Anda di halaman 1dari 8

IJTIHAD I. Definisi Ijtihad Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu.

Menurut istilah yaitu Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah atau Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits. Adapun dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59. II. Fungsi Ijtihad Ada beberapa fungsi ijtihad yaitu: 1. Terciptanya suatu keputusan bersama antara para ulama dan ahli agama (yang berwenang) untuk mencegah kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Quran dan Hadist. 2. Tersepakatinya suatu keputusan dari hasil ijtihad yang tidak bertentangan dengan All Quran dan Hadist. 3. Dapat ditetapkannya hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syariat berdasarkan prinsip -prinsip umum ajaran Islam. III. Cara Berijtihad Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut : 1. Qiyas = reasoning by analogy. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur'an dan asSunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh : Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ? Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu. 2. Ijma' = konsensus = ijtihad kolektif. Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya. 3. Istihsan = preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip

umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18. 4. Mashalihul Mursalah = utility Yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari'at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits.

http://yunexcute.blogspot.com/2010/11/ijtihad-dan-fungsinya.html
Pengertian,Kedudukan,dan Fungsi Ijtihad A. Pengertian Menurut pengertian kebahasaan kata ijtihad berasal dari bahasa Arab,yang kata kerjanya jahada,yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. B. Kedudukan Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Quran dan Hadis.Dalilnya adalah Al-Quran dan Hadis.Allah SWT berfirman:Artinya:Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu ke arahnya.(Q.S.Al-Baqarah,2:150) C. Fungsi Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu,yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Quran dan Hadis.

http://mihwanuddin.wordpress.com/2011/01/06/pengertiankedudukandan-fungsi-alqur%E2%80%99an-hadis-dan-ijtihad/

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG TRANSPLANTASI ANGGOTA BADAN Tidak semua persoalan yang timbul dalam kehidupan komunitas (umat) manusia ini ditunjuk secara tegas hukumnya oleh teks wahyu (al-Quran dan al-Sunnah). Namun, bukan berarti hukum Islam tidak memiliki jalan untuk merespons kompleksitas masalah yang terjadi. Pasalnya, di luar wahyu, penalaran terhadap berbagai persoalan yang menuntut jawaban hukum, wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Mengabaikan hal ini, bukan saja melemahkan syariat Islam, tapi juga akan menimbulkan kesulitan dalam kehidupan masyarakat Islam itu sendiri. Penalaran mengenai berbagai masalah yang tidak ditunjuk kepastian hukumnya oleh teks wahyu demikian ini dikenal dalam konstelasi hukum Islam dengan istilah ijtihad. Dalam berijtihad aktualisasi rayu sebagai media untuk menyingkap hukum bagi semua persoalan yang tidak tegas hukumnya melalui nash, mutlak diperlukan. Ijtihad dengan rayu demikian ini ditempuh dengan menggunakan metode qiys, ihtihsn, istishlh atau lainnya.[14]Karena itu, ijtihad ini ---menurut Salm Madkr--- disebut dan dikelompokkan ke dalam ijtihd qiysi dan ijtihad istishlhiy.[15]

