Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar belakang

Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar pada anak-anak di seluruh dunia. Setiap tahun, diperkirakan 1,2 juta anak dibawah umur 5 tahun meninggal akibat pneumonia.1 Lebih dari 98% kematian pada anak dari 68 negara berkembang diakibatkan oleh pneumonia dan diare.2 Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia untuk kasus pneumonia pada balita dengan total jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa.3 Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan mortalitas pneumonia pada bayi 23,8%, dan balita 15,5%.4,5,6 Survei mortalitas subdit ISPA Kementrian Kesehatan pada tahun 2005 di 10 provinsi didapatkan bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia , yaitu sebanyak 22,3% dari seluruh kematian bayi. Kematian akibat pneumonia yang terbesar ditemukan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan.4,5 Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2010, pneumonia memiliki Case Fatality Rate (CFR) paling tinggi di antara 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit yaitu sebesar 7,6% meningkat dibandingkan laporan pada tahun 2009 yaitu sebesar 6,63%.4 Menurut laporan kesehatan tahunan Kota Padang tahun 2012 angka kejadian pneumonia pada balita di Kota Padang sebesar 394 orang. Kasus pnemonia balita di puskesmas Kota Padang pada tahun 2011 menurun dibandingkan tahun 2010 yaitu dari 819 kasus menjadi 586 kasus. Berdasarkan laporan tahunan tahun 2011 angka kematian akibat pneumonia di Kota Padang sebesar 3,7%, pada bayi kurang dari 1 tahun sedangkan pada anak usia 1-5 tahun tidak terdapat angka kematian.7,8

Kematian karena pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinanan dan kurangnya akses ke pelayanan kesehatan.2,13 Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Dasat tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal, serta pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uji mikrobiologis yang cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris.9,10 Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang dikeluarkan Konsil Kedokteran Indonesia pada tahun 2012, pneumonia termasuk kedalam standard kompetensi 4 yang berarti kita sebagai dokter layanan primer, kita dituntut untuk mampu mengenali dan menatalaksana pneumonia secara komprehensif. Berdasrkan data yang sudah ditulis di atas, maka perlu rasanya kita membahas tentang penatalaksanaan pneumonia pada anak.

1.2

Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang penatalaksanaan pneumonia yang komprehensif pada anak.

1.3

Tujuan Penulisan menambah pengetahuan tentang pneumonia dan bagaimana

Untuk

penatalaksanaan yang komprehensif pada anak.

1.4

Metode Penulisan

Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal bronkiolus terminalis yang mencangkup bronkiolus dan alveoli, serta dapat menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.1 Menurut World Health Organization (WHO) pneumonia adalah sakit yang terbentuk dari infeksi akut daerah saluran pernapasan bagian bawah yang secara spesifik mempengaruhi paru-paru. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mendefinisikan pneumonia merupakan suatu penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang mengenai bagian paru (jaringan alveoli). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan pneumonia merupakan infeksi saluran pernapasan akut pada daerah saluran pernapasan bagian bawah yang dapat mengenai parenkim paru yang lebih sering terjadi pada bayi dan awal masa kanak-kanak.

2.2

Epidemiologi

WHO memperkirakan 156.000 kasus baru pneumonia pada anak umur dibawah 5 tahun di seluruh dunia, yang lebih dari 90% terjadi di negara berkembang yang berpendapatan rendah dan menengah.1,2,12,14. Di negara berkembang insiden pneumonia setiap tahunnya adalah 3-4 kasus pada 100 anak usia < 5 tahun. Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar pada anak-anak di seluruh dunia . Setiap tahun lebih dari 2 juta anak usih < 5 tahun meninggal akibat pneumonia, yaitu 20% dalam kelompok usia tersebut.1,14 Pneumonia sering terjadi pada musim dingin, anak-anak yang terpapar dengan asap rokok atau asap pembakaran. Pneumonia lebih sering ditemukan pada laki-laki dan pada anak-anak yang berasal dari tingkat sosioekonomi

rendah.14,15 Dari laporan Riskesdas didapatkan bahwa insidensi pneumonia satu setengah lebih tinggi terjadi di daerah pedesaan dibandingkan daerah perkotaan.15

