Anda di halaman 1dari 5

Sampel Darah Darah merupakan sampel yang paling baik untuk identifikasi senyawa obat atau zat aktif

lainnya baik untuk tujuan kualitatif ataupun kuantitatif. Sampel darah harus diambil oleh petugas yang terampil untuk memastikan kebenaran sampel tersebut. Plasma darah adalah cairan berwarna kuning yang dalam reaksi bersifat sedikit alkali. Komposisi dari plasma darah adalah air, protein (albumin, globulin, fibrinogen dan protrombin), ion ion (Na, K, Ca, Mg, Cl, HCO3), nutrien (glukosa, asam amino dan asam lemah), hormon dan nitrogen (Pearce, 2006). Plasma lebih sering digunakan daripada serum pada analisis obat, karena dapat disentrifugasi dengan segera, sedangkan pembentukan serum membutuhkan lebih banyak waktu (Smyth, 1992). Plasma biasanya digunakan untuk analisis klinis ataupun deteksi kandungan analit tertentu karena kandungan komponen darahnya lebih sedikit dibandingkan darah utuh yang memiliki matriks biologi yang sangat komplek, sehingga lebih menguntungkan untuk analisis dan meminimalisir kegagalan ataupun kesalahan dalam analisis (Pearce, 2006). Serum darah adalah cairan bening yang memisah setelah darah membeku. Plasma darah berbeda dengan serum darah terutama pada serum tidak terdapat faktor pembentukan fibrinogen. Jika darah tetap dibiarkan selama 15 menit pada suhu-kamar dalam suatu tabung tanpa antikoagulan maka serum dan komponen darah lainnya akan memisah (Flanagan et al., 2007). Pada kasus postmortem, darah jantung diambil dengan jarum dan syringe yang sesuai. Untuk mendapatkan spesimen jantung, pertama-tama pericardial harus dibuka, pericardium dipisahkan, jantung dikeringkan dan spesimen darah disingkirkan dengan syringe dari bagian jantung kanan atau kiri. Kurang lebih 50 ml spesimen harus dikumpulkan jika memungkinkan. Sedangkan spesimen darah perifer harus diambil menggunakan syringe hipodermik dengan ukuran 10-20 ml yang bersih atau baru. Volume darah yang diambil setidaknya 10 mL dan sebaiknya tidak dilakukan pemerasan pada kaki untuk meningkatkan volume darah (Karch, 1998). Sebagai wadah untuk menampung spesimen, biasanya digunakan tabung gelas atau plastik Beberapa analit basa dan senyawa ammonium kuartener seperti tricyclic antidepressants, paraquat, dan aluminium dapat berikatan dengan gelas sehingga lebih baik digunakan tabung plastik. Sedangkan spesimen yang mengandung senyawa volatil, maka gelas menjadi pilihan pertama (Flanagan et al., 2007).

Spesimen darah sebaiknya diawetkan dengan 2% b/v sodium fluoride pada wadah specimen. Sodium fluoride ditambahkan untuk menghambat aktivitas mikroorganisme yang mengkonversi glukosa menjadi ethanol dan mengoksidasi etanol, serta mencegah hilangnya ester, seperti asam 6-acetylmorphine. Ester berperan penting dalam reaksi hidrolisis (menghasilkan basa), sehingga keasaman dari darah tidak ditunjukkan karena pH darah menurun pada kasus postmortem (Karch, 1998). Beberapa laboratorium dapat menggunakan antikoagulan seperti potassium oxalate, EDTA atau sodium citrate dan digabungkan dengan 5 mg/mL

fluoride. Tapi bila jumlah darah yang dikumpulkan sedikit, kelebihan fluoride dapat mempengaruhi pengujian headspace zat yang volatile dengan merubah tekanan uap dari analit (Flanagan et al., 2007). Beberapa contoh antikoagulan yang dapat digunakan sebagai pengawet spesimen adalah sebagai berikut :

