Anda di halaman 1dari 44

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

REFERAT PERAN DIGOKSIN TERHADAP GAGAL JANTUNG


Program Studi Profesi Dokter Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Periode 8 April 2013 15 Juni 2013

Pembimbing : dr. Lukman Muliadi, Sp. PD

Disusun oleh : Michi A.R.M Sitepu (406117082) Hendra Widjaya (406117083) Wiliam Tarunadjaya (406117089) Devia Arista Sani (406117092)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUDUS


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Page 1

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

HALAMAN PENGESAHAN
Penyusun : Michi A.R.M Sitepu (406117082) Hendra Widjaya (406117083) Wiliam Tarunadjaya (406117089) Devia Arista Sani (406117092) Perguruan Tinggi Fakultas Tingkat Judul Refrat Bagian : : : : : Universitas Tarumanagara, Jakarta Kedokteran Program Pendidikan Profesi Dokter Peran digoksin terhadap CHF Ilmu Penyakit Dalam 8 April 2013 15 Juni 2013

Periode Kepaniteraan : Diajukan Pembimbing : :

dr. Lukman Muliadi, Sp. PD

Mengetahui dan Menyetujui, Pembimbing Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus

dr. Lukman Muliadi, Sp. PD

Mengetahui,

dr. Amrita, Sp. PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUDUS


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 2

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG DAFTAR ISI


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................................. 2 DAFTAR ISI.......... ......................................................................................................................... 3 KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... 4 BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................................... 5 BAB II GAGAL JANTUNG II.1 Definisi ......................................................................................................................... 6 II.2 Epidemiologi ................................................................................................................ 6 II.3 Etiologi ......................................................................................................................... 7 II.4 Klasifikasi .................................................................................................................... 8 II.5 Faktor risiko ............................................................................................................... 10 II.6 Manifestasi klinis ....................................................................................................... 11 II.7 Patofisiologi ............................................................................................................... 14 II.8 Diagnosis .................................................................................................................... 17 II.8.1 Pemeriksaan laboratorium rutin ........................................................................ 18 II.8.2 Elektrokardiogenik (EKG)................................................................................ 19 II.8.3 Foto x-ray thorax .............................................................................................. 20 II.8.4 Penilaian terhadap fungsi ventrikel................................................................... 21 II.8.5 Biomarkers ........................................................................................................ 21 II.8.6 Exercise testing ................................................................................................. 23 II.9 Penatalaksanaan ......................................................................................................... 25 II.9.1 Non farmakologi ............................................................................................... 25 II.9.2 Farmakologi ...................................................................................................... 26 II.9.2.1 ACEi ................................................................................................. 27 II.9.2.2 Antagonis angiotensin II (AT1-Bloker) ............................................ 29 II.9.2.3 Diuretik ............................................................................................. 30 II.9.2.4 Antagonis aldosteron ........................................................................ 31 II.9.2.5 Beta bloker ........................................................................................ 32 II.9.2.6 Vasodilator lain................................................................................. 34 II.9.2.7 Glikosida jantung .............................................................................. 35 II.9.2.8 Inotropik lain .................................................................................... 38 II.9.2.9 Antitrombotik ................................................................................... 39 II.9.2.10 Antiaritmia ...................................................................................... 39 BAB III KESIMPULAN................................................................................................................ 42 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 43

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 3

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas berkah dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul PERAN DIGOKSIN PADA

GAGAL JANTUNG.
Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian pada kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus. Terwujudnya referat ini adalah berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak dan dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : dr. Lukman Muliadi, Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam pembuatan referat ini. Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga kami dapat berkembang ke arah yang lebih baik di kemudian hari.

Kudus, Juni 2013

Penulis

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 4

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG BAB I PENDAHULUAN


Gagal jantung adalah sindrom klinik yang terjadi pada pasien-pasien karena keturunan atau abnormalitas dari struktur dan/atau fungsi jantung yang didapat, berkembang menjadi kumpulan gejala (dispnea dan kelelahan) dan tanda (edema dan ronki basah) yang menyebabkan pasien rawat inap, kualitas hidup yang buruk, dan harapan hidup rendah. Gagal jantung adalah masalah yang berkembang luas di seluruh dunia, dengan lebih dari 20 juta orang mengalami sindrom klinis ini. Prevalensi keseluruhan gagal jantung dalam populasi orang dewasa di negara maju adalah 2%. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring usia, dan mempengaruhi 6-10% orang-orang dengan usia diatas 65 tahun. Meskipun insiden gagal jantung lebih rendah pada wanita dibanding pria, namun setidaknya setengah dari seluruh kasus gagal jantung adalah wanita, karena harapan hidup mereka yang lebih tinggi. Resiko berkembangnya gagal jantung pada usia 40 tahun adalah 1:5. Gagal jantung sebelumnya diduga akibat penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, namun studi epidemiologi menunjukkan setengah dari pasien dengan gagal jantung memiliki fraksi ejeksi yang normal ( 40-50%). Jadi, sekarang gagal jantung dibagi menjadi 2 kategori: (1) Gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (disfungsi sistolik) (2) Gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (disfungsi diastolik)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 5

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


BAB II GAGAL JANTUNG II.1 DEFINISI
Gagal jantung (Heart Failure) adalah sindrom klinis yang terjadi pada pasien, diakibatkan kelainan genetik atau didapat, berupa kelainan jantung struktural dan/atau fungsional, yang menyebabkan gejala klinis (sesak nafas dan kelelahan) dan tanda klinis (edema dan ronki basah), sehingga meningkatkan frekuensi rawat rumah sakit, serta menurunkan kualitas dan harapan hidup.