2.3

Klasifikasi Pneumonia

Berdasarkan tempat kejadiannya, pneumonia dapat dibedakan menjadi: 1. Pneumonia komunitas atau community acquired pneumonia (CAP) yaitu, pneumonia yang terjadi infeksi di luar rumah sakit, seperti panti jompo, home care. 2. Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) yaitu, pneumonia yang terjadi lebih 48 jam atau setelah penderita dirawat di rumah sakit baik di ruang perawatan umum maupun di ICU, tetapi tidak menggunakan ventilator. 3. Ventilator associated pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilator mekanik di ICU. Klasifikasi pneumonia berdasarkan kuman penyebab : 1. Pneumonia bakterial/tipikal adalah pneumonia yang terjadi pada semua usia. Bberapa kuman mempunyai tedensi menyerang sesirang yang peka, misalnya klebsiella pada penderita alkoholik dan staphylococus pada penderita pasca infeksi influenza. 2. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh

mycoplasma,legionella dan chlamydia. 3. 4. Pneumonia virus Pneumonia jamur adalah pneumonia yang merupakan infeksi sekunder, terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah. Klasifikasi pneumonia berdasarkan predileksi infeksi : 1. Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen dan kemungkinan disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus, misalnya pada aspirasi benda asing atau proses keganasan.

2.

Bronkopneumonia adalah pneumonia yang ditandai adanya bercak infiltrat pada paru. Pneumonia jenis ini sering terjadi pada bayi dan orang tua. Pneumonia ini disebabkan oleh bakteri maupun virus.

Klasifikasi pneumonia menurut MTBS (2008) : 1. Pneumonia berat/sangat berat yang ditandai dengan adanya bahaya umum atau tarikan dinding dada kedalam atau stridor 2. 3. Pneumonia ditandai dengan adanya napas cepat Bukan pneumonia ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda pneumonia atau penyakit sangat berat.

2.4

Etiologi Dan Faktor Risiko

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh virus atau bakteri dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi dan radiasi.10 Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah streptococcus pneumoniae, aureus.3,10,13,27 dikuti oleh haemophilus influenzae, dan staphylococcus

Gambar 2.1 Etiologi pneumonia pada anak di negara berkembang13

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada pneumonia berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Etiologi Pneumonia Berdasarkan Usia10 Usia Lahir 20 hari Etiologi yang sering Bakteri E. colli Streptoccus group B Listeria monocytogenes Etiologi yang jarang Bakteri Bakteri anaerob Streptoccous group D Haemophilllus influenza Streptococcus pneumonia Ureaplasma urealyticum Virus Virus sitomegalo Virus Herpes simpleks 3 minggu 3 bulan Bakteri Chlamydia trachomatis Streptococcus pneumoniae Virus Virus Adeno Virus Influenza Virus Parainfluenza 1,2,3 Respiratory Syncytial Virus 4 bulan 5 tahun Bakteri Chlamydia pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Streptococcus pneumoniae Virus Virus Adeno Virus Influenza Virus Parainfluenza Bakteri Bordetella pertusis Haemophilus influenzae tipe B Moraxella catharalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum Virus Virus sitomegalo Bakteri Haemophillus influenzae tipe B Moraxella catharalis Neisseria meningitides Staphylococcus aureus Virus Virus Varisela-Zoster

Virus Rino Respiratory Syncytial virus 5 tahun remaja Bakteri Chlamydia pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Streptococcus pneumoniae Bakteri Haemophillus influenza Legionella sp Staphylococcus aureus Virus Virus Adeno Virus Epstein-Barr Virus Influenza Virus Parainfluenza Virus Rino Respiratory Syncytial Virus Virus Varisela-Zoster

Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan seorang anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan kematian karena pneumonia, yaitu usia, status gizi, ASI, suplementasi vitamin A, suplementasi zinc, bayi berat badan lahir rendah, vaksinasi dan polusi udara dalam kamar terutama asap rokok dan asap bakaran dari dapur.16 1. Usia

Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan balita, hal ini disebabkan karena pembentukan imunitas yang belum sempurna, terutama usia bi bawah 1 tahun. 2. Status gizi

Asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian balita dengan infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian mikro-nutrien bisa membantu pencegahan penyakit pada anak. Pemberian ASI sub-optimal mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah, sebesar 20%.

3.

