Disusun oleh : Michi A.R.M Sitepu (406117082) Hendra Widjaya (406117083) Wiliam Tarunadjaya (406117089) Devia Arista Sani (406117092)
HALAMAN PENGESAHAN
Penyusun : Michi A.R.M Sitepu (406117082) Hendra Widjaya (406117083) Wiliam Tarunadjaya (406117089) Devia Arista Sani (406117092) Perguruan Tinggi Fakultas Tingkat Judul Refrat Bagian : : : : : Universitas Tarumanagara, Jakarta Kedokteran Program Pendidikan Profesi Dokter Peran digoksin terhadap CHF Ilmu Penyakit Dalam 8 April 2013 15 Juni 2013
Mengetahui dan Menyetujui, Pembimbing Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus
Mengetahui,
Page 2
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 3
GAGAL JANTUNG.
Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian pada kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus. Terwujudnya referat ini adalah berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak dan dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : dr. Lukman Muliadi, Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam pembuatan referat ini. Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga kami dapat berkembang ke arah yang lebih baik di kemudian hari.
Penulis
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 4
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 5
II. 2 EPIDEMIOLOGI
Gagal jantung adalah masalah yang berkembang luas di seluruh dunia, dengan lebih dari 20 juta orang mengalami sindrom klinis ini. Prevalensi keseluruhan gagal jantung dalam populasi orang dewasa di negara maju adalah 2%. Prevalensi gagal jantung meningkat seiring usia, dan mempengaruhi 6-10% orang-orang dengan usia diatas 65 tahun. Meskipun insiden gagal jantung lebih rendah pada wanita dibanding pria, namun setidaknya setengah dari
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 6
III.3 ETIOLOGI Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung Penurunan fraksi ejeksi (<40%) Coronary artery disease Infark miokarda Iskemia miokarda Chronic pressure overload Hipertensi Penyakit katub obstruktifa Chronic volume overload Penyakit regurgitasi katub Shunting intrakardiak (kiri ke kanan) Shunting ekstrakardiak Fraksi ejeksi normal (> 40-50%) Hipertrofi patologis Primer (kardiomiopati hipertrofi) Sekunder (hipertensi) Usia Restrictive cardiomyopathy
Kelainan infiltratif (amyloidosis, sarcoidosis)
Non-ischemic dilated cardiomyopathy Kelainan genetik/familial Kelainan infiltratifa Toxic/drug-induced damage Kelainan metabolika Virus Penyakit Chagas Kelainan frekuensi dan ritme jantung Bradiaritmia kronik Takiaritmia kronik
Pulmonary heart disease Kor pulmonal Pulmonary vascular disease High-output states Kelainan metabolik
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 7
Catatan: mengindikasikan kondisi yang juga dapat menyebabkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal.
II. 4 KLASIFIKASI
Gagal jantung sistolik Sindrom klinik dengan gejala sesak nafas, lelah dan intoleransi aktivitas fisik dimana gambaran dominan jantung adalah besar, dilatasi jantung dan gangguan fungsi sistolik. Bisa disertai atau tidak disertai penyakit katup jantung. Gagal jantung diastolik Istilah ini dipakai saat fraksi ejeksi saat istirahat adalah normal atau mendekati normal. Atau disebut juga preserved ejection fraction. Tanda dari gagal jantung tampak, dan ukuran jantung kecil atau normal. Bisa terjadi hipertrofi ventrikel kanan dan gangguan pengisian jantung akibat perubahan kekakuan ventrikel kiri atau bukti lain dari disfungsi diastolik. Hipertensi sistemik yang berat dan atau penyakit katup seperti regurgitasi mitral bisa ada. Gagal jantung diastolik bisa terjadi bersamaan dengan gagal jantung sistolik, khususnya saat aktivitas
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 8
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 9
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 10
Ortopneu Ortopneu didefinisikan sebagai sesak napas yang timbul pada posisi terlentang, gejala ini biasanya merupakan manifestasi lanjut gagal jantung setelah sesak napas akibat aktifitas. Hal ini diakibatkan redistribusi cairan dari sirkulasi splanik dan ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral selama posisi terlentang yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler paru. Batuk malam hari merupakan manifestasi yang sering muncul pada proses ini. Ortopneu biasanya berkurang dengan posisi duduk tegak atau tidur menggunakan bantal tambahan. Meskipun ortopneu secara relatif merupakan gejala yang spesifik pada gagal jantung, namun dapat juga terjadi pada pasien obesitas abdomen atau asites dan pada pasien dengan penyakit paru yang secara mekanik membutuhkan posisi tegak.
