Anda di halaman 1dari 14

MODUL 29

ANESTESIA PASIEN DENGAN PENYAKIT KHUSUS

Mengembangkan Komepetensi Sesi di dalam kelas Sewsi dengan fasilitas Pembimbing Sesi praktik dan pencapaian kompetensi

Waktu, Semester 4dan Semester 6 Terintegritas waktu menangani pasien Bangsal dan ICU selama 2 minggu.

Persiapan Sesi

Audiovisual 1.LCD projector dan Screen 1. Laptop 2. OHP 3. Flipchart 4. Video pkayer Materi prsentasi : CD Powerr Point Sarana 1. Ruang Belajar 2. Ruang pemeriksaan 3. Ruanfg Pulih 4. Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut Kasus : pasien dari berbagaI bidanga Ilmu dari Bangsal biasa dan ICU Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator Penuntun Belajar : lihat acuan materi Daftar Tilik Kompetensi : liohat daftar tilik

Referensi : Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004 Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006 Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005. 4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005

Tujuan Umum : Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat melakukan anestesi dan perioperative care pada pasien dengan penyakit dan kondisi khusus yang umum didapatkan.

Tujuan Khusus : 1

Kognitif 1. Mampu menjelaskan patofisiologi gangguan hormon tiroid,dan gangguan metabolisme karbohidrat 2. 3. 4. 5. Mampu menjelaskan patofisiologi malnutrition- obesitas Mampu menjelaskan perubahan tubuh pada adiksi narkotik Mampu menjelaskan patofisiologi COPD dan Asthma Bronchiale Mampu menjelaskan perubahan fungsi sistim tubuh akibat perubahan degeneratif pada usia lanjut . 6. Mampu merencanakan anestesi dan postoperative care untuk pasien dengan hipertiroid dan Diabetes mellitus. 7. Mampu merencanakan anestesi dan post operative care untuk pasien dengan obesitas 8. Mampu merencanakan anestesi dan post operative care untuk pasien dengan adiksi narkotik 9. Mampu merencanakan anestesi dan perioperative care untuk pasien dengan PPOM adan Asma Bronkiale. 10. Mampu merencanakan anestesi dan postoperative care untuk pasien geriatri 11. Mampu mengatasi komplikasi yang terjadi selama anestesi dan masa perioperatif pasien dengan penyakit khusus.

Psikomotor Mampu melakukan anamnesis dan diagnosis fisik pada pasien dengan penyakit khusus yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau penyakit lain yang menyertai. Mampu melakukan persiapan pra anestesi untuk pasien dengan penyakit khusus Mampu melakukan pengelolaan anestesi pada pasien dengan penyakit khusus Mampu melakukan postoperative care pada pasien dengan penyakit khusus

Komunikasi 1. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada pasien 2. Mampu menjelaskan proses anestesi dan risiko anestesi kepada keluarga pasien 3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien 4. Mampu mendiskusikan masalah pasien dan bekerjasama dengan spesialis Bedah Profesionalism 1. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur anestesi,pengelolaan nyeri ,kemungkinan efek samping dan prediksi keberhasilan prosedur anestesi. 2. Mampu mendiskusikan tentang perioperative care,proses anestesi, masalah anestesi ,kemungkinan komplikasi selama pembedahan dan pascabedah dengan spesialis bedah.

Key notes : 1.a. b. Pada pasien geriatri ,pelbagai perubahan fungsi organ dan adanya berbagai penyakit yang menyertai membutuhkan pemilihan tehnik dan obat anestesi yang sesuai. Perubahan fungsi ginjal dan liver mempengaruhi dosis pendahuluan maupun maintenance dan penggunaan multidrug sebaiknya dihindari 2.a. Anestesi dan pembedahan tidak dilakukan pada saat eksarsebasi akut dan adanya infeksi traktus respiratori pada penderita PPOM dan astma bronkiale. b. Performance fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator 2

