Anda di halaman 1dari 16

Skrining Kanker Serviks dengan Tes IVA

Nama mahasiswa : Aminah binti Mohd Yasin NIM Kelompok : 102010366 : A-1

Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11470 Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Jakarta 2012 Aminahyasin_07@yahoo.com 3 Juli 2013

Pendahuluan Skrining, dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Tidak seperti apa yang biasanya terjadi dalam kedokteran, tes skrining yang dilakukan pada orang tanpa tanda-tanda klinis penyakit. Tujuan dari skrining adalah untuk mengidentifikasi penyakit pada komunitas awal, sehingga memungkinkan intervensi lebih awal dan manajemen dengan harapan untuk mengurangi angka kematian dan penderitaan dari penyakit.1 Meskipun skrining dapat mengarah ke diagnosis sebelumnya, tidak semua tes skrining telah terbukti bermanfaat bagi orang yang sedang diputar; overdiagnosis, misdiagnosis, dan menciptakan rasa aman palsu beberapa efek negatif dari penyaringan. Untuk alasan ini, tes yang digunakan dalam program skrining, terutama untuk penyakit dengan insiden rendah, harus memiliki sensitivitas yang baik selain kekhususan diterima. Beberapa jenis skrining ada: skrining universal melibatkan skrining semua individu dalam suatu kategori tertentu (misalnya, semua anak pada usia tertentu). Temuan Kasus melibatkan skrining sekelompok kecil orang berdasarkan adanya faktor risiko (misalnya, karena anggota keluarga telah didiagnosis dengan penyakit keturunan).1 Seiring dengan meningkatnya populasi, maka insidens kanker leher rahim juga meningkat sehingga meningkatkan beban kesehatan negara.2 Padahal penyakit ini dapat dicegah dengan deteksi dini lesi prankanker yang apabila segera diobati tidak akan berlanjut menjadi kanker leher rahim. Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan di berbagai negara berkembang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu dengan hanya mengoleskan asam asetat (cuka) 3-5% pada leher rahim lalu mengamati perubahannya, dimana lesi prakanker dapat terdeteksi bila terlihat bercak putih pada leher rahim. Murah, karena biaya yang diperlukan hanya sekitar Rp. 3000,- sampai Rp.5000,-/pasien. Nyaman, karena prosedurnya tidak rumit, tidak memerlukan persiapan, dan tidak menyakitkan. Praktis, artinya dapat dilakukan dimana saja, tidak memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur sederhana yang representatif, spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat dilakukan oleh bidan dan perawat yang terlatih.1,2 Beberapa karakteristik metode ini sesuai dengan kondisi Indonesia yang memiliki keterbatasan ekonomi dan keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan. Karenanya pengkajian penggunaan metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di daerah-

daerah yang memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan dalam pembuatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia. Test skrining dapat dilakukan dengan cara : 1. Pertanyaan/kuesioner 2. Pemeriksaan Fisik 3. Pemeriksaan Laboratorium 4. X-ray, termasuk diagnostic imaging Jenis penyakit yang tepat untuk skrining : 1. Merupakan penyakit yang serius 2. Pengobatan sebelum gejala muncul harus lebih untung dibandingkan setelah gejala muncul 3. Prevalensi penyakit pre klinik harus tinggi pada populasi yang diskrining Syarat syarat skrining : 1. Penyakit harus merupakan masalah kesehatan yang penting 2. Harus ada cara pengobatan yang efektif 3. Tersedia fasilitas pengobatan dan diagnosis 4. Diketahui stadium prepatogenesis dan pathogenesis 5. Test harus cocok, hanya mengakibatkan sedikit ketidaknyamanan, dapat diterima oleh masyarakat 6. Telah dimengerti riwayat alamiah penyakit 7. Harus ada Policy yang jelas 8. Biaya harus seimbang, biaya skrining harus sesuai dengan hilangnya konsekuaensi kesehatan

