Anda di halaman 1dari 11

Reliabilitas dan Ketepatan Panduan Computed Tomography dalam Deteksi Patah Tulang Vertebral

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keandalan panduan CT (sCT) radiografi lateral, dalam hal akurasi diagnostik dan kesepakatan intra serta interobserver dalam mendeteksi patah tulang vertebral (fraktur vertebra). Metode: 300 pemeriksaan CT dada dan / atau vertebra lumbal dikumpulkan dan dianalisis secara independen oleh 3 ahli radiologi muskuloskeletal dalam 2 sesi yang berbeda. Pendekatan semikuantitatif digunakan untuk penilaian fraktur vertebra pada SCT, dan analisis morfometrik dilakukan ketika dicurigai adanya fraktur vertebra. Hasil rekonstruksi multiplanar sagital CT yang ditafsirkan oleh ahli radiologi dianggap sebagai standar baku. Arthrosis juga dinilai. Hanya badan vertebra yang dinilai baik oleh sCT dan standar baku yang dianggap bisa dianalisis. Area di bawah penerima operasi kurva karakteristik (AUROC), statistik kappa Cohen dan asosiasi linearby-linear digunakan untuk analisis statistik. Hasil: 1522 vertebra (130 laki-laki dan 170 perempuan; usia, 73.02.8 tahun). 73 dari 1522 (4,8%) fraktur vertebra diidentifikasi dalam 34/300 pasien (11,3%). Sensitivitas dan spesifisitas sCT dalam mendeteksi fraktur vertebra , masing-masing adalah 98,7% dan 99,7%. Akurasi (AUROC=0.9920.008), sebagaimana kesepakatan interobserver (k=0.9680.008), adalah sangat baik. Kesepakatan intraobserver bernilai sempurna (k=1.000). Kinerja dari metode ini adalah independen untuk arthrosis, level vertebral , jenis dan tingkat fraktur vertebra. Kesimpulan: sCT adalah metode sederhana namun sangat akurat untuk mendeteksi fraktur vertebra. Ini harus diperkenalkan sebagai alat evaluasi tulang belakang/vertebra untuk mendeteksi fraktur vertebra dalam pemeriksaan yang dilakukan untuk tujuan diagnostik lainnya.

Kemajuan dalam pengetahuan: sCT radiografi lateral merupakan alat yang akurat untuk mendeteksi fraktur vertebra. Teknik ini mungkin digunakan dengan beberapa keunggulan dalam praktek klinis. Vertebra yang mengalami keretakan setelah trauma ringan atau tidak ada laporan trauma merupakan salah satu tanda yang paling khas dari osteoporosis. Patah tulang belakang (fraktur vertebra) lebih sering terjadi dan lebih awal dari patah tulang karena osteoporosis lainnya, dan hal ini merupakan ciri dari penyakit .

Telah terbukti bahwa lebih dari 50% dari fraktur vertebra tidak ada keluhan secara klinis dan karena itu sering tidak terdiagnosis. Hal ini secara substansial memberikan kontribusi untuk tidak meremehkan osteoporosis dan tidak mengobatinya. Total biaya yang dikeluarkan untuk menangani fraktur vertebra diperkirakan mencapai 337juta pertahun di Uni Eropa, meskipun pencegahan dini dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan fraktur vertebra berikutnya. Namun, beban sosial dan ekonomi yang terkait dengan fraktur vertebra jauh lebih tinggi, karena mereka memprediksi risiko untuk patah tulang lebih lanjut, bahkan di tempat lain, juga secara independen dari kriteria densitometri tulang. Misalnya, biaya medis langsung untuk patah tulang dari ekonomi kesehatan Inggris diperkirakan mencapai 1,8 miliar pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 2 miliar pada tahun 2020, dengan sebagian besar biaya ini terkait dengan perawatan patah tulang panggul. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa teknik pencitraan telah diusulkan untuk mendeteksi fraktur vertebra. Penilaian tulang belakang dengan tujuan untuk mendeteksi fraktur vertebra telah dilakukan dengan dasar utama radiografi tulang belakang dan scan absorptiometri dual-energi X-ray. Dengan cara yang sama, beberapa metode telah ditemukan baik semi-kuantitatif ataupun kuantitatif untuk mendeteksi fraktur vertebra. Penilaian semi-kuantitatif visual pada radiografi tulang belakang konvensional merupakan pemeriksaan yang divalidasi dan metode yang digunakan dalam praktek klinis, namun, beberapa penulis mendukung pengkombinasian visual metode morfometrik semi-kuantitatif dan kuantitatif untuk mengatasi keterbatasan masing-masing metode. Ilmu pencitraan dan meningkatnya jumlah pemeriksaan pencitraan, keduanya membantu dan menenggelamkan praktek klinis, menyediakan lebih banyak gambar yang berpotensi memberikan informasi klinis. Pentingnya diagnosis insidental fraktur vertrbra selama pemeriksaan radiologi telah ditekankan dalam beberapa dekade terakhir, dengan literatu ryang muncul secara eksponensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deteksi masih rendah

