Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL SKENARIO 3 BLOK PSIKIATRI

GANGGUAN PANIK DAN AGORAFOBIA

Disusun Oleh Kelompok 18: Annisa Pertiwi Aryo Seno Chumaidah Nur Aini Endang Susilowati N Firza Fatchya G0010024 G0010030 G0010044 G0010072 G0010082 M. Maulana Shofri G0010116

Maulidina Kurniawati G0010122 Nurul Dwi Utami Rukmana Wijayanto Wahyu Aprillia G0010144 G0010170 G0010194

TUTOR: Istar Yuliadi, dr., M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A.

Skenario Seorang wanita, Ny. M, 40 tahun, dibawa ke UGD RS Dr. Moewardi Surakarta karena tiba-tiba sesak napas, seperti tercekik, keluar keringat dingin dan berdebar-debar. Pasien mengatakan rasanya seperti mau mati. Kejadian seperti ini pernah dialami oleh pasien 2 minggu sebelumnya sehingga menjalani rawat inap di RS selama 5 hari. Pada saat itu, tekanan darah pasien 150/90 mmHg. Setelah kejadian pertama tersebut sampai saat ini, pasien merasa khawatir mengalami serangan jantung atau stroke. Badan terasa tidak sehat sehingga tidak dapat bekerja. Di samping itu, pasien juga menjadi tidak nafsu makan dan nafsu seks menurun. Dari pemeriksaan status mental didapatkan agoraphobia dan preokupasi terhadap serangan jantung atau stroke.

B.

Rumusan masalah 1. 2. 3. Bagaimana peran fisiologis HPA aksis dalam menghadapi stres? Apakah etiologi gangguan yang dialami pasien tersbut? Apakah faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya gangguan pada skenario di atas? 4. Bagaimanakah hubungan gangguan yang timbul sekarang dengan gangguan yang timbul 2 minggu yang lalu? 5. 6. 7. 8. 9. Bagaimana epidemiologi gangguan tersebut? Bagaimana cara penegakan diagnosis gangguan pada skenario tersebut? Apa sajakah Diagnosis Banding dari gangguan pada skenario? Apakah perbedaan antara kecemasan, phobia, dan panik? Mengapa pasien pada skenario mengalami gangguan seks dan tidak nafsu makan? 10. Adakah hubungan antara gangguan kecemasan dengan gangguan nafsu makan?

11. Apakah hubungan peningkatan tekanan darah dengan gejala-gejala yang timbul?

C.

Tujuan 1. 2. 3. Mengetahui peran fisiologis HPA aksis dalam menghadapi stres. Mengetahui etiologi gangguan yang dialami pasien tersbut. Mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya gangguan pada skenario di atas. 4. Mengetahui hubungan gangguan yang timbul sekarang dengan gangguan yang timbul 2 minggu yang lalu. 5. 6. 7. 8. 9. Mengetahui epidemiologi gangguan tersebut. Mengetahui cara penegakan diagnosis gangguan pada skenario tersebut. Mengetahui Diagnosis Banding dari gangguan pada skenario. Mengetahui perbedaan antara kecemasan, phobia, dan panik. Mengetahui pasien pada skenario mengalami gangguan seks dan tidak nafsu makan. 10. Mengetahui hubungan antara gangguan kecemasan dengan gangguan nafsu makan. 11. Mengetahui hubungan peningkatan tekanan darah dengan gejala-gejala yang timbul.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipotalamus Pituitary Adrenal Axis (HPA Axis) HPA axis, sistem simpatik, dan sistem adrenomedullary (simpatik) adalah komponen perifer sistem stres yang fungsi utamanya adalah mempertahankan homeostasis basal dan berhubungan dengan stres. Komponen utama sistem ini adalah hipotalamus dan batang otak. Sistem stress aktif ketika tubuh beristirahat, menanggapi berbagai sirkadian berbeda, neurosensorik, berhubungan dengan darah dan sistem limbik. Sinyal-sinyal ini termasuk sitokin yang diproduksi oleh reaksi inflamasi yang dimediasi imun, seperti tumor necrosis factor , interleukin-1, dan interleukin-6. Aktivasi sistem stres meningkatkan kewaspadaan, mempercepat refleks motorik, meningkatkan perhatian dan fungsi kognitif, menurunkan nafsu makan dan gairah seksual, dan meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit. Sistem yang telah diaktifkan juga menimbulkan perubahan fungsi

kardiovaskuler, perantara metabolisme dan menghambat inflamasi yang dimediasi imun. Corticotrophin Releasing Hormone (CRH) merangsang sekresi norepinefrin melalui reseptor spesifik, dan norpinefrin merangsang sekresi CRH terutama melalui reseptor 1 noradrenergic. Oleh sarana autoregulasi, lengkung ultrashort negative-feedback, serat kolateral CRH dan serat norepinefrin menghambat masing-masing reseptor CRH presinaptik dan 2 noradrenergik. Aktivasi sistem stress menyebabkan CRH yang diinduksi sekresi

proopiomelanocortin-derived dan peptida opioid lainnya, yang meningkatkan analgesia. Peptida ini secara simultan menghambat sistem stress melalui penekanan sekresi CRH dan norepinefrin. CRH juga merangsang sekresi kortikotropin melalui corticotroph hipofisis anterior. Ketika CRH tidak ada, hanya sedikit kortikotropin yang disekresikan.

