusia adalah host utama dari virus. Virus dengue yang beredar dalam sirkulasi darah manusia yang ditularkan oleh nyamuk betina yang terinfeksi. Virus ini kemudian menginfeksi usus nyamuk dan kemudian menyebar secara sistemik selama periode 8-12 hari yang selanjutnya siap ditularkan kembali kepada manusia lainnya. Masa inkubasi ekstrinsik dipengaruhi sebagian oleh kondisi lingkungan, terutama suhu lingkungan. Aedes agypti adalah salah satu vektor yang paling efisien untuk arbovirus karena sangat antropofilik dan selalu berada di dekat manusia.2

D. Patogenesis Patogenesis demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom syok dengue (SSD) masih merupakan masalah yang kontroversial karena sejauh ini belum ada teori yang menjelaskan secara tuntas patogenesis DBD. Secara garis besar ada dua teori yang banyak dianut untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent enhancement (ADE).5 Teori infeksi sekunder, menyebutkan bahwa apabila seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai antibodi yang dapat menetralisasi yang sama (homologous). Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Pada infeksi selanjutnya, antibodi heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda, namun tidak dapat dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius.5 Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau virus lain) karena adanya non-netralising antibodi maka partikel virus DEN dan molekul antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi. Ikatan antara kompleks tersebut dengan reseptor Fc pada sel melalui bagian Fc IgG menimbulkan peningkatan (enhancement) infeksi virus DEN. Kompleks virusantibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi. Makrofag akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6, dan TNF- dan juga platelet activating factor (PAF). Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat dinetralisasi tetapi bebas bereplikasi di dalam makrofag.5 TNF- yang terangsang IFN maupun makrofag teraktivasi antigen antibodi kompleks. Kompleks ini akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. Hal tersebut akan mengakibatkan syok.2

Patogenesis terrjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection, sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada pasien, mengakibatkan terbentuknya komplek virus - antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen, agregasi trombosit, dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.5

Gambar : Patogenesis DBD


Sumber : Soegeng Soegijanto, 2008

Teori Infection Enhancing Antibody berdasarkan pada peran sel fagosit mononuklear merangsang terbentuknya antibodi non - netralisasi. Antigen dengue lebih banyak didapat pada sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada kejadian ini antibodi non - netralisasi berupaya melekat pada sekeliling permukaan sel makrofag yang beredar dan tidak melekat pada sel makrofag yang menetap di jaringan. Makrofag yang dilekati antibodi non - netralisasi, akan memiliki sifat opsonisasi, internalisasi, dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Makrofag yang terinfeksi akan menjadi aktif dan akan melepaskan sitokin yang

memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi diantaranya IL-1, IL-6, dan TNF- juga Platelet Activating Factor (PAF). Bahan - bahan mediator tersebut akan memengaruhi sel sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.5

Gigitan Nyamuk

Virus melekat pada reseptor monosit


Mekanisme aferen

Mekanisme eferen

Monosit terinfeksi Sitokin

Hati, limpa, usus, sum sum tulang Viremia

Komplemen

Tromboplastin

Mediator Kimiawi

Permeabilitas Kapiler

Aktivasi sistem koagulasi

Gambar : Teori Enhancing Antibody


Sumber : Soegeng Soegijanto, 2008

Selain kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain tentang patogenesis DBD diantaranya, adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe virus dengue DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Semuanya dapat ditemukan pada kasus yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.5 Teori antigen-antibodi, menjelaskan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan kadar C3, C4, dan C5. Empat puluh delapan sampai tujuh puluh dua persen penderita DBD terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue, selanjutnya kompleks imun tersebut dapat menempel pada trombosit, sel B, dan sel dalam organ tubuh lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut akan memengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain.5
8

Teori mediator, menjelaskan bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-2, TNF-, dan lain-lain. Diperkirakan mediator dan endotoksin bertanggung jawab atas terjadinya syok septik, demam, dan peningkatan permeabilitas kapiler.5

E. Manifestasi Klinis Terdapat 4 gejala utama penyakit DBD, yaitu demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Gejala lain adalah perasaan tidak enak di daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkung iga kanan, atau kadang-kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut.1 Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis, dan fase pemulihan.2 1. Fase febris. Biasanya demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, faring hiperemis, injeksi konjungtiva, anoreksia, mual, dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie, perdarahan mukosa, dan dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal walaupun jarang. Hepatomegali timbul saat beberapa hari setelah demam. 2. Fase kritis. Terjadi pada hari ke 3-7 dengan penurunan suhu tubuh menjadi 37,5-380C atau kurang, disertai peningkatan permeabilitas kapiler secara paralel dengan hematokrit menigkat, merupakan tanda awal fase kritis. Timbulnya kebocoran plasma biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites secara klnis terdeteksi tergantung pada tingkat kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto dada dan USG abdomen sangat berguna untuk

