Anda di halaman 1dari 3

Global Warming Bumi mempunyai suhu yang sesuai bagi kehidupan baik manusia maupun lainnya, akibat dari

efek rumah kaca (ERK). Jika tidak ada ERK di dunia ini, maka bumi akan mempunyai suhu di bawah titik beku, yang akan berpengaruh terhadap kehidupan di muka bumi ini. Dengan demikian ERK tidaklah seburuk apa yang diduga oleh setiap insan yang awam terhadap pengetahuan tersebut. Di dalam atmosfer, bumi terdapat berbagai jenis gas. Dimana gas-gas tersebut dapat meneruskan sinar matahari yang bergelombang pendek, sehingga sinar matahari dapat sampai ke permukaan bumi dan akibat yang ditimbulkannya permukaan bumi menjadi panas, dan permukaan bumi memancarkan kembali sinar yang diterimanya. Menurut hukum fisika panjang gelombang sinar yang dipancarkan sebuah benda tergantung pada suhu benda tersebut. Makin tinggi suhunya akan semakin pendek gelombangnya. Matahari dengan suhu yang tinggi, memancarkan sinar dengan gelombang yang pendek. Namun sebaliknya karena permukaan bumi dengan suhu yang rendah, maka memancarkan sinar dengan gelombang panjang yaitu sinar inframerah. Sinar infra merah dalam atmosfer terserap oleh gas tertentu, hingga tidak terlepas ke angkasa luar. Panas yang terperangkap di dalam lapisan bawah atmosfir yang disebut troposfer. Sebagai akibat yang ditimbulkannya permukaan bumi dan tropsfer menjadi naik suhu udaranya, dan peristiwa inilah yang disebut dengan istilah efek rumah kaca. Gas yang menyebabkan terjadinya ERK disebut gas rumah kaca (GRK), yang antara lain meliputi uap air (H2O), Carbon dioksida (CO2), metan (CH4), N02, Ozon dan CFC (gas buatan manusia). Pemantauan terhadap kadar GRK dalam atmosfer, kecuali air menunjukan kecenderungan semakin meningkat; oleh karena itu dikhawatirkan intensitas ERK akan menjadi naik, hingga suhu permukaan bumi akan menjadi lebih tinggi dari keadaan sekarang ini; peristiwa inilah yang dikenal dengan istilah pemanasan global. Menurut Scneirder (1989), jika kecenderungan seperti sekarang ini terus berlangsung, maka pada abad yang akan datang suhu udara permukaan bumi akan naik antra 2,3o C sampai 7,0o C, walaupun kenaikan ini nampaknya kecil, namun dampaknya akan sangat besar. Pemanasan global telah menjadi isu internasional sejak beberapa dekade yang lalu, walaupun mungkin sebenarnya masih terdapat ketidakpastian apakah benar akan

terjadi pemanasan global. Sebagai akibat dari pemanasan global, memberikan dampak sangat besar baik terhadap iklim dunia, maupun kenaikan permukaan air laut. Timbulnya isu pemanasan global, karena dampaknya yang sangat besar, dan seandainya hal tersebut betul terjadi, akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut, yang secara langsung baik cepat atau lambat akan menimbulkan dampak dampak turunannya. Dampak iklim global ini akan mengakibatkan perubahan tatanan hujan pada suatu wilayah, dimana sebagian wilayah hujannya akan bertambah, dan beberapa wilayah lainya hujannya akan berkurang. Hal ini memberikan dampak turunan terhadap sistem pertanian dalam arti luas. Kenaikan permukaan laut akan menyebabkan terendamnya daerah pantai yang rendah, hal ini akan menimbulkan kesulitan terhadap negara-negara yang memiliki pulau-pulau kecil, negara dengan delta yang luas, serta negara yang memiliki rawa pantai yang luas. Di Indonesia daerah rawan pantai seperti mangrove, tambak udang, daerah pasang surut san kota-kota yang berdataran rendah seperti Jakarta, Banjarmasin, Surabaya, akan terancam terendam. Kerugian lain misalnya akan muncul gelombang badai dan meyusupnya intrusi air laut. Di lain pihak, ketika musim kering melanda, bangsa ini menghadapi kemungkinan kekeringan yang

berkepanjangan, untuk sektor kehutanan titik api akan semakin parah. Pada bulan September 2006 sendiri tercatat 26,561 titik api yang merupakan angka tertinggi sejak Agustus 1997 ketika sepanjang tahun 1997 tersebut tercatat hanya 37,938 titik api. Apabila benar kenaikan kadar GRK akan menyebabkan pemanasan global, maka fenomena yang terjadi tidak dapat dihindari lagi, akan tetapi harus diatasi serta ditangani seraca cermat berkelanjutan. Oleh karena itu usaha pertama yang harus ditempuh adalah dengan mengurangi emisi karbon ke atmosfer; dengan demikian upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain; a. Menaikan efesiensi penggunaan energi bahan bakar fosil. b. Mengikat dan mendaur ulang C02. c. Pengendalian pemanfaatan hutan secara tidak terkontrol. d. Peningkatan reboisasi dan penghijauan.

Untuk Indonesia, sumbangsih emisi gas rumah kaca dalam negri semakin besar, terutama emisi dari sektor deforestasi termasuk konversi lahan gambut dan hutan serta kebakaran hutan jika semuanya dimasukkan hitungan. Oleh karena itu beberapa organisasi di Indonesia meyakini bahwa kita adalah penyumbang emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia. Namun demikian terbuka lebar kesempatan bagi Indonesia dan negara-negara pemilik hutan lainnya untuk berkontribusi secara positif dalam mengurangi emisi di sektor kehutanan. Konvensi Perubahan Iklim yang akan digelar di Bali Desember 2007 direncanakan untuk membahas mekanisme insentif REDD (Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries) yang akan diberikan kepada negaranegara Non-Annex I yang menjaga hutannya. Indonesia memiliki kesempatan baik untuk membawa posisi yang kuat bagi mekanisme insentif REDD

dengan menciptakan pengukuran dan kebijakan untuk mengurangi dan memonitor laju deforestasi. Indonesia juga perlu mendesak negosiasi dengan kelompokkelompok negara lain agar mendapatkan dukungan di sisi REDD. Jika langkah-langkah adaptasi dan pengurangan emisi dari sektor kehutanan dapat dipersiapakan dan diimplementasikan dengan serius maka dapat menjadi sinyal positif bagi masyarakat bahwa Bangsa Indonesia siap menghadapi kemungkinan terburuk dari perubahan iklim.

Anda mungkin juga menyukai