Dalam penjelasannya, Salm Madkr mengatakan bahwa ijtihd qiysiy adalah upaya seorang mujtahid dalam mencurahkan kemampuannya untuk mencapai hukum yang tidak ditunjuk oleh nash qatiyatau zhanniy dan tidak juga dijelaskan dalam ijma terdahulu sebelumnya. Hal ini, lanjutnya, ditempuh melalui qiys dan ihtihsn yang memang ditempatkan oleh al-Syri sebagai media penunjuk untuk itu. Sedang ijtihd istishlhiy adalah kesungguhan yang diupayakan oleh seorang mujtahid untuk mencapai hukum syariy dengan cara mengimplementasikan kaedah-kaedah umum. Hal ini berlaku dalam hal yang bisa dicapai dengan kaedah-kaedah dan nash yang bersifat kulliy yang tidak ditunjuk langsung oleh nashyang sifatnya khusus dan tidak juga dijelaskan oleh ijma sebelumnya serta tidak bisa dicapai dengan qiys dan istihsn. Ia tidak bisa ditetapkan semata-mata untuk tujuan mengambil mashlahat dan menolak kerusakan (bahaya), sesuai tuntutan kaedah-kaedah syara. Ijtihd qiysiy dan istishlhiy ini, menurutnya, merupakan ruang bagi terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.[16] Kategorisasi yang sama, juga diungkapkan oleh Maruf al-Duwalibiy, sebagaimana dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, ijtihad qiysiyadalah ijtihad yang dilakukan guna menciptakan (wadh) hukum syara bagi persoalan yang terjadi yang tidak ditegaskan hukumnya di dalam al-Quran dan al-Sunnah melalui analogi hukum yang telah diciptakan oleh nash.Sementara ijtihad istishlhiy menurutnya menciptakan hukum tersebut dengan rayu yang didasarkan atas kaedah istishlh.[17] Selanjutnya, kedua macam ijtihad ini (qiysiy dan istishlhiy) dapat bersinerji untuk dijadikan sebagai media dalam menyingkap hukum bagi ragam persoalan di luar nash, termasuk masalah transplantasi yang menjadi tema bahasan dalam masalah ini. Dikatakan bersinerji oleh karena di dalam qiys terdapat illat yang merupakan komponen terpenting dan menjadi fokus utama pembicaraan para ulama seputar qiys. Hal ini, karena ia (illat itu) yang merupakan tambahan hukum dan dengannya pula hukum dapat direntangkan. Oleh sebab itu, dalam hal suatu illat tidak dapat diketahui oleh akal, maka terhentilah qiys. Itulah sebab mengapa tidak terjadi (tidak dibenarkan) adanya qiys dalam poersoalan yang sifatnya devotif (taabbudiy), seperti shalat, zakat , dan haji.[18] Pasalnya, dalam hal-hal demikian tidak terbuka peluang bagi rayu untuk menyingkap illat-nya. Termasuk ke dalam bagian ini adalah ketentuan mengenai bilangan tertentu dalam hukum Islam (al-Muqaddirt al-Syariyyah), seperti bilangan rakaat dalam shalat, nishb zakat, jumlah putaran dalam thawaf dan sai, ketentuan hukum yang terkait pidana seperti 80 kali dera atas penuduh zina (qadzaf) dan 100 kali dera atas pelaku zina, dan lain-lain. Pembicaraan tentang illat sebenarnya berpangkal pada keyakinan yang kuat bahwa ditetapkannya hukum dalam Islam tidak terlepas dari adanya mashlahat bagi umat manusia yang bertumpu pada tercapainya manfaat (kebaikan) dan terhindarnya bahaya (kerusakan/keburukan) dalam kehidupan mereka. Mashlahat inilah yang dikenal dalam wacana pemikiran hukum Islam dengan sebutan maqshid (tujuan umum disyariatkannya hukum Islam) yang terhimpun secara induktif ke dalam lima hal pokok: (a) memelihara agama; (b) memelihara jiwa; (c) memelihara akal; (d) memelihara keturunan/kehormatan;