bila fraktur vertebra bukan yang dicari dalam penelitian. Radiografi dada dan perut, serta CT rekonstruksi multiplanar sagital (MPRS), telah dipertimbangkan menyusul meluasnya penggunaan pencitraan CT. Dibeberapa tahun terakhir, peluang untuk mendeteksi fraktur vertebra dengan adanya tambahan urutan

teknik pencitraan canggih, seperti lokalisasi scan CT dan MRI, juga diselidiki. Sebuah penilaian yang cepat terhadap tulang belakang menggunakan urutan pencitraan yang diremehkan ini mungkin akan diusulkan untuk mendukung adanya bentuk evaluasi yang sistematis dari tulang belakang dan kebutuhan untuk mengenali osteoporosis dini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi keandalan panduan CT (sCT) radiografi lateral, dalam hal akurasi diagnostik dan kesepakatan intra serta interobserver dalam mendeteksi patah tulang vertebral (fraktur vertebra). METODE DAN BAHAN 300 pemeriksaan CT tulang belakang yang dilakukan dalam tahun terakhir secara retrospektif dan acak dikumpulkan dari arsip radiologi digital dari lembaga kami . Kriteria eksklusi diatur dalam rekrutmen gambar yang terbatas untuk ( a) pasien yang lebih muda dari 40 tahun , ( b ) trauma mayor, ( c ) CT yang difokuskan pada vertebra servikal saja, ( d ) tidak adanya rekonstruksi sagital antara urutan diagnostik , dan tentu saja ( e ) tidak adanya atau tidak terbacanya rangkaian sCT . Teknik CT Gambar diperoleh dari 64 irisan VCT LightSpeed scanner ( GE Healthcare , Milwaukee , WI ) , dengan ketebalan irisan 0,6 mm . sCT terdiri dari frontal dan lateral dua alat scan dimensi energi rendah yang rata-rata mencakup dari dada bagian atas hingga tingkat vertebra sacral , tergantung pada area yang diinginkan untuk tercakup dalam scan diagnostik . Parameter CT standar untuk pencitraan tulang belakang adalah sebagai berikut : 120 kVp , variabel mAs (dari 100- 700 mAs , rata-rata , 400 mAs ) untuk mencapai indeks kebisingan 18 . MPRS sagital dilakukan secara rutin (ketebalan 0,6 mm, pengaturan agar tidak tumpang tindih sebesar 0,3 mm spasi).