Paroxysmal Nocturnal Dyspneau (PND) Paroxysmal Nocturnal Dyspneau (PND) merupakan episode akut sesak napas dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari sehingga membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya 13 jam setelah pasien istirahat. PND dapat berupa batuk atau wheezing, yang kemungkinan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 11
Respirasi Cheyne-Stokes Merupakan pernapasan periodik atau pernapasan siklik. Pernapasan Cheyne-Stokes umum terjadi pada gagal jantung lanjut dan biasanya dikaitkan dengan cardiac output rendah. Respirasi Cheyne Stokes disebabkan berkurangnya sensitifitas pusat pernapasan terhadap PCO2 arteri. Pada pernapasan ini terdapat fase apneu, yang terjadi selama penurunan PO2 dan peningkatan PCO2 arterial. Perubahan dari gas darah arteri ini menstimulasi penekanan pusat pernapasan, yang menyebabkan hiperventilasi dan hipokapneu diikuti dengan fase apneu. Pernapasan Cheyne-Stokes ini diartikan oleh pasien dan keluarganya sebagai sesak napas berat atau sebagai henti napas sementara.
Gejala Lain Pasien dengan gagal jantung dapat menunjukkan gejala gastrointestinal. Anoreksia, nausea, dan mudah kenyang terkait dengan nyeri abdomen dan begah sering dikeluhkan dan mungkin berhubungan dengan edema dinding gastrointestinal dan atau kongesti hepar. Kongesti hepar dan peregangan kapsul hepar dapat menyebabkan nyeri kuadran kanan atas. Gejala serebri, seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan mood, sebaiknya diobservasi pada pasien dengan gagal jantung yang berat, terutama pasien usia lanjut dengan aterosklerosis serebri dan penurunan perfusi serebri. Nokturia umum terjadi pada gagal jantung dan dapat menyebabkan insomnia.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 12
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 13
relaksasi), volume diastolik akhir akan berkurang sehingga volume sekuncup menjadi sedikit (backward failure). Akibatnya, terjadi lingkaran setan dengan dinding ventrikel yang berdilatasi akan memberikan jalan yang lebih banyak (berdilatasi dengan merestrukturisasi miokardium) dan r meningkat secara tajam. Dekompensasi ini ditandai oleh penurunan volume sekuncup yang mengancam nyawa, meskipun volume diastolik akhir sangat meningkat Gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit miokardium. Pada penyakit jantung korener dan setelah infark miokard, beban pada miokardium yang tidak terkena akan meningkat, dengan demikian terjadi forward failure akibat menurunnya kontraktilitas. Hal ini dicerminkan oleh pergeseran kurva kontraktilitas pada diagram kerja ventrikel. Volume sistolik akhir, dan pada jumlah yang lebih kecil, volume diastolik akhir juga meningkat, sedangkan volume sekuncup menurun. Hipertrofi dari miokardium yang tersisa, kekakuan jaringan parut miokardium serta berkurangnya pengaruh ATP pada pemisahan aktin-miosin di miokardium yang mengalami iskemia, akan menyebabkan backward gagal jantung. Akhirnya, jaringan parut infark yang dapat meregang dapat menonjol keluar selama sistol (diskinesia) sehingga menambah beban volume (volume regurgitasi). Kardiomiopati juga dapat menyebabkan gagal jantung dengan beban volume menjadi gambaran utama pada bentuk yang melebar dan backward failure pada bentuk yang hipertrofi dan restriktif. Gagal jantung yang disebabkan oleh beban tekanan. Tegangan dinding (T) ventrikel kiri juga meningkat pada hipertensi atau stenosis aorta karena membutuhkan peningkatan tekanan ventrikel kiri (hukum Laplace). Terjadi forward failure dengan penurunan kontraktilitas. Keadaan serupa terjadi berhubungan dengan hipertensi pulmonal pada ventrikel kanan. Hipertrofi kompensatorik juga akan terjadi bila
