Anda di halaman 1dari 5

MAC 102 (HUMANIORA) REFLEKSI PBL I

Nama: Devina Ciayadi NIM: 2013-060-121

Dosen: Yeremias Jena, M.Hum, M.Sc Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya 2014

Kritis terhadap Masalah Etis dan Kasus dr.Ayu


Beberapa waktu yang lalu, Indonesia dihebohkan oleh sebuah kasus malpraktik yang disusul oleh aksi mogok kerja dokter seluruh Indonesia. Kasus malpraktik ini melibatkan tiga orang dokter kandungan dengan status residen, yaitu dr. Dewa Ayu Sasiary Prawan, Sp.OG beserta kedua rekannya, dr.Hendy Siagian, Sp.OG, dan dr.Hendry Simanjuntak, Sp.OG, Ketiga dokter tersebut dianggap bersalah dalam menangani persalinan pasien Julia Fransiska Maketey, dimana pasien meninggal akibat emboli udara pada ventrikel (bilik) kanan jantung pasien. Dr. Dewa Ayu dijebloskan ke tahanan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Mahkamah Agung Nomor 365.K/Pid/2012 tertanggal 18 September 2012. Meskipun kasus ini sudah tidak terlalu menjadi perbincangan dan telah digantikan oleh berita banjirnya berbagai pelosok di Jakarta, kasus ini merupakan kasus yang sangat cocok untuk direnungkan oleh setiap orang, terutama para pekerja medis agar tidak terulang kesalahan yang sama. Sebagai calon pekerja medis yang beresiko terjebak kasus serupa, kita harus kritis terhadap berbagai isu yang sedang berkembang terutama mengenai etika dan dilema perkerjaan. Risiko pekerjaan seorang dokter memang banyak, selain berisiko terpapar penyakit menular saat sedang bekerja, seorang dokter juga harus selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan agar tidak ada tuntutan dari pasien. Seringkali kesalahan yang dilakukan oleh dokter adalah saat menghadapi sebuah masalah etis dan dalam mengambil keputusan, tak jarang dokter harus menggunakan pendekatan etis. Didalam memberikan layanan kedokteran, dokter mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran; Kode Etik Kedokteran Indonesia; Pernyataan IDI; Lampiran SK PB IDI dan Surat edaran Dirjen Yanmed No: YM 02.04.3.5.2504 th. 1997 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit. Sebenarnya, menurut saya, dokter Ayu dan rekannya dapat dikatakan tidak bersalah karena beliau telah melakukan operasi sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur). Namun dalam menjalankan kewajibannya sebagai dokter, beliau telah melakukan kelalaian. Misalnya saja karena telah melakukan pemalsuan tanda tangan (Spurious Signature) dan tidak menyampaikan kepada keluarga pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan beserta risikonya. Dr. Ayu dan rekanrekannya dituntut karena telah memalsukan tanda tangan pasien dan melanggar UU No.29 tahun 2004 pasal 45 ayat 1:Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Tanda tangan Siska dalam surat persetujuan tersebut berbeda dengan tanda tangan korban yang berada di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Askes kemudian setelah dilakukan pemeriksaan oleh Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada tanggal 09 Juni 2010 NO.LAB. : 509/DTF/2011. Mereka juga bersalah berdasarkan salinan putusan nomor 365 K/Pid/2012, dr Ayu dkk saat melakukan Cito Secsio Sesaria tidak memberitahukan resiko operasi tersebut kepada keluarga korban.

Salah satu alasan lain yang membuat para dokter itu dinyatakan bersalah adalah karena dokter-dokter tersebut belum memiliki SIP (Surat Izin Praktik). Surat izin praktik wajib dimiliki oleh dokter-dokter yang melakukan praktik kedokteran berdasarkan UU No.29 Tahun 2004 pasal 36. Hal ini disebabkan karena para dokter tersebut masih tergolong sebagai dokter residen (dokter praktik yang sedang menjalani studi spesialis). Menurut saya, meskipun dokter Ayu belum menjadi dokter spesialis, dokter Ayu telah kompeten untuk melakukan operasi tersebut sebagai chief resident. Selain itu kasus emboli udara juga termasuk kasus yang tidak dapat dihindari dan dapat menimpa siapa saja, sehingga dr.Ayu tidak boleh dituntut akibat emboli yang terjadi. Namun, beliau dianggap telah lalai dan melanggar KUHP pasal 359: barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun penjara. Penyebab dari kejadian yang menimpa dr.Ayu dan rekannya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara para dokter dan pasien sehingga seringkali terjadi kesalahpahaman (miscommunication). Sebagai dokter, kita tidak hanya perlu pintar dalam ilmu pengetahuan, kita juga perlu memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik dan juga empati terhadap apa yang dialami orang lain. Dengan komunikasi yang baik, hubungan antara dokter-pasien dapat berjalan dengan baik dan terbebas dari kesalahpahaman. Tak hanya heboh mengenai kasus malpraktek oleh dr. Ayu dan rekanrekannya, masyarakat kembali dikagetkan dengan aksi mogok kerja dokter yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 27 November 2013 lalu. Masyarakat menjadi khawatir bahwa aksi mogok dan demonstrasi yang dilakukan para dokter dapat mengganggu pelayanan kesehatan. Hal ini juga mengundang reaksi pro dan kontra dari berbagai pihak. Aksi mogok ini banyak dicela. Bahkan, Menteri Kesehatan Indonesia menanggapi aksi mogok kerja dokter ini dengan berkata: Kalau Mogok, Kalian akan Saya Bunuh Pelan -pelan. Sungguh mengagetkan mendengar kata-kata seperti ini dari seorang menteri. Aksi mogok ini sebenarnya dilakukan sebagai wujud solidaritas para dokter terhadap teman sejawatnya, dalam kasus ini dr. Ayu dan rekannya, dan sekaligus sebagai ungkapan prihatin terhadap keputusan MA yang memberikan hukuman penjara selama 10 bulan kepada dokter-dokter tersebut. Saya, sebagai mahasiswa kedokteran tahun pertama, merasa cukup antusias terhadap kegiatan ini, asalkan para dokter tidak melalaikan tugas dan kewajibannya. Menurut saya, membela teman sejawat memang perlu, apalagi terdapat dalam KODEKI mengenai hubungan antara dokter dan teman sejawatnya. Namun, berdasarkan kode etik kedokteran, kita harus mengedepankan kepentingan pasien dan tidak melalaikan tugas kita. Dokter harus selalu ada untuk pasien dan orang-orang yang membutuhkan. Oleh sebab itu, seorang dokter harus memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaannya. Mogok dokter yang baru saja terjadi ini memang meresahkan masyarakat. Banyak masyarakat yang mengalami kesulitan dalam memperoleh pelayanan kesehatan dan juga layanan rumah sakit menjadi lumpuh. Misalnya saja pelayanan kesehatan yang terganggu di Semarang dan beberapa kota lainnya (Tempo.co). Dalam kasus ini, yang menjadi korban tentunya masyarakat.Namun, kasus mogok ini sebenarnya juga dapat menjadi sebuah refleksi bagi masyarakat agar

merenungkan mengenai profesi dokter yang sebenarnya penuh dengan dilemma. Dengan adanya mogok dokter ini, masyarakat dan pemerintah dapat menjadi lebih kritis terhadap masalah bioetika. Contohnya saja dengan diadakannya sebuah diskusi terbuka hukum kedokteran di Bandung. Selain itu, aspirasi dari para dokter dapat tersampaikan dengan baik kepada pemerintah dan masyarakat. Mogok kerja dokter sudah sering terjadi di banyak Negara lain selain Indonesia, seperti Pakistan, India, Amerika, Kanada, German, Malta, Peru, Perancis, Spanyol, Israel dan negara lainnya. Mogok kerja dokter ini bertujuan untuk memperjuangkan sistem kesehatan yang lebih baik dan lebih adil. Menariknya, sebuah jurnal kedokteran bahkan menemukan bahwa perubahan sistemik yang timbul akibat mogoknya dokter-dokter di Israel selama 4 bulan tahun 2000 telah berhasil menekan angka kematian di negeri tersebut. Hal ini juga dialami di beberapa negara lainnya. Mogok kerja dokter memiliki dampak positif secara tidak langsung dalam kesehatan masyarakat. Dalam menjalankan profesinya, dokter harus berperilaku sesuai dengan etika. Dokter harus menjalankan 4 prinsip etika, yaitu tidak merugikan, memberikan manfaat, menghormati otonomi, dan keadilan. Dengan menjalankan keempat prinsip ini, hubungan antara dokter-pasien dapat berjalan dengan lebih baik.

Referensi:
(1)1. Siegel-Itzkovich J. Doctors strike in Israel may be good for health. BMJ. 2000 Jun 10;320(7249):1561. 2. Inilah Rincian Putusan MA Kasus Dokter Ayu [Internet]. beritasatu.com. [cited 2014 Jan 25]. Available from: http://www.beritasatu.com/nasional/152236-inilahrincian-putusan-ma-kasus-dokter-ayu.html 3. Bertens, K., Etika Biomedis, Kanisius, Jakarta: 2011.

Anda mungkin juga menyukai