Evaluasi Pencitraan Sebelum pemeriksaan, sCT dari 50 subjek yang dipilih secara acak diluar penelitian digunakan sebagai media pelatihan untuk pembaca yang terdaftar dalam penelitian ini . 3 ahli radiologi, dengan 9 tahun, 5 tahun, dan 3 tahun pengalaman di bidang rangka, membaca sCT gambar dari 300 pasien yang dipilih untuk investigasi dan evaluasi secara mandiri dan diulang setelah 15 hari. Di sisi lain, ahli radiologi tulang yang paling ahli mengevaluasi seri pasien dengan CT konvensional (sagital MPR) setelah 30 hari sebagai standar baku (GS). Kedua dokter muda juga melakukan pembacaan berikutnya yakni sesi sagital MPR . Evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan Carestream PACS v 11.0 ( Carestream Kesehatan , Rochester ,NY ) . Dokter lain bertanggung jawab untuk pengumpulan data dan mengacaknya . Gambaran demografis dan identifikasi informasi lainnya tidak ditampilkan, dan mereka disajikan dengan pengaturan yang berbeda dalam dua sesi . Rincian keandalan studi tidak diungkapkan kepada pembaca . Penelitian ini dilakukan sesuai dengan Deklarasi Helsinki . Target segmen tulang belakang untuk mendeteksi fraktur vertebra secara konvensional ditetapkan pada T4 - L4 , secara independen dari segmen tulang belakang di bawah pemeriksaan , dan hanya tingkat vertebral yang tercakup oleh masing-masing dua mode pemindaian CT ( SCT dan sagital MPR - GS ) dipertimbangkan untuk analisis kinerja diagnostik . Pendekatan diagnostik semikuantitatif seperti yang dijelaskan oleh Genant et al [ 10 ] untuk radiografi tulang belakang yang digunakan untuk mendeteksi fraktur vertebra pada gambar sCT dan CT pencitraan konvensional . Suatu deformitas tulang belakang >20 % yang menyebabkan penggurangan tinggi dengan penurunan ketinggian vertebral dari > 10-20 % didefinisikan sebagai patah tulang , yang sesuai dengan sistem penilaian empat tingkat juga digunakan untuk tingkat keparahan dari fraktur vertebra yaitu fraktur ringan , pengurangan tinggi tulang belakang 20-25 % dibandingkan dengan tulang normal ( derajat 1 ) ; fraktur sedang , penurunan ketinggian 25-40 % (derajat 2 ) , dan fraktur yang parah, penurunan ketinggian lebih dari 40% (derajat 3). Evaluasi morfometrik kuantitatif hanya dilakukan

untuk mengkonfirmasi keadaan dan derajat fraktur ketika dicurigai secara visual. Pada kejadian perselisihan antara metode semi-kuantitatif dan morfometri untuk penentuan derajat fraktur vertebra, pengukuran morfometrik dianggap sebagai pengklasifikasi akhir (Gambar 2). Deformitas vertebra karena penyebab lain selain patah tulang diklasifikasikan sebagai deformitas non-osteoporosis. Ini dianggap bukan fraktur dalam analisisnya. Lebih lanjut, ahli radiologi menetapkan nilai derajat artrosis pada sCT: derajat 0 (tidak ada artrosis), derajat 1 (osteoporosis ringan), dan derajat 3 (osteoporosis berat dengan jembatan tulang). Kualitas pemindaian direkam berdasarkan evaluasi pembaca yang paling ahli sebagai baik, cukup, atau buruk. Jarak antar tingkatan vertebral dapat diperoleh untuk tujuan diagnostik yang terhitung dan terdaftar. Waktu yang diluangkan untuk mengevaluasi sCT dan CT dari setiap pasien direkam secara terpisah. Penilaian Reliabilitas, analisis data, dan metode statistik Reliabilitas dievaluasi meliputi sensitifitas, spesifisitas, dan keakuratan, sebagaimana kesepakatan inter dan intraobserver terhadap jejas dan analisis dasar terhadap pasien. Prevalensi fraktur vertebra didefinisikan sebagai deformitas dari derajat 1. Yang kedua, kami menggunakan klasifikasi yang lebih restriktif untuk fraktur vertebra, menetapkannya sebagai bentuk sedang hingga berat (derajat 2-3). Sensitifitas, spesifisitas, dan keakuratan sCT dalam mendeteksi fraktur vertebra (atau pasien fraktur) dikalkulasikan dengan mempertimbangkan evaluasi dari ahli radiologi terhadap gambar CT sebagai standar baku, disebutkan terlebih dahulu. Keakuratan yang diekspresikan oleh rata-rata AUROC standar kesalahan dari rata-rata tersebut. Akurasi yang sempurna ditetapkan dengan nilai AUROC >0.900, akurasi yang baik untuk nilai antara 0.800 dan 0.900, akurasi sedang untuk nilai antara 0.700 dan 0.800, akurasi buruk untuk nilai antara 0.600 dan 0.700, dan akurasi gagal untuk nilai 0.500 dan 0.600. Kesepakatan intra dan

interobserver dievaluasi oleh nilai rata-rata statistik Cohens kappa; standard kesalahan dari nilai rata-rata kappa juga diperkirakan.Nilai kappa dibandingkan dengan nilai distribusi z. Kesepakatan yang sempurna didefinisikan sebagai nilai kappa >0.750 menurut Fleiss. Data dianalisis dengan uji Mann-Whitney dan asosiasi linear-by-linear. Variabel berkelanjutan diuji dengan rata-rata metode nonparametrik (uji berpasangan Wilcoxon). 2-tailed nilai p <0.05 dianggap signifikan. Data dilaporkan sebagai frekuensi dan rata-rata standar deviasi. Sistem statistik SPSS (v.13.1 for windows; SPSS Inc.,Chicago, IL) digunakan untuk analisis stastistik.