Macam-macam skrining 1. Mass screening adalah screening secara masal pada masyarakat tertentu 2. Selective screening adalah screening secara selektif berdasarkan kriteria tertentu, contoh pemeriksaan ca paru pada perokok; pemeriksaan ca servik pada wanita yang sudah menikah 3. Case finding screening adalah upaya dokter/tenaga kesehatan untuk menyelidiki suatu kelainan yang tidak berhubungan dengan keluhan pasien yang datang untuk kepentingan pemeriksaan kesehatan 4. Single disease screening adalah screening yang dilakukan untuk satu jenis penyakit 5. Multiphasic screening adalah screening yang dilakukan untuk lebih dari satu jenis penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas Validitas tes skrining adalah kemampuan tes skrining tersebut dalam mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Validitas tes skrining dapat dinilai dengan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, dan akurasi.2,3 1. Sensitivitas Sensitifitas menggambarkan kemampuan tes skrining menentukan seseorang menderita suatu penyakit. Sensitivitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar positif dibandingkan hasil positif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per sen dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar positif (true positive) dengan jumlah hasil pemeriksaan benar positif dan negatif palsu. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang menderita penyakit tertentu sehingga dapat memperoleh penanganan dini.2,3 2. Spesifisitas Spesifisitas menggambarkan kemampuan tes skrining menentukan seseorang bukan penderita suatu penyakit. Spesifisitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar negatif dibandingkan hasil negatif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per sen dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar negatif (true negatif) dengan jumlah hasil pemeriksaan benar negatif dan positif palsu. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang tidak menderita penyakit tertentu.2,3

3. Nilai Prediksi Positif Nilai Prediksi Positif (NPP/PPV) menggambarkan kemampuan tes skrining memprediksi kemungkinan seseorang benar-benar menderita penyakit dari hasil pemeriksaan positif menurut tes skrining. Nilai Prediksi Positif dihitung dengan membandingkan hasil benar positif dengan seluruh hasil tes positif menurut uji skrining (True Positif dan Palse Positif) dalam per sen. Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang menderita penyakit akan membantu petugas kesehatan memberikan penanganan yang tepat dan segera.3 4. Nilai Prediksi Negatif Nilai Prediksi Negatif (NPN/NPV) menggambarkan kemampuan tes skrining memprediksi kemungkinan seseorang benar-benar tidak menderita penyakit dari hasil pemeriksaan negatif menurut tes skrining. Nilai Prediksi Negatif dihitung dengan membandingkan hasil benar negatif dengan seluruh hasil tes negatif menurut uji skrining (True Negatif dan Palse Negatif) dalam per sen. Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang tidak menderita suatu penyakit akan sangat membantu petugas kesehatan menghindarkan penanganan atau pengobatan yang tidak perlu sehingga terhindar dari efek samping pengobatan.3 Hasil Test Hasil test sesuatu skrining di gambarkan secara positif mahupun negatif Suatu test dikatakan valid apabila tes tersebut dapat memprediksi secara sempurna dan benar, di mana semua orang yang positif berdasarkan hasil tes skrining adalah benar-benar sakit dan semua yang tesnya negatif adalah mereka yang benar-benar tidak sakit. Pada kenyataannya tidak ada test yang benar-benar sempurna

Tabel 1. Hasil skrining di banding status penyakit Hasil Skrining Tes Positif Negatif Status Penyakit Total

-Positif -Negatif Total

a c a+c

b d b+d

a+b c+d a+b+c+d

Rumus Sensitivitas : TP/(TP+FN) Spesifisitas: TN / (TN + FP) Nilai prediksi positif : TP/ (TP + FP) X 100% Nilai prediksi negatif : FN/ (FN + TN) X 100% Reliabilitas tes skrining Hasil konsisten jika dilakukan lebih 1 kali pada individu yang sama pada situasi yang beda waktu berbeda (pengamat sama), pengamat berbeda atau tes serupa.3 Dipengaruhi : 1. Variasi pada Metode Pemeriksaan - tergantung stabilitas instrumen alat harus dibakukan 2. Variasi didalam subyek / individu (biologis) misal : hasil pengukuran suhu tubuh pagi berbeda dengan siang dan malam hari 3. Variasi intraobserver misal : pembacaan hasil rontgen pada waktu yang berbeda,hasil berbeda karena jenuh, lelah & lingkungan

