WARTA
FORUM KOMUNIKASI KEHUTANAN MASYARAKAT
Pemimpin Umum Didik Suharjito Pemimpin Redaksi Muayat Ali Muhshi Dewan Redaksi Haryadi Himawan Arief Budimanta Bestari Raden Nana Suparna Sih Yuniati Said Awad Redaktur Muhammad AS Tata Letak Muhammad AS Sirkulasi Totok Sadianto Alamat Redaksi Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: fkkm_jog@indo.net.id seknas-fkkm@indo.net.id http:// www.kehutananmasyarakat.com www.fkkm.org
Dari Kami
Pembaca yang budiman, Hingar-bingar Gerakan Rehabilitasi Hutan (GERHAN/GNRHL) muncul lagi. Lama tak bersua, isu ini kembali mencuat di berbagai media massa. Seperti biasa, banyak yang bilang gerakan ini gagal. Gerhan pun didera isu korupsi. Menurut kabar beberapa orang sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dugaan bahwa proyek yang melibatkan uang trilunan ini telah dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir orang memang sudah kerap didengar, tapi gelagatnya tak pernah kelihatan. Kita berharap KPK bisa mengusut tuntas korupsi dalam proyek Gerhan ini. Untuk meramaikan konstelasi GERHAN, edisi ini kami menggakat isu tersebut. Kami ambil dari sisi kebijakan dan bagaimana implementasinya di lapangan. Koresponden kami dari Greenpress menyumbangkan laporan pelaksanaan Gerhan dari pedalaman Sulawesi Tenggara. Selamat membaca.
Redaksi
GERHAN Gagal?
OLEH MUHAMMAD AS
BETUL. Hutan Indonesia perlu direhabilitasi. Tapi bagaimana? Jika kita percaya pada data, laju kerusakan hutan kita 3,6 kali lebih cepat daripada laju rehabilitasi. Itu artinya kita tanam pohon sampai boyok pegal-pegal sekalipun tak akan mampu menyalip laju kerusakan hutan yang mencapai 2,83 juta hektar per tahun itu. Bukannya kami tidak setuju dengan rehabilitasi. Kami tetap sepakat itu. Rehabilitasi adalah keharusan. Tak ada cara lain selain mengembalikan hutan kita yang sudah gundul itu seperti sedia kala dengan cara menghijaukannya kembali. Yang membuat kami heran kenapa langkah ini tak pernah berhasil. Padahal kalaupun hutan ditebang, bila kemudian dibiarkan, secara alami saja di areal tersebut akan tumbuh tanaman kembali. Tentu saja jika tak diganggu. Dulu di tahun 1960-an pemerintah pernah meluncurkan program penghijauan. Kemudian pada 1970 muncul program INPRES penghijauan dan reboisasi. Sekarang ada Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN/GN-RHL). Tapi lihatlah apa yang sudah dicapai? Tiga juta hektar dari target Gerhan misalnya realisasinya masih jauh dari memuaskan. Di beberapa propinsi, tingkat keberhasilannya tak sampai 10 persen. Tingkat degradasi hutan pun terus meningkat. Tahun 2002 misalnya, degredasi hutan mencapai 59,7 juta hektar, sementara lahan kritis di dalam dan sekitar hutan telah mencapai 42,1 juta hektar. Lalu apa yang salah dengan program-program tersebut? Macam-macam yang jadi alasan, dari lokasi penananan yang tidak bener lah, bibit yang tidak baguslah, seretnya biaya, kurangnya koordinasi, konflik lahan, hingga yang paling menyakitkan : duit program ini dikorupsi. Sudah jamak didengar kepala proyek GERHAN tiba-tiba beli mobil gress setelah proyek selesai. Temuan Indonesia Cooruption Watch (ICW) dan Greenomics menunjukkan setidaknya ada 15 titik dugaan potensi KKN dalam pengggaran GERHAN. Dugaan KKN sudah mulai tercium sejak penentuan lokasi GERHAN sampai urusan persetujuan anggaran dengan DPR. Karena dikorupsi, anggaran yang sampai ke tingkat lapangan pun jadi seret dan seringkali terlambat datang. Implikasinya jadi berabe : penyusunan RTT jadi amburadul, kualitas bibit jelek, salah pilih bibit, telat nanam, tanaman pun jadi layu dan akhirnya mati. Maka upaya pemerintah untuk melakukan audit penganggaran dan penggunaan Dana Reboisasi yang digunakan untuk kegiatan GERHAN pantaslah dilakukan. Audit ini perlu dilakukan terhadap semua lini departemen yang terkiat program tersebut secara proporsional. Auditor ini sebaiknya bukan hanya ditujukan kepada Departemen Kehutanan saja, sebab mekanisme anggaran dan penentuan sasaran lokasi GERHAN tidak dilakukan secara independen oleh Departemen Kehutanan sendiri. Gerhan adalah kerja kroyokan antara Menko Kesra, Menko Perekonomian, dan Menko Polkam. Menko Kesra bertindak sebagai ketua GERHAN, yang kelompok kerjanya beranggotakan tujuh menteri departemen, dua menteri negara, serta Kapolri dan Panglima TNI. Sistem pengelolaan hutan pun harus diperbaiki. Revisi kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia harus segera dilakukan jika kegiatan tersebut mau selamat. Revisi ini menyangkut bagaimana kita memperbaiki tata kelola hutan, pemanfaatann dan penggunaannya. Ada yang bilang hutan Indonesia itu ibarat rumah yang belum punya pintu, jendela, kunci, tapi sudah diisi barang-barang berharga. Revisi juga perlu dilakukan terhadap kebijakan penggunaan Dana Reboisasi, pedoman serta SK-SK menteri terkait soal kegiatan GERHAN. GERHAN adalah program bersama, koordinasi antar stakeholders mesti diperjelas. Jangan seperti sekarang, antar instansi seperti kehilangan arah kewenangan. Cukuplah pemerintah membuat pedoman umum sementara pemerintah propinsi menyiapkan petunjuk pelaksanaannya, menyusun RTT dan mengawasi pelakasaannya. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah melibatkan peran serta masyarakat. Ajak masyarakat membuat usulan kegiatan seraya melibatkan mereka dalam penguatan kelembagaan dan penyusunan rancangan teknis dalam tiap kegiatan yang akan diikutinya. Ajak mereka pula untuk mengindentifikasi lokasi-lokasi mana di sekitar daerahnya yang perlu direboisasi. Dan masih banyak lagi yang perlu diperbaiki. GERHAN semoga saja nasibnya tidak sama dengan program penghijauan sebelum-sebelumnya : cuma orientasi politik jangka pandek belaka lagi menghambur-hamburkan uang negara. Dan target tiga juta hektar bukan sekedar mimpi belaka.
WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006
i Gedung Petani Center Institut Pertanian Bogor, Darori mencoba menjelaskan semuanya. Dia berbicara tenang bagaimana menyelamatkan hutan indonesia dengan sebuah gerakan moral menanam pohon :Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Sebagai Dirjen Rehablitasi Hutan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Departemen Kehutanan, Darori memang bertugas menjawab pesoalan GN-RHL yang terus mendapat sorotan publik karena dinilai tak kunjung berhasil setelah berjalan lebih dari tiga tahun.
Sebetulnya, ini memang lagu lama. Sebelum GN-RHL muncul, pada 1960-an pemerintah sudah pernah meluncurkan program serupa. Di tahun 1970 muncul program INPRES penghijauan dan reboisasi. Tapi kerusakan hutan jalan terus. Banjir, longsor, erosi, kekeringan malah jadi sering terjadi. Sampai tahun 2002 misalnya, degredasi hutan mencapai 59,7 juta hektar, sementara lahan kritis di dalam dan sekitar hutan telah mencapai 42,1 juta hektar. Di beberapa provinsi perubahan penutupan hutan begitu cepat. Data WWF tahun 2003, menunjukkan di Propinsi Riau, perubahan penutupan pada 1990 masih 63%, tapi di tahun 2002 angkanya anjlok jadi 39%. Diperkirakan pada 2005 penutupan hutan di provinsi tersebut tinggal 12 % saja. Buntut dari perubahan itu, di tahun 2003 Riau dilanda banjir. Diperkirakan 105 Sekolah Dasar, 7 Sekolah Menengah, 3 SMU dan 99 Puskesmas di 5 kecamatan terendam banjir. Angka
banjir, 193 kali kebakaran, 294 kali terjadi longsor, 58 kali terjadi gempa bumi, 102 kali angggin topan, dan 82 kali terjadi konflik sosial. Dan keadaan buruk itu harus segera dihentikan. Tak mau nasibnya seperti sebelum-sebelumnya, GN-RHL dibuat agak beda. Program ini melibatkan banyak orang .D ari presiden, menteri, gubernur, walikota, LSM, mahasiswa, dosen, TNI, sampai petani di desa-desa. Ini adalah gerakan moral, kata Darori.
kerugiannya mencapai Rp 832,1 milyar. Di Pulau jawa nasibnya idem. Ancaman bencana alam hampir merata di semua kabupaten sepanjang tahun 1999-2003. Propinsi Jawa Tengah tercacat memiliki rekor tertinggi terkena banjir dan longsor dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Secara nasional, data Bakornas tahun 2005 mencatat antara tahun 1999 sampai dengan Desember 2004 terjadi 402 kali kejadian
Uang yang digelontorkan jumlahnya tak main-main, hingga mencapai triliunan rupih. Di tahun pertama saja, uang yang terkucur buat program ini mencapai 1,2 triliun. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 1,7 Triliun, dan tahun 2005 angkanya naik jadi dua kali lipat, 2,8 triliun. Hingga tahun 2007, pemerintah menargetkan tiga juta hektar lahan sudah direhabilitasi terutama pada Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas, dimana lokasi rawan
ERHAN ITU sejenis mahluk apa ya?. Itu kata La Kontu, seorang petani di sebuah rumah sederhana tapi bahan bangunannya semuanya terbuat dari kayu jati. Setelah sebelumnya pelaksanaan Proyek Gerakan Rehabilitasi Lahan dan Hutan (GERHAN/GN-RHL) tahun 2004-2005 sempat tertunda karena alasan administrasi dan birokrasi, kini proyek yang rencananya akan diimplementasikan tahun ini kembali mendapatkan tantangan dari berbagai kelompok masyarakat. Di Kecamatan Tampo Muna tepatnya di Kelurahan Tampo dan Napabano, masyarakat enggan terlibat dalam proyek tersebut terutama pada proses penanaman tanaman jati.
Menurut sejumlah warga kengganan tersebut bukan lantaran mereka menolak proyek GN-RHL tapi karena proses sosialisasi GNRHL yang menurut mereka tidak jelas. Dari soal apa itu GN-RHL, proses penanaman, sampai dengan kewenangan warga terhadap hasil tanaman GN-RHL. Akibatnya warga tampak kebingungan dan tampak ketakutan terhadap proyek GN-RHL. Apalagi jati merupakan satu-satunya tanaman yang dipilih dalam proyek GN-RHL di Kabupaten Muna. Pemilihan tanaman jati atau Tectona grandis .L itu menimbulkan traumatik bagi sebagian masyarakat Muna khususnya yang berdomisili dan berkebun di sekitar hutan produksi di Tampo. Hutan jati disini sudah dihabiskan, lantas kami disuruh tanam lagi yang nikmati hasil nanti siapa,keluh Sarjono Warga Tampo pada sejumlah aktifis Green Press yang menemuinya di kebunnya. Warga masih ingat betul kejadian penggusuran masyarakat Kontu yang diwarnai aksi kekesaran oleh Pemda Muna yang mengklaim daerah Kontu sebagai kawasan hutan lindung. Dulu masyarakat menanam jati di situ. Setelah besar dan berdiri megah,
FOTO WARTA
untuk bahan makanan dan sebagian lagi kami jual ke luar daerah,ungkap La Ode Kadimu salah seorang warga Napabalono. Sayang, inisiatif warga tak mendapatkan dukungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muna, bahkan pemkab Muna saat ini hanya mengedepankan proyek jatinisasi melalui proyek GN-RHL tanpa melihat inisiatif lokal yang mulai tumbuh di masyarakat.
GERHAN bukan rehabilitasi lahan, tapi gerakan hancurhancuran, kata La Ode Abidin
GN-RHL MUNA dimulai pada Desember 2004. Awalnya ada sosialisasi oleh Dishut Muna. Sarjono dan kawan-kawannya yang telah lama memanfaatkan lahan areal hutan produksi yang telah gundul diundang untuk menghadiri acara tersebut. Saat itu Dishut Muna berjanji akan membuat kesepakatan kerjasama antara masyarakat dengan instansi terkait, mulai dari mekanisme sampai pembagian hasil bila proyek GN-RHL terlaksana. Dari situ, Sarjono dan kawankawannya lalu menindaklanjuti. Mereka membentuk kelompok dan memilih ketua-ketua kelompok secara partisiapatif. Ada sepuluh kelompok GN-RHL yang terbentuk di dua kelurahan Tampo dan Napabalano. Saat memasuki implementasi tahapan penyaluran bibit jati proyek GN-RHL pada awal maret lalu, mulailah terjadi polemik. Pasalnya tanpa sepengetahuan mereka, bibit jati sudah disalurkan kepada orang yang tidak dikenal dalam kelompok yang sudah dibentuk sebelumnya. Kami tidak mengerti kenapa ada orang yang mengaku ketua
WARTA FKKM VOL. 9 NO. 04, APRIL 2006
kelompok tani GN-RHL yang bukan dari pilihan warga, ungkap Sarjono. Kelompok Sarjono protes. Mereka lalu mengirim surat kepada Plh Unit Pelakasana Tehnis Daerah (UPTD) Muna Utara I. Suratnya ditembuskan kepada Dishut Kab Muna. Kelompok Sarjono mempertanyakan keberadaan ketua kelompok yang tidak dipilih secara musyawarah itu dan kejelasan Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) yang dijanjikan pemerintah saat sosialisasi lalu. Malang, surat mereka bukannya mendapatkan jawaban, Plh Ka Unit Pelaksana Tehnis Daerah (UPTD) Muna Utara I malah mengeluarkan surat perintah penanam kepada mereka. Surat tersebut dinilai Sarjono cs bernada ancaman. Surat itu berbunyi apabila sampai hari minggu tanggal 12 Maret 2006 saudara belum melakukan penanaman akan melakukan penanaman sendiri pada lokasi, tutur Sarjono sambil memperlihatkan surat yang ditandatangani oleh La Iji Plh Ka UPTD Muna Utara I tertanggal 6 Maret. Sarjono dan beberapa ketua kelompok tani lainnya bukannya menolak proyek GN-RHL. Sarjono Cs hanya meminta tiga hal. Pertama, Pemda Muna perlu memperhatikan bahwa masih banyak lahan gundul yang belum diolah yang bisa dijadikan lokasi pelaksanaan GN-RHL. Kedua, pemerintah Muna tak melarang masyarakat membuka areal seluas 250 hektar di dua Kelurahan Tampo dan Napabalano yang sejak tiga tahun terakhir telah dimanfaatkan untuk menanam tanaman jangka pendek sebagai penyangga kehidupan mereka sehari-hari. Ketiga, apabila proyek GN-RHL tetap akan dilaksanakan, pemerintah diminta menerbitkan SPKS-nya dulu.
Mereka juga meminta kejelasan sikap pemerintah yang tiba-tiba menunjuk ketua kelompok yang bukan hasil musyawarah anggota kelompok. Bukannya kami menolak, tapi keinginan kami itu harus dijawab dulu oleh pemerintah, ungkap Sarjono yang diamini oleh La Kontu dan La Ode Talibo. Sarjono dan La Kontu keduanya adalah ketua kelompok tani. Sementara itu, La Ode Abidin Ketua Kelompok Makmur yang ditemui di lahan petak dua tidak jauh dari lokasi penyaluran bibit yang telah didrop oleh pihak PT Daka, membenarkan jika dirinya memang ditunjuk bukan oleh anggota kelompok, sebenarnya saya tidak ditunjuk langsung oleh petani, ungkap lelaki kelahiran Tampo 52 tahun lalu. La Ode Abidin ditunjuk langsung oleh pimpinan proyek GN-RHL Muna. Sayang dia lupa siapa nama yang menunjuknya Tidak tau siapa namanya, tapi saya dipanggil di kantor kelurahan dan ketemu beberapa orang lalu saya ditunjuk sebagai ketua, jelas lelaki yang mengaku baru setahun membuka lahan pertanian di Tampo. Sebelumnya ia membuka lahan di Dolo tak jauh dari Tampo. Di Kelurahan Napabalano, tumpukan bibit jati dalam wadah polibeg sudah mengering dan tidak teratur bahkan sudah ada yang mati namun tak kunjung ditanam. Hanya La Ode Abidin seorang diri yang menerima bibit jati itu, sementara kelompok lain ogah menerima. Saya bertanggungjawab hanya untuk petak dua sebagai pertanggujawaban sebanyak tiga puluh ribu duaratus lima puluh anakan, rinci La Ode Abidin, sambil menjelaskan dalam satu petak beranggotakan 25-30 orang berdasarkan aturan yang pernah dibacanya.
Sejak bibit jati didrop dua minggu yang lalu, kata La Ode Abidin, baru satu orang masyarakat yang menanan di lahan seluas 25 are. Sementara anggaran penanam sudah diterimanya sebesar Rp 51.250.000 melalui rekening bank atas nama dirinya sebagai ketua kelompok. Uang itu saat ini sudah dibagikan kepada anggota kelompoknya, masingmasing orang mendapat 850 ribu. Untuk membuktikan jika bibit jati sudah ditanam, La Ode Abidini menunjuk lahan Wa Ode Ete seluas 25 are. Dilahan garapan Wa Ode Ete, bibit jati setinggi 30 cm itu ditanam dengan jarak 3 meter disela pohon jagung yang baru berumur dua minggu. Wa Ode Ete menuturkan jika dirinya sama sekali tidak mengerti tentang kegiatan kelompok, ia bahkan tidak pernah mengikuti sosialisasi proyek GN-RHL. Ia hanya dikasih uang sebesar Rp 50 ribu untuk menanam bibit . Saya tidak tau itu kelompok, saya hanya ikut saja kata orang, tutur janda beranak dua ini dengan raut wajah pucat. Sementara Kepala Pelaksana Harian KUPTD Muna Utara 1 La Iji, saat ditemui dikediamannya, membenarkan surat perintah penanaman jati kepada para ketua kelompok. Alasannya sebab bibit jati sudah didatangkan di lokasi GN-RHL. Menyinggung soal adanya dua ketua kelompok dalam satu petak, La Iji mengatakan sama sekali tidak mengetahui proses pembentukan, sebab dirinya baru saja ditugaskan di Tampo, Saya datang ketua kelompok sudah ada, terangnya. Namun ia pernah menyarankan kepada seorang ketua kelompok untuk kembali bermusyawarah tapi hasilnya tidak pernah diterimanya. Saat ditanya berapa jumlah jati yang telah diterima dilokasi GNRHL, lelaki asli Tampo itu
Kolom
Kolom
elas menengah Thailand sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai kehidupan politik di Thailand. Hal ini bisa dilihat dari besarnya pengaruh mereka, terutama kelas menengah perkotaan (Bangkok), dalam mengkonstruksi wacana politik. Namun sayangnya, tidak semua wacana yang direproduksi kelas menengah merupakan masalah mendasar yang benar-benar dihadapi rakyat Thailand. Jika demikian, bagaimana permasalahan mendasar dan keseharian rakyat bisa diangkat menjadi wacana bersama secara nasional? Kasus Community Forestry Bill (CFB) mungkin bisa menjadi contoh dimana masyarakat lokal dan berbagai komponen masyarakat sipil yang lain, melakukan berbagai upaya (politik) menjadikan isu hak masyarakat untuk tinggal dalam areal hutan sebagai wacana nasional selama lebih dari 10 tahun.
Dua kelompok
Pada tahun 1991 Departemen Kehutanan Thailand mengajukan draft CFB, yang antara lain ingin mengatur keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Pengaturan ini penting mengingat kebijakan kehutanan nasional tahun 1985 menargetkan luas hutan tetap sebesar 40% dari total luas negara, yang terdiri atas 15% hutan produksi dan 25% hutan atau kawasan konservasi. Pencapaian target luas hutan tetap inilah yang dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan karena menyangkut keberadaan masyarakat lokal dan lahan pertaniannya yang sudah ada jauh sebelum areal tersebut (akan) ditetapkan menjadi hutan tetap negara. Catatan Departemen Pertanian dan Koperasi Thailand menunjukkan pada tahun 1998 setidaknya ada 3 juta orang yang menempati 16,5 juta hektar calon areal hutan lindung dan atau lahan publik yang lain. Sosialisasi dan konsultasi publik draft CFB segera saja membuat masyarakat Thailand terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu antara yang setuju dengan yang tidak
setuju terhadap keberadaan masyarakat lokal dalam areal hutan. Kelompok yang setuju berpendapat bahwa masyarakat lokal berhak untuk tetap tinggal di dalam hutan, mengingat keberadaan mereka sudah ada jauh sebelum areal tersebut ditetapkan menjadi hutan negara. Apalagi terbukti selama ini, dengan kearifannya, mereka mampu mengelola hutan secara lestari. Hal ini bisa dilihat setidaknya pada 8.000 kelompok masyarakat yang berhasil mengelola areal hutan secara berkelanjutan. Dalam pada itu, kelompok yang tidak setuju dengan keberadaan masyarakat dalam areal hutan (kelompok konservasionis) berpendapat bahwa melegalkan keberadaan mereka hanya akan menjadi preseden bagi kehadiran kelompok masyarakat yang lain, yang pada akhirnya akan mengancam kelestarian hutan. Apalagi sebagian besar hutan lindung merupakan wilayah dengan tingkat kelerangan yang tinggi, serta merupakan kawasan perlindungan sumber mata air. Kelompok ini khawatir dengan terulangnya bencana banjir besar sebagaimana terjadi pada tahun 1998, yang diyakini sebagai akibat rusaknya kawasan hutan di wilayah utara Thailand, tempat dimana sebagian besar kelompok masyarakat pengelola hutan berada. Pro dan kontra inilah yang menyebabkan Parlemen tidak bisa segera mengesahkan draft CFB tersebut. Disamping juga disebabkan oleh beberapa kali Parlemen dibekukan, serta beragamnya draft CFB yang beredar dan diajukan ke Parlemen. Sampai dengan tahun 2000 setidaknya terdapat 5 draft CFB, yaitu versi pemerintah (Departemen Kehutanan), 3 versi dari 3 partai politik yang berbeda, dan versi masyarakat. Patut dicatat di sini keberhasilan masyarakat mengajukan draft CFB versi mereka pada tanggal 1 Maret 2000 bersama dengan dukungan 52.698 tanda tangan, yang merupakan pertama kalinya dalam sejarah konstitusi di Thailand. Konstitusi tahun 1997 memang memungkinkan masyarakat dengan
10
dukungan minimal 50.000 tanda tangan untuk mengajukan sebuah peraturan atau perundangan ke Parlemen. Meskipun akhirnya Parlemen menyetujui draft CFB versi pemerintah pada bulan November 2000, masyarakat lokal bisa menerima karena sudah banyak mengakomodir kepentingan mereka termasuk hak mereka untuk tinggal dan mengelola kawasan hutan lindung. Namun demikian kegembiraan masyarakat lokal tidak berlangsung lama, karena persetujuan Parlemen ini dibatalkan oleh Senat pada bulan Maret 2001, atas lobi kelompok konservasionis. Pembatalan oleh Senat semakin menguatkan perbedaan pandangan antara 2 kelompok yang pro dan kontra. Dalam bahasa Pinkaew Laungaramsri (Daniel, 2002), seorang antropolog dari Universitas Chiang Mai, perbedaan antara 2 kelompok sudah mencerminkan perbedaan dan konflik kelas antara masyarakat kelas bawah (pedesaan) yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan dengan masyarakat kelas menengah (elite perkotaan) yang ingin melestarikan hutan tanpa gangguan masyarakat di dalamnya.
dengan dukungan LSM dan akademisi, diantaranya: mobilisasi suara pemilih, partisipasi langsung dalam proses legislasi, protes/demonstrasi, lobi, membangun wacana, dan mempengaruhi negara donor (Regina Birner dan Heidi Wittmer, 2003). Mobilisasi suara menjelang pemilihan umum untuk ditukar dengan dukungan partai politik, partisipasi langsung dalam proses legislasi melalui penggalangan dukungan tanda tangan, dan protes atau demonstrasi ke Parlemen merupakan upaya politik yang dilakukan khususnya oleh masyarakat lokal dan LSM. Upaya ini membutuhkan dukungan logistik yang tidak sedikit mengingat sebagian besar masyarakat lokal bertempat tinggal di pegunungan di Thailand utara. Patut dicatat di sini tingginya komitmen masyarakat lokal dalam memperjuangkan aspirasi mereka, sehingga mereka rela berkorban meninggalkan keluarga dan lahan pertanian selama berbulan-bulan ke Bangkok. Bahkan pernah terjadi demonstrasi dilakukan dengan cara jalan kaki dari Chiang Mai menuju Bangkok sejauh ratusan kilometer. Sedangkan upaya politik lain, seperti lobi ke politisi dan birokrat, membangun wacana, dan mempengaruhi negara donor banyak dilakukan oleh LSM dan akademisi. Keterlibatan kaum akademisi dipandang penting mengingat status sosial mereka sebagai aajaan (guru) yang membuat pendapat dan opini mereka didengar oleh masyarakat luas. Terlebih mereka bersedia mengorbankan waktu dan tenaganya menjadi konsultan sukarela bagi gerakan masyarakat serta memproduksi wacana di media massa. Hal ini dilakukan antara lain dengan mempolitisasi isu, dengan mengkaitkan wacana CFB dengan isu hak asasi manusia dan diskriminasi etnis minoritas. Hal ini dilakukan mengingat sebagian besar masyarakat lokal adalah etnis minoritas non Thai seperti Karen, Hmong, Akha, Lisu, dan sebagainya; yang mendapatkan perlakuan diskriminasi misalnya dengan tidak mendapatkan bukti kewarganegaraan Thailand. Meskipun berbagai upaya politik sebagaimana tersebut di atas telah dilakukan, hingga sekarang CFB belum disahkan oleh Parlemen. Namun demikian banyak pihak beranggapan bahwa kelak bila CFB disahkan akan mulus dalam penerapannya di lapangan. Hal ini disebabkan oleh semua perbedaan pandangan telah diperdebatan dan diwacanakan secara partisipatif selama lebih dari 10 tahun terakhir. Chiang Mai, 22 Maret 2006 Penulis adalah Direktur Eksekutif (non aktif) Yayasan Damar Yogyakarta. Fellow API/ Nippon Foundation Program berafiliasi di RCSD Chiang Mai University Thailand.
11
Berita
Berita
Gajah Vs Manusia
Konflik antara manusia dengan gajah terus terjadi di Riau. Banyak yang mati karena ditangkap.
ini telah berulangkali terjadi dengan insiden yang berakhir tragis. Sejak tahun 2000, 16 orang tewas dan 45 ekor gajah mati baik karena diracun atau ditembak dengan senjata rakitan. Dalam dua pekan terakhir, sedikitnya dua insiden konflik gajah terjadi di Riau, yang berujung pada matinya enam ekor gajah di sebuah kebun sawit di bekas hutan Mahato, perbatasan Riau dan Sumatera Utara - diduga akibat diracun - serta mengamuknya 17 ekor gajah ke perkampungan penduduk di desa Balai Raja, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau itu. Kedua kasus ini ditengarai terjadi akibat dibukanya hutan blok Libo - yang merupakan salah satu habitat penting gajah Sumatra menjadi pemukiman, perkebunan dan HTI. Perusahaan pulp dan kertas raksasa di area tersebut Asia Pulp and Paper (APP), misalnya, membeli kayu atau menebang di blok hutan ini. Semua konversi hutan alam harus segera dihentikan, kata Adi Susmianto, Direktur Konservasi
12
AKINYA terjerat rantai. Ia tak mampu duduk dan berbaring. Dari tubuh besarnya terlihat terbalut kulit dengan tulang belulang menonjol. Pada beberapa bagiannya terdapat luka. Mukanya cekung, mungkin stres. Diperkirakan sudah sepuluh hari gajah itu terikat di perkebunan karet masyarakat, Kelurahan Balai Raja, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Semunya berjumlah sepuluh ekor. Kesepuluh gajah itu adalah bagian dari tujuhbelas gajah yang beberapa minggu sebelumnya masuk ke perkampungan Balai Raja. Pertengahan Februari lalu, kawanan gajah itu mengamuk. Tiga rumah warga, serta puluhan hektar tanaman perkebunan dan palawija rusak. Karena ketakutan, selama dua pekan warga mengungsi ke kantor kelurahan. Kami tidak mengira, jika gajah ditangkap jadi begini, telantar dan kurus kering. Kasihan, ujar Ketua Posko Amuk Gajah Duri Berton Panjaitan. Inilah konflik antara manusia dan gajah yang tak pernah diperkirakan sebelumnya. Konflik
Keragaman Hayati, Ditjen PHKA Laju pengurangan hutan alam di Riau akibat konversi, baik karena pembalakan kayu, maupun perubahan peruntukan lahan menjadi perkebunan dan pemukiman, telah mengancam habitat penting bagi satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sumatera. Rumah bagi kedua satwa dilindungi ini semakin menyusut. Dalam tujuh tahun terakhir, populasi gajah sumatera telah berkurang dari 700 ekor menjadi 350 ekor saja. Blouch and Simbolon Technical Report menyebutkan pada 1985 populasi gajah sumatera di Riau masih sekitar 1067 -1617 ekor di sebelas kantung sebaran gajah, tapi pada 1999 menurut laporan BKSDA Riau, populasinya menurun drastis menjadi 709 ekor di 16 kantung pada 1999,
terungkap. Jika satwa dilindungi tersebut mati, maka kematian akibat penangkapan di Riau telah mencapai 73%. Koordinator Program Gajah Riau World Wide Fund for Nature (WWF), Nurcholis Fadli mengatakan untuk menyelamatkan Gajah Sumatera di Riau tak ada jalan lain selain menghentikan konversi hutan. Kondisi gajah kini sangat kritis karena tidak lagi memiliki habitat, katanya. Habitat yang dimaksud adalah hutan alam yang menjadi tempat tinggal hewan berbelalai ini, yang kondisinya telah rusak akibat izin konversi hutan yang mengubah hutan alam menjadi hutan produksi. Hutan yang tadinya tempat tinggal gajah, kini dijadikan wilayah terbatas untuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Pemanfaatan Kayu, areal perkebunan tanaman sejenis baik Hutan Tanaman
Industri (HTI) maupun perkebunan sawit, serta pemukiman penduduk. Bagi organisasi konservasi seperti WWF, penangkapan adalah alternatif terakhir dalam pengurangan konflik antara manusia dan gajah. Kini, sebagai upaya pemecahan masalah konflik antara gajah dan manusia yang akhir-akhir ini marak terjadi di Provinsi Riau, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) bersama WWF-Indonesia akan segera memberlakukan usulan Protokol Mitigasi Konflik Gajah yang telah lama dipersiapkan di Riau.
MUHAMMAD AS
Kami tidak mengira, jika gajah ditangkap jadi begini, telantar dan kurus kering. Kasihan
sementarapada 2003 hanya tinggal sekitar 353-431 di 15 kantung. Data terakhir dihimpun WWF dan BKSDA Riau tahun 2004. Penangkapan gajah kerap kali dilakukan sebagai satu-satunya cara menangani konflik manusia dengan gajah ini. Sekitar 201 gajah ditangkap oleh pemerintah setempat. Penangkapan yang tidak profesional berulangkali menyebabkan kematian gajah. WWF Riau menyebut, 45 ekor gajah (22%) mati akibat penangkapan tersebut. Sekitar 102 ekor menghilang tanpa diketahui jejaknya setelah ditangkap. Ada kemungkinan bahwa gajah-gajah tersebut juga telah mati walaupun kematiannya tidak pernah
13
FOTO WARTA
20 HPH Menyerah
DUAPULUH Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menyerahkan izinnya kepada pemerintah. Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Hadi Susanto Pasaribu menjelaskan, pengembalian izin itu terjadi karena perusahaan tidak mampu mengamankan hutan yang mengalami penjarahan. Pemegang hak pengusahaan hutan juga mengalami konflik tata batas karena terjadinya tumpang-tindih lahan. Dan perusahaan terancam bangkrut, katanya Dari 20 perusahaan yang mengembalikan izin itu, tujuh perusahaan sudah dicabut tanpa syarat apa pun. Sedangkan tiga di antaranya sudah dicabut dengan syarat harus memenuhi terlebih dulu kewajiban mereka. Kewajiban itu antara lain penyelesaian tata batas dan pembayaran tunggakan dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan. Sisanya, sebanyak 10 perusahaan, masih memegang izin hak pengusahaan hutan. Saat ini tercatat 286 perusahaan memiliki hak pengusahaan hutan. Dari jumlah itu, 126 perusahaan di antaranya berstatus aktif, sedangkan 160 lainnya berstatus tidak aktif. Perusahaan yang mengembalikan izinnya kepada pemerintah ini termasuk dalam perusahaan yang berstatus tidak aktif. (KORAN TEMPO)
FOTO EIA/TELAPAK
0251-323090
DUNIA internasional diminta menolak kayu asal Indonesia meski kayu tersebut dilengkapi dokumen. Hal itu disampaikan Menteri Kehutanan MS Kaban di depan dua belas duta besar negara-negara sahabat dan 24 duta besar Indonesia untuk negara-negara sahabat. Kebijakan itu terkait dengan kebijakan Indonesia yang melarang ekspor kayu log dan gergajian. Artinya bila ada jenis kayu ini yang keluar dari
Indonesia, bisa dipastikan ilegal. Kaban bilang, pemerintah Indonesia mengaku sedang sangat serius memerangi illegal logging. Hanya, pemerintah menghadapi kesulitan karena sebagian cukong dan aktor intelektual pencurian kayu berada di luar negeri. Akibat praktek pencurian kayu ini, kerugian negara mencapai Rp 1 triliun setiap tahun atau Rp 83 miliar sehari.
(KORAN TEMPO)
14
SURAT
Kabar dari Bandung
Bingung..
cari bacaan kehutanan masyarakat?
Buat akang-akang di FKKM, kok gak ada kabar sama sekali ma kita-kita di Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). Apa kita beda aliran dalam rangka mencari solusi bagi hutan kita yang sekarat ini. Saya informasikan sedikit kegiatan kita saat ini, setelah sekian lama mengarap bagaimana memproteksi dan merehabilitasi hutan dengan kegiatan di hutan ternyata masyarakat masih belum beranjak dari tidurnya yang lelap untuk dapat mengerti dan memahami arti penting keberadaan hutan bagi kehidupan. Atas dasar hal tersebut kita berkegiatan agak turun sedikit ke kawasan pertanian yang ada disekitar hutan. Saat ini kita mengembangkan padi organik yang peningkatan produksinya mencapai 100-210% dan masyarakat senang apalagi petani. Petani yang bahagia ini kita jadikan prajurit yang militan untuk memproteksi hutan sekitar
daerahnya dengan alasan apabila hutan rusak suplay air ke lahan sawah mereka akan terganggu dan berakibat pada penurunan kualitas dan kuantitas padi yang saat ini prestasi petani antara 10,5-20 ton/ ha. Demikian sekilas berita dari Bandung, Semoga ke depan hubungan harmonis bisa terwujud demi hutan anak cucu kita di waktu yang ga tahu sampai kiamat datang. Haturnuhun. Dhanny Hatawinangun Bandung Terima kasih suratnya. Beberapa tahun ini kita akui sudah jarang bertemu dengan DPKLTS dimana anda salah satu penggiatnya. Yang kami ingat Anda dengan DPKLTS-nya adalah salah satu kelompok yang gigih berjuang untuk keselamatan hutan di Bandung, Beda aliran? Entahlah tapi yang jelas visi kita untuk mendorong kehutanan masyarakat tetap sama. Kalau beda cara boleh saja bukan? (red)
Forum K omunik asi K ehutanan Masy ar ak at Komunik omunikasi Kehutanan Masyar arak akat
(Indonesian Communication Forum on Community Forestry)
Berperan Bersama untuk Pengembangan Kehutanan Masyarakat dan Perbaikan Kebijakan Kehutanan di Indonesia PEMBANGUNAN kehutanan di Indonesia selama beberapa dekade Sebagai forum multipihak, FKKM membuka diri terhadap semua pihak terakhir, telah menghasilkan berbagai persoalan akut. Persoalan-persoalan untuk terlibat di dalamnya dalam memperkuat Kehutanan Masyarakat dan yang muncul ke permukaan, diantaranya adalah tingkat deforestasi (kerusakan Perbaikan Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia. hutan) yang sangat tinggi, dan marjinalisasi/dehumanisasi masyarakat lokal yang parah. Dua keadaan ini membawa akibat pada tidak adanya hubungan Visi FKKM: Cara pandang pengelolaan hutan oleh masyarakat, harus yang bagus antara pembangunan kehutanan di satu pihak, dengan berdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat, masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada SDH di pihak lain. melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, pertanggungjawaban, dan keberlanjutan aspek Sementara, pembangunan kehutanan adalah sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Melihat kondisi ini, perlu ada perubahan paradigma pembangunan Misi FKKM: Berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju cara kehutanan, dari stated based kepada community based, dan dari timber pandang kehutanan masyarakat di Indonesia. Mendukung prosesmanagement kepada forest resources management. Pilihan ini, akan proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui memberikan peluang bagi masyarakat lokal dalam mengakses sumberdaya penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas dan perumusan kebijakan. hutan untuk kehidupan mereka. Karena itulah, para pihak yang merasa terpanggil untuk merubah kondisi Sosok FKKM: Sebagai forum dialog dan belajar bersama antar pihak, ini mendeklarasikan sebuah forum multistakeholder pada 24 September tentang kehutanan masyarakat dan perbaikan kebijakan kehutanan di 1997, yang bernama Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Indonesia.
Pengurus FKKM
Koordinator DPN: Dr. Ir. Didik Suharjito, M.Sc(IPB); Anggota DPN: Ir. Haryadi Himawan, M.BA(Dept. Kehutanan), Ir. Sih Yuniati, MBA (NGO), Drs. Said Awad, M.H (Pemda), Bestari Raden (Masyarakat Adat), Ir. Nana Suparna (Pengusaha), Dr San Afri Awang (Pendiri, UGM), dan Ir. Arief Budimanta, M.Sc (Konsultan) FASILITATOR WILAYAH FKKM Syafrizaldi (Sumatra Barat), Maggara Silalahi (Riau), Wisma Wardana (Jambi); Hazairin (Lampung); Suraya Uang Kahathur (Jawa Barat); Fahrizal (Kalbar); Adri Ali Ayub (Kalteng), Humaidi (NTB); Harisetijono (NTT); M. Natsir Abbas (Sulteng); Ruslan (Sultra); Restu (Sulsel); Abdul Maat (Ketapang)
WARTA FKKMdan VOL. 9 NO. Sekretaris Eksekutif : Ir. Muayat Ali Muhshi; Staf Seknas: M. Abd. Syukur, Adie Usman Musa, Titik Wahyuningsih, Totok S.04, APRIL 2006 Alamat Seknas: Jl. Cisangkui Blok B VI No. 1 Bogor Baru, Bogor 16152 Telp./Fax. (0251) 323090, E-mail: seknas-fkkm@indo.net.id, muayat@indo.net.id
15
16