Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK XVII BLOK IX.

CARDIOVASKULER SKENARIO III

KORELASI GAGAL JANTUNG DENGAN KELUHAN SESAK NAFAS YANG MAKIN PARAH

Disusun Oleh:
Cherryl Martha C.A.W Dimas Alan Setiawan Eksy Andhika W Endang Susilowati N Icha Dithyana G0010042 G0010060 G0010068 G0010072 G0010096 Maulidina Kurniawati Namira Qisthina Surya Adhi Prakoso Vidi Aditya P.W.P Zhafran Veliawan G0010122 G0010134 G0010182 G0010192 G0010206

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB I PEMBUKAAN 1.Pendahuluan Gagal jantung menjadi masalah kesehatan yang utama di negara maju dan berkembang. Prevalensi meningkat seiring meningkatnya populasi usia lanjut. Diagnosis dini dan identifikasi etiologi dari pasien gagal jantung sangat diperlukan karena banyak kondisi yang menyerupai sindroma gagal jantung ini pada usia lanjut maupun usia dewasa. Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak nafas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung memompa darah dengan kecepatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan atau kemampuan melakukan hal ini pada tekanan pengisian yang meningkat. Pada tahun 1989, terdapat 3 juta penderita gagal jantung di Amerika Serikat dan diperkirakan jumlahnya bertambah 400.000 orang setiap tahunnya. Namun, angka pasti jumlah penderita gagal jantung di Indonesia belum diketahui secara pasti. (Dorland, 2006; Panggabean, 2007)

2. Tujuan pembelajaran Setelah mempelajari dan berdiskusi mengenai skenario pada diskusi tutorial blok kardiovaskuler ini, Mahasiswa diharapkan mampu untuk: 1. Mengetahui anatomi, histologi, dan fisiologi jantung serta pembuluh darah. 2. Mengetahui etiologi, patogenesis dan patofisiologi penyakit jantung dan pembuluh darah. 3. Mengetahui tatalaksana penyakit jantung baik secara medika mentosa maupun non medika mentosa. 4. Memperdalam pengetahuan tentang penyakit jantung dalam skenario ini khususnya gagal jantung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output. 2. Klasifikasi Hipertensi a. Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu : Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol

homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi. Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus- kasus hipertensi. b. Berdasarkan bentuk hipertensi,yaitu hipertensi diastolic,campuran,dan sistolik. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu p eningkatan tekanan

diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak - anak dan dewasa muda.Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu p eningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan Umumnya

tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diasto lik. ditemukan pada usia lanjut.

3.

Etiologi hipertensi Hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup

dan Total Peripheral Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi. Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik. Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat - serat otot jantung juga mulai

tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup. 4. Patofisiologi hipertensi Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berl anjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini , neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol da n steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya

menurunkan

kemampuan

distensi

dan

daya

regang

pembuluh

darah.

Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),

mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer. 5. Tanda dan Gejala Hipertensi Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus). Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun- tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat

bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan

urinasi pada malam hari) dan

azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia ) atau gangguan tajam penglihatan. Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahuntahun berupa : Nyeri kepala saat terjaga, kadang -kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial ,Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi , Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat, Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba- tiba, tengkuk terasa pegal dan lain lain. 6. Faktor resiko hipertensi meliputi : Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan

bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering disebabkan

oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur. Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya hipertensi dimana

pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki- laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita hipertensi. Dari laporan sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6% dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari Sumatra Barat menunjukan 18,6% pada pria dan 17,4% wanita. Di daerah perkotaan Semarang didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta didapatkan 14,6 pada pria dan 13,7% pada wanita. Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah t erjadinya hipertensi hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi. Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5 - 15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadai melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Garam

mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang- orang peka sodium lebih mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah. Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan -makanan yang diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang berkebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi batasi.

Merokok

merupaka salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan

merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekana darah karena nikotin akan diserap pembulu darah kecil dalam paru - paru dan diedarkan oleh pembulu dadarah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan member sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembulu darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi.Selain itu, karbon monoksida dalam asap rokokmenggantikan iksigen

dalam darah. Hal ini akan menagakibatkan tekana darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup kedalam orga dan jaringa n tubuh. Aktivitas sangat mempengaruhi terjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuan aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi.Makin keras dan sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri. Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana h ubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota. 7. Komplika si Hipertensi Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri- arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran dar ah ke daerah - daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri- arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma.

Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba- tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak. Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan perubahan- perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan. Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler kepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit- unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan e dema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik. Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan jaringan lain sering disebut edma.Cairan di dalam paru paru menyebabkan sesak

napas,timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema. Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neron -neron disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian.

COR PULMONAL KRONIK Kor pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri. Etiologi kor pulmonal dapat digolongkan dalam 4 kelompok: (1) Penyakit pembuluh darah paru; (2) Tekanan darah pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau fibrosis; (3) Penyakit muskular dan dinding dada; (4) Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk PPOK. Penyakit paru lain adalah penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasan saat tidur. Penyakit paru kronis akan mengakibatkan: (1) berkurangnya vascular bed f paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang mengembang atua kerusakan paru; (2) asidosis dan hiperkapnia; (3) hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru; (4) polisitemia dan hiperviskositas darah. Keempat kelainan ini menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal (perjalanan lambat). Dalam jangka panjang akan

mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan. Tingkat klinisi kor pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung kanan. Diagnosis kor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan menemukan tanda PPOK; asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah; hipertensi pulmonal, hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan. Perjalanan penyakit hipertensi pulmonal pada PPOK. Curah jantung dari ventrikel kanan seperti pula di kiri disesuaikan dengan preload, kontraktilitas dan afterload. Meski dinding ventrikel kanan tipis, namun masih dapat memenuhi kebutuhan saat terjadi aliran balik vena yang meningkat mendadak (seperti saat menarik napas). Peningkatan afterload akan menyebabkan pembesaran ventrikel kanan yang berlebihan. Hal ini terjadi karena tahanan di pembuluh darah paru sebagai akibat gangguan di pembuluh sendiri maupun akibat kerusakan parenkim

paru. Peningkatan afterload ventrikel kanan dapat terjadi karena hiperinflasi paru akibat PPOK, sebagai akibat kompresi kapiler alveolar dan pemanjangan pembuluh darah dalam paru. Peningkatan ini juga dapat terjadi ketika volume paru turun mendadak akibat reseksi paru demikian pula pada restriksi paru ketika pembuluh darah mengalami kompresi dan berubah bentuk. Afterload meningkat pada ventrikel kanan juga dapat ditimbulkan pada vasokonstriksi paru dengan hipoksia atau asidosis. Perubahan hemodinamik kor pulmonal pada PPOK dari normal menjadi hipertensi pulmonal, kor pulmonal, dan akhirnya menjadi kor pulmonal yang diikuti dengan gagal jantung. Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama dengan pengobatan kor pulmonal pada umumnya untuk: (1)

Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal; (3) Meningkatkan kelangsungan hidup; (4) Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya. Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan kelangsungan hidup. Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan diawali dengan menghentikan merokok serta tatalaksana lanjut adalah sebagai berikut: a. Terapi oksigen Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup belum diketahui. Ditemukan 2 hipotesis: (1) mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan resistensi vaskular paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan; (2) Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak dan organ vital. b. Vasodilator Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik, inhibitor ACE, dan postaglandin) sampai saat ini belum direkomendasikan pemakaiannya secara rutin. c. Digitalis

Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung kiri. d. Diuretika Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. e. Flebotomi Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi untuk menurunkan hematokrit sampai dengan nilai 59% hanya merupakan terapi tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagal jantung kanan akut. f. Antikoagulan Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkan atas kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.

GAGAL JANTUNG KIRI Pada keadaan normal selalu terdapat sisa darah di rongga ventrikel pada akhir sistol. Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung, maka pada akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan normal. Pada fase diastol berikutnya maka sisa darah ini akan bertambah lagi dengan drah yang masuk ke ventrikel kiri, sehingga tekanan akhir diastol menjadi lebih tinggi. Atrium kiri akan mengalami bendungan dengan berjalannya waktu. Tekanan darah di atrium kiri meninggi karena bendungan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh peninggian tekanan darah di vena pulmonalis dan pembuluh darah kapiler paru-paru, sehingga tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru akan meningkat hingga terjadilah transudasi cairan dari pembuluh kapiler paru-paru. Pada saat tekanan di arteri pulmonalis dan arteri brochialis meninggi terjadi pula transudasi di jaringan intersisiel bronkus. Jaringan akan edema dan hal ini akan mengurangi besarnya lumen bronkus, sehingga aliran udara terganggu.