Hasil Ambang dari 300 pemeriksaan tulang belakang dicapai setelah menyaring 354 pemeriksaan. Dengan demikian, 54 pemeriksaan lainnya termasuk dalam kriteria eksklusi, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Populasi yang terlibat dalam penelitian ini terdiri dari 130 laki-laki dan 170 wanita berumur 73.02.8 tahun (41-92 tahun). Data penelitian yang terkumpul terdiri dari 284/300 (94.7%) vertebra lumbal, 6/300 (2.0%) vertebra torakal, dan 10/300 (3.3%) vertebra torakolumbal CT. 1522 vertebra memiliki kesamaan antara gambaran pada CT dan sCT.

Berdasarkan evaluasi pemeriksaan CT diagnostik untuk tulang belakang oleh ahli radiologi (evaluasi standar baku), 34 pasien ditemukan beresiko mengalami fraktur vertebra (11.3%), dan total dari 73 fraktur vertebra yang teridentifikasi (4.7% dari semua vertebra yang tersedia; derajat: 44 ringan, 18 sedang, 11 berat; bentuk: 35 seperti baji, 26 bikonkaf, 12 hancur; level: 1 T7, 2 T8, 4 T9, 2 T10, 5 T11, 11 T12, 21 L1, 10 L2, 9 L3, 8 L4). Artrosis sedang hingga berat ditemukan pada 103 pasien (34.3%). Kualitas pemindai sCt tercatat sebagai baik pada 174 (58.0%) kasus, cukup pada 83 (27.7%) kasus, dan buruk pada 43 (14.3%) kasus, untuk tujuan diagnostik.

Waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk pemeriksaan tunggal adalah 32.23.4 detik dan 72.54.1 detik untuk sCT dan CT, secara berturut-turut (p<0.001), dengan sedikit perbedaan antara pengamat ahli dan pengamat muda (p>0.05).

Keakuratan Diagnostik Menurut analisis berbasis jejas, sensitifitas dan spesifisitas panduan CT (sCT) adalah 98.7% dan 99.7%, menunjukkan akurasi yang sangat baik

(AUROC=0.9920.008); nilai prediksi positif dan negatif adalah 94.9% dan 99.9%, secara berurutan. Kinerja s CT pada evaluasi berbasis pasien menunjukkan hasil serupa: sensitiftas 99.2%; spesifisitas 99.8% dan akurasi yang sangat baik (AUROC=0.9970.007).

Pengalaman radiologis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap akurasi, sensitifitas, dan spesifisitas sCT baik analisis berbasis jejas maupun berbasis pasien (p=0.315 dan p=0.286 secara berurutan). Sensitifitas sCT untuk fraktur vertebra ringan dan sedang ke berat adalah 98.7% dan 100%, secara berurutan, dimana spesifisitas dan akurasinya mirip (spesifisitas 99.7% vs 100%; AUROC 0.9920.008 vx 1.000, ringan vs sedang ke berat; p=0.734).

Kesesuaian intraobserver Kesesuaian intraobserver dalam mendeteksi fraktur vertebra adalah sempurna baik untuk sCT dan CT (berbasis jejas: k=1.000; berbasis pasien: k=1.000). Kesepakatan intraobserver berbasis jejas (dan tentu juga berbasis pasien) untuk derajat dan tipe fraktur vertebra juga sempurna pada kedua teknik tersebut (k=1.000).

Kesesuaian interobserver Kesesuaian interobserver diantara tiga pengamat dalam menentukan ada/tidaknya fraktur vertebra dan derajatnya adalah sangat baik (berbasis jejas: k=0.9680.008 dan 0.9230.007 untuk sCT, k=0.9720.006 dan 0.9360.008 untuk CT; p=0.564 dan p=0.658, secara berurutan; berbasis pasien k=0.9840.005 untuk sCT, k=0.9860.007 untuk CT; p=0.842).