4. Variasi interobserver misal : 2 radiologis mempunyai interpretasi yang berbeda thd sebuah hasil rontgen gunakan orang terlatih & motivasi tinggi Skrining Kanker Serviks Kanker serviks (kanker leher rahim) adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada leher rahim. Kanker serviks merupakan kanker yang sering dijumpai di Indonesia baik di antara kanker pada perempuan dan pada semua jenis kanker.2,4 Kejadiannya hampir 27% di antara penyakit kanker di Indonesia. Namun demikian lebih dari 70% penderita datang memeriksakan diri dalam stadium lanjut, sehingga banyak menyebabkan kematian karena terlambat ditemukan dan diobati Kanker serviks atau juga disebut kanker leher rahim merupakan jenis kanker kedua yang paling banyak diderita wanita di dunia yang berusia di atas 15 tahun. Berdasarkan survey tahun 2001, di Indonesia, ditemukan penderita baru yang mengidap kanker leher rahim berjumlah 2429 atau 25,91% dari seluruh penderita kanker.2,4 Penyebab kanker leher rahim yaitu virus HPV (Human Papiloma Virus) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini dapat menyerang semua wanita, khususnya wanita yang aktif secara seksual. Saat ini sudah terdapat vaksin untuk mencegah infeksi HPV khususnya tipe 16 dan tipe 18 yang diperkirakan menjadi penyebab 70% kasus kanker serviks di Asia. Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV berisiko menjadi kanker leher rahim adalah1 : a. Faktor HPV : - tipe virus - infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan - jumlah virus (viral load) b. Faktor host/ penjamu : - status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi prekanker dan kanker.

- jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker c. Faktor eksogen - merokok - ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya - penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral Faktor risiko yang potensial menyebabkan terjadinya kanker leher atau penularan kanker rahim adalah a. Melakukan hubungan seks pada usia muda, b. sering berganti-ganti pasangan c. sering menderita infeksi di daerah kelamin terutama virus HPV ( Human Papilloma Virus), d. melahirkan banyak anak, e. Kebiasaan merokok (risiko 2x lebih besar). f. Juga kekurangan vitamin A, C, dan E. Seringkali gejala kanker leher rahim pada stadium dini tidak menunjukkan gejala atau tanda yang khas. Sedangkan jika telah timbul gejala diantaranya keputihan, perdarahan setelah hubungan intim suami istri, perdarahan spontan setelah masa menopause (masa tidak haid lagi), keluar cairan kekuningan yang berbau busuk atau bercampur darah, nyeri panggul, atau tidak dapat buang air kecil, maka kemungkinan besar penyakit telah masuk stadium lanjut. Sasaran skrining kanker leher rahim yang ditetapkan WHO adalah: a. setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.5 b. Perempuan yang pernah mengalami lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya. 5 c. Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal lainnya.5

d. perempuan yang ditemukan ketidaknormalan pada leher rahimnya.5 Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat ini adalah antara usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70 tahun yang belum pernah diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk menghindari lolosnya kasus kanker leher rahim. Selain sasaran diatas, semua perempuan yang pernah melakukan aktivitas seksual perlu menjalani skrining kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan perempuan yang sudah menopause menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoleher rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.5 Namun untuk pelaksanaan di Indonesia, perempuan yang sudah mengalami menopause tetap dapat diikut sertakan dalam program skrining, untuk menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu disertakan informed consent pada perempuan golongan ini, mengingat alasan di atas. Tidak ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada golongan perempuan ini.5
Program IVA di Puskesmas

Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti.2,4,6 Metode satu kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker.
IVA Sebagai Metode Skrining Alternatif Mengkaji masalah penanggulangan kanker leher rahim yang ada di Indonesia dan adanya pilihan metode yang mudah di-ujikan di berbagai negara, agaknya metode IVA (inspeksi visual dengan aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode skrining alternatif untuk kanker leher rahim. Pertimbangan tersebut didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode skrining IVA itu. Mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu. Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana. Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan sederhana.4