ASI

ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi karena mengandung zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Oleh karena itu untuk mencapai pertumbuhan secara optimal, United Nation Cildren Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan untuk pemberian ASI secara eksklusif sampai umur 6 dan dapat dilanjutrkan sampai anak usia 2 tahun Kandungan di dalam ASI salah satunya adalah antibodi yang dapat melindungi bayi dari penyakit. Imunoglobulin yang dominan dalam ASI adalah IgA sekretorik, yang bekerja menghambat perlekatan bakteri ke sel permukaan epitel. 4. Pemberian vitamin A

Program pemberian kapsul vitamin A dilakukan setahun dua kali, diberikan sejak anak berusia 6 bulan. Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi saluran pernapasan dari infeksi kuman. Vitamin A mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B. Sel-sel yang mengalami diferensiasi adalah sel-sel epitel, terutama sel-sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan mukus atau lendir. Sehingga bila terjadi defisit vitamin A selsel kelenjar tidak mengeluarkan mukus dengan sempurna, sehingga mudah terkena infeksi. 5. Suplementasi Zink (Zn) perlu diberikan untuk anak dengan diet kurang

Zink di negara berkembang. Penelitian di beberapa negara Asia Selatan menunjukkan bahwa suplementasi Zink pada diet sedikitnya 3 bulan dapat mencegah infeksi saluran pernapasan bawah. Di Indonesia, Zinc dianjurkan diberikan pada anak yang menderita diare. 6. BBLR

Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mempunyai risiko untuk meningkatnya ISPA. 7. Vaksinasi

Pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena pneumonia. Imunisasi yang berhubungan dengan kejadian penyakit pneumonia adalah imunisasi pertusis (DTP), campak, Haemophilus influenza, dan pneumokokus. 8. Polusi udara

Polusi udara yang berasal dari pembakaran di dapur dan di dalam rumah mempunyai peran pada risiko kematian balita di beberapa negara berkembang. Diperkirakan 1,6 juta kematian berhubungan dengan polusi udara dari dapur.

Faktor lain yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA adalah pendidikan ibu dan status sosio-ekonomi keluarga. Makin rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA pada balita.

Gambar 2.2 Faktor risiko untuk pneumonia pada balita16

2.4

Patogenesis dan Patofisiologi Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer

melalui saluran resporatori. Ada 3 stadium dalam patofisiologi penyakit pneumonia 10, yaitu : 1) Stadium hepatisasi merah. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. 2) Stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. 3) Stadium resolusi Setelah itu, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Sistem

bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. Patofisiologi pneumonia terjadi akibat inflamasi pada parenkim paru sebagai respon yang dipicu masuknya bakteri ke dalam ruang alveolar. Pada fase akut, respon tubuh ditandai oleh migrasi neutrofil dan makrofag ke dalam alveoli yang terinfeksi yang akan memfagositosis kuman patogen, dan melepaskan sitokin proinflamasi. Selanjutnya, akan terjadi aktivasi sel T dan sel B yang meningkatkan respon terhadap patogen. Hal ini akan melindungi alveolar dari infeksi kuman pathogen, namun, amplifikasi yang berlebihan dari respon inflamasi akan memperburuk perjalanan klinis pneumonia, yang bisa

mengakibatkan kerusakan yang parah pada parenkim paru dan pada kasus yang lebih berat bisa mengakibatkan gagal nafas dan syok sepsis.17

2.5

Manifestasi Klinis

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya

penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.10 Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada beratringannya infeksi, tetapi secara umum adalah10 sebagai berikut : 1) Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan GIT seperti mual, muntah atau diare: kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.10 Gejala infeksi umum lebih terlihat jelas pada pneumonia yang diakibatkan oleh bakteri dibandingkan virus karena virus pada respiratori jarang terjadi viremia.20 2) Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki.10,14 Pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.10 Takipnea sering digunakan sebagai penanda klinis pneumonia pada semua usia. Bersama dengan retraksi dinding dada dan batuk, takipnea merupakan penanda yang kuat dalam diagnosis pneumonia.25,28 Menurut WHO ada beberapa kriteria tanda-tanda distress pernapasan18, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Takipnue Dispnue Retraksi suprasternal, intercostal atau subcostal Merintih Napas cuping hidung Apnue Perubahan status mental Pengukuran pulse oksimetri (<90%)

