Anda di halaman 1dari 3

Tahukah kamu tentang Pusat Pengolahan Sampah (PPS) di ITB?

Our environment, the world in which we live and work, is a mirror of our attitudes and expectations ~Earl Nightingale~ Sebagai salah satu kampus teknologi dengan belasan ribu penghuninya, ITB tak kalahnya dengan kota Bandung memiliki rentetan masalah klasik yang belum dikelola dengan baik. Salah satu yang hangat menjadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini ialah masalah sampah. Pada tahun 2011, jumlah mahasiswa ITB tercatat sebanyak 19.440 di lahan seluas 770.000 m2. Laju penumpukan sampah di ITB dapat berfluktuasi tergantung dari aktivitas, kegiatan, dan faktor lainnya. Namun perhitungan secara umum dapat dilihat pada ilustrasi berikut.
Kendaraan Roda Kecil

Pengangkutan 2x dengan total 14 m3/hari


154 m3/ hari

+ 8000 m3/ tahun

Sampah ITB total 22 m3/hari =


Kendaraan Roda Tiga

Pengangkutan 1x dengan total 2 m3/hari

Sampah membusuk Sampah tidak membusuk

Kendaraan Pickup/ Kontainer

Pengangkutan 1x dengan total 6 m3/hari

Sumber : Sarana dan Prasarana ITB dengan Ilustrasi Dari gambar tersebut, produksi sampah keseluruhan kampus ITB per harinya terhitung sebesar 22 m3/ hari. Jumlah ini didasarkan pada perhitungan pengangkutan sampah rata-rata setiap harinya. Akumulasi mingguan dengan jumlah yang sama akan menghasilkan laju produksi sampah sebesar 154 m3/hari. Dengan jumlah sebanyak itu, ITB sejak tahun 2005 mengolah sampahnya secara mandiri untuk mengurangi limbah yang akan dilimpahkan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kota Bandung. Lokasi PPS ITB terletak di areal Sabuga bagian barat. Dari kedua jenis sampah yang dihasilkan (membusuk dan tidak membusuk), pengolahannya dibagi menjadi sebagai berikut. Sampah Membusuk

Sampah membusuk diolah menjadi kompos untuk keperluan domestik ITB. Kompos ini diolah di tempat PPS Sabuga dengan bantuan mikroorganisme. Produk komersial bernama Kompos Ganesha.

Sampah Tidak Membusuk

Sampah tidak membusuk yang sudah sedikit kadar airnya dapat direduksi volumenya dengan pembakaran secara langsung (direct combustion). Alat pembakaran yang digunakan ialah incinerator, dengan produk sisa berupa abu. Abu sisa pembakaran pernah dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan batu bata, namun sekarang sudah dihentikan. Seiring dengan keberjalanan PPS ITB yang berada di Sabuga, terdapat beberapa kendala yang memperlambat proses pengolahan sampah di ITB, yaitu : Bercampurnya sampah membusuk dan sampah tidak membusuk di tempat pengangkutan sampah awal (hulu) menyulitkan pemilahan sampah di bagian akhir (hilir). Oleh karena sampah membusuk ikut tercampur ke dalam incinerator, temperatur optimum pembakaran (800oC) sulit tercapai sehingga gas dioksin dapat terbuang ke lingkungan. Temperatur pembakaran sulit tercapai karena sampah membusuk mengandung air dalam jumlah yang cukup banyak sehingga panas pembakaran banyak tergunakan sebagai energy untuk penguapan air. Jika air dalam sampah yang ikut terbakar terlalu banyak, cerobong asap dari alat incinerator mengeluarkan asap berwarna putih sebagai indikasi terlalu banyaknya uap air. (Menurut WHO, gas dioksin bersifat karsinogenik (kanker) jika terhirup dalam tubuh dalam jumlah banyak. Sampai saat ini, belum ditemukan kegunaan khusus dari dioksin untuk diproduksi secara sengaja sehingga sedapat mungkin minimalisir pembentukan dioksin menjadi suatu penjamin keamanan lingkungan dari penggunaan incinerator PPS Sabuga) Terdapat sampah stereofoam dan karet sintesis yang ikut tercampur pada incinerator namun sulit terbakar secara sempurna pada temperatur tinggi. Salah satu penyebabnya ialah oleh spesifikasi incinerator yang tidak didesain khusus untuk membakar sampah tersebut, missal dari kebutuhan udara pembakaran yang dipasok ke dalam ruang pembakaran. Indikator adanya sampah stereofoam dan karet sintesis yang tidak terbakar secara sempurna ialah timbulnya asap berwarna hitam dari cerobong asap incinerator. Asap hitam ini merupakan representasi dari karbon tidak terbakar ( unburnt carbon). Walaupun asap ini tidak bersifat karsinogen, namun sering menimbulkan keresahan bagi warga setempat karena terkesan berbahaya.

Pada tahun 2013 sekitar bulan Maret, incinerator PPS Sabuga mengalami kerusakan berupa patahnya cerobong asap gas buang sehingga operasi pembakaran dihentikan untuk sementara waktu. Semenjak saat itu, PPS Sabuga mengalihkan pengolahan sampah tidak membusuknya seperti sedia kala, yaitu diangkut ke TPA Sari Mukti. Dengan kata lain, beban sampah di TPA Sari Mukti akan kembali meningkat seperti saat sebelum tahun 2005.

Apakah dengan segala kepelikan sampah di kota Bandung ini dapat menjadi sinyal baru penerapan teknologi pemanfaatan sampah yang lebih terintegrasi? Teknologi pemanfaatan yang begitu rapih, layaknya negara Swedia untuk memanfaatkan teknologi sampah seperti pembakaran (insinerasi), gasifikasi, dan biogas dalam skala besar untuk mengkonversi limbah menjadi produk bernilai. (Artikel ialah bentuk catatan tertulis yang disusun ulang dengan beberapa tambahan dari forum Ganesha Hijau (GH) KM ITB pada tanggal 18 November 2013 di Basement CC barat. Peserta forum meliputi kalangan mahasiswa, K3L, dan Sarpras ITB) Referensi : http://mjeducation.co/mengintip-sistem-pengelolaan-sampah-di-negara-maju/ (diakses pada 19 November 2013) http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/maju-dalam-pengelolaan-limbah-swedia-kinikekurangan-sampah (diakses pada 19 November 2013) http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs225/en/ (diakses pada 19 November 2013) http://www.newton.dep.anl.gov/askasci/chem00/chem00053.htm (diakses pada 19 November 2013)

Anda mungkin juga menyukai