Berbagai Struktur Penguasaan, Aneka Ragam Perlawanan
Konflik yang terus berlangsung antaera rimbawan dan penduduk desa yang tidk mau mengerti arti dan fungsi hutan. Banyak akses yang tertutup atas penduduk yang memanfaatkan hutan sebagai lahan pertanian sehingga para rimbawan harus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hutan. Persaingan memperebutkan akses tanah dan pohon, dan penguasaan serta pengendalian atas akses, menandai hubungan antara jajaran pemanfaat hutan. Pergulatan antara dua unit (produksi dan konsumsi) yang saling bertolak-belakang, yakni rumah tangga berbasis hutan dan perusahaan kehutanan negara yang penuh kuasa adalah urusan politik kehutanan. Manakala kepentingan negara dan kepentingan petani berbenturan, sering ditemukan kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan hubungan kekuasaan yang ambivalen, rancu tentang akses dan kendali. Krisis hutan tropis sekarang ini bersumber pada kelembagaan yang tidak pas, khususnya lembaga-lembaga yang membawahi sistem akses dan penguasaan sumber daya. Kerusakan aneka sumber daya berbasis tanah adalah puncak interaksi rumit dan meluas antara berbagai kepentingan yang selalu bergeser. Pulau Jawa, kepadatan penduduknya yang tinggi dan struktur sosial pedesaanya yang terdiferensiasi memberikan latar yang menarik dan cocok untuk mengkaji dinamika hubungan pusat-pinggiran pada perpotongan antara kebijakan kehutanan dan pemanfaatan hutan. Hutan tropis alami sekarang sedang dialihkan menjadi perkebunan hutan monokultur menyusul episode eksploitasi hutan yang merusak oleh perusahaan asing maupun dalam negeri. Meletupnya konflik berbasis hutan di pulau-pulau luar Jawa juga disebabkan oleh ketidaksesuaian antara ilmu dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Benturan antara pandangan dunia dan fungsi material hutan yang saling bertentangan, dan menunjukkan bagaimana pandangan-pandangan kontradiktif tentang pemanfaatan hutan secara benar telah muncul kembali dalam berbagai gerakan protes kontemporer oleh petani berbasis hutan. Kebanyakan pengertian yang ada di Dunia Ketiga tentang konservasi dan pengelolaan hutan ilmiah berasal dari Barat, yang kondisi politis-ekonomis serta ekologisnya berbeda, dan masih terus mencerminkan tafsir Barat tentang produktivitas hutan dan konservasi sumberdaya oleh rimbawan profesional (Fernow 1911; Fortmann dan Fairfax 1985:2). Sebelum tahun 1787 dimana program pelatihan pertama bidang kehutanan didirikan, Hak dan akses atas sumberdaya tanah dan hutan sepenuhnya mendukung bangsawan feodal (feudal lords), para raja dan golongan gentry (berstatus sosial tinggi). Sebuah bentuk kesalahan dalam mencontoh sistem pengelolaan hutan terjadi ketika para rimbawan mempelajari ilmu kehutanan, belajar dari universitas yang berdiri pada saat itu, ketika pulang ke tanah air atau pergi ke koloni-koloni Eropa di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, mereka membawa falsafah dan metode pengelolaan hutan di bawah kendali negara atau pengelolaan hutan sentralisasi (Fernow 1911). Wawasan utilitaris (asas manfaat praktis) tentang hutan sebagai sumber pokok pemasukan pemerintah maupun pembenaran pemanfaatan demikian sebagai sarana memberikan kemasalahatan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang telah mendominasi politik kehutanan di banyak negara berkembang (Westoby 1987:69). Dalam kenyataan, mandat ini telah menjadi pembenaran bagi penguasaan mutlak negara atas basis sumberdaya hutan dan cara serta manfaat eksploitasinya. Akibat dari hasrat pemerintah kolonial atau pemerintah masa kini untuk menguasai tanah, hasil hutan yang tumbuh dan tenaga kerja yang ada untuk mengolahnya (Blaikie 1985). Secara keseluruhan, konteks ekologis dan historis yang sangat berbeda membuat adaptasi system pengelolaan hutan dari Eropa menjadi muskil. Ideology penguasaan konservasi oleh negara, yang berasal dari zaman colonial, masih tetap ada dan makin menguat sejak merebaknya keprihatinan dunia terhadap lingkungan pada tahun 1960an (Humprey dan Buttle 1982) dan penegasan kembali keprihatinan itu pada akhirnya 1980an dan 1990an. Memang badan-badan pemerintah mengaku memerhatikan perlunya memasukan penduduk asli dalam rancangan strategi pengelolaan sumberdaya. Akan tetapi ada banyak kebingungan tentang cara setepatnya melaksanakan hal itu sambil tetap memertahankan sasaran kerja yang mengurus hutan, yaitu menghasilkan surplus bagi negara. Secara keseluruhan, kemerosotan hutan dan kemiskinan pedesaan bukanlah keadaan yang berdiri sendiri dan bukan pula sesuatu yang bertahan karena dirinya sendiri. Kemerosotan mutu hutan dan kemiskinan masyarakat pedesaan adalah gejala kelangkaan sumberdaya, akibat perubahan agrarian, dan petunjuk tentang adanya konflik social yang luas dan rumit.