2.6

Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Darah Perifer Lengkap Pada pneumonia virus dan pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneuminia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN.10,19,28 Leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis buruk. Leukosistosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteriemi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi chlamydia pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia.10 2.6.2 C-Reaktif Protein (CRP) C-reaktif protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat di stimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri. C- Reaktif kadang digunakan untuk evaluasi respon terhadap antibiotik.10 C-reaktif protein pada anak dengan pneumonia bakterial akan terjadi peningkatan.19 2.6.3 Uji Serologis Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah.10,19 Secara umum uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti mikoplasma dan klamidia, serta beberapa virus seperti RSV, sitomegalo, campak, parainfluenza 1,2,3, influenza A dan B, dan adeno, peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.10 Dari beberapa penelitian, uji serologi bisa digunakan pada beberapa bakteri seperti M. pneumonia, C. pneumonia, S. Pneumonia dengan menggabungkan titer pada fase aku dan fase konvelesen. Pada pneumonia yang diakibatkan oleh

S.pneumonia terjadi peningkatan titer antibodi (capsular polysaccarides, pneumolysin,ataupun kompleks antigen-antibodi spesifik).19 2.6.4 Mikrobiologi Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi melalui pemeriksaan mikrobiologik.18,21 Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat.10 Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesim didapatkan dari darah sputum, sekret nasofaring bagian posterior, aspirasi trakea, torakosintesis pada efusi pleura, percutaneus lung aspiration, dan biopsi paru bila diperlukan.10,21 Banyak kendala yang didapatkan pada pemeriksaan mikrobiologik, baik dari segi teknis maupun dari segi biaya. Secara umum, kumam spesifik penyebab pneumonia hanya dapat diidentifikasi kurang dari 50% kasus.21 2.6.4 Foto Polos Dada Foto rontgen thorak hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang di rawat. Secara umum gambaran foto thorak10 terdiri dari: - Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi. - Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi yang mengenai satu lobus di sebut pneumonia lobaris atau dikenal juga dengan round pneumonia. - Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak infiltrat yang dapat meluas ke daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkhial. Gamabaran foto thorak dapat membantu mengarahkan kecendrungan etiologi pneumonia. Pneumonia virus umumnya menunjukan gambaran infiltrat interstisial difus, hiperinflasi atau atelektasis, dan penebelan peribronkial.10,21,28 Ifiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.10,28 Pembesaran kelenjar

hilus sering terjadi pada pneumonia karena Haemophillus influenza dan staphylococcus aureus, tapi jarang pada streptococcus pneumonia.21

Gambar 2.3 Gambaran radiologi pada pneumonia akibat virus : Hiperinflasi, penebalan peribronkial, corakan perihiler meningkat, dan gambaran seperti atelektasis.14

Gambar 2.4 Gambaran radiologi pada pneumonia akibat pneumococcal pneumonia : konsolidasi udara di segmen superior pada lobus bawah kanan dengan adanya gambaran air bronchogram.14 2.7 Diagnosis

Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi dan atau serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai.10 Pneumonia pada anak umumnya secara klinis yang menunjukkan keterlibatan

sistem repiratori, serta gambaran radiologis dalam mendukung penemuan klinik dan atau mengidentifikasi adanya komplikasi seperti efusi pleura dan empiema.
10,13,28

Gejala yang menunjukan adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut, yaitu takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara napas melemah.10 Nafas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi nafas selama satu menit penuh ketika bayi dan anak dalam keadaan tenang. Sesak nafas dinilai dengan melihat adanya retraksi epigasitrium (tarikan dinding dana bagian bawah) ketika menarik nafas.10

2.8

Tatalaksana

Prioritas awal pada anak dengan pneumonia yaitu identifikasi dan penanganan ditres pernapasan, hipoksemia dan hiperkarbia. Merintih, napas cuping hidung, takipnue berat dan retraksi harus langsung ditangani. 23 Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan berdasarkan berat-ringan penyakit. Pada pneumonia ringan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas mencapai 90%.10 Antibiotik lini pertama yang diberikan adalah kotrimoksazol (4mg/kgbb) dan amoxicillin (25mg/kgbb).10,13 Indikasi pasien yang dirawat adalah24 sebagai berikut: Keadaan tampak sakit Usia <3 bulan Hipoksemia : saturasi oksigen kurang dari 93% Distres pernapasan Pneumonia berat Keadaan memburuk walaupun sudah terapi oral Keadaan sosial yang memprihatinkan