penegakan diagnosis. Tingkat kenaikan hematokrit juga merupakan dasar yang menggambarkan tingkat keparahan kebocoran plasma. Syok dapat terjadi ketika volume plasma menghilang melalui kebocoran plasma, hal ini sering ditandai dengan suhu tubuh di bawah normal. Dengan syok berkepanjangan akan menyebabkan hipoperfusi organ, penurunan nilai organ, asidosis metabolik, dan koagulasi intravaskular diseminata. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang parah dan hematokrit menjadi turun saat syok berat. Selain itu, penurunan fungsi organ yang berat seperti hepatitis, ensefalitis atau miokarditis, dan atau perdarahan berat juga dapat berkembang tanpa kebocoran plasma atau syok. 3. Fase pemulihan. Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil, dan diuresis membaik. Beberapa pasien mungkin memiliki rash, pruritus, bradikardi, dan perubahan pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek pengenceran dari reabsorpsi cairan. Jumlah sel darah putih akan naik segera setelah suhu normal dibandingkan jumlah trombosit. Gangguan pernapasan dari efusi pleura dan asites akan terjadi bila pemberian cairan intravena yang berlebihan. Selama fase kritis atau fase pemulihan, terapi cairan yang berlebihan berhubungan dengan edema paru dan gagal jantung kongestif.

Gambar : Fase perjalanan klinis DBD


Sumber : WHO, 2009

10

F. Diagnosis Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi 1: Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut: Uji bendung positif Petekie, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa Hematemesis/melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul) Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma (plasma leakage) sebagai berikut: Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai usia dan jenis kelamin Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya Efusi pleura, asites, dan hipoproteinemia

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD.4 Kelainan hematologis lain yaitu waktu perdarahan memanjang, kadar protombin menurun (jarang ditemukan < 40% kontrol), kadar fibrinogen mungkin subnormal dan produk-produk pecahan fibrin naik, kenaikan kadar transaminase serum, konsumsi komplemen, asidosis metabolik ringan dengan hiponatremia, dan kadang-kadang hipokloremia, sedikit kenaikan urea nitrogen serum, dan hipoalbuminemia. Pada foto thorax menunjukkan efusi pleura pada hampir semua penderita.7 Asites dan efusi pleura dapat juga diperiksa dengan USG.1 Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue cell culture ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR, namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibodi

11

spesifik terhadap dengue berupa anibodi total, IgM maupun IgG lebih banyak. Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain 1: Leukosit; dapat normal atau menurun. Trombosit; umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8. Hematokrit; peningkatan hematokrit >20% nilai normal

menandakan adanya kebocoran plasma. Peningkatan mulai terlihat pada hari ke-3 demam. Hemostasis; dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, Ddimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. SGOT/SGPT dapat meningkat. Ureum, kreatinin; bila didapatkan gangguan fungsi ginjal. Elektrolit; sebagai pemantauan pemberian cairan. Golongan darah dan cross match; bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah. Imunoserologi; IgM mulai terdeteksi di hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke 14, dan pada infeksi sekunder muai terdeteksi pada hari ke 2. Uji HI; dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang perawatan, uji ini dilakukan untuk kepentingan surveilans. Uji NS 1; Antigen NS 1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke delapan. Sensitifitasnya berkisar antara 6393,4% dengan spesifitas 100%. Pasien DBD bisa mengalami syok setelah demam berlangsung selama beberapa hari, ditandai dengan seluruh kriteria WHO untuk DBD disertai dengan kegagalan sirkulasi dan keadaan umum yang makin memburuk. Manifestasi kegagalan sirkulasi yang timbul adalah nadi cepat dan lemah, tekanan darah turun 20 mmHg dibandingkan standar sesuai umur dan tekanan sistolik menurun

12

sampai 80 mmHG atau kurang, kulit dingin dan pucat, lesu dan gelisah. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok timbul.8 G. Klasifikasi Derajat DBD Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi) 1: Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya menifestasi perdarahan ialah uji bendung. Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah. Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.11 H. Komplikasi Komplikasi pada DHF biasanya terjadi akibat syok berkepanjangan yang mengakibatkan asidosis metabolik dan perdarahan hebat akibat KID dan disfungsi multiorganik seperti disfungsi hati dan ginjal. Pemberian cairan yang terlalu berlebihan pada fase kebocoran plasma juga bisa mengakibatkan efusi masif. Pemberian cairan yang dilanjutkan setelah fase kebocoran plasma terlewati akan menyebabkan edem paru akut dan gagal jantung. Gangguan metabolik dan elektrolit seperti hipoglikemia, hiponatremia, hipokalemia, dapat terjadi pada syok berkepanjangan dan pemberian cairan yang berlebihan yang akan mengakibatkan manifestasi klinis yang tidak biasa seperti ensefalopati.6 Ada beberapa pasien yang beresiko lebih tinggi untuk mengalami gejala yang lebih berat dan komplikasi, yaitu 6:

13

infant dan lansia orang dengan obesitas wanita hamil pasien dengan ulkus peptikum wanita yang sedang menstruasi atau perdarahan vagina abnormal penyakit hemolisis seperti defisiensi G-6PD, thalasemia, dan penyakit hemoglobinopati lain

penyakit kronik seperti DM, hipertensi, asthma, CKD, sirosis dan penyakit jantung iskemik

pasien yang sedang dalam terapi steroid atau NSAID

I. Tata Laksana Tata laksana bersifat simptomatik dan suportif. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk mengatasi demam. Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, larutan gula garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien mulai terlihat tanda - tanda dehidrasi pemberian cairan oral dapat diberikan untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak dapat minum, muntah, atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.3 Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa. Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok 1 Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama

pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

14

Seseorang yang tersangka menderita DBD diruang Gawat Darurat dilakukan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila : Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalasi Gawat Darurat. Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.00 dianjurkan untuk dirawat. Hb. Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Gambar : Observasi dan pemberian cairan suspek DBD dewasa tanpa renjatan di Unit Gawat Darurat.

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat 1 Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini : Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut : 1500 + {20 x (BB dalam kg 20)} Contoh volume rumatan BB 55 kg : 1500 + {20 x (55 20)} = 2200 ml. Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, tiap 24 jam :

15

Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12 jam.

Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.

Gambar : Pemberian cairan pada suspek DBD dewasa di ruang rawat Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20% 1 Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang di tandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgbb/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 -48 jam kemudian.

16

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus 10 ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan di dapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditanganu sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

Gambar : Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20% Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa 1

17

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 -5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya di ulang setiap 4 6 jam. Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris di dapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahn spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Gambar : Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD Dewasa

18

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa 1 Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hulang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 4 liter/menit. Pemeriksaan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium, dan klorida, serta ureum dan kreatinin. Pada fase awal, cairan diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan di evaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, di tandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi). Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam pemberian). Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan

19

darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung, dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemaglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit. Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat di tingkatkan menjadi 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesaan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat di ulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml.kgBB dan dievaluasi setelah 10 -30 menit. Bila keadaan tetap belum teatasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 l/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

20

Gambar : Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Kriteria Memulangkan Pasien Pasien dapat dipulangkan apabila, memenuhi semua keadaan di bawah ini : 1. Tampak perbaikan secara klinis 2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 3. Nafsu makan membaik 4. Hematokrit stabil 5. Tiga hari setelah syok teratasi. 6. Jumlah trombosit >50.000/l 7. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) 8. Urin output baik

I. Pencegahan Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan cara 3M Plus yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa hal seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida,
21

menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain. 1

22

BAB III KESIMPULAN

Demam dengue dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan 4 gejala utama, yaitu demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Gejala lain adalah perasaan tidak enak di daerah epigastrium, nyeri di bawah lengkung iga kanan, atau kadang-kadang nyeri perut dapat dirasakan di seluruh perut. Kriteria klinis demam dan manifestasi perdarahan ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD. Tatalaksana DBD adalah simptomatik dan suportif. Selama demam dianjurkan untuk istirahat dan tirah baring. Antipiretik diberikan jika diperlukan. Jika intake pasien masih adekuat disarankan asupan cairan per oral yang adekuat dan disupport dengan pemberian secara parenteral. Pencegahan terhadap DBD bisa dilakukan dengan memodifikasi lingkungan, pemberantasan vektor dan perlindungan diri dari gigitan nyamuk.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2010 2. World Health Organization and the Special Programme for Research and Training in Tropical Disease. Dengue guidlines for diagnosis, treatment, prevention and control. New edition. World Health Organization; 2009.h.1-86. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tata laksana klinis infeksi dengue sarana pelayanan kesehatan. Departemen Kesehatan. Jakarta; 2005.h. 25-43. 4. WHO. Dengue hemorrhagic fever : diagnosis, treatment, prevention, and control. Geneva; 1997.h.1-66. 5. Soegijanto S. Demam berdarah dengue. Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press; 2008.h.45-132. 6. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. World Health Organization. SEARO; 2011 7. Behrman RE, Kliegman RM, dan Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15 Vol 2. Jakarta: EGC; 2000.h.1134-35. 8. Sungkar, Saleh. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia; 2002 9. World Health Organization.Global Alert and Response (GAR), Impact of Dengue. Diunduh dari website :

http://www.who.int/csr/disease/dengue/impact/en/. Diakses tanggal 27 Desember 2012. 10. Laporan Nasisonal Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan. Jakarta; 2007.

24

25

Anda mungkin juga menyukai