dan (e) memelihara harta. Kelimamaqshid (tujuan) hukum Islam ini oleh al-Syatibiy dikategorikan sebagaimashlahat primer ( ) yang tidak berubah sepanjang masa,[19]sedang perbuatan manusia dapat berkembang dan berubah-ubah sesuai perubahan waktu, tempat, dan keadaan yang melingkupinya. Illat yang bertumpu atas dasar mashlahat demikian ini bertemu dengan konsepistishlh Istishlh merupakan terminologi baru di kalangan ushuliyyn yang digunakan untuk menyelaraskannya dengan penggunaan konsep istihsn. Diduga al-Ghazali adalah satu di antara mereka yang pertama kali mengenalkan istilah ini untuk menyebut penggunaan kaedah mashlih mursalah sebagai dasar bagi pembinaan hukum.[20] Dilihat dari segi tingkatannya, mashlih itu ada yang bersifatdharriyyat (primer), ada pula yang bersifat hjiyyat (sekunder); dan ada pula yang sifatnya sebagai pelengkap semata yang disebut: tahsiniyyat. Namun, bila dilihat dari segi penunjukan dalil syariy atas mashlahat itu, maka dapat dirinci sesuai macam dalilnya: ada yang berupa dalil juziy dan ada pula yang berupa dalil kulliy. Yang dimaksud dengan dalil juziy adalah dalil tertentu dari al-Quran, al-Sunnah, Ijma atau Qiys yang menunjuk secara khusus suatu masalah tertentu. Sedang dalil kulliy dimaksud adalah kaedah-kaedah umum atau yang sering disebut dengan kaedah pokok agama yang dihasilkan, pada umumnya, secara induktif dari teks-teks wahyu (nushsh). Mashlih tersebut dilihat dari segi dalil khusus tertentu yang menunjuknya, (a) ada yang mutabarah yakni mashlahat yang ditunjuk langsung oleh dalil tertentu secara khusus yang menunjukkan pula adanya pengakuan al-Syri terhadapnya untuk maksud pemeliharaan terhadap kelima mashlahat dharuriyyat di atas, yakni: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta; (b) ada pula yang mulght yakni mashlahat yang ditunjuk oleh nash tertentu tentang penolakan al-Syri terhadapnya, karena bertentangan dengan maksud al-Syri dari penetapan hukum-Nya. (c) ada pula yang tergolong mursalah, yakni mashlahat yang tidak ditunjuk oleh dalil tertentu secara khusus, baik dari al-Quran ataupun al-Sunnah tentang pengakuan al-Syri atau penolakan-Nya terhadapnya.[21] Dengan demikian dapat dipahami bahwa term: mashlih itu disebutmursalah bilamana tidak ditemukan adanya dalil juziy tertentu yang menunjuk tegas adanya pengakuan al-Syri atau penolakan-Nya terhadapnya (mashlih itu). Namun, tidak ada mashlih yang sifatnyamursalah bila ia dikaitkan dengan dalil kulliy. Mashlih, bila terkait dalilkulliy (kaedah-kaedah pokok agama yang sifatnya global) hanya ada dua kemungkinan saja: diterima (diakui) yakni: mutabarah atau tertolak secara hukum (agama) yakni: mulght. Karena itu, suatu masalah tertentu umpamanya, boleh jadi termasuk mashlih mursalah di satu sisi bila dilihat dari sudut tidak adanya dalil juziyyang menetapkan (baca: mengakui)-nya dan tidak pula menolaknya; namun, di saat yang sama, masalah tersebut merupakan mashlih mutabarah dari sudut ketercakupannya ke dalam dalil kulliy yang mengakuinya (tidak adanya pertentangan masalah itu dengannya).

V. ANALISIS MASALAH TRANSPLANTASI DALAM PERSPEKTIFMASHLAHAT Agaknya tepat bila konsep mashlahat diangkat sebagai instrument analitis terhadap ragam masalah yang tidak ditegaskan jawaban hukumnya di dalam nash. Sebagai uraian terdahulu, Islam juga melarang manusia untuk membunuh anak karena takut miskin (Q.S. 6: 151; 17:31), membunuh orang lain tanpa alasan yang benar (Q.S. 25: 68), maupun melakukan bunuh diri (Q.S. 4: 29). Profesi kedokteran merupakan salah satu ikhtiar manusia untuk memelihara kehidupan dirinya. Berobat merupakan kewajiban setiap muslim yang sakit (H.R. Ahmad), walupun kita yakin bahwa hanya Allah-lah yang menyembuhkan penyakit (Q.S. 26: 80). Di antara produk kemajuan di bidang kedokteran itu adalah transplantasi anggota badan yang merupakan hasil rekayasa ahli kedokteran untuk mengembalikan fungsi jaringan atau organ tubuh yang rusak. Namun, kemajuan yang ada tentu tidak terlepas dari resiko kerugian yang mengancam objek pelakunya, betapa pun aspek manfaat yang didapat cukup mengagumkan. Demikianlah halnya dengan transplantasi. Ia tidak terlepas dari segi positif yang diharapkan dan bahkan mungkin segi negatif yang tidak diinginkan. Merespons dilema kemanusiaan yang lahir sebagai dampak langsung dari bioteknologi serupa ini, hukum Islam hadir melakukan pertimbangan objektif terhadap frekwensi manfaat dan kemudharatan yang ditimbulkan praktik transplantasi. Dari segi kemashlahatannya, transplantasi anggota badan paling tidak mendatangkan dua hal: 1. Bagi resipien, dapat melanjutkan kehidupannya. 2. Bagi donor, merupakan sarana amal jariyah yang tidak ternilai harganya dan sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. 5: 32 seperti tersebut di atas.[22] Kecuali itu, dalam proses transplantasi ini sedikitnya juga ada dua kemudharatan, yakni: 1. Apabila tidak dilakukan transplasi, akan terdapat kemudharatan berupa kematian pada diri calon resipien. 2. Apabila dilakukan transplantasi, maka terpaksa akan dilakukan operasi yang mungkin akan mendatangkan kemudharatan bagi keduanya (resipien dan donor sekaligus), hanya saja tidak menimbulkan kematian tetapi mengakibatkan cacat. Menurut tinjauan medis, berdasar atas penelitian Barker (1986), bahwa tingkat kematian donor pada waktu operasi adalah 0,05%. Dalam transplantasi ginjal, umpamanya, satu ginjal yang tersisa pada donor akan mengalami hipertrofi konpensasi sehingga fungsi renal akan kembali normal. Komplikasi pada donor yang dilaporkan adalah proteinuri dan hipertensi ringan yang terjadi paling cepat setelah sepuluh tahun.[23] Dengan memperhatikan adanya kemashlahatan yang terdapat dalam proses transplantasi dan adanya kemudharatan seperti yang tersebut di atas dapat kiranya dikatakan bahwa mashlahat yang ditimbulkan relatif lebih dominan daripada