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 15
Page 16
II.8 DIAGNOSIS
Diagnosis dari gagal jantung relatif bisa langsung ditegakkan ketika pasien datang dengan tanda dan gejala klasik dari gagal jantung; namun demikian, gejala dan tanda dari gagal jantung tidak sensitif maupun spesifik. Oleh karena itu, kunci untuk menegakkan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 17
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 18
II.8.2 Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG rutin 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai ritme jantung, menentukan adanya hipertrofi ventrikel kiri atau adanya MI sebelumnya (dengan atau tanpa gelombang Q), juga untuk menentukan lebar dari QRS untuk memastikan apakah terapi resinkronisasi bermanfaat pada pasien atau tidak. Gambaran EKG normal hampir menyingkirkan kemungkinan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 19
II.8.3 Foto x-ray thorax Pemeriksaan ini memberikan informasi yang penting mengenai ukuran dan bentuk dari jantung, juga untuk menilai keadaan vaskularisasi dari paru, dan dapat menentukan penyebab gejala non-kardiak dari pasien. Meskipun pasien dengan gagal jantung akut memiliki hipertensi pulmonal, edema interstitial, dan/atau edema pulmonal, kebanyakan pasien dengan gagal jantung kronik tidak. Hal ini
mencerminkan adanya peningkatan kapasitas dari sistem limfatik untuk mengeluarkan cairan interstitial dan/atau cairan pulmonal.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Page 20
ekokardiogram/Doppler 2-D, yang dapat memberikan penilaian secara semikuantitatif dari ukuran ventrikel kiri dan fungsinya, begitu juga dengan ada atau tidaknya abnormalitas dari katub dan/atau gerakan dinding regional (menandakan adanya MI sebelumnya). Adanya dilatasi dari atrial kiri dan hipertrofi dari ventrikel kiri,
bersamaan dengan abnormalitas dari pengisian diastolik dari ventrikel kiri yang diperiksa dengan gelombang pulsasi dan Doppler jaringan, berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Ekokardiogram 2-D/Doppler juga sangat berguna dalam menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmonal, yang sangat penting dalam evaluasi dan tatalaksana dari cor pulmonale. MRI juga berguna dalam menganalisis secara komprehensif dari anatomi dan fungsi jantung dan merupakan gold standard saat ini untuk menilai massa dan volume dari ventrikel kiri. Index yang paling berguna dari fungsi ventrikel kiri adalah EF (SV dibagi dengan EDV). Oleh karena EF mudah diukur dengan tes non-invasif dan mudah untuk dikonseptualisasikan, ini diterima secara luas oleh para klinisi. Sayangnya, EF memiliki keterbatasan dalam mengukur kontraktilitas yang sebenarnya, oleh karena dipengaruhi perubahan afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, EF ventrikel kiri meningkat pada regurgitasi mitral sebagai hasil dari ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Meskipun demikian, dengan pengecualian indikasi di atas, ketika EF normal ( 50 %), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan ketika EF secara signifikan menurun (< 30 40 %), kontraktilitas biasanya juga menurun.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 21
II.8.5 Biomarkers Kadar natriuretic peptide dalam sirkulasi berguna sebagai pemeriksaan tambahan dalam diagnosis pasien dengan gagal jantung. Kedua B-type Brain
Natriuretic Peptide (BNP) dan N-terminal pro-BNP dikeluarkan dari jantung yang
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 22
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 23