diindikasikan pada pembedahan besar. c. 3.a. Persiapan terapi status asmatikus selama anestesi dan pembedahan adalah mutlak. Kadar gula darah dan komplikasi yang diakibatkannya harus terkendali pada persiapan prabedah elektif pasien DM (hipoglikemi, hiperglikemi, ketidakseimbangan elektrolit,ketoasidosis dll ) b. c. Perhatian khusus pada kemungkinan telah terjadinya autonomic neurophaty terutam cardiac autonomic neuropathy yang dapat berakibat fatal. Pengendalian medikamentosa untuk mencapai eutiroid mutlak pada pembedahan elektif pasien hipertiroid,demikian juga persiapan untuk mengendalikan krisis tiroid selama pembedahan. Gangguan fungsi tubuh karena obesitas terutama sistim kardivaskuler dan pernafasan meningkatkan risiko anestesi baik dari segi kesulitan tehnik,pengendalian fungsi vital dan perawatan pasca bedah. Prabedah dapat dilakukan terapi pengganti dengan metadone,premedikasi dengan opiod. Anestesi pada pasien umumnya berhasil baik dengan obat anestesi inhalasi. b. Perhatian terhadap kemungkinan hipotensi yang dapat disebabkan insufisiensi adrenal.

4.

5.a.

Gambaran Umum Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola anesteri dan melaksanakan asuhan perioperatif pada pasien dengan penyakit-penyakit khusus yang umum didapat.

Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit khusus yang umum ditemukan, seperti penyakit jantung, penyakit ginjal dan hipertensi, penyakit endokrin, penyakit paru dan gangguan respirasi, gangguan nutrisi dan obesiats, penyakit hati, pasien geriatri dan gangguan degeratif, pasien dengan adiksi obat seperti narkotika dan amfetamin. Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar hal tersebut dapat direncana tekni, dan jenis obat yang akan dipergunakan. Asuhan medik perioperatiof sudah tentu dapat dilaksanakan dengan baik

Waktu: Selama semester 5-7,masing masing penyakit khusus 2 kasus

Sumber Pembelajaran - Buku teks,jurnal ilmiah - Dosen pembimbing - Pasien di ruang rawat,ruang pembedahan,PACU Metode pembelajaran - Belajar mandiri - Bed site teaching,preoperative visite - Magang/asistensi 3

Diskusi kasus Reading Assignment

Pokok Bahasan Kuliah Interaktif dan Diskusi kelompok 1.Patofisiologi Hipertiroid dan Diabetes Mellitus 2.Patofisiologi Obesitas 3.Perubahan respon tubuh pada adiksi narkotik 4.Patofisiogi PPOM dan Asma bronkiale 5.Perubahan respon tubuh karena usia lanjut dan penyakit penyerta

Evaluasi: - Pre- test Dilakukan dengan tes tulis,materi basic knowlegde Post test Dilakukan dengan tes tulis,clinical vignette Clinical Performance Assessment - OSCE - Practice Kemampuan kognitif,psikomotor dan afeksi yang direfleksikan sebagai Clinical performance dinilai dari pengelolaan kasus simulasi maupun aktual.

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESI No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesi PERSIAPAN PRE OPERASI 1 2 3 4 5 6 Informed consent Laboratorium Pemeriksaan tambahan Antibiotik propilaksis Cairan dan Darah Peralatan dan instrumen khusus ANESTESI 1 2 Tehnik anestesi Obat anestesi PERSIAPAN ANESTESI REGIONAL/LOKAL DAERAH OPERASI Sudah dikerjakan Belum dikerjakan

1 2 3

Penderita diatur dalam posisi sesuai dengan letak kelainan Lakukan desinfeksi dan tindakan asepsis/antisepsis pada daerah operasi Lapangan anestesi dipersempit dengan linen steril TINDAKAN ANESTESI

1 2 3

Induksi, intubasi Maintenance Ekstubasi PERAWATAN PASCA BEDAH

1 2 3

Komplikasi dan penangannya Pengawasan terhadap fungsi vital Pemantauan khusus dengan alat khusus

Catatan : Sudah/Belum dikerjakan beri tanda


Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan

Memuaskan Tidak Memuaskan

Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standar atau penuntun Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tugas sesuai dengan prosedur standar atau penuntun Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama penilaian oleh pelatih

T/D Tidak diamati

DAFTAR TILIK

Nama peserta didik Nama pasien

Tanggal No Rekam Medis

DAFTAR TILIK No. Kegiatan/langkah klinik 1 Kesempatan ke 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Layak Tidak layak Melakukan prosedur

Tanda tangan pelatih

Tanda tangan dan nama terang

Materi Acuan 1. Menilai kapasitas fungsional pasien dengan obesitas Penyakit-penyakit penyerta dan perubahan fungsi fisiologis pada pasien gemuk memerlukan penilaian preoperatif yang lebih teliti; karena hipertensi, aterosklerosis dan kardiomegali sering ditemukan, juga dapat disertai diabetes. Perubahan patologis yang berat dapat terjadi pada banyak sistem organ pada pasien obese. Walaupun tidak ada penyakit yang menyertai, obesitas meningkatkan resiko anestesi. Fungsi pernapasan: Kapasitas vital dan kapasitas residu fungsional menurun, tetapi closing volume meningkat. Akibatnya, shunting meningkat sehingga mudah terjadi hipoksemia. Perubahan ini disebabkan oleh peningkatan tekanan abdominal terhadap diafragma pada posisi Supine, Trendelenberg, dan lithotomy. Compliance paru atau dada menurun, kerja napas dan kebutuhan oksigen meningkat, produksi CO2 meningkat, sehingga menyebabkan hiperventilasi. Secara teknis, operasi menjadi lebih sulit, karena kehilangan darah lebih banyak dan meningkatkan resiko infeksi luka operasi. Balans cairan harus dimonitor lebih ketat. Ventilasi mekanik pasca operasi harus dipertimbangkan terutama setelah pembedahan abdomen. 6

Tromboemboli paru dan komplikasi luka lebih sering terjadi sehingga pencegahan, pemeriksaan, diagnosis dini serta pengobatan penting. Sindrom Pickwickian ditandai dengan adanya kombinasi obesitas, episode somnolen dan hipoventilasi yang disertai sianosis, polisitemia, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan. Pencegahan terjadinya hipoksia sangat penting dan ventilasi mekanik pasca operasi mungkin diperlukan, terutama setelah pembedahan abdomen.

2. Penilaian pasien dengan diabetes 50% pasien yang menjalani pembedahan menderita diabetes. Morbiditas dan mortalitas perioperatif lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan non diabetes. Terdapat 2 tipe diabetes: -Tipe I; tergantung insulin; terjadinya penyakit pada usia muda namun tidak selalu dari kecil. Penyakit ini ditandai dengan tidak adanya atau aktivitas insulin yang rendah disertai kecenderungan terjadinya ketoasidosis. Pengobatan terdiri dari penggunaan insulin seumur hidup dikombinasi dengan diet dan olahraga.

-Tipe II; biasanya timbul pada usia lebih tua (> 40 tahun); tipe ini dapat memiliki kadar insulin plasma yang rendah, normal, atau tinggi dan kebanyakan disertai obesitas, juga sering membutuhkan tambahan insulin dari luar untuk mengatasi gejala hiperglikemia. Tipe ini jarang mengalami ketosis dan tidak tergantung pada insulin.

Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai komplikasi dari diabetes, seperti adanya pandangan yang tidak normal, harus diperiksa apakah ada perdarahan atau eksudat. Kelainan denyut nadi dan tekanan darah pada perubahan posisi atau ortostatik dapat menandakan adanya gangguan fungsi otonom. Harus dilakukan pemeriksaan proprioseptif dan sensorik pada ekstremitas atas dan bawah untuk mendeteksi adanya neuropati. Jika pada pemeriksaan fisik jantung, pernapasan dan ekstremitas ditemukan kelainan maka harus dievaluasi apakah ada insufisiensi aliran pembuluh darah.

Kadar gula darah harus diperiksa. Penilaian kadar gula darah harian dapat membantu penilaian terhadap derajat diabetes.

Fungsi ginjal harus dievaluasi dengan mengukur kadar ureum kreatinin, klirens kreatinin, nilai ekskresi protein, elektrolit, analisis urin dan analisis gas darah.

Belum ada kesepakatan mengenai regimen terapi tunggal untuk penanganan perioperatif penderita diabetes. Pembedahan yang akan dilakukan juga harus dipertimbangkan; satu protokol perioperatif saja mungkin tidak sesuai untuk semua jenis pembedahan, sehingga penatalksanaan perioperatif harus dilakukan dengan pendekatan individual.

Pengukuran gula darah perioperatif harus dilakukan secara rutin dan pemberian insulin disesuaikan. Target gula darah sekitar 200 250 mg/dL. Diharapkan dapat mencegah hipoglikemia maupun hiperglikemia berat.

Masalah yang dapat terjadi pada penderita diabetes antara lain : 7

Tingginya gula darah : menimbulkan poliuri, rasa haus, infeksi dan sulitnya penyembuhan luka Ketoasidosis : metabolic asidosis berat, kehilangan natrium dan air ekstrasel, gagal sirkulasi dan koma Penyakit jantung : arteriosclerosis koroner dan meningkatnya resiko operasi Gangguan pembuluh darah perifer : pembedahan pada arteri besar sering dibutuhkan dan memiliki resiko lebih tinggi daripada pasien non diabetes Nefropati diabetes : menyebabkan sindrom nefrotik dan uremia Neuropati perifer : menyebabkan ulkus pedis Neuropati autonom : menyebabkan henti nafas-henti jantung, hipotensi postural,gastroparesis dan retensi urin. Sleep apnea dan kematian mendadak dapat terjadi karena pemberian obat yang mendepresi pernafasan Retinopati dan katarak : memerlukan oeprasi

Pemberian insulin harus dipertimbangkan pada pasien diabetes yang akan menjalani pembedahan. Insulin dapat mencegah hiperglikemia dan menghambat mobilisasi lemak, yang dapat memperberat terbentuknya keton. Dengan pengecualian pasien diabetes tipe 2 yang terkontrol dengan diet, semua pasien diabetes membutuhkan pemberian insulin sebelum pembedahan.

3. Penatalaksanaan pasien dengan asma

Penyakit asma ditandai dengan gejala wheezing, sesak nafas atau batuk yang disebabkan penyempitan jalan nafas ringan sampai berat dalam suatu periode waktu dan membaik secara spontan atau dengan terapi. Gejala yang timbul disebabkan oleh spasme otot polos bronchial, sumbatan mucus dan edema jalan nafas, dan dapat dialami pasien semua umur. Ada 2 tipe penyakit asma : - Ekstrinsik, disebabkan allergen eksternal yang terlihat - Intrinsik, gejala timbul pada usia dewasa, bersifat kronik, terus menerus dan sering memerlukan terapi steroid jangka panjang.

Penilaian kondisi penyakit meliputi : Anamnesis, frekuensi dan beratnya serangan, faktor pencetus dan riwayat pengobatan Pemeriksaan fisik : dengan atau tanpa ronki, fase ekspirasi yang memanjang, overdistensi rongga dada, adanya infeksi Uji fungsi paru (spirometri) : FEV1.0 / FVC sebelum dan sesudah inhalasi bronkodilator, analisa gas darah bila perlu pada kasus berat.

Hampir 10% dari pasien asma dewasa rentan terhadap aspirin dan obat jenis NSAIDs, sehingga pemakaian obat tersebut harus hati-hati kecuali terbukti tidak mencetuskan serangan.

4. Penatalaksanaan pasien PPOK

PPOK meliputi semua pasien yang memiliki gangguan/keterbasan inspirasi ekspirasi yang ireversibel karena bronkitis kronik dan emfisema.

1. Bronkitis kronik adalah kelainan yang ditandai dengan batuk kronik dan berulang yang ditimbulkan oleh sekresi mukus bronkus yang berlebihan. Hipoksia kronik yang terjadi dapat menyebabkan polisitemia dan cor pulmonale (blueboater). Hipoventilasi menyebabkan PCO2 meningkat dan pusat pernafasan menjadi tidak sensitif. Sehingga bila ada infeksi paru hipoventilasi yang terjadi akan semakin berat. Sputum harus dikeluarkan dengan drainase postural sebelum dilakukan anestesia. Sebaiknya dilakukan fisioterapi pre dan post operasi. 2. Emfisema adalah kelainan yang ditandai dengan melebarnya jalan nafas distal sampai ke bronkiolus terminalis karena kerusakan pada dindingnya. Hal ini menyebabkan hilangnya kemampuan elastis recoil paru, terjadinya ekspansi rongga dada yang berlebihan, penutupan jalan nafas yang lebih cepat pada ekspirasi dan gas trapping. Ventilasi dapat berfungsi dengan baik tapi dengan kerja nafas yang berat (pink puffer). Diafragma menjadi lebih horisontal dan mendatar dan akan menarik iga bagian bawah pada saat inspirasi. Otot nafas tambahan seperti otot skalenus dan sternomastoid juga ikut bekerja saat inspirasi. Penatalaksanaan preoperatif meliputi: Deteksi dan pengobatan infeksi aktif. Kultur sputum dan uji sensitifitas harus dilakukan untuk pemilihan antibiotik. Pengobatan terhadap obstruksi jalan nafas Pemeriksaan foto thorak untuk mendeteksi adanya pneumothorak spontan atau bula paru. Pengobatan untuk gagal jantung kongestif yang sering terjadi pada pasien PPOK dan diatasi dengan pemberian diuretik. Menghentikan kebiasaan merokok.