AVP sendiri memiliki sedikit efek untuk sekresi corticotrophin tetapi bertindak secara sinergis dengan CRH. Setiap jam, neuron parvicellular mengeluarkan dua atau tiga sebagian besar irama sinkron CRH dan AVP menuju sistem portal hypophysial. Pagi-pagi sekali ketika irama ini berada pada puncaknya, mereka meningkatkan denyut/irama kortikotropin dan kortisol. Amplitude denyut ini juga meningkat selama stress akut, tetapi di bawah kondisi ini, sistem stress merekrut tambahan hasil sekresi CRH, AVP, atau Corticotrpin, seperti AVP magnicellular dan angiotensin II. Corticotropin merupakan kunci regulator sekresi glukokortikoid oleh kelenjar adrenal. Hormon lain, termasuk yang berasal dari medulla adrenal, dan saraf otonom yang dimasukkan ke korteks adrenal juga dapat mengatur sekresi kortisol Reaksi Inflamasi yang Diperantarai Imun Sistem imun terus-menerus dan diam-diam mengalami kerusakan, dilusi, atau kerusakan dinding dari agen dan kerusakan jaringan. Secara lokal, pembuluh darah kecil dilatasi dan menjadi lebih permeabel, sehingga meningkatkan aliran darah, eksudasi plasma dan memungkinkan leukosit menumpuk pada fokus inflamasi (Gbr. 3). Sel-sel pada reaksi inflamasi datang dari darah (misalnya : monosit, neutrofil, basofil dan eosinofil, dan limfosit) atau berasal dari lokal (misalnya : sel endotel, mast sel, jaringan fibroblas, dan makrofag). Secara lokal, imun dan sel aksesori imun diaktifkan, dan sitokin, mediator lipid inflamasi, dan neuropeptida yang dihasilkan. Biasanya, peristiwa ini secara klinis berlangsung diam-diam, tetapi inflamasi kadang-kadang menyebabkan aktivasi sistem stres dan gejala dan tanda sistemik. Serat aferen sensorik dan neuron simpatik postganglionic dari sistem saraf perifer mempengaruhi inflamasi (Gbr. 3). Serat sensorik itu tidak hanya member sinyal sistem saraf pusat tetapi juga mengeluarkan proinflamasi atau neuropeptida antiinflamasi, seperti substansia P atau somatostatin menuju ke tempat inflamasi. Neuron simpatik postganglionik, yang merupakan ekstensi

perifer sistem stres pusat, juga mengeluarkan substansi proinflamasi dan antiinflamasi secara lokal.

Gambar 1. Komponen Utama Sistem Stress Sentral dan Perifer . Nukleus paraventrikular dan lokus caeruleus (sistem noradrenergik) ditunjukkan bersama dengan komponen perifernya, sumbu pituitari-adrenal, dan adrenomedullar serta sistem simpatik sistemik. Hipothalamic corticotropin-releasing hormon (CRH) dan neuron noradrenergik sistem saraf pusat menginervasi dan mengaktifkan satu sama lain, selain itu melepaskan autoinhibition

presinaptik melalui serat kolateral. Arginin vasopressin (AVP) dari nukleus paraventrikular bertindak secara sinergis dengan CRH dalam merangsang sekresi kortikotropin. Kedua komponen sistem stres pusat distimulasi oleh neurotransmitter kolinergik dan serotonergik serta dihambat oleh -aminobutyric acid (GABA) - benzodiazepin dan arkuata nukleus

proopiomelanocortin (POMC) peptida. Peptida ini langsung diaktifkan oleh sistem stres dan sangat penting sebagai komponen tambahan analgesia yang terjadi selama stres. Kortikotropin (panah padat) merangsang korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol. Kortisol (panah putusputus) menghambat produksi CRH, AVP, dan kortikotropin.

Gambar 2. Nucleus Paraventrikularis Hipotalamus Neuron parvicellular mensekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) dan arginine vasopresin (AVP) diproyeksikan menuju dan disekresikan ke dalam sistem portal hypophysial. Neuron parvicellular CRH juga diproyeksikan ke batang otak untuk menginervasi neuron lokus caeruleus (sistem noradrenergik). Magnicellular AVP yang mensekresi neuron berhenti dalam hipofisis posterior dan mensekresikan ke dalam sirkulasi sistemik, mereka juga memiliki kolateral terminal dalam sistem portal. CRH memungkinkan dan menstimulasi sekresi kortikotropin hipofisis, dan AVP memiliki peran sinergis dengan CRH dalam sekresi kortikotropin. Para arkuata nukleus proopiomelanocortin

(POMC) ditampilkan, bersama dengan persarafan mutual antara CRH dan neuron POMC yang mensekresi peptida.

Gambar 3. Komponen dan Proses Inflamasi. Leukosit yang beredar tidak bergerak, sel aksesori imun lokal, dan terminal simpatik postganglionik perifer dan neuron aferen sensorik ditunjukkan pada jaringan normal (kiri panel). Dalam jaringan yang meradang (kanan panel), ada vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan eksudasi plasma. Leukosit diaktifkan dan sel endotel mengekspresikan molekul adhesi dan reseptor adhesi-molekul. Sel menempel pada dinding pembuluh darah dan terjadi diapedesis, dengan chemotaxis menuju sebuah kemokin gradien pada fokus inflamasi. Pengaktivan sel yang beredar, sel migran, sel aksesori imun lokal, dan saraf perifer mensekresikan sitokin, prostanoids, platelet-activating factor, neuropeptida, dan mediator inflamasi lainnya. Beberapa zat, seperti interleukin-6, leukotrien, komplemen komponen 5, corticotropin-releasing hormone, dan transforming growth factor ,memiliki aktivitas chemokinetik. Beberapa zat, seperti sitokin inflamasi tumor necrosis factor ,interle ukin-1, and interleukin-6 keluar menuju sirkulasi sistemik, menyebabkan gejala sistemik dan mengaktifkan

sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Karena banyaknya efek yang terjadi, substansi ini disebut juga tissue corticotropin-releasing factor.