II. 2 EPIDEMIOLOGI
Gagal jantung adalah masalah yang berkembang luas di seluruh dunia, dengan lebih dari 20 juta orang mengalami sindrom klinis ini. Prevalensi keseluruhan gagal jantung dalam populasi orang dewasa di negara maju adalah 2%. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring usia, dan mempengaruhi 6-10% orang-orang dengan usia diatas 65 tahun. Meskipun insiden gagal jantung lebih rendah pada wanita dibanding pria, namun setidaknya setengah dari

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 6

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


seluruh kasus gagal jantung adalah wanita, karena harapan hidup mereka yang lebih tinggi. Resiko berkembangnya gagal jantung pada usia 40 tahun adalah 1:5. Gagal jantung sebelumnya diduga akibat penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, namun studi epidemiologi menunjukkan setengah dari pasien dengan gagal jantung memiliki fraksi ejeksi yang normal (40-50%). Jadi, sekarang gagal jantung dibagi menjadi 2 kategori: (1) Gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (disfungsi sistolik) (2) Gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (disfungsi diastolik)

III.3 ETIOLOGI Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung Penurunan fraksi ejeksi (<40%) Coronary artery disease Infark miokarda Iskemia miokarda Chronic pressure overload Hipertensi Penyakit katub obstruktifa Chronic volume overload Penyakit regurgitasi katub Shunting intrakardiak (kiri ke kanan) Shunting ekstrakardiak Fraksi ejeksi normal (> 40-50%) Hipertrofi patologis Primer (kardiomiopati hipertrofi) Sekunder (hipertensi) Usia Restrictive cardiomyopathy
Kelainan infiltratif (amyloidosis, sarcoidosis)

Non-ischemic dilated cardiomyopathy Kelainan genetik/familial Kelainan infiltratifa Toxic/drug-induced damage Kelainan metabolika Virus Penyakit Chagas Kelainan frekuensi dan ritme jantung Bradiaritmia kronik Takiaritmia kronik

Kelainan penyimpanan (hemokromatosis) Fibrosis Kelainan endomiokardial

Pulmonary heart disease Kor pulmonal Pulmonary vascular disease High-output states Kelainan metabolik
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Excessive blood-flow requirements

Page 7

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


Tirotoksikosis Kelainan nutrisional (beri-beri)
a

Shunting arteriovenous sistemik Anemia kronik

Catatan: mengindikasikan kondisi yang juga dapat menyebabkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal.

II. 4 KLASIFIKASI
Gagal jantung sistolik Sindrom klinik dengan gejala sesak nafas, lelah dan intoleransi aktivitas fisik dimana gambaran dominan jantung adalah besar, dilatasi jantung dan gangguan fungsi sistolik. Bisa disertai atau tidak disertai penyakit katup jantung. Gagal jantung diastolik Istilah ini dipakai saat fraksi ejeksi saat istirahat adalah normal atau mendekati normal. Atau disebut juga preserved ejection fraction. Tanda dari gagal jantung tampak, dan ukuran jantung kecil atau normal. Bisa terjadi hipertrofi ventrikel kanan dan gangguan pengisian jantung akibat perubahan kekakuan ventrikel kiri atau bukti lain dari disfungsi diastolik. Hipertensi sistemik yang berat dan atau penyakit katup seperti regurgitasi mitral bisa ada. Gagal jantung diastolik bisa terjadi bersamaan dengan gagal jantung sistolik, khususnya saat aktivitas

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 8

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

Klasifikasi berdasarkan NYHA :

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 9

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


Klasifikasi berdasar killip dan forrester :

II.5 FAKTOR RESIKO

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 10

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


II. 6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala Gejala utama gagal jantung adalah kelelahan dan takipneu. Meskipun secara konvensional, kelelahan menunjukan cardiac output yang rendah pada gagal jantung, namun gejala ini juga terdapat pada abnormalitas otot skeletal dan penyakit komorbid non-kardiak lainnya (misalnya anemia). Pada stadium awal gagal jantung, sesak napas hanya terjadi saat aktivitas; namun, seiring dengan progresifitas penyakit, sesak napas terjadi pada aktifitas yang lebih ringan, dan selanjutnya sesak napas terjadi pada saat istirahat. Penyebab sesak napas pada gagal jantung bersifat multifaktoral. Mekanisme terpenting adalah kongesti pulmonal yang disertai akumulai cairan interstisial atau intraalveolar, yang mengaktifasi reseptor jukstakapiler J, yang kemudian menstimulasi karakteristik pernapasan cepat dan dangkal dari cardiac dyspneu. Faktor-faktor lain yang berkontribusi pada sesak napas saat aktifitas termasuk berkurangnya compliance paru, meningkatnya resistensi jalan napas, kelelahan pada otot-otot pernapasan dan atau diafragma, dan anemia. Sesak napas lebih sedikit frekuensinya pada onset gagal jantung ventrikel kanan dan regurgitasi trikuspid dibandingkan dengan gagal jantung ventrikel kiri.

Ortopneu Ortopneu didefinisikan sebagai sesak napas yang timbul pada posisi terlentang, gejala ini biasanya merupakan manifestasi lanjut gagal jantung setelah sesak napas akibat aktifitas. Hal ini diakibatkan redistribusi cairan dari sirkulasi splanik dan ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral selama posisi terlentang yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler paru. Batuk malam hari merupakan manifestasi yang sering muncul pada proses ini. Ortopneu biasanya berkurang dengan posisi duduk tegak atau tidur menggunakan bantal tambahan. Meskipun ortopneu secara relatif merupakan gejala yang spesifik pada gagal jantung, namun dapat juga terjadi pada pasien obesitas abdomen atau asites dan pada pasien dengan penyakit paru yang secara mekanik membutuhkan posisi tegak.

Paroxysmal Nocturnal Dyspneau (PND) Paroxysmal Nocturnal Dyspneau (PND) merupakan episode akut sesak napas dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari sehingga membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya 13 jam setelah pasien istirahat. PND dapat berupa batuk atau wheezing, yang kemungkinan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 11

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


disebabkan peningkatan tekanan arteri bronkial yang berakibat kompresi jalan napas, bersamaan dengan edem paru interstisial yang menyebabkan resistensi jalan napas. Ortopneu dapat dikurangi dengan posisi tegak saat duduk dengan kaki tergantung, sedangkan pasien dengan PND sering bermanifestasi batuk yang persisten dan wheezing bahkan setelah mereka duduk dengan posisi tegak. Asma kardiak berhubungan erat dengan PND, yang berkarakteristik wheezing yang dikarenakan bronkospasme, dan harus dibedakan dengan wheezing dari penyebab asma primer dan pulmoner.

Respirasi Cheyne-Stokes Merupakan pernapasan periodik atau pernapasan siklik. Pernapasan Cheyne-Stokes umum terjadi pada gagal jantung lanjut dan biasanya dikaitkan dengan cardiac output rendah. Respirasi Cheyne Stokes disebabkan berkurangnya sensitifitas pusat pernapasan terhadap PCO2 arteri. Pada pernapasan ini terdapat fase apneu, yang terjadi selama penurunan PO2 dan peningkatan PCO2 arterial. Perubahan dari gas darah arteri ini menstimulasi penekanan pusat pernapasan, yang menyebabkan hiperventilasi dan hipokapneu diikuti dengan fase apneu. Pernapasan Cheyne-Stokes ini diartikan oleh pasien dan keluarganya sebagai sesak napas berat atau sebagai henti napas sementara.

Gejala Lain Pasien dengan gagal jantung dapat menunjukkan gejala gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan mudah kenyang terkait dengan nyeri abdomen dan begah sering dikeluhkan dan mungkin berhubungan dengan edema dinding gastrointestinal dan atau kongesti hepar. Kongesti hepar dan peregangan kapsul hepar dapat menyebabkan nyeri kuadran kanan atas. Gejala serebri, seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan mood, sebaiknya diobservasi pada pasien dengan gagal jantung yang berat, terutama pasien usia lanjut dengan aterosklerosis serebri dan penurunan perfusi serebri. Nokturia umum terjadi pada gagal jantung dan dapat menyebabkan insomnia.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 12

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 13

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


II.7 PATOFISIOLOGI
Gagal jantung adalah keadaan menurunnya kemampuan miokardium, dan terutama mempengaruhi ventrikel kiri. Penyebab yang paling sering adalah penyakit jantung koroner dan hipertensi, meskipun hampir semua bentuk penyakit jantung (kelainan katup, kardiomiopati) serta beberapa penyakit di luar jantung dapat menyebabkan gagal jantung. Gagal ventrikel kanan dapat terjadi pada kelainan dan pintasan jantung kanan, dan terutama pada hipertensi pulmonal. Akan tetapi, ventrikel kanan dapat juga dipengaruhi secara sekunder oleh kelainan pada ventrikel kiri (stenosis mitral, gagal jantung kiri). Pada prinsipnya, perbedaan dapat dibuat antara gagal jantung yang disebabkan oleh penurunan ejeksi sistolik (kegagalan sistolik atau forward failure), yang dapat terjadi karena peningkatan beban volume, penyakit miokardium, atau peningkatan beban tekanan, dengan gagal jantung yang disebabkan oleh gangguan pengisian diastolik (kegagalan diastolik atau backward failure), misalnya akibat kekakuan dinding ventrikel yang berat. Pada forward failure, volume sekuncup dan curah jantung tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tubuh secara adekuat. Pada backward failure, hal ini hanya dapat diatasi melalui peningkatan tekanan pengisian diastolik. Biasanya gagal jantung hanya akan menimbulkan gejala mulamula pada aktivitas fisik yang berat (saat ambilan O2 maksimal dan curah jantung maksimal menurun). Kalau tidak, tidak akan menimbulkan gejala; stadium I dari klasifikasi NYHA (New York Heart Association). Namun, gejala akan berkembang secara progresif, pada awalnya hanya pada aktivitas fisik yang biasa, selanjutnya gejala bahkan muncul pada saat istirahat (NYHA stadium II-IV) Gagal jantung yang disebabkan oleh beban volume. Regurgitasi aorta dan mitral, misalnya, ditandai oleh volume regurgitan, yang menambah volume sekuncup yang efektif. Volume diastolik akhir dan jari-jari (r) ventrikel kiri akan meningkat, sesuai dengan hukum Laplace, tegangan dinding (T), yaitu kekuatan yang harus ditimbulkan oleh miokardium per bidang potong lintang, sehingga harus meningkat untuk mencapai volume sekuncup yang normal dan efektif. Karena peningkatan T tidak adekuat, volume sekuncup dan curah jantung (CO = frekuensi denjut jantung x volume sekuncup) akan menurun dan terjadi penurunan tekanan darah. Perangsangan simpatis terjadi sebagai mekanisme pengaturan yang menetralkan sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung dan vasokonstriksi perifer. Jika beban volume berlangsung lama, ventrikel yang
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Page 14

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


berdilatasi akan bereaksi dengan hipertrofi untuk mengompensasinya, hal ini berarti meningkatkan ketebalan dinding. Namun, r tetap bertambah (hipertrofi eksentris) dan bentuk gagal jantung ini biasanya memiliki perjalanan penyakit yang kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan hipertrofi konsentris. Jika penyebab yang mendasarinya (misal, kelainan katup) tidak segera dihilangkan, gagal jantung relatif cepat memburuk akibat terjadi remodeling miokardium. Kekakuan ventrikel yang disebabkan oleh hipertrofi berperan Karena kurva kompliansnya yang tajam (lusitropik =

dalam terjadinya remodeling.

relaksasi), volume diastolik akhir akan berkurang sehingga volume sekuncup menjadi sedikit (backward failure). Akibatnya, terjadi lingkaran setan dengan dinding ventrikel yang berdilatasi akan memberikan jalan yang lebih banyak (berdilatasi dengan merestrukturisasi miokardium) dan r meningkat secara tajam. Dekompensasi ini ditandai oleh penurunan volume sekuncup yang mengancam nyawa, meskipun volume diastolik akhir sangat meningkat Gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit miokardium. Pada penyakit jantung korener dan setelah infark miokard, beban pada miokardium yang tidak terkena akan meningkat, dengan demikian terjadi forward failure akibat menurunnya kontraktilitas. Hal ini dicerminkan oleh pergeseran kurva kontraktilitas pada diagram kerja ventrikel. Volume sistolik akhir, dan pada jumlah yang lebih kecil, volume diastolik akhir juga meningkat, sedangkan volume sekuncup menurun. Hipertrofi dari miokardium yang tersisa, kekakuan jaringan parut miokardium serta berkurangnya pengaruh ATP pada pemisahan aktin-miosin di miokardium yang mengalami iskemia, akan menyebabkan backward gagal jantung. Akhirnya, jaringan parut infark yang dapat meregang dapat menonjol keluar selama sistol (diskinesia) sehingga menambah beban volume (volume regurgitasi). Kardiomiopati juga dapat menyebabkan gagal jantung dengan beban volume menjadi gambaran utama pada bentuk yang melebar dan backward failure pada bentuk yang hipertrofi dan restriktif. Gagal jantung yang disebabkan oleh beban tekanan. Tegangan dinding (T) ventrikel kiri juga meningkat pada hipertensi atau stenosis aorta karena membutuhkan peningkatan tekanan ventrikel kiri (hukum Laplace). Terjadi forward failure dengan penurunan kontraktilitas. Keadaan serupa terjadi berhubungan dengan hipertensi pulmonal pada ventrikel kanan. Hipertrofi kompensatorik juga akan terjadi bila
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 15

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


terdapat beban tekanan yang meningkat, namun bentuknya konsentris karena pada keaddan ini volume ventrikel tidak membesar dan bahkan pada beberapa keadaan sebenarnya berkurang. Namun, pada hipertrofi konsentris, volume diastolik akhir akan berkurang dan begitu juga volume sekuncup (backward failure). Bila terdapat beban tekanan yang tinggi, remodeling miokardium dan suplai darah kapiler yang tidak adekuat (iskemia korener relatif), dapat dicapai berat jantung yang kritis (sekitar 500 g), yaitu pada keadaan ketika struktur miokardium menyebabkan dekompensasi. Akibat neurohumoral dari gagal jantung. Selain mempengaruhi jantung secara mekanis, gagal jantung menyebabkan sejumlah mekanisme kompensasi yang terutama bertujuan memperbaiki kembali curah jantung dan tekanan darah. Hal terpenting dalam mekanisme ini adalah peningkatan tonus simpatis beserta pelepasan norepinefrin dan epinefrin yang lebih besar. Pengaktifan adrenoreseptor- di jantung akan menyebabkan : Peningkatan frekuensi denyut jantung (gejalanya adalah takikardia); dan Peningkatan kontraktilitas (inotropik positif) sehingga curah jantung juga sedikit meningkat Vasokonstriksi adrenergik-1 akan menimbulkan : o Penurunan aliran darah yang melalui otot rangka (gejalanya adalah kelelahan), kulit (gejalanya adalah pucat), dan ginjal, dengan akibat penurunan curah jantung sehingga darah lebih banyak disebarkan ke arteri yang menyuplai jantung dan otak (sentralisasi); o Penurunan perfusi ginjal sekarang akan mengaktifkan sistem reninangiotensin-aldosteron, meningkatkan fraksi filtrasi, dan meningkatkan pelepasan ADH Semua mekanisme ini menyebabkan peningkatan absorpsi garam dan air. Angiotensin II dan ADH juga memiliki efek vasokonstriktor. Remodeling miokardium. Remodeling miokardium terjadi sesaat setelah dimulainya gagal jantung (NYHA stadium 1) melalui perangsangan mekanis dan neurohormonal. Hal ini pasti akan

memengaruhi perkembangan gagal jantung. Penyebab remodeling adalah


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 16

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


1) Peningkatan tegangan dinding yang diantara berbagai efeknya, meningkatkan konsentrasi Ca2+ di sitosol, serta 2) Sinyal pertumbuhan sistemik (katekolamin, ADH, angiotensin II; insulin pada diabetes tipe II) dan lokal (endotelin, TGF, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), fibrolast GF (FGF), dan penurunan penghambat pertumbuhan (NO dan PGI2). Sel miokardium membesar (hipertrofi), tetapi terjadi ketidakpekaan terhadap katekolamin (penurunan jumlah reseptor pada adrenoreseptor 1, peningkatan protein Gi antagonis, pemishaan reseptor), dan penurunan aktivitas Ca2+-ATPase. Akibatnya, potensial aksi miokardium memanjang (akibat penurunan arus repolarisasi) dan potensial istirahat menjadi kurang negatif. Hal ini dapat menyebabkan aritmia (reentry, after-potential, pacu jantung ektopik); pada beberapa keadaan bahkan menyebabkan fibrilasi ventrikel. (Fibrilasi ventrikel terjadi pada sekitar 50 % pasien gagal jantung dan merupakan penyebab kematian jantung yang mendadak). Secara keseluruhan kontraktilitasnya melemah (di antara beberapa faktor, terjadi akibat pemisahan fungsional sebagian antara reseptor dihidropiridin dan rianodin serta kemampuan relaksasi miokardium menurun (peningkatan konsentrasi Ca2+ di sitosol saat diastol). Pengaktifan fibroblas (FGF dan lainnya) juga berperan dalam hal ini dan menyebabkan peningkatan penimbunan kolagen di dinding ventrikel serta fibrosis pada miokardium dan pembuluh darah Akibat dan gejala sistemik gagal jantung kronis terutama disebabkan oleh retensi air dan garam. Pada gagal jantung kiri, tekanan kapiler paru akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan dispnea dan takipnea melalui reseptor-J di paru dan edema paru (asma kardiak) dengan hipoksia dan hiperkapnia sistemik. Pada gagal jantung kanan akan terjadiedema perifer (terutama di kaki bagian bawah seharian; dan pada malam hari terjadi pengeluaran air dengan diuresis nokturnal).

II.8 DIAGNOSIS
Diagnosis dari gagal jantung relatif bisa langsung ditegakkan ketika pasien datang dengan tanda dan gejala klasik dari gagal jantung; namun demikian, gejala dan tanda dari gagal jantung tidak sensitif maupun spesifik. Oleh karena itu, kunci untuk menegakkan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 17

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


diagnosis adalah memiliki indeks kecurigaan yang tinggi, terutama untuk pasien-pasien yang memiliki risiko tinggi. Ketika pasien-pasien ini datang dengan tanda dan gejala dari gagal jantung, pemeriksaan laboratorium tambahan sebaiknya dilakukan. II.8.1 Pemeriksaan laboratorium rutin Pasien dengan onset baru dari gagal jantung dan gagal jantung kronik serta dekompensasi akut sebaiknya diperiksa hitung darah lengkap, panel elektrolit, blood urea nitrogen, kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien-pasien tertentu sebaiknya diperiksa untuk diabetes mellitus (glukosa puasa atau tes toleransi glukosa oral), dislipidemia (panel lipid puasa), dan abnormalitas tiroid (kadar thyroidstimulating hormone)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 18

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

II.8.2 Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG rutin 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme jantung, menentukan adanya hipertrofi ventrikel kiri atau adanya MI sebelumnya (dengan atau tanpa gelombang Q), juga untuk menentukan lebar dari QRS untuk memastikan apakah terapi resinkronisasi bermanfaat pada pasien atau tidak. Gambaran EKG normal hampir menyingkirkan kemungkinan

adanya disfungsi ventrikel kiri.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 19