2.8.1 Terapi antibiotik Anak yang diduga dengan pneumonia bakteri harus diobati dengan antibiotik. 1. antibiotik oral Antibiotik oral diberikan pada pneumonia ringan-sedang. Pada bayi usia <3 bulan dengan pneumonia yang dirawat jalan, tidak memerlukan antibiotik. Umur 3 bulan-5 tahun Dosis dosis 30 mg/kg/dosis TDS maximum 500 mg/dosis 5 tahun Amoxicillin dosis 30 mg/kg/dosis tinggi TDS maximum 1000 mg/dosis 5 tahun, suspek Eritromisin 12,5 mg/kg/dosis pneumonia OR, Roxithromycin QID mikoplasma (hanya tablet) 4 mg/kg, BD Antibiotik Amoxicillin tinggi Durasi 5-7 hari

5-7 hari

7-10 hari

2. antibiotik parenteral a. pneumonia Anjuran terapi empiris intravena pada pasien yang tidak ada komplikasi pneumonia(bukan karena staphilococus, tidak ada abses paru dan tidak ada efusi pleura) adalah: Dose Interval 50 mg/kg/dosis 8 50 mg/kg/dosis 6 30-50 mg/kg/dosis 8 Maximum 2000 mg/dosis Lama terapi tergantung dari respon klinis. Terapi intravena harus diberikan sampai anak bebas demam, dan pada pneumonia yang berat, lama terapi biasanya 7-10 hari dengan monitoring denyut nadi, pernapasan, temperatur dan saturasi oksigen. Umur < 3 bulan Antibiotik Cefotaxim + Amoxicillin 3 bulan(imunisasi Amoxicillin lengkap

b. komplikasi pneumonia < 3 bulan 3 bulan Cefotaxim dan amoxycillin Amoxicillin + 30mg/kg/dosis(maksimal 6-8 jam asam clavulanic 1,2g/dosis Or cefuroxime 30mg/kg/dosis(maksimal 8 jam 1,5g/dosis kemungkinan staphylococcus pneumonia

c.

staphylococcus pneumonia berhubungan dengan abses paru dan empiema. Perumpamaan dalam setiap anak yang tidak sehat, memiliki abses atau infeksi metastasis sebagai akibat dari cacar air, influenza atau campak. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan darah. Pneumonia stafilokokus merupakan kegawatdaruratan medis. Antibiotik intravena yang sesuai untuk pneumonia S.aureus adalah: Flucloxacillin Clindamycin 50mg/kg(maksimal 6 jam 2000mg/dosis) 10 mg/kg(maksimal 6-8 jam 450/dosis

2.8.2 Terapi suportif Selain antibiotik, tatalaksana suportif diperlukan pada anak yang menderita pneumonia. Terapi suportif22 tersebut meliputi : 1. Oksigen Oksigen harus diberikan pada keadaan hipoksia. Hipoksemia merupakan manifestasi yang serius pada pneumonia anak.26 Hipoksemia adalah penyebab utama kematian pada anak dengan pneumonia.12 Hipoksemia bisa

ditentukan dengan menggunakan oximeter, penggunaan terapi oksigen diberikan bila saturasi oksigen pada oximeter dibawah 90-92%.12,22,26 Tetapi, jika oximeter tidak ada, oksigen diberikan ketika keadaan sianosis sentral, retraksi dinding dada, merintih, gelisah, tidak mau makan atapun minum, dan frekuensi nafas diatas 70 dalam semenit.22,26 Cara pemberian oksigen pada pasien Nasal prongs dianjurkan pada banyak anak. Pada penggunaan nasal prongs FiO2 bisa mencapai maksimum sekitar 28-35% tetapi pada bayi bisa lebih tinggi lagi. Kecepatan aliran oksigen 0.5-1 L/menit digunakan pada bayi < 2 bulan, sedangkan pada usia 2 bulan-5 tahun keecepatan aliran oksigennya sebesar 23L/menit. Nasal chateter, FiO2 pada nasal chateter mencapai 35-40%. Nasopharyngeal chateter berguna pada kecepatan ambilan O2 yang sangat rendah. Bayi < 2 tahun biasanya diberikan 0.5 l/menit dan pada bayi diatas 1 tahun diberikan 1 l/menit. Pemasangan nasopharyngeal chateter memiliki komplikasi yang bisa menimbulkan kematian seperti distensi lambung, obstruksi jalan napas, pneumoorbitus, dan pneumochepalus. Oksigen headbox. Metode ini sangat cocok untuk bayi muda. Oksigen headbox ini tidak memerlukan humidifikasi tetapi membutuhkan kekuatan aliran yang cepat untuk memastikan FiO2 yang diberikan sesuai. Oksigen sungkup, diberikan dengan kecepatan aliran 6-10 l/menit dengan FiO2 28-65%. Pada keadaan hipoksia berat pada bayi yang tidak terpasang ventilator, oksigen diberikan dengan menggunak polymask diperkiran FIO2 sekitar 60-80%. 2. Antipiretik dan analgetik Peningkatan suhu merupakan respon tubuh dalam mewalan infeksi. Peningkatan suhu ditatalaksana ketika suhu > 390c, adanya risiko