II.8.6 Exercise Testing Treadmill atau bicycle exercise testing tidak dilakukan secara rutin untuk pasien-pasien gagal jantung, tetapi berguna untuk menilai perlu tidaknya transplantasi jantung pada pasien-pasien dengan gagal jantung tahap lanjut. Peak oxygen uptake (VO2) < 14 ml/kg/menit berhubungan dengan prognosis yang relatif buruk. Telah dibuktikan pasien-pasien dengan VO2 < 14 ml/kg/menit secara umum, mempunyai survival yang lebih baik ketika ditransplantasikan daripada diobati secara medis.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 24
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 25
Page 26
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 27
II.9.2.1 ACEi ACEi terbukti dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik (semua derajat keparahan, termasuk yang asimtomatik). Gambar di bawah ini menunjukkan mekanisme kerja ACEi pada terapi gagal jantung. ACEi menghambat konversi angiotensin I (Ang I) menjadi angiotensin II (Ang II). Kebanyakan efek biologik Ang II diperantai oleh reseptor
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 28
dengan mengurangi pembentukan Ang II akan menghambat aktivitas Ang II di reseptor AT1 maupun AT2. Pengurangan hipertrofi miokard dan penurunan preload jantung akan menghambat progresi remodelling jantung. Di samping itu, penurunan aktivitas neurohormonal endogen (Ang II, aldosteron, norepinefrin) akan mengurangi efek langsungnya dalam menstimulasi remodelling jantung. ACEi merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang menurun, yakni dengan fraksi ejeksi di bawah normal (< 40-45%), dengan atau tanpa gejala. Pada pasien dengan gejala gagal jantung tanpa retensi cairan, ACEi harus diberikan sebagai terapi awal; pada pasien dengan retensi cairan, obat ini harus diberikan bersama diuretik. ACEi harus dimulai setelah fase akut infark miokard, meskipun gejalanya transien, untuk mengurangi mortalitas dan infark ulang serta hospitalisasi karena gagal jantung. Pada pasien gagal jantung sedang dan berat dengan disfungis sistolik ventrikel kiri, ACEi mengurangi mortalitas dan gejala-gejala gagal jantung, meningkatkan kapasitas fungsional, dan mengurangi hospitalisasi. Efek samping yang penting adalah batuk, hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan angioedema. Pasien yang tidak dapat mentoleransi obat ini karena batuk dapat menggunakan AT1-bloker sebagai alternatif yang efektif. Pada pasien normotensi, biasanya tidak terjadi hipotensi atau gangguan fungsi ginjal yang bermakna. ACEi dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral atau angioedema pada terapi dengan ACEi sebelumnya. ACEi harus selalu dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis target. Dosis target adalah dosis pemeliharaan yang telah terbukti efektif untuk mengurangi mortalitas/ hospitalisasi dalam uji klinik yang besar. Dosis
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 29
Untuk memulai pengobatan gagal jantung dengan ACEi atau AT1bloker, dianjurkan prosedur berikut: (a) jika pasien telah menggunakan diuretik, turunkan dosisnya atau hentikan selama 24 jam; (b) pengobatan dimulai di petang hari, sewaktu berbaring, untuk menghindari kemungkinan terjadinya hipotensi; (c) pengobatan dimulai dengan dosis rendah dan titrasi sampai dosis target, biasanya dengan peningkatan 2 kali lipat setiap kalinya; (d) jika fungsi ginjal memburuk bermakna, hentikan pengobatan; (e) diuretik hemat kalium harus dihindari selama awal terapi; (f) penggunaan AINS dan coxib harus dihindari; dan (g) tekanan darah, fungsi ginjal dan kadar K harus diperiksa 1-2 minggu setelah pengobatan dimulai dan tiap peningkatan dosis, pada 3 bulan dan selanjutnya 6 bulan.