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

II.8.3 Foto x-ray thorax Pemeriksaan ini memberikan informasi yang penting mengenai ukuran dan bentuk dari jantung, juga untuk menilai keadaan vaskularisasi dari paru, dan dapat menentukan penyebab gejala non-kardiak dari pasien. Meskipun pasien dengan gagal jantung akut memiliki hipertensi pulmonal, edema interstitial, dan/atau edema pulmonal, kebanyakan pasien dengan gagal jantung kronik tidak. Hal ini

mencerminkan adanya peningkatan kapasitas dari sistem limfatik untuk mengeluarkan cairan interstitial dan/atau cairan pulmonal.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Page 20

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


II.8.4 Penilaian Terhadap Fungsi Ventrikel Kiri Pencitraan jantung non-invasif penting untuk diagnosis, evaluasi, dan tatalaksana dari gagal jantung. Tes yang paling berguna adalah

ekokardiogram/Doppler 2-D, yang dapat memberikan penilaian secara semikuantitatif dari ukuran ventrikel kiri dan fungsinya, begitu juga dengan ada atau tidaknya abnormalitas dari katub dan/atau gerakan dinding regional (menandakan adanya MI sebelumnya). Adanya dilatasi dari atrial kiri dan hipertrofi dari ventrikel kiri,

bersamaan dengan abnormalitas dari pengisian diastolik dari ventrikel kiri yang diperiksa dengan gelombang pulsasi dan Doppler jaringan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Ekokardiogram 2-D/Doppler juga sangat berguna dalam menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmonal, yang sangat penting dalam evaluasi dan tatalaksana dari cor pulmonale. MRI juga berguna dalam menganalisis secara komprehensif dari anatomi dan fungsi jantung dan merupakan gold standard saat ini untuk menilai massa dan volume dari ventrikel kiri. Index yang paling berguna dari fungsi ventrikel kiri adalah EF (SV dibagi dengan EDV). Oleh karena EF mudah diukur dengan tes non-invasif dan mudah untuk dikonseptualisasikan, ini diterima secara luas oleh para klinisi. Sayangnya, EF memiliki keterbatasan dalam mengukur kontraktilitas yang sebenarnya, oleh karena dipengaruhi perubahan afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, EF ventrikel kiri meningkat pada regurgitasi mitral sebagai hasil dari ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Meskipun demikian, dengan pengecualian indikasi di atas, ketika EF normal ( 50 %), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan ketika EF secara signifikan menurun (< 30 40 %), kontraktilitas biasanya juga menurun.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 21

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

II.8.5 Biomarkers Kadar natriuretic peptide dalam sirkulasi berguna sebagai pemeriksaan tambahan dalam diagnosis pasien dengan gagal jantung. Kedua B-type Brain

Natriuretic Peptide (BNP) dan N-terminal pro-BNP dikeluarkan dari jantung yang
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 22

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


gagal, adalah marker yang relatif sensitif terhadap adanya gagal jantung dengan EF yang menurun; marker ini juga meningkat pada pasien gagal jantung dengan EF yang normal meskipun dengan derajat yang lebih rendah. Akan tetapi, penting untuk mengenali bahwa kadar natriuretic peptide meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan kerusakan ginjal, lebih meningkat kadarnya pada wanita, dan dapat meningkat pada gagal jantung kanan dengan penyebab apapun. Kadar dapat menurun secara salah pada pasien-pasien dengan obesitas, dan dapat normal pada beberapa pasien yang mendapat pengobatan yang tepat. Konsentrasi normal dari natriuretic peptide pada pasien yang tidak diobati sangat berguna untuk menyingkirkan diagnosis dari gagal jantung. Biomarker yang lain seperti Troponin T dan I, C-reactive protein, reseptor TNF, dan asam urat, dapat meningkat kadarnya pada gagal jantung dan memberikan informasi prognostik yang penting. Pengukuran serial dari satu atau lebih biomarker pada akhirnya dapat membantu untuk menuntun terapi pada gagal jantung, tetapi sudah tidak dianjurkan saat ini.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 23

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

II.8.6 Exercise Testing Treadmill atau bicycle exercise testing tidak dilakukan secara rutin untuk pasien-pasien gagal jantung, tetapi berguna untuk menilai perlu tidaknya transplantasi jantung pada pasien-pasien dengan gagal jantung tahap lanjut. Peak oxygen uptake (VO2) < 14 ml/kg/menit berhubungan dengan prognosis yang relatif buruk. Telah dibuktikan pasien-pasien dengan VO2 < 14 ml/kg/menit secara umum, mempunyai survival yang lebih baik ketika ditransplantasikan daripada diobati secara medis.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 24

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 25

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


II.9 PENATALAKSANAAN
Tujuan primer pengobatan adalah mencegah terjadinya gagal jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju terjadinya gagal jantung, terutama hipertensi dan/ atau penyakit arteri koroner. Jika disfungsi miokard sudah terjadi, tujuan pertama adalah mengobati/ menghilangkan penyebab dasarnya, jika mungkin (misalnya iskemia, penyakit tiroid, alkohol, obat). Jika penyebab dasar tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk (1) mencegah memburuknya fungsi jantung, dengan perkataan lain memperlambat progresi remodelling miokard, sehingga dapat mengurangi mortalitas; dan (2) mengurangi gejalagejala gagal jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien. Untuk tujuan (1) diberikan ACEi dan -bloker, di samping mengurangi beban kerja jantung. Untuk tujuan (2) diperlukan pengurangan overload cairan dengan diuretik, penurunan resistensi perifer dengan vasodilator, dan peningkatan kontraktilitas miokard dengan obat inotropik. Tujuan (1) adalah tujuan utama pengobatan gagal jantung kronik, sedangkan tujuan (2) adalah tujuan utama pengobatan gagal jantung akut. II.9.1 NON FARMAKOLOGIS Terapi non-farmakologik terdiri atas: (1) Diet : pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah atau berat badanya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat. (2) (3) Merokok : harus dihentikan Aktivitas fisik : olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang nyaman bagi pasien (4) (5) Istirahat : dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil Bepergian : hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau lembab, dan gunakan penerbangan-penerbangan pendek. Di samping itu ada obat-obat yang harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati, yakni antiinflamasi nonsteroid (AINS) dan coxib; antiaritmia kelas I;
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 26

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


antagonis kalsium (non-dihidropiridin dan hidropiridin kerja singkat); antidepresi trisiklik; kortikosteroid; dan litium. II.9.2 FARMAKOLOGIS Terapi farmakologik terdiri atas : (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) ACEi Antagonis angiotensin II Diuretik Antagonis aldosteron -bloker Vasodilator lain Digoksin Obat inotropik lain Antitrombotik Antiaritmia Tempat kerja berbagai obat untuk gagal jantung sistolik dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 27

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

II.9.2.1 ACEi ACEi terbukti dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik (semua derajat keparahan, termasuk yang asimtomatik). Gambar di bawah ini menunjukkan mekanisme kerja ACEi pada terapi gagal jantung. ACEi menghambat konversi angiotensin I (Ang I) menjadi angiotensin II (Ang II). Kebanyakan efek biologik Ang II diperantai oleh reseptor
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 28

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


angiotensin tipe 1 (AT1). Stimulasi reseptor AT1 menyebabkan vasokontriksi,
stimulasi dan penglepasan aldosteron, peningkatan aktivitas simpatis dan hipertrofi miokard. Aldosteron menyebabkan reabsorpsi Na dan air di tubulus ginjal, sedangkan aktivitas simpatis menyebabkan sekresi renin dari sel jukstaglomerular di ginjal. Reseptor AT2 memperantarai stimulasi apoptosis dan antiproliferasi. ACEi

dengan mengurangi pembentukan Ang II akan menghambat aktivitas Ang II di reseptor AT1 maupun AT2. Pengurangan hipertrofi miokard dan penurunan preload jantung akan menghambat progresi remodelling jantung. Di samping itu, penurunan aktivitas neurohormonal endogen (Ang II, aldosteron, norepinefrin) akan mengurangi efek langsungnya dalam menstimulasi remodelling jantung. ACEi merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang menurun, yakni dengan fraksi ejeksi di bawah normal (< 40-45%), dengan atau tanpa gejala. Pada pasien dengan gejala gagal jantung tanpa retensi cairan, ACEi harus diberikan sebagai terapi awal; pada pasien dengan retensi cairan, obat ini harus diberikan bersama diuretik. ACEi harus dimulai setelah fase akut infark miokard, meskipun gejalanya transien, untuk mengurangi mortalitas dan infark ulang serta hospitalisasi karena gagal jantung. Pada pasien gagal jantung sedang dan berat dengan disfungis sistolik ventrikel kiri, ACEi mengurangi mortalitas dan gejala-gejala gagal jantung, meningkatkan kapasitas fungsional, dan mengurangi hospitalisasi. Efek samping yang penting adalah batuk, hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan angioedema. Pasien yang tidak dapat mentoleransi obat ini karena batuk dapat menggunakan AT1-bloker sebagai alternatif yang efektif. Pada pasien normotensi, biasanya tidak terjadi hipotensi atau gangguan fungsi ginjal yang bermakna. ACEi dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral atau angioedema pada terapi dengan ACEi sebelumnya. ACEi harus selalu dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis target. Dosis target adalah dosis pemeliharaan yang telah terbukti efektif untuk mengurangi mortalitas/ hospitalisasi dalam uji klinik yang besar. Dosis

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 29

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


awal dan dosis pemeliharaan dari ACEi yang telah disetujui untuk pengobatan gagal jantung dapat dilihat di tabel di bawah ini:

Untuk memulai pengobatan gagal jantung dengan ACEi atau AT1bloker, dianjurkan prosedur berikut: (a) jika pasien telah menggunakan diuretik, turunkan dosisnya atau hentikan selama 24 jam; (b) pengobatan dimulai di petang hari, sewaktu berbaring, untuk menghindari kemungkinan terjadinya hipotensi; (c) pengobatan dimulai dengan dosis rendah dan titrasi sampai dosis target, biasanya dengan peningkatan 2 kali lipat setiap kalinya; (d) jika fungsi ginjal memburuk bermakna, hentikan pengobatan; (e) diuretik hemat kalium harus dihindari selama awal terapi; (f) penggunaan AINS dan coxib harus dihindari; dan (g) tekanan darah, fungsi ginjal dan kadar K harus diperiksa 1-2 minggu setelah pengobatan dimulai dan tiap peningkatan dosis, pada 3 bulan dan selanjutnya 6 bulan.

II.9.2.2 ANTAGONIS ANGIOTENSIN II (AT1-BLOKER) Antagonis angiotensin II menghambat aktivitas Ang II hanya di reseptor AT1-bloker. Untuk pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri: (a) AT1-bloker dapat digunakan sebagai alternatif ACEi pada pasien gagal jantung sistolik dengan fraksi ejeksi 40% yang tidak dapat

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 30

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


mentoleransi ACEi (batuk) untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. (b) AT1-bloker dan ACEi mempunyai efikasi yang sebanding pada gagal jantung sistolik dengan fraksi ejeksi AT1 40% terhadap mortalitas dan morbiditas. Pada infark miokard akut dengan gejala-gejala gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri, AT1-bloker dan ACEi mempunyai efek yang sebanding terhadap mortalitas. (c) AT1-bloker dapat dipertimbangkan dalam kombinasi dengan ACEi pada pasien yang masih simtomatik, untuk mengurangi mortalitas dan hospitalisasi karena gagal jantung. (d) AT1-bloker yang telah terbukti efektif untuk pngobatan gagal jantung serta dosisnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

II.9.2.3 DIURETIK Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan diuretik dengan cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Oleh karena penggunaan diuretik tidak mengurangi mortalitas pada gagal jantung (kecuali spironolakton), maka diuretik harus selalu diberikan dalam kombinasi dengan ACEi. Oleh karena penurunan curah jantung akibatt deplesi cairan akan meningkatkan aktivasi neurohormonal yang akan memacu progresi gagal jantung maka diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang asimtomatik maupun yang tidak ada overload cairan. Juga penggunaan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 31

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


diuretik tidak boleh berlebihan tetapi dalam dosis minimal untuk mempertahankan euvolemia. Dosis dan efek samping diuretik oral dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