(Flanagan et al.,, 2007). Pada umumnya sampel biologi sebaiknya disimpan pada suhu 2-4 oC sebelum di bawa ke laboratorium. Suhu yang rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan memperlambat reaksi kinetik seperti konversi etanol menjadi asetaldehid. Setiap botol spesimen ditutup dengan rapat untuk menghindari kebocoran dan ditempat terpisah dengan specimen lainnya pada tas plastik. Berbagai residu spesimen harus disimpan pada suhu 20 C sampai investigasi dari kejadian telah disimpulkan (Flanagan et al., 2007). Ruang di atas tabung penyimpan darah harus diminimalisir untuk mencegah masuknya kontaminan seperti CO, pelarut atau zat volatile lainnya. Jika sampel telah disimpan dengan benar, maka tidak akan ada perbedaan konsentrasi analit yang signifikan di dalam plasma dan serum (Flanagan et al., 2007).

Untuk memaksimalkan pengukuran yang sebenarnya dengan darah postmortem, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dalam interval waktu yang sempit antara kematian dan pemeriksaan. Jika sampel darah yang didapatkan cukup banyak, maka sampel dipisahkan menjadi 2, satu untuk diawetkan dan satunya lagi tidak. Tetapi sebaliknya, jika sampel darah yang diperoleh sedikit, maka semua harus diawetkan walaupun ada kemungkinan sampel akan rusak oleh pengawet (fluoride). Spesimen yang diperoleh memiliki nilai yang berarti karena dapat diketahui keadaan korban secara klinis, gambaran kejadian sebelum terjadinya kematian, dan lain-lain (Karch, 1998). Pengambilan sampel dari kasus postmortem dalam investigasi toksikologi akan tergantung dari masing-masing kasus. Darah yang diambil harus bersifat representatif dari keseluruhan sampel darah. Jika dalam darah mengandung senyawa-senyawa tertentu yang memiliki kestabilan dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah kematian, penyimpanan spesimen merupakan hal yang direkomendasikan (Skoop, et al., 2004). Jumlah dan kecepatan migrasi obat di dalam darah dan jaringan pada postmortem bervariasi tergantung pada obat dan jarak waktu antara kematian dan pengumpulan spesimen postmortem. Organ torso merupakan organ mayor yang umumnya mengandung obat dalam jumlah banyak sedangkan saluran gastrointestinal kemungkinan mengandung obat yang belum diabsorpsi. Darah sentral merupakan darah yang diperoleh dari organ-organ tersebut. Darah perifer, seperti darah femoral diperoleh dari jaringan lokal, seperti jaringan otot dan lemak. Secara umum, darah yang didistribusikan ke pembuluh sentral lebih banyak daripada yang didistribusikan ke pembuluh perifer. Perbedaan antara dua situs tersebut dikenal sebagai rasio sentral perifer (C/P). Berdasarkan hal tersebut, spesimen darah yang sebaiknya dipilih untuk analisis toksikologi adalah sampel darah vena femoralis (Cook et al., 2000). Adapun jenis spesimen tubuh dan perkiraan jumlah yang diambil dari masing-masing spesimen tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

(Skoop, et al., 2004)

Cook, D. S., R. A. Braithwaite, K. A. Hale. 2000. Estimating Antemortem Drug Concentrations From Postmortem Blood Samples: The Influence Of Postmortem Redistribution. J. Clin. Pathol, Vol. 53. p. 282-285 Flanagan, R. J., A. Taylor, I. D. Watson, R. Whelpton. 2007. Fundamentals of Analytical Toxicology. John Wiley and Sons Ltd: West Sussex Karch, Steven B. 1998. Drugs Abuse Handbook. CRC Press LLC. USA Smyth, Malcolm R. 1992. Chemical Analysis in Complex Matrices. England : Ellis Horword PTR Prentice Hall.

Anda mungkin juga menyukai