II.9.2.2 ANTAGONIS ANGIOTENSIN II (AT1-BLOKER) Antagonis angiotensin II menghambat aktivitas Ang II hanya di reseptor AT1-bloker. Untuk pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri: (a) AT1-bloker dapat digunakan sebagai alternatif ACEi pada pasien gagal jantung sistolik dengan fraksi ejeksi 40% yang tidak dapat
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 30
II.9.2.3 DIURETIK Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan diuretik dengan cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Oleh karena penggunaan diuretik tidak mengurangi mortalitas pada gagal jantung (kecuali spironolakton), maka diuretik harus selalu diberikan dalam kombinasi dengan ACEi. Oleh karena penurunan curah jantung akibatt deplesi cairan akan meningkatkan aktivasi neurohormonal yang akan memacu progresi gagal jantung maka diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang asimtomatik maupun yang tidak ada overload cairan. Juga penggunaan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 31
II.9.2.4 ANTAGONIS ALDOSTERON Pada saat ini ada 2 antagonis aldosteron, yakni spironolakton dan eplerenon. Antagonis aldosteron direkomendasikan untuk ditambahkan pada: (a) ACEi dan diuretik kuat pada gagal jantung lanjut (NYHA kelas III-IV) dengan disfungsi sistolik (fraksi ejeksi 35%) untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas (terbukti untuk spironolakton). (b) ACEi dan -bloker pada gagal jantung setelah infark miokard dengan fungsi sistolik ventrikel kiri (fraksi ejeksi 40%) dan tanda-tanda gagal jantujng atau diabetes untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas (terbukti untuk eplerenon) Dosis awal yang rendah spironolakton 12,5 mg dan eplerenon 25 mg sehari. Dosis dapat ditingkatkan menjadi spironolakton 25 mg dan eplerenon 50 mg jika diperlukan.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 32
Norepinefrin juga meningkatkan automatisitas sel-sel automatic jantung sehingga terbentuk focus-fokus ektopik yang akan menimbulkan aritmia jantung. Pemberian beta bloker pada gagal jantung sistolik akan mengurangi kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel sel automatic jantung dan efek antiaritmia lainnya, sehingga mengurangi resiko terjadinya aritmia jantung, dan dengan demikian mengurangi risiko terjadinya kematian mendadak (kematian kardiovaskular). Beta bloker juga menghambat pelepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA. Akibatnya terjadi penurunan hipertrofi miokard, apoptosis, fibrosis dan remodeling miokard, sehingga progresi gagal jantung akan terhambat.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 33
Sekarang ini beta bloker direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA II-III) yang stabil dengan fraksi ejeksi < 35%-45%, etiologi iskemik maupun noniskemik, bersama penghambat ACE ( atau antagonis AII) dan diuretik jika diperlukan untuk mengurangi gejala (pada pasien dengan adanya atau riwayat retensi cairan), dan tidak ada kontraindikasi. Diuretik dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan Na dan cairan dan mencegah eksaserbasi retensi cairan yang dapat terjadi pada awal terapi dengan beta bloker. Pasien gagal jantung yang stabil adalah yang tidak memerlukan perawatan di IGD rumah sakit, tidak ada atau minimal overload cairan dan deplesi volume, dan tidak memerlukan obat inotropik intravena. Kontraindikasi beta bloker adalah asma bronkial, blok AV derajat 2-3, bradikardia atau hipotensi yang simptomatik. Pada pasien gagal jantung dengan gejala yang lebih parah (NYHA IIIB dan IV) pengalaman yang terbatas menunjukkan bahwa mereka dapat
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Page 34
II.9.2.6 VASODILATOR LAIN Vasodilator lain dari ACEi dan antagonis AII yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung adalah (a) hidralazin-isosorbid dinitrat, (b) Na nitroprusid I.V, (c) nitrogliserin I.V., dan (d) nesiritid I.V.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 35
Dosis: IV: 0,4-0,6 mg untuk pemberian pertama, kemudian dosis 0,1-0,3mg tiap 6-8jam sampai memberikan efek yang adekuat; namun tidak boleh melebihi 0,008-0,015 mg/kg total PO: 0,5-0,75 mg untuk pemberian pertama, kemudian dosis 0,125-0,375 mg tiap 6-8 jam hingga memberikan efek yang adekuat; sampai 0,751,25mg (untuk pasien berat badan 70 kg)