kejang demam, dan ada gangguan pada sistem saraf pusat. Nyeri pada pneumonia biasanya diakibatkan oleh pleuritis atau karena ada gangguan pada saluran nafas atas. Nyeri atau perasaan yang tidak enak pada saluran nafas baru ditatalaksana ketika sangat mengganggu fungsi pernafasan dan pembersihan sekresi mukus tidak adekuat. Obat yang sering digunakan yaitu parasetamol dengan dosis 15mg/kgbb, diberikan sebanyak 4-6 kali perhari. Jika parasetamol tidak mampu menghilangkan nyeri dapat ditambahkan kodein (0.5mg/kgbb tiap 8jam). 3. Transfusi darah Transfusi darah dilakukan pada anak dengan hemoglobin dibawah 7 jika anak dalam keadaan hipoksia atau kompensasi kardiovaskular

4. Cairan Pastikan kebutuhan cairan anak tetap terpenuhi. Anak tanpa ada komplikasi harus tetap memperoleh cairan rumatan. Apabila dehidrasi, lakukan rehidrasi segera. Enteral Anak dengan pneumonia harus didorong untuk makan secara oral kecuali ada penekanan dalam minum atau menelan, frekuensi batuk yang terlalu sering sehingga ditakutkan akan terjadi aspirasi isi lambung, dan hipovolemik yang dengan perfusi yang jelek. Pada bayi ASI harus tetap dilanjutkan pada saat yang tepat, tetapi jika tidak bisa melalui oral makanan harus tetap diberikan melaui nasogastric tube. Intravena Cairan intravena harus diberikan dengan hati-hati, cairan intravena diberikan jika ada monitoring cairan yang ketat. Indikasi pemberian cairan intravena pada pneumonia yaitu pada keadaan syok dan tidak bisa makan ataupun minum melalui oral.

Pada anak dengan pneumonia berat atau yang memiliki komplikasi, pemeriksaan urea serum dan elektrolit harus dilakukan sebelum pemberian cairan untuk mencegah

terjadinya SIADH (Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion). Pada anak, cairan harus dibatasi 40-60 dari kebutuhan normal. Jika terjadi hiponatremia, cairan isotonik harus diberikan setengah. 5. Nutrisi Kalori Jumlah kalori minimal pada anak dengan pneumonia 5060kkal/kgbb/hari. Pada pasien dengan malnutrisi dengan intake nutrisi yang jelek, membutuhkan tambahan kalori yang lebih dari biasanya. Ketosis pada anak dengan pneumonia harus dihindari dengan asupan karbohidrat yang cukup. Kebutuhan kalori anak harus cukup untuk kebutuhan metabolisme dan pertumbuhan anak. Pada pneumonia asupan kalori yang cukup harus dipantau secara ketat karena kebutuhan kalori yang tinggi pada pneumonia akibat

peningkatan aktivitas kerja pernapasan. Mikronutrien Pada anak dengan pneumonia pemberian zink 20mg/hari dapat mempercepat pemulihan. Oleh karena itu, pembrian zink pada pneumonia harus dipertimbangkan dalam pengobatan di rumah sakit.

2.9

Komplikasi Sindrom inappropriate anti diuretik hormon ( SIADH ) : sekresi hormon anti - diuretik menyebabkan retensi air dan mengakibatkan hiponatremia . Ini sering terjadi pada penyakit pernapasan anak Nekrosis paru : dicurigai pada kasus yang tidak berespon terhadap pengobatan, termasuk demam yang menetap. Untuk memastikannya, bisa digunakan CT Scan

Pneumatocoele : berupa kista berdinding tipis dengan udara didalamnya, biasanya diakibatkan oleh Staphylococcus aureus. Atelektasis. Empiema Abses paru. Bronkitis kronis / bronkiektasis : biasnya merupakan gejala sisa dari pneumonia

DAFTAR PUSTAKA

1.

