Anda di halaman 1dari 7

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 LatarBelakang

Kesehatan reproduksi mendapatkan perhatian khusus sejak diangkatnya isu tersebut dalam International Converence on Population and

Development (ICPD) pada tahun 1994 di Kairo. Pada konferensi tersebut dibuat kesepakatan bersama mengenai definisi kesehatan reproduksi sebagai kesehatan secara fisik, mental dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit atau kecacatan. Definisi ini mempunyai implikasi bahwa setiap orang berhak memiliki kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya dan mampu memperoleh keturunan serta memenuhi keinginannya tanpa ada hambatan, kapan dan berapa sering untuk memiliki keturunan (WHO, 2004; Sadli, Rahman, & Habsjah, 2006). Salah satu gangguan kesehatan reproduksi yang terjadi pada usia subur adalah infertilitas. Infertilitas adalah ketidak mampuan untuk mengandung sampai melahirkan bayi hidup setelah satu tahun melakukan hubungan

sexual (intercourse) yang teratur dan tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun/setelah memutuskan untuk mempunyai anak (May & Mahlmeister, 1999; Gorrie, Mc Kinney, & Murray, 1998; Pillitery, 2003; Wiknjosastro, 2002). Berdasarkan catatan WHO, di dunia ada sekitar 50-80 juta pasangan suami istri mempunyai problem Infertilitas dan setiap tahunnya muncul sekitar 2 juta

pasangan infertil (ketidakmampuan mengandung atau menginduksi konsepsi) baru. Tidak tertutup kemungkinan jumlah itu akan terus meningkat. Kejadian infertilitas di Indonesia menurut Direktorat Pelaporan dan Statistik Nasional hasil pendataan tahun 2000 menunjukkan jumlah pasangan usia subur (PUS) di Indonesia adalah sebanyak 38.783.347 pasangan. Lima belas persen atau sekitar 5.812.502 PUS di Indonesia mengalami infertilitas atau kesulitan untuk mempunyai anak (Samsulhadi, 2005). Menurut Syamsiah 2010 di Indonesia kejadian perempuan infertil 15% pada usia 30-34 tahun, meningkat 30% pada usia 35-39 tahun, dan 55% pada usia 40-44 tahun. hasil survei gagalnya kehamilan pada pasangan yang sudah menikah selama 12 bulan, 40% disebabkan infertilitas pada pria, 40% karena infertilitas pada wanita, dan 10% dari pria dan wanita, 10% tidak diketahui penyebabnya. pasangan usia subur. Penyebab terbanyak infertilitas pria adalah pelebaran pembuluh darah balik atau vena disekitar buah zakar yang disebut varikokel. Varikokel ditemukan pada 40% penderita. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan salah satu pusat penanggulangan infertilitas terkenal di Baylor College of Medicine, Amerika Serikat yaitu 42%. Penyebab lain dari infertilitas pada pria adalah sumbatan/obstruksi pada saluran sperma. Hal ini terjadi pada 15% penderita. Pada 20% sisanya, infertilitas diakibatkan oleh berbagai faktor, misalnya gangguan hormon, kelainan bawaan, pengaruh obat, gangguan ereksi/ejakulasi, radiasi, keracunan pestisida, gangguan imunologi, operasi di daerah panggul dan lainlain (www.kompas.com 2007 diunduh 6 desember 2013 ).

Pada wanita penyebab infertilitas terbanyak adalah karena tertutupnya saluran tuba sebanyak 30%, 25% disebabkan karena gangguan ovulasi, masalah serviks sebanyak 15%, masalah-masalah endokrin seperti tumor hipofisis dan kelainan kongenital juga dapat menyebabkan infertilitas pada wanita, hal ini terjadi sebanyak 10% penderita (POGI,1996). Bagi masyarakat Indonesia banyak alasan mengapa pasangan suami istri mendambakan kehadiran anak. Anak mempunyai peran sosial yang cukup penting, keberadaan anak menyebabkan ikatan keluarga menjadi kokoh dan tidak mudah goyah, anak merupakan sumber motivasi keluarga menata masa depan yang lebih baik. Memiliki anak yang sukses merupakan kebanggaan tersendiri bagi keluarga dan merupakan investasi dimasa tua. Kebanyakan masyarakat Indonesia akan memandang belum sempurna dan belum lengkap bila suatu keluarga belum dilengkapi dengan kehadiran anak (Samsulhadi, 2005). Infertilitas dapat dikatakan sebagai pengalaman yang penuh ketegangan, karena pasangan suami istri mempersepsikan masalah infertilitas sebagai ancaman terhadap kesejahteraan pasangan. Infertilitas membawa implikasi psikososial, terutama pada perempuan. Menurut Baron & Byrne, 1994 Psikologi sosial

adalah bidang ilmiah yang mencari pengertian tentang hakikat dan sebab-sebab dari perilaku dan pikiran-pikiran individu dalam situasi sosial. Ppsikososial ini meliputi bagaimana seseorang mengetahui apa yang dirasakan orang lain, bagaimana mengekspresikan perasaannya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungannya.

Sumber tekanan sosio-psikologis pada perempuan berkaitan erat dengan kodrat deterministiknya untuk mengandung dan melahirkan anak. Infertilitas bisa menyebabkan perempuan sangat menderita atau tidak bahagia, sedih

berkepanjangan, gugup dan tidak tenang, merasa terkucil dan kesepian, frustasi atau putus asa, atau marah tanpa sebab, serta merasa takut kalau nanti suaminya akan menikah lagi. Adanya konflik-konflik emosional dan penghayatan perasaan akan dirinya berbeda dengan wanita yang memiliki anak akan mengurangi kegembiraan dan kebahagiaanya. Disisi lain, kebahagiaan dan kegembiraan dalam kehidupan seseorang merupakan indikator yang penting bagi kesehatan mental (Markam, 1994). Pada kasus infertilitas ini, biasanya suami lebih mampu menjaga ekspresi kesedihan mereka. Mereka terlihat menjadi pribadi yang kuat dalam keluarga dan karenanya mereka tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Mereka datang untuk mendukung dan menghibur pasangan wanita mereka meskipun ia sebetulnya juga merasa hancur. Pada masyarakat yang patriarkis Jawa laki-laki diidentitaskan sebagai mahkluk yang lebih kuat daripada perempuan. Anak merupakan sumber kejantanan, kekuatan dan kapasitas seksual laki-laki. Persepsi hasil konstruksi sosial atas identitas gendernya membuat laki-laki merasa rendah ketika tidak mempunyai anak, sehingga kesalahan dilimpahkan pada pihak perempuan (Demartoto, 2008). Isu ketidaksuburan secara fisik memang tidak mengancam kehidupan dan bukan merupakan suatu penyakit, namun dampak psikologis yang terjadi mungkin

dapat sebanding dengan penyakit kronis (Anwar, 1997; Benyamini, Gozlan & Kokia, 2004). Ketegangan emosional dan hubungan sosial yang tidak baik dapat mempengaruhi keberhasilan penanganan infertilitas (Wilson & Kopitzke, 2002, http://www.biomedcentral.com, diperoleh 6 desember 2013). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Domar (2004) yang menunjukkan bahwa dengan menyingkirkan menghentikan alasan perawatan dana, pasangan karena suami istri memutuskan Stres untuk

alasan

kejiwaan.

pada masalah

ketidaksuburan kalau dilihat dari paparan di atas dapat menjadi penyebab sekaligus menjadi akibat atau dampak dari ketidaksuburan, sehingga

merupakan masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu sangatlah menarik untuk menggali secara mendalam berbagai penghayatan berupa respon psikososial wanita dalam menghadapi masalah belum mempunyai anak >5 tahun setelah menikah serta

mendapatkan informasi secara detail dan jelas tentang bermacam upaya yang telah dilakukan. Terlebih lagi, adanya perspektif baru dalam memandang masalah kesehtan dan penyakit yang tidak hanya melibatkan aspek biologis, melainkan juga aspek psikologis dan sosial, maka sangat terasa kebutuhan untuk menggali informasi yang lebih kaya tentang sumbangan aspek psikososial terhadap kesehatan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan pembahasan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut penelitiannya adalah: Bagaimanakah Respon Psikososial istri dengan usia pernikahan >5 tahun yang belum pernah memiliki anak setelah menikah? 1.2 Tujuan Penelitian 1.2.1 Tujuan umum setelah

Untuk mengetahui respon istri dengan usia pernikahan >5 tahun

menikah yang belum memiliki anak di BPM Sartika Desa Cineumbeuy Kecamatan Lebakwangi Kabupaten Kuningan 1.2.2 Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui fator-faktor penyebab infertile pada pria dan pada wanita 2. Untuk mengetahui perasaan wanita infertile > dari 5 tahun setelah menikah 3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang telah dilakukan dalam pengobatan infertil 4. Untuk mengetahui makna pengalaman hidup perempuan dengan masalah infertilitas 1.3 Manfaat penelitian 1.3.1 Manfaat teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk materi Asuhan Kebidanan Patologi tentang infertile

1.3.2

Manfaat praktis

1. Bagi petugas kesehatan Sebagai sumbangan pemikiran tentang wanita yang mengalami Infertil >5 tahun dari segi respon psikososial sehingga bidan dapat memberikan bantuan berupa konseling atau bimbingan dengan demikian meningkatkan mutu layanan reproduksi wanita. 2. Bagi institusi pendidikan Menambah referensi yang dapat digunakan sebagai penelitian lebih lanjut khususnya bagi mahasiswa program studi D III kebidanan 3. Bagi Peneliti Sebagai penerapan dalam mata kuliah metode penelitian dan menambah pengetahuan serta pengalaman dalam meneliti.

Anda mungkin juga menyukai