7. Penilaian pada penderita penyakit jantung iskemik Pada penderita ini, sebanyak 15% tidak menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan fisik maupun EKG saat istirahat. Sebesar 5% penderita berusia lebih dari 35 tahun memiliki penyakit jantung iskemik tanpa gejala. Pada penderita yang mengalami anestesi dan pembedahan dalam jangka waktu 3 bulan setelah terjadinya infark, sebesar 40% penderita beresiko untuk timbul perioperatif infark. Angka ini menurun 15% pada waktu 3 6 bulan dan menurun 5% lagi setelah 6 bulan. Angka mortalitas terjadinya infark kembali pasca operasi adalah 40 60%. Pembedahan elektif seharusnya ditunda sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terjadinya infark kembali kecuali kalau sangat mendesak.

Unstable angina berhubungan dengan meningkatnya resiko infark miokard perioperatif dan seharusnya dikontrol dengan beta bloker, nitrat atau kalsium chanel bloker sebelum pembedahan.

Tidak ada bukti bahwa insidens infark postoperatif menurun dengan penggunaan teknik anestesi lokal atau regional.

Memahami potensi terjadinya interaksi obat perioperatif Pada penggunaan 2 atau lebih obat yang menghasilkan efek yang tidak diharapkan, dokter anestesiologi harus mempertimbangkan terjadinya suatu interaksi obat sebagai penyebabnya. Oleh karena banyaknya kombinasi obat yang digunakan maka semua interaksi obat tidak dapat diketahui atau diprediksi. Pengetahuan mengenai klasifikasi obat, mekanisme aksi dan potensi terjadinya efek yang tidak diinginkan dapat membantu memprediksi terjadinya interaksi obat.

Interaksi obat terjadi ketika suatu obat merubah intensitas efek farmakologi obat lain yang diberikan hampir bersamaan. Interaksi obat menggambarkan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Hasil suatu interaksi obat adalah bertambahnya atau berkurangnya efek dari satu atau kedua obat, sehingga dapat timbul efek yang diinginkan. Suatu contoh interaksi obat yang menguntungkan adalah propanolol dengan hydralazine untuk mencegah peningkatan denyut jantung akibat kompensasi turunnya tekanan darah oleh karena hydralazine. Interaksi obat juga sering digunakan untuk mengkontra efek agonis obat, misalnya penggunaan naloxone untuk mengantagonis opioid.

Efek terapi obat yang telah digunakan sebelum perioperatif

Obat anti-hipertensi: Biasanya dilanjutkan sampai saat pembedahan. Terapi yang adekuat menghasilkan volume darah normal dan mengurangi resiko terjadinya peningkatan atau penurunan tekanan darah yang berbahaya saat induksi anestesia. Pengisian volume sebelum induksi dapat mencegah penurunan tekanan darah dan menghindari terjadinya hipovolemi saat pembedahan adalah hal yang penting. Bradikardi lazim terjadi pasien yang diterapi dengan beta bloker. Obat parenteral alternatif mungkin diperlukan untuk mengganti obat antihipertensi yang hanya dapat digunakan secara oral saja, misalnya ACE-inhibitor.

Obat anti-angina: Misalnya calsium channel blocker atau nitrat (NTG) seharusnya tidak dihentikan sebelum pembedahan tanpa ada alasan spesifik. Kalau perlu, glyceryl trinitrate patch transdermal yang ditempelkan di dada lateral dapat bertahan selama 24 jam. Spray NTG sublingual dapat digunakan untuk mula kerja cepat.

Lithium seharusnya dihentikan 2 hari sebelum pembedahan mayor karena dapat mempotensiasi pelumpuh otot non-depolarisasi; tetapi pada kasus darurat pelumpuh otot depolarisasi (suxamethonium) dan blok regional dapat dipertimbangkan sebagai alternatif. Toksisitas lithium dapat terjadi jika pasien dalam keadaan dehidrasi. Umumnya, terapi lithium aman dilanjutkan sebelum pembedahan minor, asalkan keseimbangan cairan dan elektrolit diperhatikan.