B. Hipotalamus Pituitary Thiroid Axis (HPT Axis) Hormon tiroid memiliki peran penting dalam pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. Oleh karena itu, bila terjadi perubahan pada hormon tiroid, maka akan memiliki kaitan yang erat dengan penyakit psikiatrik, kebiasaan seksual, bahkan pada evolusi. Lokasi dan distribusi dari reseptor hormon tiroid terdapat pada seluruh sistem saraf pusat, sehingga memang memiliki pengaruh besar pada fisiologi dan kebiasaan. HPT aksis dikontrol oleh neuron di region parvocellular periventricular dari nucleus paraventricular dari hipotalamus (PVN) yang mensintesa dan mensekresikan Tiroid Releasing Hormone (TRH) pada eminentia medial. TRH menstimulasi pengeluaran thyrotropin (TSH) dari pituitary anterior, kemudian TSH berjalan menuju glandula tiroid untuk menstimulasi sintesis dan pelepasan hormone tiroid, yaitu 3,5,3,5-tetraiodothyronine (T4) dan 3,5,3-

triiodothyronine (T3). T3 telah diketahui sebagai bentuk aktif dari hormone tiroid, karena T3 memiliki afinitas yang tinggi pada reseptor hormone tiroid. T4 dikonversikan menjadi T3 melalui aktivitas dari enzim deiodinase yang berada pada mayoritas target tissue, termasuk sistem saraf pusat. Hormone tiroid memberikan umpan balik negative melalui reseptor hormone tiroid di pituitari dan hipotalamus untuk mengihibisi pengeluaran TSH. Berdasar dari penelitian sebelumnya, stres dapat menurunkan kadar hormone tiroid, walaupun tidak konklusif. Stres dapat menurunkan kadar hormone tiroid melalui HipotalamusPituitari-Tiroid Axis (HPT axis).

C. Kecemasan, Phobia, dan Panik 1. Kecemasan Menurut Capernito (2001) kecemasan adalah keadaan individu atau kelompok mengalami perasaan gelisah (penilaian atau opini) dan aktivitas sistem saraf autonom dalam berespons terhadap ancaman yang tidak jelas, nonspesifik. Kecemasan merupakan unsur kejiwaan yang menggambarkan perasaan, keadaan emosional yang dimiliki seseorang pada saat menghadapi kenyataan atau kejadian dalam hidupnya (Maria, 2003; Kaplan, 1997) Neale et al (2001) mengatakan bahwa kecemasan sebagai perasaan takut yang tidak menyenangkan dan apprehension, dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut gangguan kecemasan. Walaupun sebagai orang normal, diakui atau tidak, kita dapat saja mengalami kecemasan, namun kecemasan pada orang normal berlangsung dalam intensitas atau durasi yang tidak berkeanjangan sehingga individu dapat tetap memberikan respon yang adaptif (Maria, 2003) Untuk memahami kecemasan yang mempengaruhi beberapa area dari fungsi-fungsi individu, Acocella dkk (1996) dalam Maria (2003) mengatakan bahwa kecemasan seharusnya melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar, yaitu : a. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai

ketegangan, ketakutan dan tidak adanya harapan untuk mengatasinya. b. Respon-respon perilaku (behavioral rensponses), seperti menghindari situasi yang ditakuti, kerusakan pada fungsi bicara dan motorik dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas kognitif yang kompleks. c. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang kering nausea, diare, dan dizziness. Individu yang mengalami Gangguan Kecemasan Menyeluruh, menurut pendekatan psikodinamika berakar dari ketidakmampuan egonya untuk

mengatasi dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya secara terus menerus sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara kaku, terus-menerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis (Adiwena, 2007) Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan oleh individu, antara lain : a. Represi, yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak menyenangkan dan dirasakan mengancam ego masuk ke ketidaksadaran dan disimpan di sana agar tidak menganggu ego lagi. Tetspi sebenarnya pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya pengaruh tidak langsung terhadap tingkahlaku si individu. b. Rasionalisasi, yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran sedemikian rupa terhadap dorongan-dorongan dalam diri yang dilarang tampil oleh superego, sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan. c. Kompensasi, upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di salah satu sisi kehidupan dengan membuat prestasi atau memberikan kesan sebaliknya pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar dari ejekan dan rasa rendah diri. d. Penempatan yang keliru, yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu perasaan tertentu ke pihak lain atau sumber lain karena tidak dapat melampiaskan perasaannya ke sumber masalah. e. Regresi, yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-kegagalan atau ancaman terhadap ego dengan menampilkan pikiran atau perilaku yang mundur kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah. (Tomb, 2000)

2. Fobia (Phobia) Fobia adalah rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak sebanding dengan ancamannya (Nevid dkk, 2003). Para psikopatolog mendefinisikan fobia sebagai penolakan yang mengganggu yang diperantarai oleh rasa takut yang tidak proporsional dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu dan diakui oleh si penderita seabagai sesuatu yang tidak berdasar (Davison dkk, 2006). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi keempat (DSM IV-R) menyebutkan bahwa fobia termasuk dalam kriteria gangguan kecemasan dan fobia sendiri terdiri dari beberapa klasifikasi, yaitu fobia sosial, agorafobia, dan fobia spisifik (APA, 2000). Jenis-jenis phobia diantaranya : 1) Phobia simpleks; ketakutan yang terbatas pada objek atau situasi yang tersendiri, misalnya takut laba-laba, takut ular. 2) Phobia social; perasaan takut dipermalukan atau dihina di muka umum, seperti takut untuk berbicara di muka umum, tampil atau makan di muka umum. 3) Acrophobia (bathofobia); takut berada di tempat luas dan terbuka. 4) Agoraphobia; takut berada di tempat luas dan terbuka, takut meninggalkan rumah dengan keadaan yang sudah biasa dikenalnya. 5) Algophobia; takut rasa sakit (nyeri) atau menyaksikan orang menderita sakit. 6) Claustrophobia takut berada di tempat tertutup atau sempit. 7) Xenophobia takut terhadap benda asing 8) Zoophobia, takut terhadap binatang; lebih khusus terhadap binatang peliharaan yang tidak berbahaya. 9) Aichmophobia takut benda tajam yang terhunus 10) Aerofobia; takut udara atau naik ke angkasa 11) Afefobia; takut dipegang