Farmakologi: Cara kerja pada gagal jantung yaitu peningktan kontraktilitas dengan cara menginhibisi pompa ATPase natrium-kalium pada sel myocardial sehingga mengurangi efluks dari natrium dan potensi trans-membran. Blokade dari efluks natrium kemudian meningkatkan influks kalsium lewat pompa kalsium-natrium pada myosit sehingga menyebabkan peningkatan protein kontraktil di otot jantung. Semua ini menyebabkan peningkatan inotropik.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 36
Absorpsi: Bioavailabilitas: 55%-90% Onset: PO 0,5 2 jam untuk efek awal dan 2 6 jam untuk efek maksimal; pada IV 5-30 menit untuk efek awal, dan 1,5 4 jam untuk efek maksimal Durasi 3-4 hari Nilai puncak di plasma: 1 jam
Distribusi: Diikat protein: 20-25% Metabolisme: Di hati, metabolit akhir : digoxigenin bisdigitoxoside, digoxigenin monodigitoxoside
Eliminasi: Masa paruh: 1-3 hari Ekskresi: urin (57-80%), feses (9-13%; termasuk empedu)
Monitoring dosis: Perhatikan CrCl dan serum level Peninggian dosis untuk gagal jantung tidak memberikan manfaat tambahanm bahkan meningkatkan toksisitas; turunnya klirens ginjal menandakan peningkatan toksisitas Pada pasien geriatrik gunakan BMI untuk menghitung dosis
Kontraindikasi: Bradikardia, blok AV derajat 2 dan 3, kardiomiopati obstruktif hipertrofik, hipokalemia. hipersensitivitas, ventrikular fibrilasi.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 37
Interaksi obat : AMI, myocarditis akut, AV blok, pericarditis konstriktiv kronis, kardiokonversi elektrik, bradikardi parah, gagal jantung berat, penyakit paru berat, sick synus syndrom, ventrikular takikardi, kontraksi prematur ventrikel, WPW syndrome, imbalans elektrolit, hipotiroidisme atau hipertiroidisme, hipoxia, hipertropik idiopatik, stenosis subaorta, penyakit ginjal, penggunaan bersama diuretik. Pada kehamilan kriteria kategori C (gunakan bila kegunaan lebih banyak daripada resiko) Batas yang sempit antara dosis terapetik dan dosis toksik; dosis terapetik 0,52ng/ml (target0,5-1ng/ml), toksik >2,5ng/ml) Hindari pada hiperkalsemia atau hipomagnesemia karena dapat menyebabkan aritmia serius Peningkatan resiko estrogen-like effect pada pasien geriatri.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 38
II.9.2.8 INOTROPIK LAIN Inotropik lain yang digunakan adalah (a) dopamin dan dobutamin I.V. dan (b) penghambat fosfodiesterase I.V. Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan pasien dengan kegagalan sirkulasi kardiogenik. Dobutamin merupakan agonis yang terpilih untuk pasien gagal jantung dengan disfungsi sistolik. Efek samping utama dobutamin adalah takikardia berlebihan dan aritmia.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 39
II.9.2.9 ANTITROMBOTIK Warfarin diindikasikan pada gagal jantung dengan fibrilasi atrial, riwayat kejadian tromboembolik sebelumnya, atau adanya trombus di ventrikel kiri, untuk mencegah stroke atau tromboembolisme Setelah infark miokard, aspirin atau warfarin direkomendasikan sebagai profilaksis sekunder. II.9.2.10 ANTIARITMIA Antiaritmia yang digunakan hanyalah -bloker dan amiodaron. Amiodaron digunakan hanya jika disertai fibrilasi atrial dan dikehendaki ritme sinus. Amiodaron adalah satu-satunya obat antiaritmia yang tidak disertai dengan efek inotropik negatif.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus Page 40
Farmakodinamik bloker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik NE dan Epi endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada adreno reseptor . bloker dibedakan menjadi 2 berdasarkan sifatnya: 1. kardioselektif: mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor 1 dari pada reseptor 2. 2. Non selektif : mempunyai afinitas yang sama terhadap reseptor 1 dan reseptor 2
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 41
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 42
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 43
1. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, dkk. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 17. Amerika Serikat : McGraw Hill, 2008 2. Syarif Amir, et al. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008 3. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012 4. Guidelines for the prevention, detection and management of chronic heart failure in Australia, Updated October 2011
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Umum Daerah Kudus
Page 44