Metode IVA Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes Pap telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher rahim. Namun di negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya terbatas, skrining hanya menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di daerah perkotaan. Ada beberapa kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah laboratorium sitologi dan tenaga sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes Pap baru didapat dalam rentang waktu yang relatif lama (berkisar 1 hari- 1 bulan).4,6 Skrining dengan metode tes Pap memerlukan tenaga ahli, sistem transportasi, komunikasi dan tindak lanjut (follow-up) yang belum dapat dipenuhi oleh negara-negara berkembang.4,6 Hanya sebagian kecil dari perempuan yang menjalani dan mendapatkan hasil tes Pap juga menjalani evaluasi dan pengobatan yang semestinya bila ditemukan abnormalitas. Sebagai konsekuensinya, angka insidens kanker leher rahim tetap tinggi dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Masalah yang berkembang akibat keterbatasan metode tes Pap inilah yang mendorong banyak penelitian untuk mencari metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah satu metode yang dianggap dapat dijadikan alternatif adalah metode inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Efektivitas IVA sudah di teliti oleh banyak peneliti. Walaupun demikian perbandingan masing-masing penelitian tentang IVA agak sulit dievaluasi karena perbedaan protokol dan populasi. Dasar Pemeriksaan IVA Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang. 46,49,55 Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 35%.56Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite).6Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam

asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya.6 Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses keratosis.6 Beberapa kategori temuan IVA tampak seperti tabel berikut :

Berdasarkan skenario 7 Test skrining IVA Tes (+) Tes (-) Menderita ca cervix 6 3 Tidak menderita ca cervix 24 67

Sensitivitas : 6/ (6+3) Spesifisitas : 67/ (67 + 24) Nilai prediksi positif : 6 / (6 +24) X 100% Nilai prediksi negatif : 3 / ( 3 + 67 ) X 100% Penatalaksanaan Medis Pemeriksaan IVA dilakukan dengan spekulum melihat langsung leher rahim yang telah dipulas dengan larutan asam asetat 3-5%, jika ada perubahan warna atau tidak muncul plak putih, maka hasil pemeriksaan dinyatakan negative. Sebaliknya jika leher rahim berubah warna menjadi merah dan timbul plak putih, maka dinyatakan positif lesi atau kelainan pra kanker.2,7 Jika sudah terdeteksi mengidap kanker serviks, maka ada beberapa metode pengobatan yang bisa dilakukan. Jika terdeteksi kanker serviks stadium awal, maka pengobatannya dilakukan dengan cara menghilangkan kanker serviks tersebut dengan cara dilakukan pembedahan, baik pembedahan laser, listrik atau dengan cara pembekuan dan membuang jaringan kanker serviks. Metode krioterapi adalah membekukan serviks yang terdapat lesi prakanker pada suhu yang amat dingin (dengan gas CO2) sehingga sel-sel pada area tersebut mati dan luruh, dan selanjutnya akan tumbuh sel-sel baru yang sehat Untuk kasus kanker serviks stadium lanjut akan dilakukan pengobatan dengan cara kemoterapi serta radioterapi, namun jika sudah terdeteksi cukup parah, tiada lain kecuali dengan mengangkat rahim (histerektomi) secara menyeluruh agar kanker tidak berkembang.2

Pencegahan Kanker Serviks Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan kaum perempuan dalam hal mencegah kanker serviks agar tidak menimpa dirinya, antara lain: Jalani pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang cukup nutrisi dan bergizi Selalu menjaga kesehatan tubuh dan sanitasi lingkungan Hindari pembersihan bagian genital dengan air yang kotor Jika anda perokok, segera hentikan kebiasaan buruk ini Hindari berhubungan intim saat usia dini Selalu setia kepada pasangan anda, jangan bergonta-ganti apalagi diikuti dengan hubungan intim. Lakukan pemeriksaan pap smear minimal lakukan selama 2 tahun sekali, khususnya bagi yang telah aktif melakukan hubungan intim Jika anda belum pernah melakukan hubungan intim, ada baiknya melakukan vaksinasi HPV Vaksinasi secara berulang dibutuhkan untuk merangsang tubuh membentuk antibodi (kekebalan tubuh) yang kuat untuk melindungi tubuh dari serangan virus HPV yang akan masuk. Antibodi akan menangkap virus yang akan masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh terhindar dari infeksi HPV.5,7 Idealnya vaksinasi diberikan sebelum adanya bahaya infeksi HPV. Vaksinasi ini paling efektif apabila diberikan pada perempuan berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara seksual. Namun bukan berarti wanita yang sudah menikah atau berhubungan seksual tidak boleh mendapatkannya. Hanya saja angka proteksinya tidak setinggi pada golongan sebelumnya. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu (bulan ke 0,1,dan 6). Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.5,7