2.

3.

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

11.

12. 13. 14.

World Health Organization. Pneumonia Factsheet. [citied 2013 October 31]. Geneva: World Health Organization: 2013. Avaible from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/index.html. World Health Organization, UNICEF. Global Action Plan for Prevention and Control of Pneumonia (GAPP). 2009. [citied 2013 October 31]. Geneva: World Health Organization. Avaible from: http://whqlibdoc.who.int/hq/2009/WHO_FCH_CAH_NCH_09.04_eng.pdf World Health Organization, UNICEF. Pneumonia : The Forgetten Killer of Children .2012. [citied 2013 October 31]. Geneva: : World Health Organization. Avaible from: http://whqlibdoc.who.int/publications/2006/9280640489_eng.pdf Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Kemenkes RI; 2011 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2011. Kemenkes RI; 2012 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Kemenkes RI; 2013 Dinas Kesehatan Kota Padang. Profil Tahunan Tahun 2011 Edisi 2012. Dinas Kesehatan Kota Padang; 2012 Dinas Kesehatan Kota Padang. Laporan Tahunan Tahun 2012 Edisi 2013. Dinas Kesehatan Kota Padang; 2013 Said Marjanis. Penanganan pneumonia anak balita dalam mencapai MDG4. Buletin Jendela Epidemiologi. Kemenkes RI; 2010; 3; 16-21 Said Marjanis. Pneumonia. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Ed I. Jakarta: IDAI; 2008; pp 350-65 Dahlan Zul. Pneumonia. Dalam: Aru W.S, Bambang S, Idrus A, penyunting: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed V. Jakarta: Pusat Penebitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009; pp 2196-206 Kuti BP, et al. Determinants of Oxygen Therapy in Childhood Pneumonia in a Resource-Constrained Region. Hidawi. 2013; 2013;1-6 Scott JAG, et al. Pneumonia research to reduce childhood mortality in the developing world. JCI. 2008; 118; 1291-1300 Durbin WJ, Stille C. Pediatric in review: Pneumonia. Pediatrics: 2008; 29; 147-160

15.

16. 17. 18.

19.

20.

21. 22.

23. 24. 25. 26.

27. 28.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Hasil Riset Kesehatan (RISKESDAS) Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2017 Kastasasmita BC. Pneumonia pembunuh balita. Buletin Jendela Epidemiologi. Kemenkes RI; 2010; 22-6 Weiss AK, et al. Adjunct Corticosteroids in Children Hospitalized With Community-Acquired Pneumonia. Pediatrics: 2011; 127; e255-263 Bradley JS, et al. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. CID: 2011 Stein RT, Marostica PJC. Community-Acquired Bacterial Pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendigs Disorder of the Respiratory Tract in Children. Ed 7. Philadelpia: WB Saundres; 2006; pp 441-52 Crowe JE. Viral Pneumonia. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A, penyunting. Kendigs Disorder of the Respiratory Tract in Children. Ed 7. Philadelpia: WB Saundres; 2006; pp 433-40 Retno AS, Landia S, Makmuri MS. Pneumonia. Divisi Respirologi Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU dr. Soetomo Surabaya: 2006 Zar HJ, et al. Diagnosis and management of community-acquired pneumonia in childhood South African Thoracic Society guidelines. South Afr J Epidemiol Infect: 2009; 24; 25-36 Bennet NJ, et al.Pediatric Pneumonia. [citied 2013 November 5]. Avaible from: http://emedicine.medscape.com/article/967822 Best D, Brabyn, Sheperd, Twiss. Pneumonia. Starship Childrens Health Clinical Guideline: 2010; 1-8 Dalimunthe W, Daulay RM, Daulay RS. Significant clinical features in pediatric pneumonia. Paediatrica Indonesiana: 2013; 53; 37-41 Supartha M, Purniti PS,Naning R, Subanada IB. Clinical predictors of hypoxemia in 1-5 year old children with pneumonia. Paediatrica Indonesiana: 2010; 50; 355-60 BTS Nelson

Anda mungkin juga menyukai