12) Ailurofobia; takut kucing 13) Akarofobia; takut terhadap barang yang kecil tak bernyawa atau dikerumuni binatang-binatang kecil. 14) Akustikofobia; takut suara. 15) Amaksofobia; takut lalu lintas 16) Asthenofobia; takut mnejadi lemah 17) Astrafobia; takut angina rebut yang disertai guntur 18) Autofobia; takut sendirian 19) Bakteriofobia; takut bakteri 20) Basofobia; takut berjalan 21) Brontophobia; takut kepada petir dan guruh 22) Cenophobia or Centophobia; Takut bilik kosong 23) Chromophobia or Chromatophobia; Takut dengan warna. 24) Cibophobia; takut dengan makanan.(Sitophobia, Sitiophobia) 25) Coprophobia; takut terhadap yang kotor atau busuk 26) Cynophobia; takut dengan anjing atau penyakit anjing gila 27) Enosiophobia or Enissophobia; takut akan tertuduh melakukan dosa besar atau dikritik 28) Gamophobia; takut dengan perkawinan 29) Hedonophobia; takut dengan kepuasan perasaan. 30) Hematofobia; takut darah 31) Hydrophobia; takut air 32) Kenofobia; takut tempat luas dan terbuka 33) Kopofobia; takut kelelahan 34) Mikrofobia; takut kuman 35) Mysofobia; takut ketularan atau kotor 36) Necrofobia; takut orang mati 37) Nosophobia or Nosemaphobia- Takut untuk jatuh sakit 38) Nyctophobia; takut dengan kegelapan atau takutkan malam

39) Panofobia; takut kejahatan atau dosa yang tidak pasti 40) Phatofobia, takut penyakit 41) Phobophobia; takut dengan fobia 42) Photophobia; takut dengan cahaya 43) Phthisiofobia; takut TBC paru-paru 44) Ponofobia; takut bekerja atau kemalasan yang patologis 45) Pyrofobia; takut api 46) Sitofobia; takut makan 47) Syphylofobia; takut sipilis atau percaya bahwa dirinya menderita sifilis 48) Thanatofobia, takut mati 49) Thermofobia; takut panas (Nuhriawangsa, 2004)

3. Panik Gangguan panik mencangkup munculnya serangan panik yang berulang dan tidak terduga. Serangan-serangan panik melibatkan reaksi kecemasan yang intens disertai dengan simtom-simtom fisik seperti jantung berdebar-debar, nafas cepat, nafas tersenggal atau kesulitan bernafas, berkeringat banyak dan rasa lemas serta pusing tujuh keliling. Seranganserangan ini disertai dengan perasaan teror yang luar biasa dan perasaan akan adanya bahaya yang akan segera menyerang atau malapetaka yang akan segera menimpa serta juga disertai dengan suatu dorongan untuk melarikan diri dari situasi ini. Orang yang mengalami serangan panic cenderung sangat menyadari adanya perubahan pada degub jantung mereka. Serangan panik terjadi secara tiba-tiba dan mencapai puncak intensitas dalam 10-15 menit. Serangan biasanya berlangsung selama beberapa menit, tetapi dapat berlanjut sampai berjam-jam, dan diasosiasikan dengan dorongan yang kuat untuk melarikan diri dari situasi dimana serangan itu terjadi. Beberapa orang dengan serangan panik, takut untuk pergi keluar sendiri.

Serangan panik yang berulang kemungkinan menjadi sulit untuk dihadapi sehingga penderitanya mempunyai keinginan untuk bunuh diri. Ciri-ciri diagnosis Panic attack oleh DSM IV (1994) adalah sebagai berikut. 1) Munculnya rasa takut yang sangat kuat atau ketidaknyamanan yang disertai paling sedikit 4 dari 13 gejala somatic atau kognitif berikut ini : Jantung berdebar-debar Berkeringat Gemetar Perasaan nafas semakin sulit atau sesak atau tercekik Sakit di dada atau perasaan tidak enak Mual atau gangguan pada perut Pusing Perasaan takut kehilangan kendali atau menjadi gila Perasaan takut mati Paresthesias Perasaan dingin atau panas Depersonalisasi atau derealisasi

2) Pemunculannya secara tiba-tiba dan memuncak secara cepat, biasanya dalam waktu 10 menit atau lebih disertai perasaan bahwa bahaya akan terjadi sehingga timbul dorongan untuk melarikan diri. (Maria, 2003)

D. Tatalaksana 1. Terapi Kognitif dan Perilaku Fokus dari terapi kognitif adalah intruksi mengenai keyakinan salah pasien dan informasi mengenai serangan panik

1. Aplikasi relaksasi Tujuan aplikasi relaksasi (contohnya pelatihan relaksasi Herbert Benson) adalah memberikan pasien rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. 2. Terapi Keluarga. Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga mungkin telah dipengaruhi oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan dukungan sering bermanfaat. 3. Psikoterapi berorientasi tilikan Terapi ini dapat memberi keuntungan di dalam terapi gangguan panik dan agorafobia. Terapi berfokus membantu pasien mengerti ansietas yang tidak disadari yang telah dihipotesiskan, simbolisme situasi yang dihindari, kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan sekunder gejala tersebut. Suatu resolusi konflik pada masa bayi dini dan oedipus dihipotesiskan berhubungan dengan resolusi stres saat ini. 4. Psikoterapi kombinasi dan farmakoterapi. Walaupun farmakoterapi efektif menghilangkan gejala primer gangguan panik dan agorafobia, psikoterapi dapat dibutuhkan untuk menterapi gejala sekunder. Intervensi psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar rumah. Disamping itu beberapa pasien akan menolak obat karena mereka yakin bahwa obat akan menstigmatisasi meraka sebagai orang sakit jiwa sehingga intervensi terapeutik dibutuhkan untuk membantu mereka mengerti dan menghilangkan resistensi mereka terhadap farmakoterapi. Terapi kognitif-perilaku amat penting pada ketiga tipe fobia. Kunci pengobatan adalah dilakukannya pemajanan pada objek atau situasi yang ditakuti disertai dengan pembalikan dari kepercayaan (kognisi) bahwa sesuatu

yang menakutkan dan tidak diharapkan akan terjadi di masa datang antara lain: 1. Desensitisasi sistematik (dengan inhibisi resiprokal) menggunakan hierarki bertingkat di dalam pemberian stimulus yang menakutkan, mulai dari yang kurang ditakuti hingga yang paling ditakuti, melatih pasien meningkatkan keberaniannya untuk menghadapi objek yang ditakuti. 2. Teknik pembanjiran (flooding) pasien menghadapi objek atau situasi yang ditakuti secara langsung. 3. Teknik pemberondongan (implosion) pemajanannya berupa ide dari objek yang ditakuti atau gambaran jelas mengenai konsekuensi buruk yang akan terjadi dari objek atau situasi tersebut. Latihan keterampilan sosial mungkin diperlukan bagi mereka yang canggung dalam kehidupan sosialnya.

2. Farmakoterapi Terapi agorafobia adalah sama seperti pada gangguan panik, terdiri dari anti-depresan, anti-ansietas, dan psikoterapi khususnya terapi kognitif. 1) Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengobati gangguan panik karena agorafobia pada umumnya disebabkan oleh gangguan panik. Diharapkan dengan perbaikan gangguan panik maka agoraobia juga akan semakin membaik. Semua golongan obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) efektif untuk gangguan panik. Paroksetin memiliki efek sedatif dan cenderung membuat pasien tenang sehingga menimbulkan kepatuhan yang lebih besar serta putus minum obat yang lebih sedikit. Jika efek sedasi paroksetin tidak dapat ditoleransi, maka dapat diganti dengan fluoxetin. Obat yang lain biasa digunakan adalah dari golongan benzodiazepin karena

memiliki awitan kerja untuk panik yang paling cepat. Dapat digunakan dalam untuk periode waktu yang lama tanpa timbul toleransi terhadap antipanik. Data dari penelitian menunjukkan bahwa SSRI memiliki kemajuan yang terbatas. Penelitian terkontrol pada fluoxamine menyatakan bahwa pada obat tersebut cukup efektif dalam pengobatan gangguan panik. Tetapi pasien dengan gangguan panik peka terhadap overstimulasi yang disebabkan oleh SSRI sehingga dosisnya harus diturunkan secar perlahan. Dosis awal 2-4 mg/hari dan harus dinaikkan 2-4mg/hari setiap 2-4 hari. Tujuannya untuk mencapai dosis terapeutik penuh pada sekurangnya 20 mg/hari. a) Fluvoxamine Suatu uji klinik buta ganda yang membandingkan fluvoxamine dengan plasebo melaporkan bahwa setelah 12 inggu terapi dengan fluvoxamine (150 mg), 7 dari 15 pasien fobia sosial mendapat perbaikan sedangkan dengan plasebo hanya 1 dari 15 pasien yang mengalami perbaikan. Absorbsinya tidak dipengaruhi oleh makanan dan

konsentrasi maksimal dicapai 3-8 jam setelah pemberian. Terikat dengan protein serum terutama albumin.

Keberadaannya dalam ASI tidak diketahui. Metabolisme terutama melalui demetilasi oksidasi dan deaminasi di hepar. Metabolit utamanya asam fluvoxamine, kurang kuat menghambat ambilan serotonin. Waktu paruh pada orang tua lebih panjang yaitu rata-rata 17,4 hari (dosis 50 mg) dan rata-rata 25,9 hari untuk dosis 100 mg. Disfungsi hepar menurunkan klirens 30%, tetapi gangguan fungsi ginjal tidak menyebabkan penurunan klirens.

b) Flouxetine Fluoxetine diabsorbsi secara oral. Metabolisme utama di hepatosit hati. Konsentrasi plasma maksimum dicapai setelah 6-8 jam pemberian (dosis 40 mg). Makanan tidak mengganggu penyerapannya. Distribusi fluoxetine sangat luas dan terdapat dalam ASI. Fluoxetine didemetilasi dalam hati menjadi norfluoxetine dan beberapa metabolit lain yang belum teridentifikasi. Metabolit inaktif melalui metabolisme hati dikeluarkan melalui ginjal. Waktu paruh eliminasi fluoxetine, setelah pemberian jangka pendek, 1-3 hari dan setelah pemberian jangka panjang adalah 4-6 hari. Sedangkan waktu paruh norfluoxetine lebih panjang yaitu 46 hari. Waktu paruh yang panjang, baik fluoxetine maupun norfluoxetine, dapat menyebabkan interaksi farmakokinetik obat sampai beberapa saat setelah obat dihentikan. Gangguan fungsi hati dikaitkan dengan gangguan

metabolisme. Waktu paruh pada pasien dengan gangguan fungsi hati meningkat menjadi rata-rata 7,6 hari dan norfluoxetine menjadi rata-rata 12 hari. Oleh karena itu, perlu penurunan dosis pada pasien dengan gangguan hati. Metabolisme fluoxetine atau norfluoxetine dosis tunggal tidak terganggu pada pasien dengan gangguan ginjal. Untuk pemakaian dosis berulang, penelitiannya belum ada. Oleh sebab itu, diperlukan penurunan dosis pada pasien gangguan ginjal. Kemampuan fluoxetine menghambat ambilan

serotonin 23 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan kemampuannya menghambat ambilan norepinefrin (NE). Afinitasnya juga kurang terhadap saluran ion sodium

jantung sehingga pasien aman dari toksisitas jantung. Tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas monoamine oxidase (MAO). 2) Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI) Inhibitor monoamine oksidase (MAOI) juga efektid didalam pengobatan phenelzine menggunakan gangguan (nardil), panik, walaupun sebagian besar menggunakan telah

beberapa (parnate).

penelitian

tranylcypromine

Beberapa

penelitian

menyatakan bahwa pada sat pasien tidak berespon terhadap obat trisiklik kemungkinan berespon terhadap MAOI. Jika diberikan pengobatan dengan MAOI, pasien gangguan panic tampaknya tidak mengalami efek samping awal overstimulasi yang biasanya terjadi pada saat mengkonsumsi obat trisiklik. Beberapa obat yang termasuk golongan MAOI antara lain iproniazide. Obat ini ditarik dari peredaran karena toksik terhadap hepar. Tranylcypromine dan phenelzine juga ditarik dari peredaran karena berinteraksi dengan tyramine (the cheese reaction) dan dapat menyebabkan krisis hipertensi. Karena harus membatasi diet dan efek samping yang berbahaya, MAOI tidak lagi menjadi pilihan. Enzim MAO memiliki dua bentuk isoenzim (A dan B) yang memetabolisme neurotransmiter berbeda. MAO tipe A memetabolisme serotonin dan norepinefrin sedangkan dopamin di metabolisme MAO tipe A dan B. Saat ini tersedia RIMA (reversible inhibitor of monoamine oxidase A) yaitu obat yang juga memblok MAO tetapi bersifat reversibel. Moclobemide merupakan contoh golongan RIMA. Moclobemide ditoleransi dengan baik dan pada pemakaiannya tidak perlu diet pembatasan tiramin. Dosis moclobemide 450 mg/hari. Efektif dan aman. Efek samping yang kadang-kadang (20% pasien) ditemui yaitu nyeri

kepala, pusing, mual, insomnia dan mulut kering. Moclobemide tidak menimbulkan ketergantungan. Mengganti moclobemide dengan obat lain mudah atau dapat langsung tanpa menunggu jeda waktu. Dosis moclobemide mesti dikurangi setengahnya jika digunakan dengan obat yang menghambat CYP2D6, misalnya cimetidine. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hambatan metabolisme tiramin, dianjurkan menggunakan moclobemide setelah makan. Insiden insomnia, disfungsi seksual dan penambahan berat badan sangat jarang terjadi pada pemakaian moclobemide. 3) Benzodiazepin Pemakaian gangguan panik Benzodiazepin karena dapat terbatas terhadap pengobatan

menimbulkan

ketergantungan,

gangguan kognitif, dan penyalahgunaan walaupun benzodiazepine lebih efektif dibandingkan dengan farmakoterapi lainnya.

Ketergantungan dapat terjadi pada pasien yang diobati selama beberapa bulan jadi memerlukan penurunan dosis secara perlahan, khususnya alprazolam. Farmakokinetik Benzodiazepin diabsorbsi melalui sistem pencernaan, dan mencapai kadar plasma puncak dalam 30 menit sampai beberapa jam. Onset kerjanya bergantung dari solubilitas lemak. Solubilitas lemak mempengaruhi absorbsi dan masuknya benzodiazepin ke dalam otak. Sebagian besar benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Diazepam mempunyai solubilitas lemak sangat tinggi sehingga mencapai otak dengan cepat. Solubilitas lemak mempengaruhi durasi kerja benzodiazepin. Kerja benzodiazepin tidak hanya bergantung dari cepatnya mencapai otak tetapi juga klirens dari otak dan area lain. Obat-obat dengan solubilitas lemak rendah akan diekskresi lebih lambat dan durasi kerjanya lebih panjang. Waktu paruh

benzodiazepin juga berperan dalam durasi kerja obat. Selain itu, waktu paruh metabolit aktif juga menentukan. Misalnya, waktu paruh lorazepam 2 jam, tetapi metabolit utamanya, desalkillorazepam, waktu paruhnya 25 kali komponen induknya. Diazepam mempunyai waktu paruh hampir 100 jam. Bila diazepam digunakan untuk anksietas, dapat memberikan efek positif karena lupa makan obat tidak begitu berpengaruh atau penghentian obat tidak begitu sulit. Untuk benzodiazepin dengan waktu paruh pendek diperlukan frekuensi pemberian obat lebih sering (3 atau 4 kali per hari). Gejalagejala dapat muncul kembali pada penggunaan benzodiazepin durasi kerja pendek. Benzodiazepin, sebagian besar, dapat melalui sawar plasenta dan juga ditemukan dalam ASI. Bayi yang lahir dari ibu yang menggunakan benzodiazepin dalam jangka lama dapat mengalami letargi, gangguan pernafasan, atau bahkan gejala-gejala putus obat. Metabolisme Hampir semua benzodiazepin

dimetabolisme melalui hati, Sebagian besar mengalami beberapa biotransformasi dan membentuk metabolit aktif. Hampir semua dibiotransformasi dengan oksidasi (juga dikenal dengan metabolisme fase pertama) seperti diazepam,

chlordiazepoxide, chlorazepate, yang masing-masing membentuk berbagai metabolit aktif. Beberapa benzodiazepin mengalami biotransformasi dengan konyugasi glukuronidasi (fase 2) menjadi glukuronida tak aktif, atau sulfat, atau zat asetilasi. Diazepam dimetabolisme melalui fase 1 dan fase 2. Bentuk metabolisme memiliki arti klinis penting. Pasien dengan gangguan fungsi hati atau pasien lansia lebih diuntungkan oleh metabolisme fase 2 karena obat mengalami biotransformasi sederhana menjadi bentuk tidak aktif. Oleh karena itu, untuk orang tua atau pasien dengan gangguan hepar, benzodiazepin yang dikonyugasi (temazepam, oxazepam, dan

lorazepam) lebih aman daripada yang dioksidasi (diazepam dan alprazolam). Farmakodinamik Benzodiazepin bekerja pada sistem -aminobutirat (GABA). Sekitar 30% terdapat pada sistem inhibitorik talamik dan korteks. Ikatan benzodiazepin dengan GABA dapat meningkatkan aktivitas reseptor GABA terutama GABA A. Ada dua tipe reseptor utama GABA yaitu GABA A dan GABA B. Reseptor GABA A, terutama bekerja menghambat transmisi sinaps di otak. Ia merupakan ligandgate ion channel. Neurotransmiter yang terikat di tempat ini mempunyai efek pada kanal ion. Karena kanal dalam reseptor GABA selektif terhadap Cl , aktivasi reseptor GABA menyebabkan hiperpolarisasi neuron sehingga menghambat aktivitas firing. Karena peran inhibisinya di otak. Reseptor GABA A menjadi target obatobat sedatif atau anksiolitik. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi dan jumlah pembukaan kanal chlorida sehingga terjadi penurunan eksitabilitas seluler. Ataksia terjadi karena adanya efek terhadap neuron GABA di serebelum, sedasi di formasio retikularis, dan memori di hipokampus, serta relaksasi otot di medula spinalis. Reseptor GABA B2 merupakan glikoprotein oligometrik dengan 4 membran terdiri dari 2030 asam amino hidrofobik pada masing-masing subunit. Ada sekitar 16 subunit. Paling sedikit ada 15 jenis protein dalam respetor. Ada dugaan bahwa lebih dari 500 variasi reseptor benzodiazepin. Efek farmakologi benzodiazepin bergantung dari bentuk subunit ini. Reseptor-reseptor ini terletak di berbagai regio otak. Pemberian kronik obat-obat benzodiazepin dapat menimbulkan toleransi, terutama dosis sedasi dan antikonvulsi. Walaupun demikian, toleransi dengan dosis anksiolitik jarang terjadi. Secara klinik efek anksiolitik didapat dengan pemberian

benzodiazepin dosis rendah, sedangkan efek sedasi didapat pada pemakaian dosis besar. Kelebihan dosis bisa menyebabkan ataksia atau pembicaran tidak jelas (slurred). Benzodiazepin dengan potensi tinggi juga dapat menimbulkan ketergantungan dan penghentian bisa menyebabkan sindroma putus obat, baik gejala pisik maupun psikologik seperti mengantuk, cemas, kesemutan. Pada beberapa kasus dapat terjadi kejang. Durasi Kerja Durasi kerja terapeutik ditentukan terutama oleh kecepatan (rate) dan luas distribusi obat bukan oleh kecepatan eliminasi. Distribusi benzodiazepin ditentukan oleh lipofilitasnya. Diazepam yang mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada lorazepam ternyata durasi kerjanya lebih pendek (setelah dosis tunggal). Hal ini karena solubilitas lipid diazepam lebih besar dan distribusinya ke perifer lebih ekstensif terutama ke jaringan lemak. Akibatnya, ia lebih cepat pindah dari otak dan darah ke dalam tempat penyimpanan inaktif sehingga efek pada saraf pusat (SSP) lebih cepat berakhir. Benzodiazepin yang kurang lipofilik bertahan efektif dalam otak lebih lama karena didistribusikan ke perifer kurang ekstensif. Eliminasi Kecepatan eliminasi pengaruhi kecepatan dan luas akumulasi serta waktu pencapaian steady state; juga mempengaruhi waktu habisnya obat setelah pemberian. Bila waktu paruh panjang, akumulasi lebih lama. Karena eliminasi obat dari tubuh sangat lama, kekambuhan juga muncul berangsur-angsur dan gejalanya tidak intens serta fenomena rebound tidak terjadi. Walaupun demikian, efek samping akibat penggunaan benzodiazepin dengan waktu paruh panjang (misalnya sedasi dan bingung) juga berlangsung lebih lama bila dibandingkan dengan benzodiazepin yang waktu paruhnya

pendek. Oleh karena itu, orang tua dianjurkan menggunakan benzodiazepin dengan waktu paruh pendek atau sedang. Alprazolam dapat digunakan untuk terapi fobia sosial. Ratarata dosis per hari 1 mg. maksimum sekitar 3 mg per hari untuk orang dewasa. Rata-rata waktu paruh 6-20 jam. Obat ini berpotensi menimbulkan ketergantungan sehingga penghentiannya dapat

membangkitkan kembali gejala awal penyakit. Selain itu, obat ini juga menimbulkan rasa kantuk di siang hari. Meskipun relatif kurang menimbulkan toksisitas pada keadaan kelebihan dosis, penggunaan bersama dengan alkohol dapat fatal. Benzodiazepin lebih dianjurkan untuk menghilangkan anksietas berat dalam penggunaan jangka pendek.

BAB III PEMBAHASAN

Seorang wanita, Ny. M, 40 tahun, dibawa ke UGD RS Dr. Moewardi Surakarta karena tiba tiba sesak napas, seperti tercekik, keluar keringat dingin dan berdebar debar. Pasien mengatakan rasanya seperti mau mati. Keadaan pada pasien ini bisa disebabkan karena adanya ganggguan kecemasan. Gangguan ini membuat pasien cemas berlebihan hampir sepanjang hari. Pasien berusaha mengantisipasi bencana yang belum terjadi dan terlalu memikirkan masalah dalam kehidupannya. Pada skenario ini, pemicu kecemasan pada pasien adalah pasien merasa khawatir