II.9.2.4 ANTAGONIS ALDOSTERON Pada saat ini ada 2 antagonis aldosteron, yakni spironolakton dan eplerenon. Antagonis aldosteron direkomendasikan untuk ditambahkan pada: (a) ACEi dan diuretik kuat pada gagal jantung lanjut (NYHA kelas III-IV) dengan disfungsi sistolik (fraksi ejeksi 35%) untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas (terbukti untuk spironolakton). (b) ACEi dan -bloker pada gagal jantung setelah infark miokard dengan fungsi sistolik ventrikel kiri (fraksi ejeksi 40%) dan tanda-tanda gagal jantujng atau diabetes untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas (terbukti untuk eplerenon) Dosis awal yang rendah spironolakton 12,5 mg dan eplerenon 25 mg sehari. Dosis dapat ditingkatkan menjadi spironolakton 25 mg dan eplerenon 50 mg jika diperlukan.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 32

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


II.9.2.5 BETA BLOKER Beta bloker bekerja terutama dengan menghambat efek merugikan dari aktivitas simpatis pada pasien gagal jantung, dan efek ini lebih menguntungkan dibanding dengan efek inotropik negatifnya. Stimulasi adrenergic pada jantung memang pada awalnya meningkatkan kerja jantung, akan tetapi aktivitas simpatis yang berkepanjangan pada jantung yang telah mengalami disfungsi akan merusak jantung, dan hal ini dapat dicegah oleh beta bloker. Aktivasi simpatis akan mengaktifkan sistem renin-angiotensinaldosteron (RAA). Renin disekresi oleh sel jukstaglomerular di ginjal melalui stimulasi reseptor adrenergic 1. Selanjutnya aktivitas sistem simpatis maupun RAA akan mengakibatkan hipertrofi miokard melalui efek vasokonstriksi perifer ( arteri dan vena) dan retensi Na dan air oleh ginjal. Sedangkan vasokonstriksi koroner akan mengurangi pasokan darah pada dinding ventrikel yang hipertrofi sehingga terjadi iskemia miokard. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokard juga akan menyebabkan iskemia relative karena peningkatan kebutuhan 02 miokard disertai dengan berkurangnya pasokan 02 miokard. Iskemia miokard akan menyebabkan perlambatan konduksi jantung, yang akan memicu terjadinya aritmia jantung.

Norepinefrin juga meningkatkan automatisitas sel-sel automatic jantung sehingga terbentuk focus-fokus ektopik yang akan menimbulkan aritmia jantung. Pemberian beta bloker pada gagal jantung sistolik akan mengurangi kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel sel automatic jantung dan efek antiaritmia lainnya, sehingga mengurangi resiko terjadinya aritmia jantung, dan dengan demikian mengurangi risiko terjadinya kematian mendadak (kematian kardiovaskular). Beta bloker juga menghambat pelepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA. Akibatnya terjadi penurunan hipertrofi miokard, apoptosis, fibrosis dan remodeling miokard, sehingga progresi gagal jantung akan terhambat.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 33

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

Sekarang ini beta bloker direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA II-III) yang stabil dengan fraksi ejeksi < 35%-45%, etiologi iskemik maupun noniskemik, bersama penghambat ACE ( atau antagonis AII) dan diuretik jika diperlukan untuk mengurangi gejala (pada pasien dengan adanya atau riwayat retensi cairan), dan tidak ada kontraindikasi. Diuretik dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan Na dan cairan dan mencegah eksaserbasi retensi cairan yang dapat terjadi pada awal terapi dengan beta bloker. Pasien gagal jantung yang stabil adalah yang tidak memerlukan perawatan di IGD rumah sakit, tidak ada atau minimal overload cairan dan deplesi volume, dan tidak memerlukan obat inotropik intravena. Kontraindikasi beta bloker adalah asma bronkial, blok AV derajat 2-3, bradikardia atau hipotensi yang simptomatik. Pada pasien gagal jantung dengan gejala yang lebih parah (NYHA IIIB dan IV) pengalaman yang terbatas menunjukkan bahwa mereka dapat
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Page 34

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


mentoleransi beta bloker dan mendapat keuntungan, tapi karena risiko yang tinggi dan pengalaman yang terbatas, maka penggunaan beta bloker pada kelompok ini harus sangat hati-hati. Oleh karena efek beta bloker pada gagal jantung bukan class effect, maka hanya bisoprolol, karvedilol, dan metoprolol lepas lambat yang direkomendasikan untuk pengobatan gagal jantung. Pemberian beta bloker harus dimulai dengan dosis sangat rendah, biasanya <1/10 dosis target, dan di tingkatkan perlahan-lahan dengan supervise ketat sampai dicapai dosis target, yakni dosis pemeliharaan yang terbukti efektif pada uji klinik yang besar. Kecepatan titrasi harus disesuaikan dengan respons pasien, biasanya 2 kali lipat setiap 1-2 minggu pada pasien rawat jalan. Pada awal terapi beta bloker dapat terjadi (a) retensi cairan dan memburuknya gejala-gejala, maka tingkatkan dosis diuretic; (b) hipotensi, maka kurangi dosis penghambat ACE atau beta bloker; (c) bradikardia, maka kurangi dosis beta bloker; (d) rasa lelah, maka kurangi dosis beta bloker. Setelah kondisi pasien stabil tingkatkan kembali dosis beta bloker.
Blocker Dosis awal Peningkatan dosis (mg/hari) Bisoprolol Metoprolol suksinat CR Karvedilol 3,125 mg bid 6,25; 12,5;25; 50 25 mg bid Idem 1,25 mg od 12,5 / 25 mg od 2,5; 3,75; 5; 7,5 ;10 25, 50,100,200 10 mg od 200 mg od Minggu-bulan Idem Dosis Target Periode titrasi

II.9.2.6 VASODILATOR LAIN Vasodilator lain dari ACEi dan antagonis AII yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung adalah (a) hidralazin-isosorbid dinitrat, (b) Na nitroprusid I.V, (c) nitrogliserin I.V., dan (d) nesiritid I.V.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 35

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


II.9.2.7 GLIKOSIDA JANTUNG Efek digoksin pada pengobatan gagal jantung: (a) inotropik positif, (b) kronotropik negatif, dan (c) mengurangi aktivitas saraf simpatis. Digoksin diindikasikan untuk (1) pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrium, (2) pasien gagal jantung dengan ritme sinus yang masih simtomatik, terutama yang disertai takikardia, meskipun telah mendapat terapi maksimal dengan ACEi dan -bloker. Sediaan Sirup: 0,05mg/ ml Injeksi: 0,1 mg/ ml; 0,25 mg/ ml Tablet: 0,125 mg; 0,25 mg

