Abaz Zahrotien
dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi. Atau dengan kata
lain, memaknai agama sebagai revolusi. Tugas ini merupakan sebuah ‘tuntutan
zaman’ yang telah menerapkan sebuah system yang sistematis tetapi menindas dan
kemajuan Islam abad pertengahan dimana disana ada komparasi antara study filsafat
(yang merupakan tuntutan zaman saat itu) dengan syari’ah sebagai landasan.
Sebenarnya konsepnya sama, hanya perbedaan dapat kita jumpai pada konteksnya,
yakni dahulu Islam diakulturasikan dengan filsafat (Al Hikmah) dan saat ini zaman
menuntut kita mengakulturasikan Islam dan revolusi. Oleh karena itu, kerja
mempertautkan antara agama dan revolusi, kata Hassan Hanafi, tidaklah sesuatu yang
Agama adalah revolusi itu sendiri, dan para nabi merupakan revolusioner-
penguasa Fir’aun. Isa adalah revolusioner ruh atas dominasi materialisme. Sedangkan
Muhammad sendiri merupakan tauladan bagi kaum proletariat, hamba sahaya dan
dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih persaudaraan dan
egaliter. Al Qur’an menggambarkan kenabian sebagai revolusi memberantas
Aljazair, gerakan Abdul Hamid bin Badis, Abdul Qadir al Maghribi, dan Omar
Masa depan umat islam, apalagi dalam menghadapi abad ke-21 penuh
berbagai nilai dan budaya Barat dan asing lain ke dalam lingkungan umat, warisan
nilai dan budaya kalangan sendiri, semuanya harus dihadapi dan dijawab, kalau
memang kita hendak menegakkan agama kita dan menjadi “rahmat bagi sekalian
alam”.
Prolog artikel yang ditulis oleh Deliar Noer diatas memberikan satu refleksi
bersama terkait dengan tantangan Islam kedepan. Adanya budaya Barat yang terus
menyerang berbagai sisi kehidupan membuat Islam harus menyiapkan amunisi baru
untuk melakukan serangan balik. Disinilah peran Kiri Islam untuk menciptakan Islam
popular culture, free trade, dan produk kapitalis lainnya tidak dapat dipandang sebelah
mata, bahkan kalau boleh menyamakan, hari ini serangan Barat tiap harinya sama
dengan jumlah nasi yang kita makan selama sehari. Artinya, hampir 70 persen dari
apa-apa yang kita konsumsi tiap harinya merupakan produk kapitalis, yang tentunya
berefek pada status Islam itu sendiri di mata dunia. Islam seandainya diam saja
menghadapi persoalan yang paling krusial ini maka Islam adalah merupakan produk
kapitalisme juga, atau lebih tepatnya bukan produk tetapi antek-antek kapitalisme.
Keyakinan Hassan Hanfi dengan Kiri Islamnya, penulis kira, berangkat dari
kesadaran tersebut.
Cacat-cacat ini hanya bisa diatasi dengan pencerahan lebih lanjut, yakni
melanjutkan proyek postmodernitas dalam wawasan rasio komunikatif. Dalam hal ini,
postmodern. Artinya gerakan Kiri Islam dapat mampu menjawab serta memberikan