mengalami serangan jantung atau stroke. Akibatnya, ia tidak bisa tenang, sulit berkonsentrasi, khawatir terus menerus, ketakutan, dan mengalami gangguan tidur. Gangguan kecemasan ini bisa berlangsung beberapa hari sampai berbulan bulan. Pada skenario ini, hal ini juga terjadi pada pasien. Hal tersebut dibuktikan dengan pasien sudah mengalami ini 2 minggu sebelumnya sehingga menjalani rawat inap di RS selama 5 hari. Bahkan, setelah kejadian pertama tersebut sampai saat ini, hal tersebut masih berlangsung. Selain gangguan kecemasan, pasien juga mengalami gangguan kecmasan berupa panik. Gangguan panik adalah kelainan medis berupa serangan panik berulang dan sering, yang tidak disebabkan oleh penggunaan zat atau obat atau gangguan kejiwaan lainnya. Penderitanya mengalami serangan panik hebat ketika menghadapi situasi atau hal yang sebenarnya tidak membahayakan. Hal ini juga terjadi pada pasien, yaitu pasien khawatir mengalami serangan jantung dan stroke, yang sebenarnya tidak terjadi pada pasien. Saat serangan panik tersebut muncul, ia dapat merasakan berdebar, dingin atau baal pada tangan dan kaki, keringat dingin, mual, pusing, sakit dada atau sensasi seperti tercekik. Karena hal hal ini, pasien mengatakan rasanya seperti mau mati. Ketika panik menyerang, ia mengalami kesulitan melihat realita. Ia dapat merasa sangat takut akan kehilangan kontrol dari situasi di sekitarnya, takut akan bahaya

yang belum pasti keberadaannya. Karena hal hal tersebut di atas, maka pada pemeriksaan status mental didapatkan agoraphobia dan preokupasi terhadap serangan jantung dan stroke. Kenaikan tekanan darah pasien yang terjadi akibat serangkaian efek dari HPA axis saat pasien mengalami kecemasan. Kecemasan bisa menimbulkan respon tubuh dengan mekanisme hormonal. Awalnya kecemasan akan mempengaruhi

hipothalamus sehingga hipothalamus akan mengeluarkan hormon CRH, berikutnya CRH akan menimbulkan respon oleh hipofisis sehingga akan mengeluarkan hormon ACTH yang akan menuju ke organ adrenal. Adrenal akan merespon dengan mengeluarkan kortisol dan neurotransmiter (epinefrine dan norepinefrine). Epinefrine dan norepinefrine adalah neurotransmiter dari sistem saraf simpatis yang efeknya akan meningkatkan frekuensi denyut jantung dan vasokontriksi pembuluh darah. Oleh karena peningkatan denyut jantung dan vasokontriksi maka akan berpengaruh pada tekanan darah, maka didapatkan peningkatan tekanan darah pada pasien. Saraf simpatis juga mengakibatkan bronkokontriksi yang berakibat pasien merasakan sesak nafas seperti tercekik. Pasien tidak nafsu makan dikarenakan efek deri kortisol yang memecah glikogen menjadi glukosa. Ketika glukosa darah naik maka pusat pengatur rasa lapar tidak bekerja, yang mengakibatkan pasien tidak nafsu makan.

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan Kelompok tutorial 18 menyimpulkan bahwa diagnosis pada skenario 3 blok psikiatri ini adalah panic disorder with agoraphobia yang disertai hipokondriasis sebagai salah satu keluhan/gejala yang dialami pasien. Penatalaksanaan yang dapat diberikan dapat berupa psikoterapi. Obat antidepresan bermanfaat dalam sebagian besar kasus meskipun tidak ada depresi yang menyertai. Tetapi penggunaannya harus disertai penjelasan yang memadai agar tidak dianggap mengada-ada. Hubungan suportif dengan dokter serta dukungan dari keluarga turut berperan dalam kesembuhan pasien.

B. Saran Diskusi tutorial skenario 3 blok psikiatri berjalan dengan baik dan lancar. Semua anggota berpartisipasi aktif dalam diskusi tutorial. Hal ini perlu dipertahankan untuk kegiatan diskusi tutorial selanjutnya. Skenario 3 ini cukup menarik sebagai bahan diskusi tutorial. Alangkah baiknya jika riwayat penyakit dahulu pasien khususnya yang berkaitan dengan stroke dan penyakit jantung lebih jelas atau dicantumkan dalam skenario, sehingga diskusi tutorial lebih terarah khususnya tentang perjalanan penyakit pasien. Dalam kegiatan diskusi tutorial ini baik pertemuan ke-1 dan ke-2 kami didampingi tutor sehingga diskusi tutorial menjadi lebih terarah.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwena, Nuklear. 2007. Anxietas. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. American Psychiatric Assosiation. 2000. Diagnostic and Satistical Manual of Mental Disorders (4th Edition). Washington DC: APA Anonim.2003.The Stress Response. http: //www.paho.org/English/ped/stressin3.pdf (diakses pada Desember 2012) Anonim. 2012. Agorafobia dan Tatalaksana. Tangerang: IDI Tangerang. http://www.iditangerang.or.id/html/index.php?id=artikel&kode=3 (diakses pada: Desember 2012) Chrousos GP. 1995. The HypothalamicPituitaryAdrenal Axis And ImmuneMediated Inflammation. Seminars In Medicine Of The Beth Israel Hospital, Boston. The New England Journal of Medicine. 332 (20) : 1351 62 Davison, G.C & Neale, K.2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Helmreich D, Parfitt D.B, Lu X.-Y, Akil H, Watson S.J. 2005. Relation Between the Hypothalamic-Pituitary-Thyroid (HPT) Axis and the Hypothalamic-PituitaryAdrenal (HPA) Axis during Repeated Stress. Neuroendocrinology.81 : 183-192 Kaplan, H., Sadock, Benjamin. 1997. Gangguan Kecemasan dalam Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Edisi ke-7 Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal. 1-15 Maria, Josetta. 2006. Cemas : Normal atau Tidak Normal. 2003. FK: USU Notosoedirdjo M. 1999. Psychobiological Basis of Psychoneuroimmunology, Folia Medika Indonesiana. 35;5-6 Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Green, E. B. 2005. Psikologi Abnormal (terjemahan). Jakarta: Erlangga. OConnor TM, OHalloran DJ, Shanahan F. 2000. The Stress response and the HypothalamicPituitaryAdrenal Axis : from molecule to melancholia.Q J Med; 93 : 323-33

Tomb, D. A. 2000. Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC. Hal. 96-110 Nuhriawangsa, Ibrahim. 2004. Symtomatologi Psikiatri. Surakarta: FK UNS

Anda mungkin juga menyukai