Kinerja sCT diagnostik sebaik reproduksibilitas dan kemampuan pengulangan evaluasi dan hasil sCT dan CT diantara pembaca yang independen dari jenis kelamin, umur, derajat artrosis, atau tingkat vertebra, baik yang berbasis jejas maupun berbasis pasien (p>0.05).

Tabel 1. Kesesuaian interobserver pada penilaian fraktur vertebra


Pengamat 1 vs 2 1 vs 3 2 vs 3 Fraktur vertebra per vertebra sCT 0.9530.018 0.9930.007 0.9590.017 CT 0.9620.015 0.9950.008 0.9710.013 Nilai p 0.483 0.795 0.560 sCT 0.9800.0013 0.9950.008 0.9730.011 Fraktur vertebra per pasien CT 0.9850.009 0.9940.007 0.9770.008 Nilai p 0.696 0.865 0.587

Diskusi Beberapa tahun terakhir, banyak penulis yang menyelidiki fraktur vertebra menggunakan modalitas pencitraan yang berbeda, seperti radiografi, scan absorptiometri dual-energi X-ray, dan CT.

Penulis yang pertama menaksir potensi sCT dalam mendiagnosis fraktur vertebra adalah Takada dkk, menyimpulkan bahwa sCT memiliki kapasitas terendah daripada radiografi konvensional untuk mendeteksi fraktur vertebra, namun sCT mungkin lebih membantu untuk pemakaian dalam hal ini.

Dewasa ini, beberapa penulis melanjutkan untuk mengevaluasi kemampuan sCT dalam mendiagnosis fraktur vertebra, mencakup penelitian kami sebelumnya dimana kami mengajukan sCT sebagai alat evaluasi tulang belakang dalam pemeriksaan yang dilakukan untuk tujuan klinis yang lain.

Pada penelitian ini, bagaimanapun, kami mengevaluasi reliabilitas pencitraan sCT dalam mendeteksi fraktur vertebra menggunakan pendekatan semikuantitatif, dan membandingkannya dengan diagnostik pemindai CT yang merupakan standar baku dalam penelitian vertebra torakolumbal.

sCT memberikan beberapa keunggulan yang dapat dipertimbangkan dibandingkan pencitraan MPR. Lapangan pandang yang lebih luas terdapat pada pemeriksaan sCT. Untuk instansi, dalam populasi penelitian kami, 28 fraktur vertebra diduga terjadi pada 12/300 (4%) pasien, hanya pada bagian tambahan.

sCT juga merupakan alay yang cepat dan tersedia. Meskipun,pencitraan MPR sagital, tidak membutuhkan tambahan CT irisan tipis atau rekonstruksi pascapemprosesan. Selanjutnya, pencitraan sCT selalu memberikan gambar arsip dan sistem komunikasi dan dapat selalu dievaluasi untuk pembacaan yang kedua. Pencitraan sCT sangat mirip dengan radiografi lateral standar, yang merupakan alat paling sederhana yang digunakan untuk menaksir fraktur vertebra. Meskipun kualitas gambar sCT terlihat lebih rendah dibandingkan radiografi konvensional, sCT memiliki beberapa keunggulan berupa ketiadaan distorsi paralaks karena fanbeam imaging dari pencitraan CT dibandingkan dengan cone-beam imaging pada X-ray konvensional, dimana hal ini dapat meningkatkan akurasi ukuran dimensi vertebra.

Pada seri yang disampaikan oeh Takada dkk, populasi yang diikutkan hanya wanita berusia 56 tahun ke atas, dengan setengah lebih dari mereka diikutkan dalam percobaan klinis yang memerlukan nilai T -2.0. Perbedaannya, populasi penelitian kami hampir heterogen, dengan representasi jenis kelamin hampir sama dan usia diantara 40 dan 92 tahun. Untuk alasan ini, dengan rentang populasi yang lebih luas, sedikit fraktur yang ditemukan dan fraktur ringan memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan fraktur sedang dan berat.

Lebih lanjut lagi, analisis kami dilakukan hanya pada vertebra yang tercakup dalam kedua metode, mengeksklusikan yang tidak tercakup dalam lapangan pemindaian, untuk membandingkan kedua teknik dengan sama.