Dengan terjadinya edema intersisiel maka pergerakan alveoli akan terganggu sehingga proses pertukaran udara juga terganggu. Penderita akan merasa sesak nafas disertai dengan nadi yang cepat. 1. Gagal jantung kiri yang Terkompensasi Dengan mekanisme kompensasi yang bekerja cukup cepat untuk sementara curah jantung pada gagal jantung akut akan dapat dicukupi. Dengan mekanisme kompensasi yang bekerja lambat, yaitu terjadinya retensi cairan oleh ginjal, maka jumlah aliran balik vena akan bertambah dan rangsangan simpatis pelan-pelan akan dikurangi sedang curah jantung tetap cukup untuk metabolisme. 2. Gagal Jantung yang Tidak Dapat Terkompensasi Pada keadaan ini gagal jantung kiri menjadi sangat berat. Penderita bisa meninggal dengan edema paru atau syok kardogenik. Penderita dapat bertahan beberapa lama sampai terjadi retensi cairan oleh ginjal, namun aliran balik vena akibat retensi cairan tetap tidak mampu menaikan curah jantung. 3. Gejala Gagal Jantung Kiri Gejal gagal jantung sebenarnya berasal dari gejala menurunnya curah jantung disertai dengan mekanisme kompensasi jantung dan gejala karena bendungan paru. Gejala gagal jantung yang terlihat anatara lain: dyspnoe de effort, ortopneu, dispneu nokturnal paroksimalis, sesak, takikardi, berkeringan dingin.Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek yaitu : mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan pengobatan khusus. Pengobatan dapat dengan cara mengurangi beban awal dengan pembatasan cairan, pemberian diuretik, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dapat dikurangi dengan obat-obatan vasodilator seperti penghambat ACE. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat-obatan inotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin

GAGAL JANTUNG KANAN Pada keadaan gagal jantung kanan akut karena ventrikel kanan tidak bias berkontraksi dengan optimal, terjadi bendungan di atrium kanan dan vena cava

superior dan inferior. Dalam keadaan ini gejala edema perifer, hepatomegali, splenomegalibelim sempat terjadi, tetapi yang mencolok adalah tekanan darah akan menurun dengan cepat sebab darah balik berkurang. Pada gagal jantung kanan yang kronis, ventrikel kanan pada saat sistol tidak mampu memompa darah keluar, sehingga seperti pada saat gagal jantung kiri pada saat tekanan akhir sistol ventrikel kanan akan meninggi. Dengan demikian maka tekanan di atrium kanan juga akan meninggi dan hal ini akan diikuti bendungan darah di vena cava superior, vena cava inferior serta seluruh aliran vena. Komplikasi yang dapat ditimbulkan pada gagal jantung kanan adalah timbulnya syok kardiogenik karena perfusi darah yang mengalami gangguan akibat pengurangan aliran darah balik berkurang,dan edema paru akut akibat penumpukan darah di arteri dan vena pulmonalis. 1. Gejala Gagal Jantung Kanan Gagal jantung kanan bisa merupakan lanjutan dari gagal jantung kiri,karena dari sirkulasi pulmonal berhubungan dengan ventrikel kanan pasien.Keluhan Pokok yang dikeluhkan pasien gagal jantung kanan diantaranya : Dispnea deffort,ortopnea,paroksismal nocturnal dispnea (asma kardial),batukbatuk.Tanda [enting yang perlu diperhatikan adalah : Asites,hepatomegali,dan edema pretibial. 2. Pemeriksaan Gagal Jantung Kanan a. Pemeriksaan Laboratorium Analisa gas darah : Po2 menurun Asidosis b. Pemeriksaan Khusus Ekokardiografi EKG 3. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kanan Untuk penanganan pasien gagal jantung kanan tanpa edema paru adalah istirahat serta mengurangi aktivitas yang berat,selain itu melakukan diet rendah garam untuk mengurangi tekanan darah.Untuk terapi secara medika mentosa adalah