kemudharatan yang terjadi. Lebih dari itu, dengan memperbandingkan sisi kemudharatan yang ada itu terlihat bahwa pada proses transplantasi ini terdapat dua permasalahan yang salah satunya lebih ringan daripada yang lain. Dalam hal ini, apabila ada dua hal kemudharatan yang terjadi, maka kemudharatan yang lebih besar diusahakan hilangnya dengan menempuh mudharat yang lebih kecil resikonya. Dengan kata lain, sesuai dengan kaedah ushuliyyah, hendaknya dipilih salah satu mudharat yang lebih ringan dengan menjauhi atau menghindari akibat yang lebih besar resikonya.

)(
Berdasar atas pertimbangan seperti di atas, secara umum dapat dinyatakan bahwa transplantasi dibenarkan (mubah) adanya menurut tinjauan hukum Islam. Lebih jauh Imam besar al-Azhar dalam bukunya: al-Fiqh alIslamiyMuruatuh Wa Tathawwuratuh menyatakan bahwa dasar pencangkokan organ tubuh manusia antara lain: Wasiat dengan sebagian anggota tubuh manusia bukanlah termasuk wasiat yang dilarang dalam hukum syara. Keinginan seseorang untuk dirinya sendiri dibatasi oleh sesuatu yang tidak menimbulkan bahaya atas dirinya sendiri. Diperbolehkannya memindahkan sebahagian tubuh (anggotanya) manusia yang masih hidup ke tubuh manusia yang lain dengan beberapa syarat, sebagaimana diperbolehkannya donor darah dari seseorang ke orang lain dengan beberapa syarat, sehingga dokter dengan perkiraannya untuk menggunakan pemindahan ini merupakan suatu usaha yang paling akhir. Diperbolehkan memotong sebagian dari anggota tubuh mayat apabila si-mayat telah berwasiat sebelum ia meninggal dunia atau dengan kesepakatan (izin) ahli warisnya, atau atas izin orang banyak (masyarakat). Dilarang menyiksa orang yang sakit dalam keadaan sakarat al-mautdengan menggunakan obat apa pun, selama mendirikan dokter bahwa hal itu tidak mendatangkan manfaat.[24] Selain itu, DR. H. Yurnalis Uddin dalam bukunya: Islam untuk disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, menyatakan bahwa ada beberapa panduan Islam untuk pelaksanaan operasi transplantasi antara lain: Harus ditetapkan oleh satu team ahli bahwa keadaannya memang dharurat, tidak ada cara lain yang diketahui manusia yang sama manfaatnya dan keberhasilannya dengan operasi transplantasi. Sedapat-dapatnya harus mendapat izin donor dari yang meninggal, selagi ia masih hidup. Namun, jika tidak ada pernyataan seperti itu, maka harus dimintakan izin dari keluarganya atau ahli waris dari yang meninggal itu. Pengambilan alat tubuh untuk keperluan pencangkokan tersebut hanya dibatasi pada alat tubuh yang benar-benar dibutuhkan. Harus dihindari mengambil alat tubuh atau jaringan yang sebenarnya tidak diperlukan bagi operasi transplantasi.[25] Sisi lain yang perlu dilihat dalam menyingkap hukum transplantasi anggota badan adalah illat (motivasi) dan tujuan dari pelaksanaan praktik itu.

1. 2. 3.

4.

5.

1.

2.

3.