Samelson dkk dan Kim dkk telah melakukan evaluasi terkini tentang reliabilitas untuk kemampuan pengulangan dan reproduksibilitas sCT sebagai pendekatan diagnostik potensial dalam mendeteksi fraktur vertebra. Kesimpulan mereka

menunjukkan bahwa sCT dengan kedua pendekatan semikuantitatif dan morfometrik kuantitatif dapat lebih bermanfaat dalam penelitian klinis untuk menaksir fraktur vertebra.

Meskipun populasi dalam penelitian kami lebih banyak (300 pasien vs 100 pasien pada penelitian Kim dkk dan Samelson dkk vs 56 pasien pada penelitian Takada dkk), kami menemukan jumlah fraktur vertebra yang serupa (prevalensi rendah), yang tidak kami bangun pada populasi dengan tujuan untuk menetapkan terlebih dahulu penilaian fraktur vertebra, namun bertujuan untuk mencakup populasi umum dalam CT. Kami menggunakan seleksi acak terhadap pasien agar tidak mempengaruhi pengaturan klinis harian, yang memiliki potensi lebih penting untuk penggunaan alat yang mudah.

Sebagaimana kita ketahui, tidak ada penelitian yang mempertimbangkan evaluasi terhadap sensitifitas, spesifisitas, dan akurasi sCT dibandingkan dengan standar yang baku seperti MPR CT.

Pada populasi kami menganalisis vertebra meliputi baik sCT dan pencitraan CT diagnostik secara eksklusif, yang menjelaskan sejumlah kecildari total vertebra. Bagaimanapun, jumlah fraktur vertebra banyak ditemukan dengan kesepakatan interobserver yang sangat baik sehingga mempermudah tercapainya reliabilitas yang baik dari metode ini, yang sangat baik untuk menilai fraktur sedang hingga berat, sesuai dengan hasil penelitian Kim dkk.

Selain itu, kinerja yang berhubungan dengan pengalaman dalam mendiagnosis fraktur vertebra juga dievaluasi. Hasilnya menunjukkan bahwa pengalaman tidak berpengaruh secara signifikan terhadap akurais sCT, menunjukkan reliabilitas yang tinggi dari teknik ini terhadap pasien di praktek klinik harian. Bagaimanapun, sedikit keterbatasan penelitian kami patut menjadi bahan pertimbangan.

Ini merupakan penelitian retrospektif, dengan kapabilitas yang terbatas untuk menginvestigasi dan untuk mengumpulkan riwayat yang akurat dari semua pasien. Oleh karena, status metabolik tulang osteoporosis atau non-osteoporosis dan

indeks massa tubuh tidak dipertimbangkan. Lebih lanjut lagi, penyebab yang jelas sehingga menyebabkan fraktur vertebra tidak mengeksklusikan secara komplit fraktur vertebra akibat trauma lama. Meskipun demikian, semua pencitraan dan upaya anamnesis membantu untuk menemukan beberapa referensi untuk fraktur vertebra dan pasien fraktur yang terdeteksi dalam penelitian ini.

Ketidakseimbangan penggunaan pemeriksaan CT lumbal dan torakal untuk rekrutmen pasien juga menjadi poin yang ditinjau ulang; namun, kini, sangat sedikit pemeriksaan CT yang fokus pada tingkat vertebra yang lebih tinggi dilakukan di rumah sakit kami dengan mode pemindai resmi---khususnya, jika trauma mayor dieksklusikan.

Kesimpulannya, pemindaian dengan sCT selalu dilakukan sebelum CT, meskipun dimasa lampau, data yang diperoleh dari pencitraan ini sangat jarang dianggap. Justru, informasi tambahan dari sCT dapat lebih bermanfaat, terutama dalam menilai fraktur vertebra. Hasil penelitian kami menunjukkan kecocokan yang baik hingga sangat baik diantara sCT dan MPR, memperlihatkan akurasi dan reliabilitas teknik ini dalam mendeteksi fraktur vertebra.

Pendapat kami bahwa sCT dapat menjadi pelengkap metode terkini untuk mengidentifikasi fraktur vertebra dan cocok untuk praktek klinis. Selanjutnya, hal ini dapat diperkenalkan sebagai alat evaluasi tulang belakang yang sistematis dalam mendeteksi fraktur vertebra pada pemeriksaan CT yang dilakukan untuk setiap tujuan diagnostik.

Anda mungkin juga menyukai