Inhibitor MAO tipe A, seperti phenelizine, isocarboxazil dan khususnya tranylsypramine seharusnya dihentikan 2 minggu sebelum pembedahan elektif. Cara kerja obat ini tidak dipahami sepenuhya. Reaksi terhadap pethidin, fentanyl dan morfin pernah dilaporkan pada penderita yang menggunakan MAO inhibitor dan pernah terjadi kematian. Reaksi berupa koma, kedutan otot, hipotensi, ataksia dan eksitasi serebral. Tidak semua pasien menunjukkan reaksi tersebut, dan dosis kecil petidin dapat digunakan dengan mengawasi nadi dan tekanan darah. Efek berbahaya akibat hipertensi dan bahkan kematian dapat terjadi jika obat vasopresor (misalnya adrenalin) digunakan pada pasien dengan terapi MAO inhibitor, namun dapat dikontra oleh phentolmine. Untuk analgesi pasca operasi pada penderita dengan terapi MAO inhibitor, kombinasi kodein dan chlorpromazine dapat digunakan tanpa terjadi efek samping. Analgesia regional dan NSAID juga dapat digunakan.

Terapi steroid Sekresi normal hidrokortison dari korteks adrenal adalah 20 mg/hari, namun dapat meningkat 300 500 mg/ hari sebagai respon terhadap pembedahan dan anestesia. Terapi steroid mensupresi produksi ACTH (hormone adrenocorticotrophine) di kelenjar pituitari anterior. Terjadi atrofi kortex adrenal dan selanjutnya tidak bisa lagi mensekresi ACTH. Hal ini mengakibatkan hipotensi selama dan sesudah anestesi dengan adanya penurunan sensitivitas terhadap katekolamin. Terapi kortikosteroid selama 1 minggu dapat menyebabkan depresi korteks; biasanya pulih 2 bulan setelah penghentian steroid, namun efeknya dapat 10

berlangsung lebih dari setahun dan pada sebagian kasus tidak dapat pulih sama sekali. Tidak ada tes sederhana yang memuaskan untuk menilai cadangan adrenokortikal. Umumnya lebih aman untuk mengamsumsi bahwa tidak ada cadangan adrenal dan untuk memberikan hidrokortison ekstra selama perioperatif (misalnya hidrokortison 100 mg intramuskular sebelum pembedahan dan dilanjutkan 6 8 jam untuk 24 jam setelah pembedahan minor; dan terapi selama 3 hari pada pembedahan mayor.

Tabel: Mekanisme interaksi obat CONTOH 1.Inkompatibilitas farmasetik 2.Mengganggu absorpsi Obat 3.Perubahan distribusi obat (mis. tidak berada di tempat ikatan protein plasma) 4.Reseptor kompetitif 5.Perubahan metabolisme Hepatik - Induksi enzim - Inhibisi enzim - Perubahan aliran darah hepatik 6.Gangguan ekskresi - Renal 7.Antagonisme atau potensiasi obat yang bekerja di sistem fisiologis yang sama atau pada waktu yang sama 8.Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit 9. Dan lain-lain Alkohol dan barbiturat Phenobarbital dan warfarin Cimetidine dan obat lainnya Halothane & ketamine Eliminasi lebih lama Penurunan efek warfarin Pemanjangan efek Adrenalin dan propanolol Antagonisme Thiopenton dan suxamethonium Analgesik opioid & obat oral Aspirin & warfarin Perdarahan Presipitat EFEK

Absorpsi lebih lama

Probenesid & penisilin Konsentrasi tinggi penisilin Potensiasi

Table : Mechanism of drug interaction Premedikasi

Target dari pemberian premedikasi adalah : 11

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Mengatasi kecemasan, takut dan nyeri Mengurangi sekresi jalan nafas Membantu efek hipnotik obat anestesia umum Mengurangi mual muntah pasca operasi Menimbulkan amnesia Mengurangi volume dan meningkatkan pH isi lambung Mencegah reflek vagal Mencegah respon simpatoadrenal.

Mengatasi kecemasan

Rasa cemas secara efektif dapat diatasi dengan cara non farmakologis yaitu dengan psikoterapi. Cara ini dapat dilakukan saat kunjungan preoperative dengan menjelaskan apasaja yang akan dilakukan selama perioperatif dan mendapat kepercayaan sehubungan dengan yang dicemaskan dan ditakutkan pasien. Pada beberapa pasien penjelasan dan memberi keyakinan tidak cukup efektif menghilangkan rasa cemas dan takut, sehingga diperlukan bantuan medikasi yang bersifat anxiolitik seperti benzodiazepine.

Mengurangi sekresi jalan nafas

Obat anestesi lama seperti eter dapat menimbulkan sekresi jalan nafas faring dan kelenjar bronkial yang berlebihan, sehingga premedikasi antikolinergik seperti atropin sangat diperlukan. Dengan keberadaan obat-obat anestesia modern saat ini seperti halotan, maka efek yang dihasilkan menjadi tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tanpa pemberian. Walaupun demikian beberapa ahli anestesia tetap menggunakan obat antikolinergik untuk mengurangi sekresi yang terjadi karena penggunaan alat-alat untuk mengamankan jalan napas seperti pipa orofaring atau pipa endotrakea. Penggunaan ketamin juga dapat menimbulkan sekresi yang berlebihan sehingga pemberian antikolinergik sangat diperlukan.

Sedasi

Sedasi berbeda dengan penghilang kecemasan (anxiolysis). Beberapa obat seperti barbiturat dan opioid mempunyai efek sedasi namun tidak mempunyai efek menghilangkan kecemasan. Pada umumnya tidak diperlukan penggunaan sedasi sebelum operasi kecuali pasien merasa perlu.

Antiemetik pasca operasi

Antiemetik dapat diberikan sebagai premedikasi namun akan lebih efektif bila diberikan pada saat pengakhiran anestesia.

Menimbulkan amnesia

Pasien seharusnya mengalami amnesia sesaat menjelang operasi karena operasi adalah suatu pengalaman yang kurang menyenangkan bagi banyak pasien. Akan tetapi beberapa ahli anestesi berpendapat bahwa amnesia tidak seharusnya diberikan pada pasien anak, karena akan menyamarkan keadaan tidur alami atau efek akibat amnesia sehingga pasien anak akan terbangun pada saat diinsisi.

12

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa amnesia retrograde tidak akan tercapai. Namun amnesia anterograde ( setelah pemnberian obat ) dapat diperoleh dengan penggunaan bezodiazepin.

Menurunkan volume dan meningkatkan pH isi lambung

Pada pasien dengan resiko muntah dan regurgitasi, dapat dipergunakan obat untuk membantu pengosongan lambung dan peningkatan pH isi lambung. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan : Metoclopramide, untuk obat antiemetik Antacids, untuk meningkatkan pH lambung Cimetidine and Ranitidine (histamine H2-receptor antagonists), untuk meningkatkan pH isi lambung dan menurunkan volume asam lambung.

Penurunan reflek vagal

Bradikardi adalah menifestai dari stimulasi reflek vagal yang dapat berakibat fatal. Hal ini dapat terjadi pada beberapa keadaan : Penarikan otot-otot mata, yang lebih sering terjadi pada otot rectus medialis pada operasi strabismus yang menyebabkan bradikardi dan atau aritmia (reflek okulokardiak). Premedikasi dengan atropine dapat mencegah efek ini. Pemberian berulang suxamethonium sering diikuti dengan bradikardi yang dapat menyebabkan asistole. Pemberian atropine sebelum pemberian suxamethonium akan membantu mencegah kejadian ini. Induksi anestesia dengan menggunakan halotan pada anak dikaitkan dengan kejadian bradikardi. Pemberian atropin dapat mencegah komplikasi ini.

Mengurangi respon simpatoadrenal

Induksi anestesia dan intubasi dihubungkan dengan aktivitas simpatoadrenal, yang bermanifestasi dengan takikardia, hipertensi dan peningkatan katekolamin plasma.respon ini dapat membahayakan pasien dengan hipertensi atau penyakit jantung iskemik. Untuk menurunkan respon tersebut dapat digunakan beberapa obat sebagai premedikasi :

Opioid - bloker

Referensi : 1. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004 2. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006 3. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.

13

4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005

14

Anda mungkin juga menyukai