Apabila tujuan pencangkokan itu adalah sebagai batas terakhir cara pengobatan, sehingga tampak pelaksanaannya dapat menimbulkan mafsadat(kerusakan dan kerugian), maka pencangkokan dapat dikatakan sebagai tindakan dharurat, sehingga dengan demikian hukum pencangkokan yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seorang pasien, adalah mubah hukumnya.[26] Pada kasus tertentu, sering sekali pencangkokan dilakukan untuk pengobatan agar cacat jasmani bisa sembuh dan pulih, tetapi tidak sampai menimbulkan kematian, seperti cacat bibir (sumbing), atau kornea mata yang rusak yang menimbulkan kebutaan. Dalam cacat demikian itu, pada kenyataannya, memang berat bagi sipenderita dan secara psikologis besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan mentalnya, terutama bagi anak-anak usia sekolah atau yang berstatus gadis. Dalam kondisi seperti itu, bukan saja pengaruh kejiwaan akibat cacat jasmani yang menjadi beban, tetapi lebih dari itu kelainan jasmani itu sendiri akan membatasi kemampuannya untuk dapat berfungsi secara wajar. Dari kondisi demikian itu dipahami bahwa cacat jasmaniyah dapat mengakibatkan kesehatan jiwa terganggu dan sebaliknya jiwa yang terganggu akan berakibat pula pada gangguan jasmaniyah. Untuk tidak menimbulkan komplikasi cacat jasmaniyah dan rohaniyah, maka pengobatan dengan pencangkokan dapat dikatakan sangat diperlukan. Desakan kebutuhan pada kasus di atas, secara hukum Islam dapat kiranya digolongkan ke dalam tingkat dharurat juga. Dalam kaedah ushuliyyah dinyatakan:

.[ 27]
Hajat itu menempati posisi dharurat, baik secara umum maupun secara khusus. Akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa hukum transplantasi untuk tujuan pengobatan dan menghilangkan cacat badan adalah mubah. Di negara-negara yang telah maju teknologinya, didirikan suatu bank mata, dengan tujuan memperoleh mata dari orang yang telah meninggal, untuk kermudian dikirimkan ke dokter mata di mana saja yang memerlukannya untuk menyembuhkan kebutaan. Cornea donor yang segar dapat disimpan dalam lemari es dengan suhu 40 derajat celcius dan dapat dipergunakan untuk transplantasi dalam batas waktu 48 jam sesudah donor meninggal. Di Indonesia pun berdiri sebuah perkumpulan yang bernama PPMT (Perkumpulam Penyantun Mata Tunanetra), yang berpusat di Jakarta, didirikan pada tanggal 10 Maret 1986, dan cabangnya di Yogyakarta. Adapun usaha kemanusiaan ini bertujuan tiada lain adalah untuk mengangkat seseorang tunanetra kembali kepada keadaan jasmani yang lengkap. Ini berarti membantu melepaskan diri dari ketergantungan sosialnya. Usaha kemanusiaan ini mencerminkan keluhuran budi manusia dalam mengembangkan ilmu dan teknologi. Kendati tidak terdapat pernyataan tegas dari al-Quran dan al-Hadits tentang hukum trasplantasi kornea mata, pada dekade terakhir ini (abad XX) para ahli fiqh telah sepakat memutuskan tentang diperbolehkannya kornea mata untuk ditransplantasikan kepada orang yang membutuhkannya.[28]

Pendapat ini juga dikuatkan lagi dengan pandangan Manna al-Qaththan yang menegaskan bahwa transplantasi organ tubuh manusia, baik dari yang sudah mati maupun dari yang masih hidup, asal terdapat pasien yang sangat membutuhkan, sedang pihak donor telah ikhlas untuk memberikannya, maka hukumnya akan menjadi bertahap-tahap. Artinya, dimungkinkan hukumnya mubah, sunnah, dan bahkan wajib. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi keuangan pasien yang membutuhkan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa transplantasi dapat ditetapkan hukumnya secara ijtihadiyyah sesuai dengan illat yang ada. VI. PENUTUP Demikianlah uraian penulis tentang donor dan transplantasi anggota tubuh dalam perspektif hukum Islam; sebagai uraian yang jauh dari sempurna.xs Dari uraian yang terdahulu mengenai masalah ini dapat disimpulkan bahwa masalah transplantasi adalah termasuk persoalan ijtihadiyyah. Namun, secara umum, berdasar atas pertimbangan mashlahat yang timbul dari proses transplantasi ini, dapat dinyatakan bahwa hukumnya adalah mubah. Selebihnya, pertimbangan lain dari segi hukum dapat ditetapkan dengan memperhatikan illat dan tujuan dari pelaksanaan trasplantasi itu.Wallahu alam bi al-shawab http://afifahhabie.blogspot.com/2013/04/donor-dan-transplantasi-anggota-badan.html

Anda mungkin juga menyukai