Dosis: IV: 0,4-0,6 mg untuk pemberian pertama, kemudian dosis 0,1-0,3mg tiap 6-8jam sampai memberikan efek yang adekuat; namun tidak boleh melebihi 0,008-0,015 mg/kg total PO: 0,5-0,75 mg untuk pemberian pertama, kemudian dosis 0,125-0,375 mg tiap 6-8 jam hingga memberikan efek yang adekuat; sampai 0,751,25mg (untuk pasien berat badan 70 kg)

Maintanance: 0,125-0,5 mg/ hari/ IV/PO

Farmakologi: Cara kerja pada gagal jantung yaitu peningktan kontraktilitas dengan cara menginhibisi pompa ATPase natrium-kalium pada sel myocardial sehingga mengurangi efluks dari natrium dan potensi trans-membran. Blokade dari efluks natrium kemudian meningkatkan influks kalsium lewat pompa kalsium-natrium pada myosit sehingga menyebabkan peningkatan protein kontraktil di otot jantung. Semua ini menyebabkan peningkatan inotropik.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 36

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


Pada supraventrikular aritmia, berkurangnya potensi trans-membran dan aksi potensial menyebabkan berkurangnya konduksi dari AV node sehingga memperpanjang masa refrakter dan memperbaiki tonus vagal.

Absorpsi: Bioavailabilitas: 55%-90% Onset: PO 0,5 2 jam untuk efek awal dan 2 6 jam untuk efek maksimal; pada IV 5-30 menit untuk efek awal, dan 1,5 4 jam untuk efek maksimal Durasi 3-4 hari Nilai puncak di plasma: 1 jam

Distribusi: Diikat protein: 20-25% Metabolisme: Di hati, metabolit akhir : digoxigenin bisdigitoxoside, digoxigenin monodigitoxoside

Eliminasi: Masa paruh: 1-3 hari Ekskresi: urin (57-80%), feses (9-13%; termasuk empedu)

Monitoring dosis: Perhatikan CrCl dan serum level Peninggian dosis untuk gagal jantung tidak memberikan manfaat tambahanm bahkan meningkatkan toksisitas; turunnya klirens ginjal menandakan peningkatan toksisitas Pada pasien geriatrik gunakan BMI untuk menghitung dosis

Kontraindikasi: Bradikardia, blok AV derajat 2 dan 3, kardiomiopati obstruktif hipertrofik, hipokalemia. hipersensitivitas, ventrikular fibrilasi.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 37

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


Efek toksik digoksin berupa: (a) Efek proaritmik, yakni (1) penurunan potensial istirahat (akibat hambatan pompa Na), menyebabkan afterpotential yang mencapai ambang dan (2) peningkatan automatisitas. (b) Efek samping gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, nyeri lambung. (c) Efek samping visual: penglihatan berwarna kuning. (d) Lain-lain: delirium, rasa lelah, malaise, bingung, mimpi buruk

Interaksi obat : AMI, myocarditis akut, AV blok, pericarditis konstriktiv kronis, kardiokonversi elektrik, bradikardi parah, gagal jantung berat, penyakit paru berat, sick synus syndrom, ventrikular takikardi, kontraksi prematur ventrikel, WPW syndrome, imbalans elektrolit, hipotiroidisme atau hipertiroidisme, hipoxia, hipertropik idiopatik, stenosis subaorta, penyakit ginjal, penggunaan bersama diuretik. Pada kehamilan kriteria kategori C (gunakan bila kegunaan lebih banyak daripada resiko) Batas yang sempit antara dosis terapetik dan dosis toksik; dosis terapetik 0,52ng/ml (target0,5-1ng/ml), toksik >2,5ng/ml) Hindari pada hiperkalsemia atau hipomagnesemia karena dapat menyebabkan aritmia serius Peningkatan resiko estrogen-like effect pada pasien geriatri.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 38

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

II.9.2.8 INOTROPIK LAIN Inotropik lain yang digunakan adalah (a) dopamin dan dobutamin I.V. dan (b) penghambat fosfodiesterase I.V. Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan pasien dengan kegagalan sirkulasi kardiogenik. Dobutamin merupakan agonis yang terpilih untuk pasien gagal jantung dengan disfungsi sistolik. Efek samping utama dobutamin adalah takikardia berlebihan dan aritmia.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 39

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


Inamrinon dan milrinon merupakan penghambat fosfodiesterase kelas III (PDE3) yang digunakan sebagai penunjang sirkulasi jangka pendek pada gagal jantung yang parah. Mekanisme kerjanya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

II.9.2.9 ANTITROMBOTIK Warfarin diindikasikan pada gagal jantung dengan fibrilasi atrial, riwayat kejadian tromboembolik sebelumnya, atau adanya trombus di ventrikel kiri, untuk mencegah stroke atau tromboembolisme Setelah infark miokard, aspirin atau warfarin direkomendasikan sebagai profilaksis sekunder. II.9.2.10 ANTIARITMIA Antiaritmia yang digunakan hanyalah -bloker dan amiodaron. Amiodaron digunakan hanya jika disertai fibrilasi atrial dan dikehendaki ritme sinus. Amiodaron adalah satu-satunya obat antiaritmia yang tidak disertai dengan efek inotropik negatif.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Page 40

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

Farmakodinamik bloker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik NE dan Epi endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada adreno reseptor . bloker dibedakan menjadi 2 berdasarkan sifatnya: 1. kardioselektif: mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor 1 dari pada reseptor 2. 2. Non selektif : mempunyai afinitas yang sama terhadap reseptor 1 dan reseptor 2

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 41

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 42

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


Kesimpulan Semua pasien gagal jantung dengan sistolik ringan atau sedang yang stabil (EF 40%); pasien dengan gagal jantung berat juga mendapat manfaat dari beta-blockers tetapi pengobatan harus dimulai di bawah asuhan spesialis Pengobatan lini pertama, bersama dengan ACEi dan MRA, pada pasien dengan gagal jantung stabil, dimulai sedini mungkin Asma dan Blok AV drajat dua atau tiga (tanpa adanya alat pacu jantung permanen) merupakan kontraindikasi pemakaian bloker.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 43

REFERAT PERAN DIGOKSIN PADA GAGAL JANTUNG


DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, dkk. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 17. Amerika Serikat : McGraw Hill, 2008 2. Syarif Amir, et al. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008 3. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 4. Guidelines for the prevention, detection and management of chronic heart failure in Australia, Updated October 2011

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus

Page 44

Anda mungkin juga menyukai