Pembahasan Meskipun protokol pelaksanaan pemeriksaan ini bervariasi, hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa metode IVA mempunyai sensitivitas yang sebanding dengan tes Pap dalam mendeteksi lesi prakanker derajat tinggi meskipun spesifisitasnya lebih rendah dari tes Pap.2 Kurang spesifiknya skrining dengan metode ini diantaranya karena subyektivitas petugas medis yang melakukan pemeriksaan di lapangan, selain dipengaruhi juga oleh prevalensi kasus. Pada daerah dengan prevalensi kasus yang rendah, angka kejadian positif palsu dari pemeriksaan akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang memiliki prevalensi kasus lebih tinggi.2 Hal tersebut dapat diperbaiki dengan meningkatkan supervisi.

Tabel 1. Sensitifitas, spesifisitas berbagai metode skrining

Di unduh pada 1 juli 2013 http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122893-S09049fkAnalisa%20faktor-Metodologi.pdf

Saran 1. Dalam penerapan di pelayanan primer yang lebih luas, metode IVA

direkomendasikan menjadi metode skrining alternatif pada kondisi yang tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan yang berbasis sitologi. 2. Sasaran skrining IVA adalah perempuan usia 30-50 tahun. Pada usia diatas 50 tahun, atau sudah menopause, dianjurkan untuk melakukan skrining yang berbasis sitologi. 3. Interval skrining dengan metode IVA adalah 3 tahun sekali 4. Pelaksana skrining IVA dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih 5. Kasus dengan hasil IVA positif dirujuk untuk mendapat penatalaksanaan lebih lanjut 6. Pengobatan langsung hanya berdasarkan hasil IVA positif dapat dikerjakan dalam kaitan suatu program yang disupervisi 7. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penerapan skrining IVA dihubungkan dengan pengobatan dengan pendekatan sekali kunjungan Penutup Skrining, dalam pengobatan, adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Skrining yang sering di lakukan di Puskesmas adalah skrining ca cervix dengan tes IVA karena skrining ini mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu. Alat-alat yang dibutuhkan juga sangat sederhana. Metode satu kali kunjungan

(single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker. Jika terdeteksi kanker serviks stadium awal, maka pengobatannya dilakukan dengan cara menghilangkan kanker serviks tersebut dengan cara dilakukan pembedahan, baik pembedahan laser, listrik atau dengan cara pembekuan dan membuang jaringan kanker serviks. Untuk kasus kanker serviks stadium lanjut akan dilakukan pengobatan dengan cara kemoterapi serta radioterapi, namun jika sudah terdeteksi cukup parah, tiada lain kecuali dengan mengangkat rahim (histerektomi) secara menyeluruh agar kanker tidak berkembang.

Meskipun hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa metode IVA mempunyai sensitivitas yang sebanding dengan tes Pap dalam mendeteksi lesi prakanker derajat tinggi meskipun spesifisitasnya lebih rendah dari tes Pap.

Daftar pustaka 1. Nursalam. Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Selambe Medika; Jakarta: 2010 2. Melianti M. Skining Kanker Serviks dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) test. Departmen Kesehatan Republik Indonesia; Jakarta; 2008. 3. Rini LM. Metodologi penelitian. http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/122893S09049fk-Analisa%20faktor-Metodologi.pdf di unduh pada 1 juli 2013. 4. Petignat P, Roy M.. Diagnosis and management of cervical cancer. BMJ 2007;335:765-768. 5. Aziz, MF. Masalah pada kanker serviks. Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta, 2001: 133;5-7. 6. World Health Organization. Comprehensive Cervical Cancer Control. A Guide to Essential Practice. Geneva : WHO, 2006Notoatmodjo. Pengantar perilaku dan pendidikan kesehatan.Rineka Cipta; Jakarta: 2003 7. Sukaca E B. Cara cerdas menghadapi kanker serviks (Leher Rahim). Genius Printika; Yogyakarta: 2009.

Anda mungkin juga menyukai