a) Menurunkan afterload : Captopril 2-3 x 6,25-12,5 mg/hari. Antagonis kalsium : 20-40 mg/hari (kasus ringan):40-80mg/hari (kasus berat) b) Meningkatkan kontraktilitas jantung: Digoxin: loading dose 3 x 0,25 mg, 3 hari, di lanjutkan dosis pemeliharaan 0,125 sampai 0,25 mg/hari (umur). c) Menurunkan preload : Furosemide :20-40 mg/hari (kasus ringan):40-80mg/hari (kasus berat) Isosorbid (cedocard)

BAB III PEMBAHASAN


Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinik yang muncul pada pasien yang terdapat adanya kelainan fungsi dan/atau struktur dari jantung yang diturunkan (kongenital) ataupun didapat, yang karenanya berkembang kumpulan simtom dan gejala yang kemudian mengakibatkan seringnya pasien dirawat di rumah sakit, kualitas hidup yang rendah, dan menurunnya angka harapan hidup. Simtom dan gejala yang ditemukan pada pasien merupakan manifestasi dari ketidakmampuan jantung mengedarkan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen bagi seluruh jaringan tubuh. Pada skenario didapat kencing pasien berkurang, hal ini merupakan salah satu efek dari keadaan gagal jantung. Ketika terjadi gagal jantung (terutama gagal jantung akut), setelah adanya kompensasi oleh refleks saraf simpatis (kontraktilitas jantung meningkat dan peningkatan tekanan pengisian sistemik rata-rata), cardiac output yang tetap rendah berakibat turunnya perfusi darah ke jaringan tubuh, termasuk ginjal. Ginjal kemudian merespon keadaan ini dengan meningkatkan reabsorbsi natrium, yang akan diikuti dengan reabsorbsi air, yang akan menurunkan volume urin dan meningkatkan volume darah sehingga meningkatkan cardiac output. Selain mekanisme pengaturan ginjal terhadap tekanan arteri dengan mempengaruhi volume cairan ekstrasel di atas, ginjal juga memiliki mekanisme pengaturan lain, yaitu mekanisme sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA). Mekanisme ini bermula ketika perfusi darah ke ginjal menurun (penurunan tekanan arteri) menimbulkan respon dari sel jukstaglomerular di ginjal untuk melepaskan renin, yang merupakan suatu enzim protein. Renin akan bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yakni angiotensinogen menghasilkan angiotensin I. Angiotensin I ini merupakan vasokonstriktor ringan namun tidak

mampu menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna pada sistem sirkulasi. Oleh karena itu, angiotensin I akan diubah oleh Angiotensin Converting Enzym (ACE) terutama di paru menjadi angiotensin II. Pengaruh utama angiotensin II adalah vasokonstriksi di berbagai daerah di tubuh (konstriksi di arteriol meningkatkan tahanan perifer total sehingga tekanan arteri pun meningkat, konstriksi di vena lebih ringan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung sehingga membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan). Pengaruh lainnya adalah dengan mengatur penurunan ekskresi garam dan air di ginjal. Pengaruh ini juga didukung oleh fungsi angiotensin II yang merangsang sekresi aldosteron yang juga berfungsi meningkatkan reabsorpsi garam dan air di tubulus ginjal. Pada stadium awal gagal jantung, atau pada gagal jantung akut, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru dapat memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Hal tersebut dapat terjadi karena pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru.

Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi. Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 32 kali/menit. Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 180/100 mmHg, menunjukkan adanya hipertensi. Hipertensi dapat merupakan komplikasi maupun faktor penyebab dari gagal jantung. Hipertensi sebagai faktor penyebab keadaan gagal jantung kemungkinan karena meningkatnya tahanan di pembuluh yang harus ventrikel lawan untuk memompa darah melewati pembuluh, sehingga beban jantung meningkat. Hal ini jika berlangsung terus menerus akan menimbulkan keadaan payah jantung kemudian gagal jantung. Hipertensi juga dapat merupakan manifestasi dari keadaan gagal jantung. Ketika perfusi darah ke ginjal berkurang, salah satunya akan muncul mekanisme neurohormonal RAA yang efeknya akan meningkatkan tekanan darah. Hasil lainnya dari pemeriksaan fisik adalah tidak ditemukannya JVP yang meningkat dan pembengkakan pada ekstremitas inferior, ascites abdomen, dan hepatomegali, menunjukkan tidak adanya gagal jantung kanan. Pada keadaan

gagal jantung kanan, ventriculus cordis dexter tidak dapat memompa darah dengan lancar menuju pulmo, hal ini akan meningkatkan bendungan darah di vena cava superior maupun vena cava inferior. Ketika terjadi bendungan darah di vena cava superior, JVP akan meningkat. Sedangkan ketika terjadi bendungan darah di vena cava inferior, lama kelamaan cairan plasma akan keluar dari vasa darah menuju ruangan interstisial, menimbulkan edema, terutama pada ekstremitas inferior karena pengaruh gravitasi. Jika edema ini terus berlanjut, timbunan cairan akan sampai pada rongga abdomen, menimbulkan ascites. Penatalaksanaan medikamentosa yang dapat dilakukan pada pasien tersebut, antara lain pemberisn diuretic oral maupun parenteral yang berguna agar membuang volume air berlebihan sehingga dapat meringankan kerja jantung. Bila dengan diuretic hasilnya belum memuaskan maka diberi obat digitalis. Pemberian obat antagoonis aldosteron untuk memperkuat efek diuretic. Selain itu, konsumsi ACE inhibitor untuk mencegah perubahan angiotensi I menjadi angiotensin II serta konsumsi Calcium blocker. Bisa menggunakan Beta-blocker untuk memperlambat kerja jantung sehingga dapat mengontrol tekanan darah. Penatalaksanaan non medikamentosa, dapat dilakukan dengan mengatur gaya hidup, meliputi istirahat yang cukup, diet rendah garam & tinggi potassium (buah & sayur) serta omega 3, pengaturan suhu & kelembapan, pengaturan oksigen, pengaturan cairan dan diet. Pasien dianjurkan untuk menghindari aktivitas fisik yang berat dan membutuhkan energi banyak. Untuk terapi yang agak mahal, dapat menggunakan alat bantu seperti Cardiac Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) untuk mencegah mati mendadak pada gagal jantung dan dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup.

BAB IV KESIMPULAN & SARAN


1. Kesimpulan Dari skenario yang telah kami bahas dalam tutorial,kami menduga bahwa pasien terkena gagal jantung kongestif yang dipicu oleh karena adanya kelainan pulmonal sebelumnya.Kemungkinan yang bisa terjadi akibat penyakit paru obstruktif yang kronik , dan yang kedua kemungkinannya adalah hipertensi pulmonal.Penyakit pada pasien juga bisa akibat dari riwyat hipertensi yang ia miliki, namun tujuan dari tutorial ini adalah mencari dan memahami semua diagnosis banding yang diajukan bukan untuk menentukan diagnosis, maka dari itu kami menyimpulkan diagnosis banding yang dinilai paling mungkin.

2. Saran Dari tutorial yang kami laksanakan, kami memberikan beberapa saran yang dapat kami gunakan sebagai refleksi tutorial kami, diantaranya adalah : A. Mahasiswa diharapkan untuk lebih aktif untuk menyampaikan pendapat B. Mahasiswa perlu memahami fisiologi systema kardiovaskuler C. Mahasiswa perlu mengevaluasi pendapat yang disampaikan oleh rekan satu diskusi D. Mahasiswa perlu memahami dasar elektrofisiologi dari jantung

DAFTAR PUSTAKA
Harun, Sjaharuddin dan Wijaya, Ika Prasetya. 2007. Kor Pulmonal Kronik. In: Sudoyo, Aru W., dkk (edisi IV). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Sagala, LMB. 2010. Hipertensi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17124/4/Chapter%20II.pdf Diakses 17 maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai