Anda di halaman 1dari 84

LAPORAN AKHIR

ANALISIS LANJUT DATA RISKESDAS 2007

ANALISIS POLA MAKAN DAN AKTIVITAS TERHADAP


SINDROMA METABOLIK PADA BERBAGAI TINGKAT
SOSIAL EKONOMI

Nurhaedar Jafar
Siswanti Lusiana

PROGRAM STUDI ILMU GIZI


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2008

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya, dan salawat dan salam atas junjungan Nabi Besar
Muhammad S.A.W, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir analisis lanjut data
Riskesdas 2007 ini.
Analisis ini, sebagai salah satu upaya pemanfaatan data yang terhimpun begitu
besar, yang oleh tim riskesdas tidak mungkin dilaporkan dalam waktu yang begitu singkat,
sehingga kami diberi kesempatan untuk ambil bagian untuk menganalisis lebih dalam pada
variabel-variabel yang lebih spesifik.
Topik ini kami angkat, oleh karena ketersediaan data yang memungkinkan dan
prevalensinya yang terus meningkat khususnya di negara-negara berkembang apakah
trendnya sama dengan Indonesia, walaupun yang kami analisis hanya untuk Jawa dan
Sulawesi. Diharapkan laporan ini dapat memberikan gambaran informasi mengenai
pengaruh perilaku pola makan, rokok, dan aktifitas fisik terhadap sindroma metabolik.
Kami menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif untuk
penyempurnaan laporan ini.
Perkenankan pada kesempatan ini kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah banyak membantu hingga laporan Analisis Pola Makan
Dan Aktivitas Terhadap Sindroma Metabolik Pada Berbagai Tingkat Sosial Ekonomi
terselesaikan.
Akhirnya kami berharap semoga laporan ini dapat menambah wawasan dan
pemahaman, serta memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Makassar, Desember 2008

Tim Penulis
RINGKASAN EKSEKUTIF

Analisis lanjut data Riskesdas ini merupakan salah satu bentuk pemanfaatan data yang
tersedia untuk menilai pengaruh perilaku berisiko terhadap kejadian sindroma metabolik.
Data yang dianalisis merupakan data untuk pulau Jawa dan Sulawesi.
Populasi yang digunakan adalah seluruh sampel biomedis Riskesdas 2007 pulau Jawa
dan Sulawesi sebesar 99.515, sedangkan jumlah sampel akhir yang dianalisis sebesar
3.478 sampel dengan mengikuti validitas data variabel glukosa darah 2 jam PP, tekanan
darah diastolik-sistolik, dan lingkar perut. Sebagian besar data yang terpilih berada di pulau
Jawa sebesar 85,6% atau sekitar 4 kali lipat dari Sulawesi.
Variabel yang dianalisis terdiri dari data karakteristik sampel, faktor perilaku antara
lain pola konsumsi, rokok dan aktivitas, dan komponen sindroma metabolik seperti lingkar
perut, tekanan darah dan glukosa darah 2 jam PP. 78,92% sampel adalah laki-laki dan
21,08% perempuan. Umur dikelompokkan menjadi 7 kelompok; 2,01% sampel berusia 1524 tahun, 16,88% pada 25-34 tahun, 26,80% pada 35-44 tahun, 24,5% pada 45-54 tahun,
16,76% pada 55-64 tahun, 9,52% pada 65-74 tahun dan 3,56% pada 75 tahun ke atas.
48,76% berpendidikan dasar ke bawah, 42,15% berpendidikan menengah dan sisanya 8,8%
berpendidikan tinggi. 1,06% sampel masih sekolah, 17,08% tidak bekerja, 18,89%
berpenghasilan tetap (pegawai), 28,19% merupakan petani/buruh/nelayan, dan yang
terbesar adalah mereka yang bekerja sebagai wiraswasta sebesar 29,05%. Status ekonomi
(SES) dinilai berdasarkan pengeluaran rata-rata per kapita per hari dengan
pengelompokkan quintil. 36,77% sampel berada pada SES rendah (quintil 1-2), 40,68%
sampel pada SES menengah, dan 22,54% sampel pada SES tinggi.
Prevalensi terbesar obesitas sentral di pulau Jawa adalah propinsi DKI Jakarta
(31,5%), angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan prevalensi obesitas sentral
tertinggi di pulau Sulawesi yang tempati oleh propinsi Gorontalo (32,1%). Propinsi ini juga
menempati urutan teratas untuk kejadian hipertensi dan DM di pulau Sulawesi masingmasing sebesar 52,8% dan 15,1%, sedangkan propinsi Jawa Tengah dan Banten masingmasing menempati urutan teratas kejadian hipertensi dan DM masing-masing sebesar 49,8
dan 9,8%. Sulawesi Barat berada dibawah angka nasional untuk hipertensi, sedangkan
Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi tenggara merupakan propinsi yang prevalensi
DMnya di bawah prevalensi nasional.
Kategori IMT yang digunakan berdasarkan kriteria WHO Asia Pasifik tahun 2000.
Prevalensi obese secara nasional hasil analisis Riskesdas 2007 adalah 19,1% (BB lebih (25<27) + obese (27)) artinya kriteria tersebut dapat dibandingkan dengan prevalensi obese I
dan obese II. Umumnya prevalensi obese di Jawa dan Sulawesi ini lebih tinggi jika
dibandingkan obesitas secara nasional. Ada 2 propinsi yang prevalensi obesitasnya di
bawah angka nasional yakni Banten dan Sulawesi Tengah. Dan yang tertinggi di pulau
Jawa adalah propinsi DKI Jakarta dan di pulau Sulawesi adalah Sulawesi Utara.
Ada kecenderungan prevalensi obese sentral, hipertensi dan DM meningkat seiring
bertambahnya umur hingga umur 65-74 tahun. Prevalensi obesitas sentral, hipertensi, dan
DM pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut tingkat pendidikan
prevalensi obesitas sentral cenderung meningkat dimulai dari mereka yang berpendidikan
tidak tamat SD ke atas, sedangkan untuk hipertensi dan DM berfluktuasi.
Tingkat pendidikan tidak sekolah menempati peringkat tertinggi prevalensi hipertensi
dan DM. Menurut jenis pekerjaan utama, prevalensi obesitas sentral tertinggi terdapat pada
4

kelompok pengurus rumah tangga, disusul kelompok yang tidak bekerja. Prevalensi
hipertensi paling tinggi ditemukan pada kelompok yang tidak memiliki pekerjaan, diikuti
kelompok pekerjaan lainnya dan tidak bekerja. Prevalensi DM paling banyak terdapat pada
kelompok pekerjaan lainnya diikuti kelompok pengurus rumah tangga (ibu rumah tangga)
dan tidak bekerja. Menurut tingkat ekonomi, prevalensi obesitas sentral, hipertensi dan DM
cenderung meningkat.
Penilaian sindroma metabolik didasarkan atas kriteria IDF Asia 2005. Sindroma
metabolik (SM) di Jawa dan Sulawesi adalah sebesar 13,8. Prevalensi tertinggi terdapat di
Provinsi DKI Jakarta (21,6%) yang kemudian secara berturut turut diikuti oleh DI
Yogyakarta (15,2%), dan Jawa Timur (14,5%) untuk pulau Jawa. Di Sulawesi prevalensi
SM tertinggi di provinsi Gorontalo (22,6%), kemudian diikuti oleh Sulawesi Selatan
(16,2%) dan SM tidak ditemukan pada propinsi Sulawesi Tengah.
Ada kecenderungan prevalensi sindroma metabolik meningkat dengan bertambahnya
umur hingga kelompok umur 65-74 tahun kemudian turun pada umur 75. Prevalensi
tertinggi pada kelompok umur 64-75 tahun. Menurut jenis kelamin prevalensi sindroma
metabolik dijumpai lebih tinggi pada perempuan (29,7%). Menurut tingkat pendidikan,
prevalensi sindroma metabolik meningkat seiring meningkatnya status pendidikan mulai
dari tidak tamat SD, namun pada mereka yang tidak pernah sekolah prevalensinya
mencapai (15,0%). Menurut jenis pekerjaan utama, prevalensi sindroma metabolik tertinggi
terdapat pada kelompok ibu rumah tangga (34,5%), disusul kelompok bekerja lainnnya dan
tidak bekerja. Ada kecendrungan prevalensi sindroma metabolik meningkat seiring
meningkatnya status ekonomi.
Penduduk umur 15 tahun ke atas di Jawa dan Sulawesi yang cukup konsumsi buah
dan sayur sebesar 1,6%. Konsumsi buah dan sayur paling rendah terdapat di Sulawesi
Barat dan Banten, masing-masing tidak ada yang cukup mengkonsumsi buah dan sayur.
Kecukupan konsumsi buah dan sayur di Jawa dan Sulawesi masih lebih rendah yakni 1,6%
dibandingkan angka nasional yang mencapai 6,4%. Kecukupan konsumsi buah dan sayur
yang tertinggi pada propinsi Sulawesi Tengah (4,0%) dan Sulawesi tenggara (3,3%).
Kelompok umur yang paling kurang konsumsi buah dan sayur adalah 75 tahun ke
atas (100,0%). Tidak ada perbedaan kecukupan konsumsi buah dan sayur antara laki-laki
(1,6%) dan perempuan (1,5%). Sementara berdasarkan pendidikan, semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin baik konsumsi buah dan sayur. Menurut kelompok pekerjaan,
konsumsi buah dan sayur yang paling kurang pada kelompok tidak bekerja (0,6%) dan
yang tertinggi adalah yang bekerja sebagai pegawai (3,2%). Berdasarkan tingkat
pengeluaran per kapita (status ekonomi), kecukupan konsumsi buah dan sayur semakin
tinggi menurut tingkat pengeluaran per kapita perbulan.
Konsumsi makanan manis asin, berlemak dan jeroan dengan frekuensi berisiko
(setiap hari atau lebih) di Jawa dan Sulawesi berturut-turut adalah 67,1%, 68,4%, 19,6%
dan 1,6%. Hampir tidak ada perbedaan konsumsi makanan manis dan asin pada kelompok
umur. Kelompok umur 15-24 tahun merupakan kelompok yang paling rendah frekuensi
konsumsi makanan asin tiap hari (21,4%) dan 65-75 tahun terendah konsumsi makanan
manis tiap hari (62,5%). Sedangkan konsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung
menurun seiring dengan bertambahnya umur. Tidak terlihat adanya perbedaan konsumsi
makanan manis, asin, berlemak dan jeroan pada laki-laki dan perempuan, hanya saja laki-

laki lebih tinggi frekuensinya. Konsumsi makanan asin, manis, berlemak dan jeroan yang
tertinggi pada tingkat pendidikan berturut-turut adalah tamat SD (33,4%), Tamat
perguruan tinggi (73,9%), tamat SMP (21,7%) dan Tamat SMA (2,3%). Konsumsi
makanan asin, manis, berlemak dan jeroan yang tertinggi menurut kelompok pekerjaan
utama berturut-turut adalah petani/nelayan/buruh (33,1%), pegawai (71,2%), wiraswasta
(22,2) dan ibu rumah tangga (2,5%). Konsumsi makanan manis dan jeroan meningkat
seiring menigkatnya pengeluaran RT, sedangkan konsumsi makanan asin menurun.
Konsumsi makanan berlemak tertinggi pada kelompok dengan status ekonomi menengah
(20,6%).
Lebih dari separuh penduduk (59,4%) di Jawa dan Sulawesi cukup melakukan
aktifitas fisik, secara nasional rata-rata cukup aktivitas fisik mencapai 51,8%. Cukup
aktifitas fisik paling tinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara (77,3%) dan Provinsi
Gorontalo (73,6%). Prevalensi cukup aktifitas fisik di bawah rata-rata Jawa Sulawesi
terdapat di Banten (48,3%), DKI Jakarta (48,8%), Sulawesi Tenggara (55,4%), DI
Yogyakarta (55,8), Sulawesi Selatan (56,6%) dan Jawa Barat (57,9%). Menurut kelompok
umur, kurang aktifitas fisik paling tinggi terdapat pada kelompok 75 tahun ke atas (70,2%)
dan umur 65-74 tahun (66,9%), dan perempuan (61,3%) lebih tinggi dibanding laki-laki
(35,1%). Berdasarkan tingkat pendidikan, prevalensi kurang aktifitas fisik tertinggi terdapat
pada kelompok tidak sekolah (55,0%), kemudian tamat perguruan tinggi (54,6%).
Berdasarkan pekerjaan utama, prevalensi kurang aktivitas tertinggi terdapat kelompok
pekerjaan tidak bekerja (71,2%) kemudian ibu rumah tangga (67,3%) dan semakin tinggi
tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas
fisik.
Persentase penduduk umur 15 tahun ke atas di Jawa dan Sulawesi yang merokok tiap
hari 44,1%. Persentase tertinggi ditemukan di Provinsi Gorontalo (54,7%), diikuti dengan
Jawa Barat (53,2%) dan Sulawesi Tengah (52,0%). Sedangkan persentase terendah
dijumpai di Provinsi Sulawesi Tenggara (33,7%). Lebih dari separuh (54,7%) penduduk
laki-laki umur 15 tahun ke atas merupakan perokok tiap hari. Menurut pendidikan, proporsi
tertinggi dijumpai pada penduduk tidak tamat SD (50,1%). Menurut pekerjaan utama,
proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk petani/nelayan/buruh (60,2%) disusul penduduk
yang wiraswasta/jasa (47,1%). Semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan,
semakin sedikit penduduk yang merokok setiap hari.
Perokok saat ini adalah perokok setiap hari dan perokok kadang-kadang. Berdasarkan
data analisis Jawa dan Sulawesi rerata prevalensi perokok saat ini mencapai 52,4% dengan
rerata jumlah batang rokok yang hisap 10 batang per hari. Rata-rata umur mulai merokok
setiap hari di Jawa dan Sulawesi adalah 19,4 tahun. Umur mulai merokok setiap hari
cenderung meningkat pada kelompok umur, atau semakin muda usia perokok semakin
cepat mulai merokok setiap hari. Rata-rata laki-laki mulai merokok setiap hari umur 19
tahun, sedangkan perempuan 30 tahun. Tidak ada perbedaan umur mulai merokok setiap
hari dengan tingkat pendidikan dan tingkat pengeluaran rata-rata per kapita per hari. Anak
sekolah merupakan perokok yang paling cepat merokok setiap hari, sedangkan ibu rumah
tangga mulai merokok umur 30 tahun.
Rerata batang rokok yang dihisap per hari cenderung menurun seiring bertambahnya
umur. Laki-laki merokok rata-rata lebih banyak dibanding perempuan, tetapi tidak ada
perbedaan rata-rata jumlah batang rokok yang diisap menurut tingkat pendidikan. Anak
6

sekolah rata-rata lebih banyak mengkonsumsi rokok (12 batang/hari), dan ibu rumah
tangga yang paling sedikit konsumsi rokok rata-rata per hari (5 batang).
Ada kecendrungan meningkat kebiasaan perokok merokok dalam rumah ketika ada
ART lain menurut kelompok umur hingga 55-64 tahun setelahnya itu menurun. Laki-laki
lebih banyak merokok dalam rumah ketika ada ART lain di banding perempuan. Kebiasaan
merokok dalam rumah ketika ada ART ada kecendrungan menurun menurut tingkat
pendidikan, atau semakin tinggi tingkat pendidikan semakin berkurang kebiasaan merokok
dalam rumah ketika ada ART lain. Hampir tidak ada perbedaan kebiasaan merokok dalam
rumah ketika ada ART lain menurut kelompok pekerjaan dan tingkat pengeluaran per
kapita per hari responden.
Hasil analisis bivariat antara obesitas sentral dengan faktor perilaku berisiko adalah
pada tingkat ekonomi rendah yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap
obesitas sentral adalah konsumsi makanan asin (OR=0,663;CI(95%)= 0,437-0,918),
aktifitas fisik (OR=2,081;CI(95%)=1,524-2,840) dan merokok (OR=0,250 dan CI
(95%)=0,173-0,361). Pada tingkat ekonomi menengah, terdapat pengaruh bermakna
terhadap obesitas sentral adalah konsumsi buah dan sayur (OR=0,350;CI (95%)=0,1230,992), konsumsi makanan berlemak (OR=1,393 & CI(95%)=1,006-1,930), aktivitas fisik
(OR=1,469 & CI(95%)=1,125-1,918) dan merokok (OR=0,312& CI(95%)=0,232-0,419).
Pada tingkat ekonomi tinggi, yang mempunyai pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap
obesitas sentral adalah konsumsi makanan manis (OR=0,669 & CI(95%)=0,471-0,950) dan
merokok (OR=0,367 & CI(95%)=0,250-0,540).
Hasil analisis regresi logistik multivariat multinomial, pada SES rendah, semua
variabel yang memenuhi syarat memiliki pengaruh terhadap kejadian obesitas sentral.
Kurang aktivitas fisik memiliki pengaruh paling kuat dengan nilai OR=2,032 dibanding
dengan konsumsi makanan asin setiap hari (OR=0,689) dan merokok setiap hari
(OR=0,248). Pada SES menengah, ada 3 variabel yang memiliki pengaruh (p < 0,05)
terhadap kejadian obesitas sentral yaitu, kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi buah dan
sayur dan merokok setiap hari. Kurang aktivitas fisik memiliki pengaruh paling kuat
dengan nilai OR=1,461 dibanding dengan kurang konsumsi buah dan sayur (OR=0,348)
dan merokok setiap hari (OR=0,311). Pada SES tinggi, ada 2 variabel yang memiliki
pengaruh (p < 0,05) terhadap kejadian obesitas sentral yaitu, konsumsi makanan manis
tiap hari dan merokok setiap hari. Konsumsi makanan manis tiap hari memiliki pengaruh
paling kuat dengan nilai OR= 0,678 dibanding dengan merokok setiap hari (OR=0,371).
Hasil analisis bivariat antara hipertensi dengan faktor perilaku berisiko adalah pada
SES rendah konsumsi jeroan mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap
hipertensi dengan OR=0,186;CI (95%)=0,041-0,841, aktivitas fisik dengan OR=1,664;
CI(95%)=1,299-2,081, dan merokok dengan OR=0,664;CI(95%)=0,528-0,835. Pada SES
menengah, variabel yang memiliki pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap kejadian
hipertensi hanya merokok dengan nilai OR= 0,537;CI(95%)=0,4320,668, lebih rendah
dibanding pada SES rendah. Pada SES tinggi, variabel yang memiliki pengaruh bermakna
(p<0,05) terhadap hipertensi adalah konsumsi buah & sayur dengan nilai
OR=0,450;CI(95%)=0,208-0,973, dan merokok dengan nilai OR=0,598 CI(95%)=0,4400,812.

Hasil analisis regresi logistik multivariat multinomial pada SES rendah, ternyata ada
3 variabel yang mempunyai pengaruh terhadap risiko terjadinya hipertensi yaitu perilaku
merokok tiap hari dengan OR=0,663(0,527-0,834); kurang aktivitas fisik dengan nilai
OR=1,646(1,303-2,083) dan konsumsi jeroan setiap hari dengan OR= 0,173(0,0390,774). Variabel lain yang memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap terjadinya
hipertensi adalah kurang konsumsi buah & sayur dengan OR=4,286(0,492-37,327), walau
nilai kemaknaan untuk konsumsi buah dan sayur di atas 0,05. Pada SES menengah,
ternyata hanya perilaku merokok tiap hari yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05)
untuk terjadinya
hipertensi dengan OR=0,540(0,232-0,418). Analisis ini juga
menunjukkan bahwa konsumsi buah & sayur yang kurang memiliki risiko yang kuat untuk
hipertensi dengan OR=1,990(0,679-5,830), walau nilai kemaknaannya di atas 0,05. Pada
SES tinggi, ternyata perilaku merokok tiap hari dan kurang konsumsi buah dan sayur
mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian hipertensi dengan
OR=0,608(0,453-0,816) untuk merokok dan OR=0,442(205-0,953) untuk konsumsi buah
dan sayur.
Hasil analisis bivariat antara DM dengan faktor perilaku berisiko adalah terdapat
pengaruh bermakna (p < 0,05) hanya variabel aktivitas dengan OR=1,664(1,210-3,327)
terhadap DM pada SES rendah. Pada SES menengah, terdapat pengaruh bermakna
(p<0,05) variabel kurang aktivitas fisik, merokok terhadap DM. Nilai OR aktivitas fisik
dan merokok masing-masing secara berurutan adalah 1,653(1,087-2,514) dan 0,452(0,2830,722). Pada SES tinggi, hanya variabel merokok yang mempunyai pengaruh yang
bermakna (p<0,05) terhadap terjadinya DM dengan nilai OR=0,598(0,325-0,994)
Hasil analisis regresi logistik multivariat multinomial menunjukkan bahwa kurang
aktivitas fisik pada SES rendah mempunyai pengaruh yang kuat (p < 0,05) untuk terjadinya
DM dengan OR 2,019(1,219-3,345). Pada SES menengah, kurang aktivitas fisik dan
merokok setiap hari mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian DM.
Variabel kurang aktivitas fisik memiliki risiko yang paling kuat untuk kejadian DM dengan
OR 1,684(1,110-2,556), selanjutnya merokok dengan OR=0,447(0,280-0,712). Pada SES
tinggi, konsumsi makanan manis setiap hari dan merokok setiap hari pada tingkat
ekonomi tinggi mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian DM dengan
OR masing-masing 0,608(0,377-0,982) dan 0,561(0,322-0,980). Kurang aktivitas fisik
memiliki pengaruh yang kuat untuk terjadinya DM dengan nilai OR=1,561(0,985-2,633),
walaupun nilai kemaknaannya sedikit di atas 0,05.
Hasil analisis bivariat antara SM dengan faktor perilaku berisiko adalah bahwa,
terdapat pengaruh bermakna (p < 0,05) variabel aktivitas dan merokok terhadap SM pada
tingkat SES rendah dengan nilai OR masing-masing 2,471(1,722-3,547) dan 0,205(0,1290,326). Demikian halnya pada SES menengah, aktivitas fisik dan merokok berpengaruh
bermakna (p<0,05) terhadap sindroma metabolik dengan nilai OR masing-masing
1,767(1,313-2,378) dan 0,304(0,215-0,429). Pada SES tinggi, selain aktivitas dan
merokok, konsumsi buah-sayur, makanan manis dan asin juga berpengaruh (p<0,05)
terhadap SM dengan nilai OR masing-masing 1,459(1,011-2,105), 0,331(0,226-0,543),
0,460(0,213-0,994), 0,503(0,346-0,732) dan 0,579(0,366-0,916).
Hasil analisis regresi logistik multivariat multinomial memperlihatkan bahwa
merokok setiap hari pada SES rendah mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) untuk
terjadinya SM dengan OR=0,143(1,219-3,345). Kurang aktivitas fisik pada SES rendah
8

mempunyai pengaruh bermakna (p<0,05) dan memberi pengaruh yang kuat dengan OR
1,988 (1,219-3,345). Pada SES menengah, kurang aktivitas fisik dan merokok setiap hari
mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian SM. Variabel kurang
aktivitas fisik memiliki risiko yang paling kuat untuk kejadian SM dengan OR
1,479(1,091-2,007), selanjutnya merokok dengan OR=0,327(0,230-0,465). Merokok setiap
hari dan konsumsi makanan manis setiap hari pada tingkat ekonomi tinggi mempunyai
pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian SM dengan OR masing-masing
0,393(0,250-0,619) dan 0,556(0,383-0,838). Kedua variabel tersebut bukan sebagai faktor
risiko terhadap kejadian sindroma metabolik dan tidak ada variabel yang memberi
pengaruh kuat terhadap sindroma metabolik.
Dari uraian di atas, maka kami merekomendasikan sebagai berikut:
1. Perlunya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai pengaruh
merokok (jumlah batang rokok yang diisap per hari, lama merokok, antara perokok
aktif dan perokok pasif, antara perokok aktif, bekas perokok dan tidak pernah
merokok) terhadap sindroma metabolik, karena sebagaimana telah dipaparkan pada
hasil analisis ini, bahwa merokok setiap hari bukan sebagai faktor resiko.
2. Perlu adanya perincian jenis makanan pada makanan manis, makanan asin, dan
makanan berlemak supaya pengruhnya terhadap sindroma metabolik dapat
dijelaskan lebih mendalam.
3. Perlu penelitian lebih jauh tentang perubahan perilaku konsumsi dan aktivitas fisik
dari SES rendah ke SES tinggi daerah perkotaan di kota-kota besar yang memiliki
angka urbanisasi yang tinggi.
4. Perlunya pemasyakatan (gerakan) konsumsi sayur dan buah (terutama sayur & buah
lokal) dan aktivitas fisik hingga ke lapisan masyakat terbawah (terutama ibu rumah
tangga/perempuan) dan edukasi mengenai pola konsumsi terutama makanan yang
berisiko terhadap sindroma metabolik, PJK dan kanker.

Analisis Pola Makan Dan Aktivitas Terhadap Sindroma Metabolik


Pada Berbagai Tingkat Sosial Ekonomi
Nurhaedar Jafar, Siswanti Lusiana
Abstrak

Latar Belakang: Obesitas sebagai titik sentral dari resistensi insulin dan sindroma
metabolik lebih banyak disebabkan oleh faktor perilaku (pola makan, rokok dan aktivitas
fisik) dan faktor sosial ekonomi. Seiring dengan perubahan gaya hidup di berbagai wilayah
di Indonesia dan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi obesitas, dislipidemia,
tekanan darah, dan glukosa darah di masyarakat, maka prevalensi kejadian sindroma
metabolik juga meningkat. Analisis ini bertujuan untuk menilai pengaruh, pola makan,
rokok dan aktivitas terhadap sindroma metabolik pada berbagai tingkat sosial ekonomi.
Metode: Analisis ini menggunakan data biomedis Riskesdas 2007 pulau Jawa dan
Sulawesi. Data yang diterima direcleaning hingga diperoleh sampel akhir sebesar 3.478
responden. Analisis data menggunakan uji univariat untuk melihat gambaran seluruh
variabel; uji regresi logistik bivariat untuk menilai adanya pengaruh dan faktor risiko antara
variabel perilaku dengan sindroma metabolik; dan uji regresi logistik multivariat
multinomial untuk melihat faktor determinan proksi variabel perilaku (nilai p <0,25 pada
uji bivariat) terhadap sindroma metabolik pada masing-masing tingkat sosial ekonomi.
Hasil: Pada analisis ini, prevalensi obesitas sentral mencapai 20,8%; hipertensi
45,4%, DM 7,1% dan sindroma metabolik mencapai 13,8%. Prevalensi obesitas sentral,
hipertensi, DM dan sindroma metabolik meningkat seiring dengan meningkatnya SES.
Kurang aktivitas fisik memberi pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap SM pada SES
rendah dan menengah. Berdasarkan besar risikonya pengaruhnya menurun dari SES
rendah ke SES tinggi dengan nilai OR pada masing-masing SES berturut-turut adalah
1,993(1,375-2,888), 1,479(1,091-2,007) dan 1,161 (0,790-1,707). Merokok setiap hari
berpengaruh bermakna terhadap SM pada semua SES. Tetapi, merokok setiap hari bukan
merupakan faktor risiko terhadap SM dengan nilai OR masing-masing 0,232(0,145-0,372),
0,327(0,230-0,465) dan 0,393(0,250-0,619). Konsumsi makanan manis setiap hari
memiliki pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap SM pada SES tinggi dengan OR sebesar
0,566(0,383 0,838).
Kesimpulan : Perilaku aktifitas fisik yang menjadi faktor risiko yang paling kuat
terhadap SM. Perilaku Merokok setiap hari dan pola konsumsi yang kurang baik bukan
merupakan faktor risiko terhadap SM.
Kata Kunci: Sindroma metabolik, obesitas sentral, hipertensi, diabetes melitus, pola
konsumsi, aktivitas fisik, merokok, tingkat sosial ekonomi.

DAFTAR ANGGOTA TIM PENELITI

10

Konsultan
Prof.Dr.Veni Hadju, MSc.,PhD

Peneliti Utama
Dra.Nurhaedar Jafar, Apt.,M.Kes
Anggota Peneliti
Siswanti Lusiana, Amd
dr. Devintha Virani
Staf Administrasi
Syamsiah, SE

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................
i

11

SURAT KEPUTUSAN PENELITIAN ..........................................................................


ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................

iii

RINGKASAN EKSEKUTIF ..........................................................................................


iv
ABSTRAK ......................................................................................................................
x
DAFTAR ANGGOTA TIM PENELITI .........................................................................
xi
DAFTAR ISI ...................................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................................

xiv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................

xvi

I.

PENDAHULUAN .................................................................................................

1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................................
3
II.

TUJUAN ................................................................................................................

4
2.1. Tujuan Umum .................................................................................................
4
2.2. Tujuan Khusus ................................................................................................
4
III.

METODE PENELITIAN .......................................................................................

5
3.1. Kerangka Konsep.............................................................................................
5
3.2. Alur Analisis ...................................................................................................
5
12

3.3. Kriteria Objektif ..............................................................................................


6
3.4. Populasi dan Sampel .......................................................................................
10
3.5. Tahap Analisis Data ........................................................................................
13
IV. HASIL ANALISIS ................................................................................................
15
4.1. Karakteristik parameter penilai sindroma metabolik ......................................
15
4.2. Karakteristik sindroma metabolik ...................................................................
18
4.3. Karakteristik faktor risiko perilaku .................................................................
20
4.4. Analisis perilaku berisiko terhadap kondisi fisiologi sindroma metabolik .....
28
V.

PEMBAHASAN ....................................................................................................

45
5.1. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Obesitas ..............................................
46
5.2. Analisis pengaruh Perilaku Terhadap Tekanan Darah ....................................
49
5.3. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Glukosa Darah ....................................
51
5.4. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Sindroma Metabolik ...........................
54
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................
57
6.1. Kesimpulan .....................................................................................................
57

13

6.2. Saran ...............................................................................................................


58
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
60

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.
11

Jumlah Populasi Sampel menurut Pulau dan Propinsi ...............................

Tabel 3.2.
11

Jumlah Sampel dan Rentang Nilai Berdasarkan Variabel Dependen ........

Tabel 3.3.

Gambaran Karakteristik Responden Menurut Kelompok Umur, Jenis


Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan dan Status Ekonomi ...............................
12
14

Tabel 3.4.

Jumlah Sampel Proses Recleaning Data ....................................................


13

Tabel 3.5.

Klasifikasi variabel dependen dan variabel independen (perilaku) ...........


14

Tabel 4.1.

Distribusi Faktor Prediktor (Lingkar Perut, Tekanan Darah, dan Glukosa


Darah) Menurut Propinsi di Pulau Jawa dan Sulawesi ..............................
15
Distribusi IMT Menurut Propinsi di Pulau Jawa dan Sulawesi .................
16

Tabel 4.2.
Tabel 4.3.

Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.

Tabel 4.7.

Distribusi Parameter Penilai Sindroma Metabolik (Lingkar Perut,


Tekanan Darah, dan Glukosa Darah) Menurut Karakteristik Sosial
Ekonomi di Jawa dan Sulawesi .................................................................
17
Prevalensi Sindroma Metabolik Menurut Propinsi di Jawa dan Sulawesi.
18
Distribusi Sindroma Metabolik Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi
di Jawa dan Sulawesi ................................................................................
19
Distribusi Pola Konsumsi Buah dan Sayur Menurut Kriteria WHO dan
Frekuensi Konsumsi Berisiko ( setiap hari) Makanan Asin, Manis,
Jeroan dan Berlemak Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi di Jawa
dan Sulawesi ..............................................................................................
21
Distribusi Penduduk 15 tahun Ke Atas yang Melakukan Aktivitas Fisik
Berat, Sedang, Bersepeda/Jalan Kaki dan yang Cukup melakukan
Aktivitas Karakteristik Sosial Ekonomi di Jawa dan Sulawesi .................
24

Tabel 4.8.

Distribusi Perilaku Merokok Penduduk 15 Tahun Ke atas Menurut


Karakteristik Sosial Ekonomi di Jawa dan Sulawesi .................................
26
Tabel 4.9. Prevalensi Obesotas Sentral Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan
Perilaku Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat Ekonomi
di Jawa dan Sulawesi ................................................................................
28
Tabel 4.10. Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Obesitas Sentral dengan
Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah, Menengah dan Tinggi
di Jawa dan Sulawesi ................................................................................
30
Tabel 4.11. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada
Tingkat Ekonomi Rendah di Jawa dan Sulawesi ......................................
31

15

Tabel 4.12. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada
Tingkat Ekonomi Menengah di Jawa dan Sulawesi ..................................
31
Tabel 4.13. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada
Tingkat Ekonomi Tinggi di Jawa dan Sulawesi .......................................
32
Tabel 4.14. Prevalensi Hipertensi Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Perilaku
Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat Ekonomi di
Jawa & Sulawesi ........................................................................................
33
Tabel 4.15. Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Hipertensi dengan Perilaku
Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah, Menengah dan Tinggi di Jawa
dan Sulawesi .............................................................................................
35
Tabel 4.16. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi pada Tingkat
Ekonomi Rendah di Jawa dan Sulawesi ....................................................
36
Tabel 4.17. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi pada Tingkat
Ekonomi Menengah di Jawa dan Sulawesi ................................................
36
Tabel 4.18. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi pada Tingkat
Ekonomi Tinggi di Jawa dan Sulawesi ......................................................
36
Tabel 4.19. Prevalensi Diabetes Melitus Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan
Perilaku Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat
Ekonomi di Jawa dan Sulawesi ..................................................................
37
Tabel 4.20. Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Diabetes Melitus dengan
Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah, Menengah dan
Tinggi di Jawa dan Sulawesi .....................................................................
38
Tabel 4.21. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Melitus pada
Tingkat Ekonomi Rendah di Jawa dan Sulawesi .....................................
40
Tabel 4.22. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Melitus pada
Tingkat Ekonomi Menengah di Jawa dan Sulawesi .................................
40
Tabel 4.23. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Melitus pada
Tingkat Ekonomi Tinggi di Jawa dan Sulawesi .......................................
40
Tabel 4.24. Prevalensi Sindroma Metabolik Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan
Perilaku Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat Ekonomi
di Jawa dan Sulawesi ................................................................................
41
Tabel 4.25. Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Sindroma Metabolik dengan
Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah, Menengah dan Tinggi
16

di Jawa dan Sulawesi ................................................................................


42
Tabel 4.26. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Sindroma Metabolik pada
Tingkat Ekonomi Rendah di Jawa dan Sulawesi ......................................
43
Tabel 4.27. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Sindroma Metabolik pada
Tingkat Ekonomi Menengah di Jawa dan Sulawesi ..................................
44
Tabel 4.28. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Sindroma Metabolik pada
Tingkat Ekonomi Tinggi di Jawa dan Sulawesi .......................................
44

DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Presentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Cukup Mengkonsumsi
Kombinasi Sayur dan Buah di Jawa dan Sulawesi ....................................
20
Gambar 4.2. Presentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Cukup Melakukan
Aktivitas di Jawa dan Sulawesi .................................................................
23
Gambar 4.3. Presentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Memiliki Perilaku
Merokok Berisiko Tinggi (setiap Hari) di Jawa dan Sulawesi ..................
25

ANALISIS POLA MAKAN DAN AKTIVITAS TERHADAP SINDROMA


METABOLIK PADA BERBAGAI TINGKAT SOSIAL EKONOMI

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
17

Sindroma Metabolik (SM) merupakan kelainan metabolik kompleks yang


dihasilkan dari peningkatan obesitas1. Meskipun SM memiliki berbagai definisi yang
berbeda, pada akhirnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenali sedini mungkin gejala
gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa komplikasi2.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1995, prevalensi Penyakit
Jantung Koroner (PJK) adalah 1,8% dan hipertensi 8,2%. Di tahun 2001, prevalensi PJK
meningkat menjadi 4,3% dan hipertensi bertambah menjadi 28%. Survei nasional
1996/1997 di ibukota seluruh Propinsi Indonesia menunjukkan penduduk laki-laki dewasa
yang mengalami overweight dan obesitas adalah sebesar 14,9%, penduduk wanita dewasa
yang mengalami overweight dan obesitas adalah sebesar 24%3.
Obesitas tidak menyebabkan kematian secara langsung tetapi menyebabkan
masalah kesehatan yang serius karena dapat memacu kelainan kardiovaskuler, ginjal,
metabolik, protrombik dan respon inflamasi1,2,4.
Obesitas sangat erat kaitannya dengan SM, sebab seseorang dikatakan menderita
SM bila ada obesitas sentral (lingkar perut > 90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut > 80
cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida > 150 mg/dL (1,7
mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40
mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan < 50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang
dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan darah: sistolik > 140
mmHg atau diastolik > 90 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4) Gula darah
puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6mmol/L), atau diabetes tipe 25.
Di negara maju, obesitas telah menjadi epidemi dengan memberikan kontribusi
sebesar 35% terhadap angka kesakitan dan memberikan kontribusi sebesar 15-20%
terhadap kematian. Obesitas tidak menyebabkan kematian secara langsung tetapi
menyebabkan

masalah

kesehatan

yang

serius

karena

dapat

memacu

kelainan

kardiovaskuler, ginjal, metabolik, protrombik dan respon inflamasi1,2,4. Kontribusi obesitas


pada diabetes tipe 2 adalah 57%,

penyakit jantung koroner sebesar 17%, hipertensi

sebanyak 17%, penyakit kantong empedu prevalensinya 30%, terhadap kejadian


osteoatritis 14%, dan pada penyakit kanker payudara, kanker rahim dan kanker kolon
masing-masing sebesar 11%6.

18

Selama ini faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab sindroma metabolic


terkait dengan obesitas, antara lain, pola makan, kurang olahraga, kelainan metabolisme,
mekanisme neuroendokrin, psikologi, obat-obatan, faktor sosial ekonomi dan gaya hidup
serta faktor genetika1,2,4.
SM terkait dengan prevalensi penyakit degeneratif, maka faktor sosial ekonomi
(sosek) adalah hal yang perlu untuk diperhatikan. Faktor tersebut berkaitan dengan
Hipotesis Barker. Hipotesis ini menyebutkan bahwa anak yang kekurangan gizi saat lahir
atau semasa bayi mempunyai risiko yang tinggi untuk menderita PJK atau Non-insulin
Dependen Diabetes Mellitus pada saat dewasa7.
Sosek menjadi faktor risiko yang berperanan penting pada perkembangan kejadian
obesitas sebagai prediktor utama kejadian SM. Penelitian Sobal dan Stnkarrd

1989,

menyimpulkan bahwa di negara maju, kelompok wanita pada SES rendah memiliki
prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita pada SES
tinggi8. Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, kejadian obesitas justru lebih sering
terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan, artinya kejadian
obesitas lebih sering terjadi pada golongan sosial ekonomi tinggi9.
Demikian pula dengan PJK, di negara-negara maju cenderung diderita oleh
masyarakat dengan sosek rendah. Berdasarkan, Population Attributable Fractions (PAF),
pada tahun 1991-1995 di Australia 2-41% resiko PJK dialami oleh populasi SES rendah 10.
Prevalensi PJK pada tahun 2004 di Inggris juga lebih tinggi pada golongan sosek rendah 11.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak terhadap perubahan gaya hidup.
Kehidupan modern yang difasilitasi dengan berbagai kenyamanan dan kemudahan,
menyebabkan masyarakat kurang melakukan aktifitas fisik. Padahal, aktifitas fisik
mempunyai peranan penting dalam mencegah berbagai penyakit tidak menular. Risiko
terjadinya kegemukan dapat diturunkan dengan melakukan aktifitas fisik yang teratur12.
Berdasarkan Susenas 2004,

penduduk umur 15 tahun ke atas 85% kurang

beraktivitas fisik dan hanya 6% penduduk yang cukup beraktivitas fisik. Penduduk wanita
yang kurang beraktivitas fisik 87%, lebih tinggi daripada penduduk laki-laki. Sedangkan
penduduk di perkotaan yang kurang beraktifitas fisik adalah sebanyak 83%, lebih tinggi
daripada penduduk di pedesaan13.

19

Selain faktor yang telah disebutkan diatas, pola makan ditengarai pula sebagai
penyebab obesitas. Manusia modern cenderung sibuk dengan berbagai aktifitas
kehidupannya hingga tak sempat lagi mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
Makanan instan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang terpapar dengan
kehidupan modern. Makanan tersebut tidak mengandung komposisi zat gizi sebagaimana
yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant sangat miskin serat.
Padahal, serat berfungsi untuk memperlambat pencernaan, mengenyangkan perut dan
memperlambat rasa lapar. Hal tersebut dapat mengurangi frekuensi makan, sehingga
bermanfaat terhadap pengontrolan berat badan yang mencegah kejadian obesitas sebagai
prediktor utama kejadian SM12.
Faktor psikologi dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena adanya emosional
yang tidak stabil (unstabil emotional). Hal tersebut menyebabkan individu cenderung untuk
melakukan pelarian diri (self mechanism defence). Bentuk pelarian diri bisa berupa
mengkonsumsi makanan yang mengandung kalori dan kolesterol tinggi dalam jumlah yang
berlebihan14.
Berdasarkan hasil penelitian HL. Bloom, di Amerika Serikat, disimpulkan bahwa
lingkungan (sosek, emosi, umur, sex) mempunyai andil yang paling besar terhadap status
kesehatan, berturut-turut disusul oleh perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan,
sedangkan menurut Adler dan Newman penyebab penyakit 50% adalah faktor lingkungan
dan gaya hidup. Belum ada penelitian tentang bagaimana proporsi pengaruh faktor-faktor
tersebut terhadap status kesehatan di negara-negara berkembang, terutama di Indonesia.
Menurut L. Bloom derajat kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, sedangkan menurut Adler, status kesehatan sangat dipengaruhi oleh gaya
hidup (pola konsumsi, rokok, dan aktivitas fisik). Semua faktor ini akan dianalisis untuk
menilai pengaruhnya terhadap sindroma metabolik pada berbagai tingkat social ekonomi.
1.2. Perumusan Masalah
Obesitas merupakan prediktor Sindroma Metabolik (SM). Seseorang dikatakan
menderita SM bila ada obesitas sentral ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida >
150 mg/dL (2) HDL-C: < 40 mg/dL (3) Tekanan darah: sistolik > 130 mmHg atau
diastolik > 85 mmHg; (4) Gula darah puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6mmol/L), atau
diabetes tipe 2.
20

Menurut H.L. Bloom, penyebab terjadinya penyakit ada 4 faktor, yaitu lingkungan,
perilaku, genetik dan pelayanan kesehatan. Di masyarakat, penyebab obesitas yang paling
sering didapatkan adalah factor perilaku (pola makan dan aktivitas fisik) dan factor social
ekonomi8,40.
Seiring dengan perubahan gaya hidup khusunya pola makan di berbagai wilayah di
Indonesia yang pada dasarnya dipengaruhi oleh factor social budaya, adapt istiadat, agama
dan kepercayaan15 serta adanya kecenderungan peningkatan prevalensi obesitas,
dislipidemia, tekanan darah, glukosa darah di masyarakat bisa menunjukkan jumlah
kejadian SM yang juga bertambah, maka peneliti tertarik untuk melakukan analisis
pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan, dan rokok dan aktivitas
terhadap sindrom metabolik pada berbagai tingkat sosial ekonomi.
II. TUJUAN
2.1. Tujuan Umum :
Menilai pengaruh, pola makan, rokok dan aktivitas terhadap sindroma metabolik pada
berbagai tingkat sosial ekonomi.
2.2. Tujuan khusus
1. Menganalisis pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan,
dan rokok serta aktivitas terhadap obesitas pada berbagai tingkat sosial ekonomi.
2. Menganalisis pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan,
dan rokok serta aktivitas terhadap tekanan darah pada berbagai tingkat sosial
ekonomi.
3. Menganalisis pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan,
dan rokok serta aktivitas terhadap glukosa darah darah pada berbagai tingkat
sosial ekonomi.
4. Menganalisis pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan,
dan rokok serta aktivitas terhadap sidroma metabolik pada berbagai tingkat sosial
ekonomi.
III. METODE ANALISIS
3.1. Kerangka Konsep

21

Pendidikan
Pekerjaan
Ketersediaan
Pangan RT
Status Ekonomi
- pendapatan
- pengeluaran
- kondisi rumah
- Alat komunikasi

Variabel
dikontrol

Pola
makan

Sindroma
Metabolik
Obesitas
Dislipidemia
Tekanan darah
Glukosa darah
Inflamasi

Rokok
Aktifitas

3.2. Alur Analisis


Data Biomedis
Riskesdas 2007
Jawa & Sulawesi

RECLEANING
DATA

ANALISIS
DATA

LAPORAN

3.3. Kriteria Objektif


3.3.1. Dependen variabel

22

Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang


berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik.
Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan
tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan
proinflamasi4.
Menurut ATP III komponen-komponen sindroma metabolik terdiri dari4,16,17:
a) Obesitas abdominal adalah bentuk dari obesitas yang paling kuat berhubungan
dengan sindroma metabolik. Hal ini dapat terlihat secara klinis dengan
meningkatnya lingkar perut.
b) Dislipidemia atherogenik bermanifestasi dengan penurunan kadar HDL-C,
peningkatan kadar trigliserida, dan small dense LDL.
c) Peningkatan tekanan darah berhubungan dengan obesitas dan biasanya terjadi
pada resistensi insulin.
d) Resistensi insulin/intoleransi glukosa terjadi pada sebagian populasi dengan
sindroma metabolik. Hal ini berhubungan erat dengan komponen sindroma
metabolik lainnya dan berbanding lurus dengan risiko PKV (penyakit
kardiovaskuler).
e) Keadaan proinflamasi meningkatkan kadar hsCRP sebagai akibat dilepaskannya
sitokin proinflamasi merupakan pertanda risiko terjadinya infark myocard.
f) Keadaan prototrombik memiliki karakteristik peningkatan plasminogen
activator inhibitor (PAI-1), fibrinogen, dan faktor VII.
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien SM adalah NCEP-ATP
III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati, antara lain:
lingkar perut pria > 102 cm atau wanita > 88 cm; hipertrigliseridemia (kadar serum
trigliserida > 150 mg/dL), kadar HDL-C < 40 mg/dL untuk pria, dan < 50 mg/dL
untuk wanita; tekanan darah > 130/85 mmHg; dan kadar glukosa darah puasa > 110
mg/dL. Obesitas sentral menjadi indikator utama terjadinya SM sebagai dasar
pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang
dikatakan menderita SM bila ada obesitas sentral (lingkar perut > 90 cm untuk pria
Asia dan lingkar perut > 80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor
berikut : (1) Trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan

23

untuk hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan <
50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk
peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan darah: sistolik > 130 mmHg atau diastolik
> 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4) Gula darah puasa (GDP)
> 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga saat ini masih ada
kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru tersebut5.
a. Glukosa Darah
Semua Responden usia > 15 tahun, kecuali wanita hamil (alasan etika)
diberi pembebanan 75 gram glukosa oral setelah puasa 10 14 jam. Khusus untuk
responden yang sudah diketahui positif menderita Diabetes Mellitus (DM)
(konfirmasi oleh dokter) hanya diberi suplemen makanan 300 kalori (alasan medis
dan etika). Pengambilan darah vena dilakukan setelah 2 jam pembebanan. Darah
didiamkan selama 20 30 menit, segera disentrifus dan dijadikan serum. Serum
segera diperiksa dengan menggunakan alat kimia klinis otomatis. Nilai rujukan
(WHO, 1999) Normal (Non DM) < 140 mg/dl, Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) 140 - < 200 mg/dl, Diabetes Mellitus (DM) > 200 mg/dl18.
b. Tekanan darah
Klasifikasi hipertensi yang digunakan adalah berdasarkan kriteria Riskesdas
2007 yang berpedoman pada The Sixth Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure 199718.
Klasifikasi
Tensi normal
Hipertensi perbatasan
Hipertensi ringan
Hipertensi sedang
Hipertensi berat

Sistolik (mmHg)
< 130
130 - 139
140 - 159
160 - 179
180

Diastolik (mmHg)
< 85
85 - 89
90 - 99
100 - 109
110

Dalam analisis data survei diambil sebagai standar hipertensi apabila ukuran
sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg.

c. Obesitas

24

Lingkar perut sebagai indikator utama terjadinya sindrom metabolik (SM)


sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005,
seseorang dikatakan menderita SM bila ada obesitas sentral dengan lingkar perut >
90 cm untuk pria Asia dan lingkar perut > 80 cm untuk wanita Asia dan Riskesdas
2007 juga memiliki kriteria yang sama, yakni obesitas sentral jika lingkar perut
laki-laki

> 90 cm dan perempuan > 80 cm. Klasifikasi obesitas juga dapat

ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh (IMT). Kriteria obesitas berpedoman


kriteria WHO tahun 2000 untuk Asia, yakni obesitas jika IMT > 25 kg/m2.
3.3.2. Independen variabel (faktor risiko sindroma setabolik)
HL Blum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling
besar terhadap status kesehatan, kemudian berturut-turut

adalah perilaku,

pelayanan kesehatan, dan yang paling kecil memberikan pengaruh adalah genetik 19.
Faktor lingkungan antara lain dari pengaruh sosial,

budaya, fisik, emosional

(psikis) dan biologis, dan faktor perilaku umumnya oleh gaya hidup. Perilaku atau
gaya hidup

merupakan faktor berpengaruh kedua setelah lingkungan terhadap

obesitas. Perilaku yang paling menonjol adalah perilaku konsumsi dan aktifitas fisik
dan merokok.
Perilaku konsumsi
Riskesdas 2007 menilai perilaku konsumsi berdasarkan konsumsi serat
dari buah dan sayur, dan makanan berisiko lainnya seperti makanan manis, asin,
berlemak dan jeroan. Menurut WHO, yang dimaksud dengan satu porsi sayur
adalah 1 mangkok sayur segar atau mangkok sayur masak; dan satu porsi
buah adalah 1 potongan sedang atau 2 potongan kecil buah atau 1 mangkok
buah irisan. Pada pedoman kuesioner Riskesdas 2007, takaran ini ditunjukkan
dengan menggunakan kartu bergambar buah dan sayur seperti halnya pada
Susenas 2004.
Yang dimaksud dengan cukup mengkonsumsi sayur dan buah adalah
mengkonsumsi sayur dan buah tiap hari dengan perimbangan minimal 3 porsi
sayur dan 2 porsi buah atau sebaliknya 3 porsi buah dan 2 porsi sayur selama 7

25

hari dalam seminggu. Kriteria kurang adalah apabila konsumsi sayur dan
buah kurang dari ketentuan di atas (WHO).
Untuk makanan berisiko, kriteria berisiko jika mengkonsumsi makanan
tersebut setiap hari, minimal tiga dari empat jenis makanan tersebut.
Aktivitas
Kebiasaan melakukan aktivitas fisik sangat penting dalam menjaga
kesehatan tubuh, meningkatkan kesehatan psikologis dan mencegah kematian
prematur. Kebiasaan melakukan aktivitas fisik selama satu minggu terakhir
ditanyakan dan dikelompokan menjadi 2 yaitu (1) kurang dan (2) cukup.
Cukup beraktivitas fisik: Penduduk yg melakukan aktivitas berat,
sedang maupun berjalan paling sedikit 10 menit tanpa henti untuk setiap
kegiatan, dan kumulatif 150 menit dlm seminggu
Yang dimaksud dengan cukup aktivitas adalah kegiatan paling sedikit
10 menit tanpa henti setiap kegiatan dan kumulatif 150 menit per minggu.
Sedangkan kurang aktivitas adalah kegiatan paling sedikit 10 menit tanpa
henti setiap kegiatan dan kumulatif < 150 menit per minggu.
Waktu melakukan aktivitas dihitung dengan menjumlahkan (waktu
untuk aktifitas berjalan) + (waktu untuk beraktifitas fisik sedang) + (2x waktu
untuk beraktifitas fisik berat). Waktu beraktifitas diantara 1-149 menit
merupakan kegiatan kurang aktivitas dan waktu beraktifitas 150 menit per
minggu termasuk dalam kegiatan aktivitas cukup.
Merokok
Informasi tentang perilaku merokok saat ini akan membantu
memprediksi gambaran beban penyakit tidak menular yang akan datang seperti
penyakit kardiovaskuler, diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, kanker
tertentu.
Perilaku merokok, umur mulai merokok, dan dosis rokok pada berbagai
karakteristik seperti umur, jenis kelamin, kegiatan, daerah, provinsi dan status
ekonomi. Pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi ini untuk
menerapkan strategi pencegahan untuk menghindari beban tersebut.

26

Merokok merupakan salah satu perilaku berisiko yang terkait dengan


sindroma metabolik. Perilaku merokok diperoleh melalui wawancara kepada
responden, dengan penanyakan kebiasaan-kebiasaan merokok dalam 1 bulan
terakhir, umur mulai merokok, rata-rata jumlah batang dihisap per hari, dan
apakah merokok di dalam rumah bersama anggota rumah tangga lain.
- berisiko jika merokok setiap hari,
- tidak berisiko jika tidak merokok, pernah merokok dan kadang-kadang
merokok.
3.3.3. Variabel kontrol (tingkat ekonomi)
Faktor lingkungan memiliki cakupan luas terdiri atas lingkungan sosial,
lingkungan budaya, lingkungan fisik, lingkungan biologi, dan lingkungan psikis
atau

emosional.

Lingkungan

sosial

meliputi

tingkat

pendidikan,

ketenagakerjaan, status ekonomi (termasuk pendapatan), dan ketahanan pangan


rumah tangga.
Pada umumnya di negara berkembang, individu yang berasal dari
keluarga sosial yang memiliki tingkat ekonomi rendah biasanya mengalami
malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status ekonomi lebih
tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak tiga dekade
terakhir, prevalensi obesitas meningkat secara dramatis pada setiap kelompok
status sosial ekonomi20.
Berdasarkan

Susenas

2007,

tingkat

sosial

ekonomi

diperoleh

berdasarkan pengeluaran rata-rata per hari rumah tangga, yang dikategorikan


menjadi 5 kelompok (quintil/Q) dengan kriteria Q1-Q2 merupakan tingkat
ekonomi rendah, Q3-Q4 menengah dan Q5 tingkat ekonomi tinggi.
3.4. Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua sampel biomedis Riskesdas 2007 di pulau Jawa dan
Sulawesi. Berdasarkan data Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah populasi tersebut
adalah 99.515 responden yang terdiri dari 67.096 responden pulau Jawa dan 32.419
responden pulau Sulawesi dengan sebaran menurut propinsi sebagai berikut:

27

Tabel 3.1.
Jumlah Populasi Sampel menurut Pulau dan Propinsi
Pulau/Propinsi
Jawa

Sulawesi

Jumlah

Persen (%)

3074
18138
21075
2591
19166
3052
4338
4520
12775
5769
2746
2271
99515

3.1
18.2
21.2
2.6
19.3
3.1
4.4
4.5
12.8
5.8
2.8
2.3
100.0

DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Total

Sampel adalah semua sampel biomedis di pulau Jawa dan Sulawesi yang
memenuhi kriteria sesuai dengan variabel dependen. Data yang tersedia dan
memenuhi syarat (valid) dengan jumlah dan rentang sebagai berikut:
Tabel 3.2.
Jumlah Sampel dan Rentang Nilai Berdasarkan Variabel Dependen
Variabel
kadar glukosa 2 jam PP
Rerata Tek Darah Sistolik
Rerata tek. darah diastolik
Berat Badan
Tinggi Badan/ Panjang Badan
skor IMT
Lingkar perut
Valid N (listwise)

Minimum

Maximum

3597
3569
3569
3574
3559
3555
3515
3478

50.00
66.50
46.00
24.8
100.0
11.54
50

671.00
597.50
556.50
110.0
181.3
56.78
131

Dari Tabel 3.2. terlihat bahwa besar sampel keseluruhan yang dapat dianalisis
lebih lanjut sebanyak 3.478 responden. Tabel 3.3. menyajikan karakteristik
responden menurut kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status
ekonomi. Terlihat bahwa kelompok umur 15-24 memiliki jumlah yang terkecil

28

sebesar 2,01%. Sampel laki-laki lebih banyak dibanding perempuan sebayak 4


banding 1. Menurut tingkat pendidikan, sampel terkecil pada mereka yang tidak
pernah sekolah sebesar 8,05%.
Tabel 3.3.
Gambaran Karakteristik Responden Menurut Kelompok Umur,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekejaan dan Status Ekonomi
Karakteristik Responden
Umur
15 24
25 34
35 44
45 54
55 64
65 74
75+
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
Tidak sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Tamat SMA+
Pekerjaan
Tidak bekerja
Sekolah
Ibu RT
Pegawai (negeri, swasta, POLRI)
Petani/Nelayan/ Buruh
Wiraswasta/Jasa
Lainnya
St. Ekonomi (Pengeluaran Rata2/hari)
Kuintil-1_2
Kuintil-3_4
Kuintil-5

Jumlah
n

70
587
932
852
583
331
124

2,01
16,88
26,80
24,50
16,76
9,52
3,56

2745
733

78,92
21,08

280
541
875
563
903
306

8,05
15,55
25,16
16,19
25,96
8,80

313
37
281
657
980
1026
178

9,00
1,06
8,08
18,89
28,18
29,50
5,12

1279
1415
784

36,77
40,68
22,54

Menurut jenis pekerjaan, sampel terkecil adalah anak sekolah sebesar 1,06% diikuti
oleh jenis pekerjaan lainnya sebasar 5,12%. Jumlah sampel menurut tingkat
29

pengeluaran rata-rata per hari per bulan antara kuinti-l_2 dengan kuintil-3_4 hampir
sama, sampel terkecil berada pada kuintil 5 sebesar 22,54%.
3.5. Tahap Analisis Data
3.5.1. Recleaning data
Dari 99.515 sampel yang diterima dari data Biomedis Riskesdas 2007,
hanya 3719 (3,74%) responden yang memiliki data glukosa 2 jam PP dan hanya
3597 (3,61%) responden yang memiliki data glukosa memenuhi syarat 50 gr/dL
(kecuali kode 999=tidak diperiksa). Tekanan darah sistolik dan diastolik yang
dipilih berdasarkan pengukuran pertama dan kedua, karena syarat sampel harus
memilki perlakuan yang sama dan tidak semua sampel mendapat pengukuran
ketiga. Jumlah sampel awal 99.510 atau 99,99%. Kriteria sampel yang dipilih
berdasarkan tekanan darah yaitu sistolik 50 mmHg, diastolik 40 mmHg dan
nilai 777 atau 888 dianggap missing atau tidak memenuhi syarat.
Tabel 3.4.
Jumlah Sampel Proses Recleaning Data
Variabel

Jumlah
Awal

Glukosa 2 jam PP

3.719

Sistolik 1

99510

Sistolik 2

99510

Diastolik 1

99510

Diastolik 2

99510

Lingkar perut

99510

Tinggi badan

98172

Berat badan

98350

Rata-rata Sistolik

99510

Rata-rata
diastolik

99510

IMT

98110

Kriteria variabel
50 gr/dL
kode 999=missing
50 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
50 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
40 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
40 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
50 cm
Kode 999 = missing
100 cm
Kode 999=missing
20 kg
Kode 999=missing
50 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
40 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
10 cm/kg2
Kode 777 & 888 = missing

Jumlah setelah Jumlah


diberi kriteria Akhir
3.597
3.478
98303

3.478

97281

3.478

98271

3.478

97256

3.478

96.657

3.478

98.030

3.478

98.112

3.478

98.359

3.478

98.338

3.478

97.730

3.478

30

Selanjutnya data di macth sesuai dengan variabel dependen (glukosa darah,


lingkar perut, skor IMT, rata-rata sistolik dan diastolik) hingga tidak ada lagi kasus
yang missing pada variabel dependen sehingga jumlah data yang akan dianalisis
lanjut sebanyak 3.478. Selengkapnya hasil recleaning dapat dilihat pada Tabel 3.4.
3.5.2. Analisis data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis menggunakan software SPSS for
Window. Adapun uji statistik yang digunakan adalah :
a. Analisis univariat, digunakan untuk mengetahui deskripsi dari semua variabel
analisis baik variabel dependen maupun independen.
b. Untuk menilai adanya pengaruh dan analisis faktor risiko antara variabel
perilaku terhadap variabel dependen (DM, Obes, hipertensi dan sindroma
metabolik) digunakan uji regresi logistik bivariat dengan kemaknaan (P) < 0,05,
nilai OR dan confident interval (CI) 95% dengan mengontrol tingkat ekonomi.
Nilai OR > 1 = faktor risiko, OR = 1 bukan faktor risiko, dan OR < 1 = faktor
protektif.
c. Analisis regresi multivariat digunakan untuk melihat faktor determinan proksi
(variabel independen = perilaku konsumsi, merokok dan aktivitas) yang lolos
pada uji bivariat (P<0,25) terhadap variabel dependen pada masing-masing
tingkat ekonomi .
Tabel 3.5.
Klasifikasi variabel dependen dan veriabel independen (perilaku)
Variabel
Sindroma Metabolik
Diabetes Mellitus
Hipertensti
Obesitas sentral
Konsumsi sayur buah
Aktivitas
Merokok
Konsumsi makanan manis, asin, berlemak & jeroan

Kategori
1=sindroma metabolik
2= non sindroma
metabolik
1= DM
2= non DM
1=Hipertensi
2=normal
1=Obes sentral
2=Non obes sentral
1=kurang serat
2=cukup serat
1=kurang aktifitas fisik
2=cukup aktivitas
1=merokok tiap hari
2=tdk merokok/kadang2
1=setiap hari/lebih

Keterangan
IDF 2005 Asia
DM kadar gula darah 2jam
PP 200 mg/dL
Hipertensi Sistolik/diastolik
140/90 mmHg
Berdasarkan lingkar perut,
lk>90m, pr>80 cm
Berdasarkan kriteria WHO,
cukup jika 5 porsi/hari
Kriteria Riskesdas 2007
Kriteria Surkesnas 2004
Konsumsi makanan tsb

31

2=tidak setiap hari

dianggap berisiko jika


dikonsumsi tiap hari

IV. HASIL ANALISIS


4.1. Karakteristik parameter penilai sindroma metabolik.
Kejadian sindroma metabolik dapat dikendalikan dengan melihat parameter penilai
dan faktor risikonya. Sesuai dengan NCEP-ATP III 2001 dan IDF 2005 ada beberapa
faktor yang dapat dikendalikan terkait dengan SM, yaitu perilaku konsumsi, merokok, dan
aktivitas fisik, dan ada beberapa faktor pula yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur,
jenis kelamin, dan genetik. Penyakit ini juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, budaya dan
pelayanan kesehatan. Prevalensi kejadian parameter penilai (obesitas sentral, hipertensi,
dan DM) menurut pulau dan propinsi dapat dijelaskan pada Tabel yang disajikan di bawah
ini.
Tabel 4.1.
Distribusi faktor prediktor (lingkar perut, tekanan darah, dan glukosa darah)
menurut propinsi di pulau Jawa dan Sulawesi (%).
Pulau/Propinsi

Lingkar Perut
Obes
Non Obes
Sentral
sentral

Tekanan Darah

Glukosa Darah

Hipertensi

Normal

DM

TGT

Normal

Jawa
DKI Jakarta (n=162)
Jawa Barat (n=777)
Jawa Tengah (n=875)
DI Yogyakarta (n=138)
Jawa Timur (n=881)
Banten (143)
Sulawesi
Sulawesi Utara (n=44)
Sulawesi Tengah (n=25)
Sulawesi Selatan (n=272)
Sulawesi Tenggara (n=92)
Gorontalo (n=53)
Sulawesi Barat (n=16)
Jawa-Sulawesi
Nasional

31,5
19,9
18,1
21,0
21,8
11,9

68,5
80,1
81,9
79,0
78,2
88,1

43,2
42,6
49,8
44,9
48,1
36,4

56,8
57,4
50,2
55,1
51,9
63,6

8,6
3,7
8,3
6,5
8,3
9,8

14,8
8,5
14,5
9,4
13,4
6,3

76,5
87,8
77,1
84,1
78,3
83,9

29,5
12,0
24,6
21,7
32,1
12,5
20,8
18,8

70,5
88,0
75,4
78,3
67,9
87,5
79,2
81,2

38,6
32,0
40,8
40,2
52,8
18,8
45,4
31,7

61,4
68,0
59,2
59,8
47,2
81,2
54,6
68,3

9,1
0
10,7
4,3
15,1
6,3
7,1
5,7

6,8
8,0
8,1
12,0
5,7
31,2
11,9
10,2

84,1
92,0
81,2
83,7
79,2
62,5
81,0
84,3

Dari Tabel 4.1. di atas menggambarkan bahwa prevalensi terbesar obesitas sentral
di pulau Jawa adalah propinsi DKI Jakarta (31,5%), angka ini lebih kecil jika dibandingkan
dengan prevalensi obesitas sentral tertinggi di pulau Sulawesi yang tempati oleh propinsi
Gorontalo (32,1%), jika dibandingkan dengan prevalensi nasional (18,8%) angka tersebut

32

lebih tinggi, akan ada 4 propinsi yang berada dibawah angka nasional yaitu, Jawa Tengah,
Banten, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat. Propinsi Gorontalo menempati urutan
teratas untuk kejadian hipertensi dan DM di pulau Sulawesi, sedangkan propinsi Jawa
Tengah dan Banten masing-masing menempati urutan teratas kejadian hipertensi dan DM.
Angka ini lebih besar jika dibandingkan dengan prevalensi secara nasional yaitu, 31,7%
hipertensi, 5,7% DM dan 10,2% TGT. Sulawesi Barat berada dibawah angka nasional
untuk hipertensi, sedangkan Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi tenggara
merupakan propinsi yang prevalensi DMnya di bawah prevalensi nasional.
Tabel 4.2.
Distribusi IMT menurut propinsi di pulau Jawa dan Sulawesi (%).
Pulau/Propinsi

Obes II
(IMT30)

Obes I
(IMT 25-<30)

BB Lebih
(IMT 23-<25)

Normal
(IMT 18,5-<23)

Kurus
(IMT < 18,5)

7,4
4,4
5,1
5,1
4,3
2,1

28,4
20,8
19,3
19,6
24,0
11,9

18,5
17,1
16,2
13,0
17,5
21,7

29,6
43,5
44,3
47,8
43,0
53,1

16,0
14,2
150
14,5
11,2
11,2

9,1
4,0
5,1
6,5
7,5
0,0
4,8

29,5
8,0
20,6
25,0
24,5
25,0
21,4

13,6
8,0
16,9
21,7
24,5
6,3
17,1

45,5
64,0
47,4
38,0
34,0
50,0
43,7

2,3
16,0
9,9
8,7
9,4
18,8
12,9
14,8

Jawa
DKI Jakarta (n=162)
Jawa Barat (n=777)
Jawa Tengah (n=875)
DI Yogyakarta (n=138)
Jawa Timur (n=881)
Banten (143)
Sulawesi
Sulawesi Utara (n=44)
Sulawesi Tengah (n=25)
Sulawesi Selatan (n=272)
Sulawesi Tenggara (n=92)
Gorontalo (n=53)
Sulawesi Barat (n=16)
Jawa-Sulawesi
Nasional

19,1

66,1

Tabel 4.2. menyajikan prevalensi penduduk menurut status IMT di masing-masing


propinsi se Jawa dan Sulawesi. Kategori IMT yang digunakan berdasarkan kriteria WHO
Asia Pasifik tahun 2000. Prevalensi obese secara nasional hasil analisis Riskesdas 2007
adalah 19,1% (BB lebih (25-<27) + obese (27)) artinya kriteria tersebut dapat
dibandingkan dengan prevalensi obese I dan obese II. Umumnya prevalensi obese di Jawa
dan Sulawesi ini lebih tinggi jika dibandingkan obesitas secara nasional. Ada 2 propinsi
yang prevalensi obesitasnya di bawah angka nasional yakni Banten dan Sulawesi Tengah.
33

Dan yang tertinggi di pulau Jawa adalah propinsi DKI Jakarta dan di Pulau Sulawesi adalah
Sulawesi Utara.
Tabel 4.3.
Distribusi parameter penilai sindroma metabolik (lingkar perut, tekanan darah,
dan glukosa darah) menurut karakteristik sosial ekonomi di Jawa dan Sulawesi (%)
LATAR BELAKANG
KARAKTERISTIK
Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)
Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)
Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)
Tamat SMA (n=903)
Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta,
POLRI) (n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh
(n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)
Kuintil 5 (n=784)

Lingkar Perut
Obes
Non Obes
Sentral
sentral

Tekanan Darah

Glukosa Darah

Hipertensi

Normal

DM

TGT

Normal

5,7
15,8
18,4
24,1
24,4
27,2
15,3

94,3
84,2
81,6
75,9
75,6
72,8
84,7

11,4
22,3
33,5
49,6
64,0
74,6
68,5

88,6
77,7
66,5
50,4
36,0
25,4
31,5

1,4
1,9
3,5
9,6
10,3
14,2
10,5

2,9
5,8
9,6
10,6
16,1
22,1
25,8

95,7
92,3
86,9
79,8
73,6
63,7
63,7

14,2
45,4

85,8
54,6

43,2
53,5

56,8
46,4

6,3
10,1

11,1
14,9

82,6
75,0

22,1
13,7
19,5
22,9
22,5
26,1

77,9
86,3
80,5
77,1
77,5
73,9

63,6
50,8
49,0
42,8
35,7
41,8

36,4
49,2
51,0
57,2
64,3
58,2

9,3
7,4
6,1
6,7
7,3
7,8

17,9
12,0
11,1
11,0
11,7
10,8

72,9
80,6
82,9
82,2
81,0
81,4

23,3
5,4
54,1

76,7
94,6
45,9

69,3
21,6
49,5

30,7
78,4
50,5

12,1
2,7
12,1

21,4
8,1
14,6

66,5
89,2
73,3

21,3

78,7

36,2

63,8

6,7

12,3

81,0

9,0

91,0

42,8

57,2

3,4

9,2

87,4

21,2
27,5

78,8
72,5

43,9
57,9

56,1
42,1

6,6
16,3

10,3
14,6

83,0
69,1

16,7
21,6
26,3

83,3
78,4
73,7

43,5
46,0
47,3

56,5
54,0
52,7

5,2
7,1
10,1

11,9
12,6
10,7

82,9
80,3
79,2

Tabel 4.3. menyajikan prevalensi obesitas sentral, hipertensi dan DM menurut


kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi responden.
Obesitas sentral dianggap sebagai faktor risiko yang erat kaitannya dengan beberapa
penyakit degeneratif. Ada kecenderungan prevalensi obese sentral, hipertensi dan DM
34

meningkat seiring bertambahnya umur hingga umur 65-74 tahun. Prevalensi obesitas
sentral, hipertensi, dan DM pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut
tingkat pendidikan prevalensi obesitas sentral cenderung meningkat dimulai dari mereka
yang berpendidikan tidak tamat SD ke atas, sedangkan untuk hipertensi dan DM
berfluktuasi.
Tingkat pendidikan tidak sekolah menempati peringkat tertinggi prevalensi
hipertensi dan DM. Menurut jenis pekerjaan utama, prevalensi obesitas sentral tertinggi
terdapat pada kelompok pengurus rumah tangga, disusul kelompok yang tidak bekerja.
Prevalensi hipertensi paling tinggi ditemukan pada kelompok yang tidak memiliki
pekerjaan, diikuti kelompok pekerjaan lainnya dan tidak bekerja. Prevalensi DM paling
banyak terdapat pada kelompok pekerjaan lainnya diikuti kelompok pengurus rumah
tangga (ibu rumah tangga) dan tidak bekerja. Menurut tingkat ekonomi, prevalensi obesitas
sentral, hipertensi dan DM cenderung meningkat.
4.2. Karakteristik sindroma metabolik.
Penilaian sindroma metabolik didasarkan atas kejadian komponen-komponen
sindroma metabolik seperti obesitas sentral, hipertensi dan diabetes mellitus (IDF Asia
2005). Seorang responden dikatakan sindroma metabolik bila ada lingkar pinggang (lakilaki > 90 cm; perempuan > 80 cm), tekanan darah (sistolik 130 mmHg; diastolik 85
mmHg), dan kadar glukosa darah 2 jam PP ( 140 mg/dL).
Tabel 4.4.
Prevalensi Sindroma Metabolik menurut Propinsi di Jawa dan Sulawesi.
Pulau/Propinsi

Sindroma Metabolik

Non Sindroma Metabolik

21,6
13,8
12,5
15,2
14,5
6,3

78,4
86,2
87,5
84,8
85,5
93,7

13,6
0,0
16,2
9,8
22,6
6,3

86,4
100,0
83,8
90,2
77,4
93,7

Jawa
DKI Jakarta (n=162)
Jawa Barat (n=777)
Jawa Tengah (n=875)
DI Yogyakarta (n=138)
Jawa Timur (n=881)
Banten (143)
Sulawesi
Sulawesi Utara (n=44)
Sulawesi Tengah (n=25)
Sulawesi Selatan (n=272)
Sulawesi Tenggara (n=92)
Gorontalo (n=53)
Sulawesi Barat (n=16)

35

Jawa Sulawesi

13,8

86,2

Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa prevalensi sindroma metabolik (SM) di Jawa dan
Sulawesi adalah sebesar 13,8. Angka ini lebih besar jika dibandingkan prevalensi SM
secara nasonal yakni 12,7%. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (21,6%)
yang kemudian secara berturut turut diikuti oleh DI Yogyakarta (15,2%), dan Jawa Timur
(14,5%) untuk pulau Jawa. Di Sulawesi prevalensi SM tertinggi di provinsi Gorontalo
(22,6%), kemudian diikuti oleh Sulawesi Selatan (16,2%) dan SM tidak ditemukan pada
propinsi Sulawesi Tengah.
Tabel 4.5.
Distribusi Sindroma Metabolik Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Di Jawa Dan
Sulawesi
Latar Belakang Karakteristik
Kelompok Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)
Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)
Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)
Tamat SMA (n=903)
Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta, POLRI) (n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh (n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)
Kuintil 5 (n=784)

Sindroma Metabolik

Non Sindroma Metabolik

2,9
7,8
11,0
16,2
17,7
22,1
13,7

97,1
92,2
89,0
83,8
82,3
77,9
86,3

9,6
29,7

90,4
70,3

15,0
10,2
12,9
14,6
15,2
16,0

85,0
89,8
87,1
85,4
84,8
84,0

18,8
0,0
34,5
14,0
5,5
13,6
20,2

81,2
100,0
65,5
86,0
94,5
86,4
79,8

10,6
14,6
17,9

89,4
85,4
82,1

36

Tabel 4.5. menyajikan prevalensi sindroma metabolik menurut kelompok umur,


jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi responden. Ada kecenderungan
prevalensi sindroma metabolik meningkat dengan bertambahnya umur hingga kelompok
umur 65-74 tahun kemudian turun pada umur 75. Prevalensi tertinggi pada kelompok
umur 64-75 tahun. Menurut jenis kelamin prevalensi sindroma metabolik dijumpai lebih
tinggi pada perempuan (29,7%). Menurut tingkat pendidikan, prevalensi sindroma
metabolik meningkat seiring meningkatnya status pendidikan mulai dari tidak tamat SD,
namun pada mereka yang tidak pernah sekolah prevalensinya mencapai (15,0%).
Menurut jenis pekerjaan utama, prevalensi sindroma metabolik tertinggi terdapat
pada kelompok ibu rumah tangga (34,5%), disusul kelompok bekerja lainnnya dan tidak
bekerja.

Ada

kecendrungan

prevalensi

sindroma

metabolik

meningkat

seiring

meningkatnya status ekonomi.


4.3. Karakteristik faktor risiko perilaku
a. Pola makan
Data frekuensi dan porsi asupan sayur dan buah dikumpulkan dengan menghitung
jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk
dikategorikan cukup konsumsi sayur dan buah apabila makan sayur dan/atau buah
minimal 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan kurang apabila
konsumsi sayur dan buah kurang dari ketentuan di atas.
Gambar 4.1.
Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang Cukup mengkonsumsi
Kombinasi Sayur dan Buah di Jawa dan Sulawesi
4

3.3

2.6

2.2

2.3

1.9
1,6

1.1

1.1

Jatim

Sulsel

1.2

0.9

0
Banten

0
Sulbar

Jabar

DKI

Gorontalo

DI Yogya

Sulut

Jateng

Sultra

Sulteng

37

Gambar 4.1. menunjukkan bahwa secara keseluruhan, penduduk umur 15 tahun ke


atas di Jawa dan Sulawesi yang cukup konsumsi buah dan sayur sebesar 1,6%. Konsumsi
buah dan sayur paling rendah terdapat di Sulawesi Barat dan Banten, masing-masing tidak
ada yang cukup mengkonsumsi buah dan sayur. Kecukupan konsumsi buah dan sayur di
Jawa dan Sulawesi masih lebih rendah yakni 1,6% dibandingkan angka nasional yang
mencapai 6,4%. . Kecukupan konsumsi buah dan sayur yang tertinggi pada propinsi
Sulawesi Tengah da Sulawesi tenggara.
Tabel 4.6.
Distribusi pola konsumsi buah dan sayur menurut kriteria WHO dan frekuensi konsumsi
berisiko ( setiap hari) makanan asin, manis, jeroan, dan berlemak
menurut karakteristik sosial ekonomi di Jawa dan Sulawesi
Makanan berisiko ( setiap hari)
Konsumsi Buah & Sayur
LATAR BELAKANG
KARAKTERISTIK
Kelompok Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)
Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)
Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)

Tamat SMA (n=903)


Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta, POLRI)
(n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh (n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)

Kurang

Cukup

Asin

Manis

Berlemak

Jeroan

98,6
98,8
98,2
98,6
97,8
98,8
100,0

1,4
1,2
1,8
1,4
2,2
1,2
0,0

21,4
29,6
29,6
26,6
30,7
24,2
30,6

64,3
65,2
68,3
70,2
64,2
62,5
72,6

27,1
21,5
20,8
18,5
19,0
15,7
18,5

2,9
2,2
1,9
1,3
1,0
1,2
0,8

98,4
98,5

1,6
1,5

28,9
26,6

68,7
60,8

19,7
19,2

1,6
1,4

99,6
99,1
98,7

0,4
0,9
1,3
1,1

25,0
30,5
33,4

59,3
59,9
65,4

16,4
20,5
19,3

1,1
0,7
1,4

98,9

98,9
97,8
96,4

2,2
3,6

28,8
24,8
23,5

69,6
71,4
73,9

21,7
19,6
18,3

1,4
2,3
2,0

99,4
97,3
98,6

0,6
2,7
1,4

27,8
16,2
31,0

64,5
62,2
59,8

22,0
27,0
16,4

1,3
0,0
2,5

96,8

3,2

24,0

71,2

18,7

1,8

99,1
98,5
98,9

0,9
1,5
1,1

33,1
28,0
21,9

66,7
67,1
70,2

19,0
22,2
10,7

0,8
2,1
0,6

99,5
98,9

0,5
1,1

29,6
28,5

65,4
67,8

19,2
20,6

1,3
1,7

38

Kuintil 5 (n=784)

95,9

4,1

26,5

68,6

18,8

1.9

Pada tabel 4.6 tampak bahwa kelompok umur yang paling kurang konsumsi buah
dan sayur adalah 75 tahun ke atas (100,0%). Tidak ada perbedaan konsumsi buah dan sayur
antara laki-laki dan perempuan. Sementara berdasarkan pendidikan, semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin baik konsumsi buah dan sayur. Menurut kelompok pekerjaan,
konsumsi buah dan sayur yang paling kurang pada kelompok tidak bekerja. Berdasarkan
tingkat pengeluaran per kapita (status ekonomi), tampak pengurangan prevalensi kurang
konsumsi buah dan sayur, dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per
kapita perbulan, semakin tinggi konsumsi buah dan sayur.
Kelompok umur yang paling kurang konsumsi buah dan sayur adalah 75 tahun ke
atas (100,0%). Tidak ada perbedaan konsumsi buah dan sayur antara laki-laki dan
perempuan. Sementara berdasarkan pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin
baik konsumsi buah dan sayur. Menurut kelompok pekerjaan, konsumsi buah dan sayur
yang paling kurang pada kelompok tidak bekerja. Berdasarkan tingkat pengeluaran per
kapita (status ekonomi), tampak pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur,
dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, semakin
tinggi konsumsi buah dan sayur.
Konsumsi makanan seperti makanan dominan manis, asin, berlemak dan jeroan
berisiko terhadap obesitas, hipertensi dan diabetes mellitus. Frekuensi makan makanan
tersebut setiap hari dianggap cukup berisiko terhadap obesitas, hipertensi dan DM.
Konsumsi makanan manis asin, berlemak dan jeroan di Jawa dan Sulawesi berturut-turut
adalah 67,1%, 68,4%, 19,6% dan 1,6%. Hampir tidak ada perbedaan konsumsi makanan
manis dan asin pada kelompok umur. Kelompok umur 15-24 tahun merupakan kelompok
yang paling rendah frekuensi konsumsi makanan asin tiap hari dan 65-75 tahun terendah
konsumsi makanan manis tiap hari. Sedangkan konsumsi makanan berlemak dan jeroan
cenderung menurun seiring dengan bertambahnya umur. Tidak terlihat adanya perbedaan
konsumsi makanan manis, asin, berlemak dan jeroan pada laki-laki dan perempuan, hanya
saja laki-laki lebih tinggi frekuensinya. Konsumsi makanan asin, manis, berlemak dan
jeroan yang tertinggi pada tingkat pendidikan berturut-turut adalah tamat SD, Tamat

39

perguruan tinggi, tamat SMP dan Tamat SMA. Konsumsi makanan asin, manis, berlemak
dan jeroan yang tertinggi

menurut kelompok pekerjaan utama

berturut-turut adalah

petani/nelayan/buruh, pegawai, wiraswasta dan Ibu rumah tangga. Konsumsi makanan


manis dan jeroan meningkat seiring menigkatnya pengeluaran RT, sedangkan konsumsi
makanan asin menurun. Konsumsi makanan berlemak tertinggi pada kelompok dengan
status ekonomi menengah.
b. Aktivitas
Kegiatan aktifitas fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan dilakukan terusmenerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150
menit selama lima hari dalam satu minggu. menurut intensitas melakukan aktifitas berat,
sedang dan berjalan/bersepeda. Perhitungan jumlah menit aktifitas fisik dalam
seminggu mempertimbangkan pula jenis aktifitas yang dilakukan, di mana aktifitas diberi
pembobotan, masing-masing untuk aktifitas berat empat kali, aktifitas sedang dua kali
terhadap aktifitas ringan atau jalan santai.
Gambar 4.2.
Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang Cukup Melakukan
Aktivitas di Jawa dan Sulawesi.

40

77.3
73.6

48.3

Banten

55.4

55.8

56.6

Sultra

DI Yogya

Sulsel

57.9

60

60.7

63.2

62.5

59.4

48.8

DKI

Jabar

Sulteng

Jatim

Sulbar

Jateng

Gorontalo

Sulut

Pada gambar 4.2. tampak bahwa di Jawa dan Sulawesi lebih dari separuh penduduk
(59,4%) cukup melakukan aktifitas fisik, secara nasional rata-rata cukup aktivitas fisik
mencapai 51,8%. Cukup aktifitas fisik paling tinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara
(77,3%) dan Provinsi Gorontalo (73,6%). Prevalensi cukup aktifitas fisik di bawah rata-rata
Jawa Sulawesi terdapat di Banten (48,3%), DKI Jakarta (48,8%), Sulawesi Tenggara
(55,4%), DI Yogyakarta (55,8), Sulawesi Selatan (56,6%) dan Jawa Barat (57,9%).
Tabel 4.7.
Persentase Penduduk 15 tahun ke atas yang melakukan Aktivitas fisik berat, sedang,
bersepeda/jalan kaki dan yang cukup malakukan aktivitas
menurut karakteristik sosial ekonomi di Jawa dan Sulawesi
LATAR BELAKANG
KARAKTERISTIK
Kelompok Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)
Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)

Melakukan
Melakukan
Melakukan jalan
aktivitas berat aktivitas sedang kaki/ bersepeda

Aktivitas
Kurang
Cukup

31,4
44,5
40,8
41,3
36,4
19,9
16,1

82,9
72,6
71,9
72,1
70,7
60,7
58,1

64,3
55,5
57,8
58,6
61,4
50,5
41,1

51,4
31,2
33,5
37,3
44,1
66,2
70,2

48,6
68,8
66,5
62,7
55,9
33,8
29,8

44,7

65,9

59,9

35,1

64,9

41

Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)
Tamat SMA (n=903)
Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta, POLRI)
(n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh (n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)
Kuintil 5 (n=784)

11,9

87,9

48,4

61,3

38,7

29,6
49,4
48,1
35,3
32,4
14,7

64,3
64,9
66,7
73,0
74,1
81,7

43,6
63,8
58,6
54,7
56,4
59,2

55,0
31,8
35,0
39,1
43,1
54,6

45,0
68,2
65,0
60,9
56,4
45,4

41,5
29,7
6,8

59,1
83,8
86,8

41,9
73,0
50,5

71,2
43,0
67,3

28,8
56,8
32,7

28,5

78,7

57,4

43,8

56,2

66,4
35,3
24,7

61,8
73,3
64,0

64,9
55,3
57,0

22,4
36,2
57,3

77,6
63,8
42,7

45,0
36,5
28,2

65,8
71,7
76,0

60,6
54,9
55,1

36,6
40,9
46,6

63,4
59,1
53,4

Pada tabel 4.7 terlihat bahwa menurut kelompok umur, kurang aktifitas fisik paling
tinggi terdapat pada kelompok 75 tahun ke atas (70,2%) dan umur 65-74 tahun (66,9%),
dan perempuan (61,3%) lebih tinggi dibanding laki-laki (35,1%). Berdasarkan tingkat
pendidikan, prevalensi kurang aktifitas fisik tertinggi terdapat pada kelompok tidak sekolah
(55,0%), kemudian tamat perguruan tinggi (54,6%). Berdasarkan pekerjaan utama,
prevalensi kurang aktivitas tertinggi terdapat kelompok pekerjaan tidak bekerja (71,2%)
kemudian ibu rumah tangga (67,3%) dan semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per
bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik.
c. Merokok
Pada penduduk umur 15 tahun ke atas ditanyakan apakah merokok setiap hari,
merokok kadang-kadang, mantan perokok atau tidak merokok. Bagi penduduk yang
merokok setiap hari, ditanyakan berapa umur mulai merokok setiap hari. Pada penduduk
yang merokok, yaitu yang merokok setiap hari dan merokok kadang-kadang, ditanyakan
berapa rata-rata batang rokok yang dihisap per hari. Juga ditanyakan apakah merokok di

42

dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lain. Bagi yang merokok setiap hari
dikategorikan sebagai kelompok risiko tinggi.
Gambar 4.3. menunjukkan bahwa di Jawa dan Sulawesi persentase penduduk umur
15 tahun ke atas yang merokok tiap hari 44,1%. Persentase tertinggi ditemukan di Provinsi
Gorontalo (54,7%), diikuti dengan Jawa Barat (53,2%) dan Sulawesi Tengah (52,0%).
Sedangkan persentase terendah dijumpai di Provinsi Sulawesi Tenggara (33,7%).
Gambar 4.3.
Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang memiliki perilaku
Merokok berisiko tinggi (setiap hari) di Jawa dan Sulawesi
50

51

52

53.2

54.7

44.9
42.8

41.4

44,1

39.1
36

37.5

33.7

Sultra

Sulsel

Sulbar

Jateng

DKI

Jatim

DI Yogya

Sulut

Banten

Sulteng

Jabar

Gorontalo

Tabel 4.8 menggambarkan perilaku merokok penduduk umur 15 tahun ke atas


menurut karakteristik responden. Secara nasional, persentase penduduk merokok tiap hari
pada kelompok umur produktif (25-64 tahun), sedangkan di Jawa dan Bali tampak pada
kelompok umur 35-44 tahun.
Tabel 4.8.
Distribusi Perilaku Merokok Penduduk 15 Tahun ke Atas
Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi di Jawa dan Sulawesi
LATAR BELAKANG
KARAKTERISTIK

Merokok pada
Rata-rata umur Rata-rata ART lain %
mulai merokok1
batang2
( perokok)2

Kategori Merokok %
Risiko tinggi
Risiko rendah
(tiap hari)
(kadang & )

Kelompok Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)

17,6
17,8
19,3
19,3
19,7
21,2
21,7

10,4
10,2
9,9
10,3
9,8
8,8
7,9

74,2 (31)
77,5 (352)
79,5 (546)
81,7 (492)
89,2 (260)
86,8 (129)
82,9 (41)

32,9
47,2
49,4
48,2
37,9
33,2
25,8

67,1
53,0
50,6
51,8
62,1
66,8
74,2

Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)

19,3

10,0

81,8 (1777)

54,7

45,3

43

Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)
Tamat SMA (n=903)
Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta, POLRI)
(n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh (n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)
Kuintil 5 (n=784)

1
2

30,3

6,1

76,6 (47)

4,2

95,8

19,7
19,8
19,3
18,5
19,8
20,0

9,0
10,0
9,7
10,0
10,2
10,3

92,0 (113)
87,1 (309)
82,8 (478)
80,5 (307)
77,5 (494)
72,5 (120)

36,1
50,1
45,3
46,4
45,1
31,0

63,9
49,9
54,7
53,6
54,9
69,0

19,5
16,7
28,8

8,4
11,9
5,1

83,5 (109)
71,4 (14)
72,7 (11)

29,1
29,7
1,8

70,9
70,3
98,2

19,5

10,2

76,2 (345)

42,9

57,1

19,5
19,2
19,6

9,8
10,0
11,3

85,8 (681)
79,9 (582)
82,7 (81)

60,2
47,1
39,3

39,8
52,9
60,7

19,6
19,4
19,3

9,4
10,1
10,9

82,8 (715)
81,1 (748)
80,3 (361)

46,5
44,8
38,8

53,5
52,2
61,2

jumlah sampel umur mulai merokok setiap hari sama dengan yang menjawab merokok setiap hari pada pertanyaan D11.
jumlah sampel rata-rata jumlah batang rokok & merokok pada ART laini sama dengan yang menjawab option tiap hari (1) dan kadang-kadang (2)
pada pertanyaan D11.

Lebih dari separuh (54,7%) penduduk laki-laki umur 15 tahun ke atas merupakan perokok
tiap hari. Menurut pendidikan, proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk tidak tamat SD
(50,1%). Menurut pekerjaan utama, proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk
petani/nelayan/buruh (60,2%) disusul penduduk yang wiraswasta/jasa (47,1%). Semakin
tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan, semakin sedikit penduduk yang merokok
setiap hari.
Tabel 4.8. juga menyajikan umur pertama kali merokok setiap hari, rerata jumlah
batang rokok yang dihisap perokok saat ini dan perokok merokok dalam rumah ketika ada
ART lain. Perokok saat ini adalah perokok setiap hari dan perokok kadang-kadang. Secara
nasional prevalensi perokok saat ini untuk usia 10 tahun ke atas mencapai 29,2% dengan
rerata jumlah rokok yang dihisap 12 batang per hari. Berdasarkan data analisis Jawa dan
Sulawesi rerata prevalensi perokok saat ini mencapai 52,4% dengan rerata jumlah batang
rokok yang hisap 10 batang per hari. Rata-rata umur mulai merokok setiap hari di Jawa dan
Sulawesi adalah 19,4 tahun.

44

Umur mulai merokok setiap hari cenderung meningkat pada kelompok umur, atau
semakin muda usia perokok semakin cepat mulai merokok setiap hari. Rata-rata laki-laki
mulai merokok setiap hari umur 19 tahun, sedangkan perempuan 30 tahun. Tidak ada
perbedaan umur mulai merokok setiap hari dengan tingkat pendidikan dan tingkat
pengeluaran rata-rata per kapita per hari. Anak sekolah merupakan perokok yang paling
cepat merokok setiap hari, sedangkan ibu rumah tangga mulai merokok umur 30 tahun.
Rerata batang rokok yang dihisap per hari cenderung menurun seiring
bertambahnya umur. Laki-laki merokok rata-rata lebih banyak dibanding perempuan, tetapi
tidak ada perbedaan rata-rata jumlah batang rokok yang diisap menurut tingkat pendidikan.
Anak sekolah rata-rata lebih banyak mengkonsumsi rokok (12 batang/hari),dan ibu rumah
tangga yang paling sedikit konsumsi rokok rata-rata per hari (5 batang).
Ada kecendrungan meningkat kebiasaan perokok merokok dalam rumah ketika ada
ART lain menurut kelompok umur hingga 55-64 tahun setelahnya itu menurun. Laki-laki
lebih banyak merokok dalam rumah ketika ada ART lain di banding perempuan. Kebiasaan
merokok dalam rumah ketika ada ART ada kecendrungan menurun menurut tingkat
pendidikan, atau semakin tinggi tingkat pendidikan semakin berkurang kebiasaan merokok
dalam rumah ketika ada ART lain. Hampir tidak ada perbedaan kebiasaan merokok dalam
rumah ketika ada ART lain menurut kelompok pekerjaan dan tingkat pengeluaran per
kapita per hari responden.
4.4. Analisis Perilaku berisiko terhadap Kondisi Fisiologi Sindroma Metabolik
4.4.1. Obesitas sentral
Tabel 4.9. menyajikan distribusi obesitas sentral berdasarkan perilaku berisiko (pola
makan, aktivitas fisik dan merokok) menurut tingkat status ekonomi (quintil 1-5). Ada
kecendrungan meningkat kurang konsumsi buah dan sayur penderita obesitas sentral
seiring dengan meningkatnya status ekonomi.
Tabel 4.9.
Prevalensi Obesitas Sentral Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Perilaku
Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat Ekonomi di Jawa dan Sulawesi
Karakteristik Responden
Konsumsi Sayur

Kurang serat

Q1-2
16,5

Obesitas Sentral
Q3-4
21,1

Q5
24,9
45

dan buah

Cukup serat

0,2

0,5

1,4

Makanan Manis

setiap hari
< setiap hari

11,0
5,6

14,1
7,5

15,8
10,5

Makanan Asin

setiap hari
< setiap hari

3,8
12,8

6,1
15,5

5,4
20,9

Makanan Berlemak

setiap hari
< setiap hari

3,5
13,1

5,0
16,5

5,1
21,2

Jeroan

setiap hari
< setiap hari

0,3
16,3

0,4
21,2

0,6
25,6

Aktivitas

Kurang aktivitas
Cukup aktivitas

9,1
7,5

11,0
10,5

14,7
11,6

Merokok

Setiap hari
(risiko tinggi)
Kadang2 &

3,2
13,4

5,0
16,5

5,6
20,7

Konsumsi makanan manis, asin, berlemak dan jeroan dikatakan berisiko jika
mengkonsumsi makanan tersebut setiap hari atau lebih, dan kurang berisiko jika tidak
mengkonsumsinya setiap hari. Konsumsi makanan manis, berlemak dan jeroan meningkat
seiring dengan meningkatnya status ekonomi pada penderita obesitas. Konsumsi makanan
asin tertinggi pada status ekonomi menengah pada penderita obesitas sentral. Obesitas
sentral semakin meningkat seiring dengan meningkatnya status ekonomi dan kurang
aktivitas fisik dan merokok setiap hari.

Dilakukan analisis bivariat obesitas sentral dengan faktor perilaku berisiko.


Obesitas dikelompokkan kedalam 2 kategori : (1) obese sentral dan (2) non obese sentral.
Variabel obesitas, sebagai variabel tergantung (dependen), diregresikan dengan
faktor perilaku berisiko, yaitu perilaku pola makan serat, manis, asin, berlemak, jeroan,
perilaku aktivitas fisik dan perilaku merokok. Hasilnya adalah sebagaimana terlihat pada
Tabel 4.10.
Pada tingkat ekonomi rendah yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05)
terhadap obesitas sentral adalah konsumsi makanan asin (OR=0,663;CI(95%)= 0,4370,918), aktivitas fisik (OR=2,081;CI(95%)=1,524-2,840) dan merokok (OR=0,250 dan CI
46

(95%)=0,173-0,361). Pada tingkat ekonomi menengah, terdapat pengaruh bermakna


terhadap obesitas sentral adalah konsumsi buah dan sayur (OR=0,350;CI (95%)=0,1230,992), konsumsi makanan berlemak (OR=1,393 & CI(95%)=1,006-1,930), aktivitas fisik
(OR=1,469 & CI(95%)=1,125-1,918) dan merokok (OR=0,312& CI(95%)=0,232-0,419).
Pada tingkat ekonomi tinggi, yang mempunyai pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap
obesitas sentral adalah konsumsi makanan manis (OR=0,669 & CI(95%)=0,471-0,950) dan
merokok (OR=0,367 & CI(95%)=0,250-0,540).
Analisis bivariat ini menunjukkan bahwa orang dengan status ekonomi rendah yang
mengkonsumsi makanan asin setiap hari bukan merupakan faktor risiko karena nilai OR
< 1 (OR=0,663) untuk obesitas sentral dibanding orang yang mengkonsumsi makanan asin
bukan setiap hari, kurang konsumsi buah dan sayur juga tidak menjadi foktor risiko dengan
nilai OR sebesar 0,350 kali dan konsumsi makanan berlemak setiap hari berisiko 1,393
menjadi obesitas sentral pada status ekonomi menengah, tetapi pada tingkat ekonomi tinggi
konsumsi makanan manis setiap hari tidak menjadi foktor risiko dengan nilai OR sebesar
0,669 kali untuk obesitas sentral.

47

Tabel 4.10.
Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Obesitas Sentral dengan Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2); Tingkat
Ekonomi Menengah (Q3-4); dan Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa & Sulawesi
Jenis Variabel
Perilaku Makan
Buah & Sayur
Kurang Serat
Cukup Serat*)
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari*)
Jeroan
setiap hari
< setiap hari*)
Aktivitas
Aktivitas kurang
Aktivitas cukup*)
Rokok
Merokok tiap hari
Merokok kurang risiko*)

Signifikansi (p)

OR ()

95% CI

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

-0,764

-1.050

-0.124

0,400

0.048*

0,753

0,466

0,350

0,883

0,079 2,759

0,123 0,992

0,409 1,910

0.141

-0.100

-0.402

0,403

0.487

0,025*

1,152

0,905

0,669

0,827 1,603

0,683 1,199

0,471 0,950

-0,457

0.043

-0.339

0,016*

0.775

0,107*

0,663

1,044

0,713

0,437 0,918

0,776 1,406

0,472 1,076

0,218

0.332

0.198

0,284

0.046*

0,376

1,243

1,393

1,219

0,835 1,852

1,006 1,930

0,786 1,892

0,557

-0.327

0.565

0,378

0.539

0,343

1,745

0,721

1,759

0,506 6,019

0,254 2,044

0,547 5,656

0,733

0,385

0,272

0,000*

0,005*

0,114*

2,081

1,469

1,313

1,524 2,840

1,125 1,918

0,936 1,841

-1,385

-1,165

-1,002

0,000*

0,000*

0,000*

0,250

0,312

0,367

0,173 0,361

0,232 0,419

0,250 0,540

Keterangan - *) Referensi untuk pembanding


- * nilai p < 0,25 dilanjutkan untuk analisis multivariat

48

49

Kurang aktivitas pada tingkat ekonomi rendah dan menengah mempunyai risiko,
masing-masing 2,081 dan 1,469 menjadi obesitas sentral dibanding mereka yang cukup
aktivitas. Selain itu, merokok setiap hari pada semua tingkat ekonomi tidak menjadi foktor
risiko dengan masing-masing OR sebesar 0,250, 0,312 dan 0,313 kali untuk obesitas sentral
dibanding mereka yang merokok kadang-kadang atau tidak merokok.
Tabel 4.11.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada Tingkat Ekonomi
Rendah (Q1-2) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
B
Signifikansi (p) OR ()
95%CI
Konsumsi makanan asin
setiap hari
-0,373
0,041
0,689
0,482 0,982
Merokok setiap hari

-1,394

0,000

0,248

0,172 0,358

Kurang aktivitas fisik

0,709

0,000

2,032

1,491 2,767

Untuk mendapat gambaran pengaruh perilaku berisiko secara simultan terhadap


kejadian obesitas sentral pada masing-masing tingkat ekonomi, maka dilakukan regresi
logistik multivariat.
Pada Tabel 4.11 terlihat bahwa pada tingkat ekonomi rendah, analisis akhir regresi
logistik multivariat, semua variabel yang memenuhi syarat memiliki pengaruh terhadap
kejadian obesitas sentral. Kurang aktivitas fisik memiliki pengaruh paling kuat dengan nilai
OR=2,032 dibanding dengan konsumsi makanan asin

setiap hari (OR=0,689) dan

merokok setiap hari (OR=0,248). Analisis ini menunjukkan bahwa seseorang dengan status
ekonomi rendah yang kurang aktivitas memiliki risiko

2,032 kali dibanding yang

melakukan aktivitas cukup.


Pada Tabel 4.12 terlihat bahwa pada tingkat ekonomi menengah, analisis akhir
regresi logistik multivariat, ada 3 variabel yang memiliki pengaruh (p < 0,05) terhadap
kejadian obesitas sentral yaitu, kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi buah dan sayur dan
merokok setiap hari. Kurang aktivitas fisik memiliki pengaruh paling kuat dengan nilai
OR=1,461 dibanding dengan kurang konsumsi buah dan sayur (OR=0,348) dan merokok
setiap hari (OR=0,311). Analisis ini menunjukkan bahwa seseorang dengan status ekonomi
menengah yang kurang aktivitas memiliki risiko 1,461 kali dibanding yang melakukan
aktivitas cukup lebih kecil risikonya dibanding pada tingkat ekonomi rendah.
50

Tabel 4.12.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada Tingkat Ekonomi
Menengah (Q3-4) di Jawa dan Sulawesi
B

Signifikansi
(p)

OR ()

95%CI

-1,056

0,047

0,348

0,123 0,985

Konsumsi makanan
berlemak setiap hari

0,306

0,058

1,358

0,990 1,863

Merokok setiap hari

-1,167

0,000

0,311

0,232 0,418

Kurang aktivitas fisik

0,379

0,005

1,461

1,120 1,906

Variabel
Kurang konsumsi buah &
sayur

Tabel 4.13.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada Tingkat Ekonomi
Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Konsumsi makanan manis
setiap hari

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

-0,389

0,029

0,678

0,478 0,962

Konsumsi makanan asin


setiap hari

-0,294

0,153

0,745

0,497 1,116

Merokok setiap hari

-0,991

0,000

0,371

0,253 0,544

Kurang aktivitas fisik

0,287

0,095

1,332

0,951 1,865

Pada Tabel 4.13 terlihat bahwa pada tingkat ekonomi tinggi, analisis akhir regresi
logistik multivariat, ada 2 variabel yang memiliki pengaruh (p < 0,05) terhadap kejadian
obesitas sentral yaitu, konsumsi makanan manis tiap hari dan merokok setiap hari.
Konsumsi makanan manis tiap hari memiliki pengaruh paling kuat dengan nilai OR=
0,678 dibanding dengan merokok setiap hari (OR=0,371). Analisis ini menunjukkan bahwa
seseorang dengan status ekonomi tinggi yang konsumsi makanan manis tiap hari bersifat
protektif sebesar 0,678 kali terhadap obesitas sentral dibanding yang mengkonsumsi
makanan manis < tiap hari.

51

4.4.2. Tekanan Darah


Tabel 4.14. menyajikan distribusi hipertensi berdasarkan perilaku berisiko (pola
makan, aktivitas fisik dan merokok) menurut tingkat status ekonomi (quintil 1-5). Terlihat
bahwa kurang konsumsi buah dan sayur penderita hipertensi tertinggi pada status ekonomi
menengah. Konsumsi makanan manis, asin, berlemak dan jeroan dikatakan berisiko jika
mengkonsumsi makanan tersebut setiap hari atau lebih, dan kurang berisiko jika tidak
mengkonsumsinya setiap hari. Konsumsi makanan manis, berlemak dan jeroan meningkat
seiring dengan meningkatnya status ekonomi pada penderita hipertensi. Konsumsi
makanan asin tertinggi pada status ekonomi menengah pada penderita hipertensi.
Hipertensi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya status ekonomi dan kurang
aktivitas fisik, dan kejadian hipertensi menurun dengan meningkatnya status ekonomi pada
orang yang merokok setiap hari.
Tabel 4.14.
Prevalensi Hipertensi Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Perilaku Berisiko:
Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat Ekonomi di Jawa dan Sulawesi

Konsumsi Sayur
dan buah

Kurang serat
Cukup serat

Q1-2
43,5
0,1

Hipertensi
Q3-4
45,7
0,4

Makanan Manis

setiap hari
< setiap hari

28,9
14,7

31,0
15,1

31,1
16,2

Makanan Asin

setiap hari
< setiap hari

12,2
31,4

13,5
32,5

12,0
35,3

Makanan Berlemak

setiap hari
< setiap hari

7,8
35,7

9,1
36,9

9,2
38,1

Jeroan

setiap hari
< setiap hari

0,2
43,4

0,7
45,3

0,9
46,4

Aktivitas

Kurang aktivitas
Cukup aktivitas

19,2
24,3

20,8
25,2

22,7
24,6

Merokok

Setiap hari
(risiko tinggi)
Kadang2 &

17,4
26,2

16,7
29,3

15,2
32,1

Karakteristik Responden

Q5
44,5
2,8

52

Dilakukan analisis bivariat hipertensi dengan faktor perilaku berisiko. Hipertensi


dikelompokkan ke dalam 2 kategori : (1) hipertensi dan (2) normal. Variabel hipertensi,
sebagai variabel tergantung (dependen), diregresikan dengan faktor perilaku berisiko, yaitu
perilaku pola makan serat, manis, asin, berlemak, jeroan, perilaku aktivitas fisik dan
perilaku merokok. Hasilnya adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 4.15.
Pada tabel tersebut yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap
hipertensi pada tingkat ekonomi rendah adalah konsumsi jeroan dengan OR=0,186;CI
(95%)=0,041-0,841, aktivitas fisik dengan OR=1,664;CI(95%)=1,299-2,081, dan merokok
dengan OR=0,664;CI(95%)=0,528-0,835. Pada tingkat ekonomi menengah, variabel yang
memiliki pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap kejadian hipertensi hanya

kebiasaan

merokok dengan nilai OR= 0,537;CI(95%)=0,4320,668, lebih rendah dibanding pada


status ekonomi rendah. Pada tingkat ekonomi tinggi, variabel yang memiliki pengaruh
bermakna (p<0,05) terhadap hipertensi adalah konsumsi buah & sayur dengan nilai
OR=0,450;CI(95%)=0,208-0,973, dan merokok dengan nilai OR=0,598 CI(95%)=0,4400,812.
Analisis bivariat ini menunjukkan bahwa orang dengan status ekonomi rendah yang
kurang aktivitas fisik memiliki risiko 1,664 kali menjadi hipertensi dibanding orang yang
melakukan aktivitas fisik cukup, pada status ekonomi yang sama. Pada semua tingkat
ekonomi, variabel merokok setiap hari tidak menjadi foktor risiko dengan nilai OR sebesar
masing-masing 0,664, 0,537 dan 0,598 terhadap hipertensi dibanding mereka yang
merokok kadang-kadang atau tidak merokok. Kurang konsumsi buah dan sayur berisiko
juga tidak menjadi foktor risiko dengan nilai OR sebesar 0,450 terhadap hipertensi pada
status ekonomi tinggi dan konsumsi jeroan tiap hari tidak menjadi foktor risiko terhadap
terjadinya hipertensi dengan nilai OR sebesar 0,186 kali.
Untuk mendapat gambaran pengaruh perilaku berisiko secara simultan terhadap
kejadian hipertensi pada masing-masing tingkat ekonomi, maka dilakukan regresi logistik
multivariat pada variabel perilaku yang memiliki nilai p < 0,25.
Pada Tabel 4.16 terlihat bahwa pada tingkat ekonomi rendah, analisis akhir regresi
logistik multivariat, ternyata ada 3 variabel yang mempunyai pengaruh terhadap risiko
terjadinya hipertensi yaitu perilaku merokok tiap hari dengan OR=0,663(0,527-0,834);
kurang aktivitas fisik dengan nilai OR=1,646(1,303-2,083) dan konsumsi jeroan setiap
53

Tabel 4.15.
Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Hipertensi dengan Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2); Tingkat Ekonomi
Menengah (Q3-4); dan Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Jenis Variabel
Perilaku Makan
Buah & Sayur
Kurang Serat
Cukup Serat*)
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari*)
Jeroan
setiap hari
< setiap hari*)
Aktivitas
Aktivitas kurang
Aktivitas cukup*)
Rokok
Merokok tiap hari
Merokok kurang risiko*)

Signifikansi (P)

OR ()

95% CI

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

1,449

0,696

-0.798

0,190*

0.205*

0,042*

4,260

2,006

0,450

0,488 37,170

0,683 5,887

0,208 0,973

0.141

-0.005

-0.221

0,248*

0.964

0,167*

1,152

0,995

0,802

0,906 1,464

0,790 1,253

0,585 1,097

-0,090

0.138

-0.025

0,488

0.259

0,885

0,914

1,148

0,975

0,708 1,179

0,903 1,458

0,696 1,367

-0,059

-0.039

0.131

0,700

0.777

0,498

0.943

0,962

1,140

0,700 1,270

0,733 1,261

0,780 1,666

-1,683

-0.250

0.059

0,029*

0.562

0,912

0,186

0,779

1,061

0,041 0,841

0,334 1,813

0,371 3,030

0,497

0,217

0,272

0,000*

0,053*

0,778

1,664

1,242

0,958

1,299 2,081

0,997 1,548

0,714 1,287

-0,410

-0,622

-1,002

0,000*

0,000*

0,001*

0,664

0,537

0,598

0,528 0,835

0,432 0,668

0,440 0,812

Keterangan - *) Referensi untuk pembanding


- * nilai p < 0,25 dilanjutkan untuk analisis multivariat

54

55

hari dengan OR= 0,173(0,039-0,774). Analisis ini menunjukkan bahwa kurang aktivitas
memiliki risiko yang paling kuat sebesar 1,646 kali. Variabel lain yang memiliki pengaruh
yang lebih kuat terhadap terjadinya hipertensi adalah kurang konsumsi buah & sayur
dengan OR=4,286(0,492-37,327), walau nilai kemaknaan untuk konsumsi buah dan sayur
di atas 0,05.
Tabel 4.16.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi
pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah &
sayur
Konsumsi makanan manis
setiap hari
Konsumsi jeroan setiap
hari

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

1,455

0,188

4,286

0,492 37,327

0,125

0,300

1,134

0,894 1,437

-1,753

0,022

0,173

0,039 0,774

Merokok setiap hari

-0,412

0,000

0,663

0,527 0,834

Kurang aktivitas fisik

0,498

0,000

1,646

1,301 2,083

Pada Tabel 4.17 terlihat bahwa pada status ekonomi menengah, analisis akhir
regresi logistik multivariat, ternyata hanya perilaku merokok tiap hari pada yang
mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) untuk terjadinya

hipertensi dengan

OR=0,540(0,232-0,418). Analisis ini juga menunjukkan bahwa konsumsi buah & sayur
yang kurang memiliki risiko yang kuat untuk hipertensi dengan OR=1,990(0,679-5,830),
walau nilai kemaknaannya di atas 0,05.
Tabel 4.17.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi
pada Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah &
sayur

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

-1,688

0,210

1,990

0,679 5,830

Merokok setiap hari

-0,616

0,000

0,540

0,232 0,418

Kurang aktivitas fisik

0,210

0,060

1,234

0,992 1,536

Tabel 4.18.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi
pada Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
B
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
Kurang konsumsi buah dan
sayur
-0,816
0,037
0,442
0,205 0,953
Konsumsi makanan manis
setiap hari

-0,213

0,174

0,809

0,595 1,098

Merokok setiap hari

-0,498

0,001

0,608

0,453 0,816

Pada Tabel 4.18 terlihat bahwa pada tingkat ekonomi tinggi, analisis akhir regresi
logistik multivariat, ternyata perilaku merokok tiap hari dan kurang konsumsi buah dan
sayur mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian hipertensi dengan
OR=0,608(0,453-0,816) untuk merokok dan OR=0,442(205-0,953) untuk konsumsi buah
dan sayur.
4.4.3. Glukosa Darah
Tabel 4.19. menyajikan distribusi diabetes mellitus berdasarkan perilaku berisiko (pola
makan, aktivitas fisik dan merokok) menurut tingkat status ekonomi (quintil 1-5). Terlihat
bahwa

kurang konsumsi buah dan sayur, penderita DM meningkat seiring dengan

meningkatnya status ekonomi. Demikian juga halnya untuk frekuensi konsumsi makanan
berisiko, konsumsi makanan manis, asin, dan berlemak setiap hari atau lebih penderita DM,
meningkat seiring meningkatnya status ekonomi. Konsumsi jeroan setiap hari atau lebih
penderita DM yany tertinggi pada status ekonomi menengah.DM semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya status ekonomi dan kurang aktivitas fisik, serta pada orang
yang merokok setiap hari.
Dilakukan analisis bivariat DM dengan faktor perilaku berisiko. DM dikelompokkan
ke dalam 2 kategori : (1) DM dan (2) non DM. Variabel DM, sebagai variabel tergantung
(dependen), diregresikan dengan faktor perilaku berisiko, yaitu perilaku pola makan serat,
manis, asin, berlemak, jeroan, perilaku aktivitas fisik dan perilaku merokok. Hasilnya
adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 4.20.

57

Tabel 4.19.
Prevalensi Diabetes Mellitus Penduduk 15 Tahun ke Atas
Berdasarkan Perilaku Berisiko: Pola Makan, Aktivitas dan Merokok
Menurut Tingkat Ekonomi di Jawa dan Sulawesi
Karakteristik Responden

Diabetes
Q3-4
6,9
0,2

Q5
9,3
0,8

Konsumsi Sayur
buah

Kurang serat
Cukup serat

Q1-2
5,2
0,0

Makanan Manis

setiap hari
< setiap hari

3,2
2,0

4,5
2,6

5,7
4,3

Makanan Asin

setiap hari
< setiap hari

1,2
4,1

1,8
5,4

2,3
7,8

Makanan Berlemak

setiap hari
< setiap hari

0,9
4,3

1,4
5,7

1,7
8,4

Jeroan

setiap hari
< setiap hari

0,1
5,2

0,2
6,9

0,0
10,1

Aktivitas

Kurang aktivitas
Cukup aktivitas

2,9
2,3

4,0
3,2

6,1
4,0

Merokok

Setiap hari
(risiko tinggi)
Kadang2 &

1,6
3,6

1,8
5,3

2,4
7,7

Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa, terdapat pengaruh bermakna (p < 0,05)
hanya variabel aktivitas fisik dengan OR=1,664(1,210-3,327) terhadap DM pada tingkat
ekonomi rendah. Pada tingkat ekonomi menengah, terdapat pengaruh bermakna (p<0,05)
variabel aktivitas fisik dan merokok terhadap DM. Nilai OR aktivitas fisik dan merokok
masing-masing secara berurutan adalah 1,653(1,087-2,514) dan 0,452(0,283-0,722). Pada
tingkat ekonomi tinggi, hanya variabel merokok yang mempunyai pengaruh yang
bermakna (p<0,05) terhadap terjadinya DM dengan nilai OR=0,598(0,325-0,994)
Analisis bivariat ini menunjukkan bahwa orang dengan status ekonomi rendah yang
kurang melakukan aktivitas fisik berisiko 1,664 menjadi DM dibanding orang dengan
status ekonomi rendah yang cukup melakukan aktivitas fisik.

58

Tabel.4.20.
Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Sindroma Metabolik dengan Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2);
Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4); dan Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Jenis Variabel
Perilaku Makan
Buah & Sayur
Kurang Serat
Cukup Serat*)
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari*)
Jeroan
setiap hari
< setiap hari*)
Aktivitas
Aktivitas kurang
Aktivitas cukup*)
Rokok
Merokok tiap hari
Merokok kurang risiko*)

Signifikansi (P)

OR ()

95% CI

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

-0.531

-1,183

-0.588

0,999

0.075*

0,221*

83175584

0,306

0,555

0,000

0,084 1,124

0,216 1,425

0.178

-0.137

-0.484

0,716

0.536

0,055*

0,909

0,872

0,616

0,542 1,523

0,566 1,345

0,376 1,009

-0,362

-0,122

-0.007

0,244*

0.619

0,980

0,696

0,885

0,993

0,379 1,280

0,547 1,432

0,553 1,781

0,006

0,007

-0,091

0,985

0.979

0,784

1,006

1,007

0,913

0,514 1,969

0,589 1,722

0,477 1,748

0,379

0,561

-18,839 0,725

0.392

0,999

1,461

1,752

0,000

0,178 12,018 0,486 6,319

0,696

0,503

0,490

0,007*

0,019*

0,052*

1,664

1,653

0,958

1,210 3,327

1,087 2,514

0,997 2,671

-0,539

-0,794

-0,565

0,050*

0,001*

0,047*

0,664

0,452

0,598

0,340 1,000

0,283 0,722

0,325 0,994

000

Keterangan - *) Referensi untuk pembanding


- * nilai p < 0,25 dilanjutkan untuk analisis multivariat

59

60

Sedangkan, kurang aktivitas fisik dan merokok setiap hari pada tingkat ekonomi menengah
mempunyai risiko masing-masing 1,653 dan 0,452 menjadi DM dibanding mereka yang
cukup aktivitas dan tidak merokok. Merokok setiap hari pada tingkat ekonomi tinggi
mempunyai risiko 0,598 menjadi DM dibanding mereka yang merokok kadang-kadang
atau tidak merokok.
Untuk mendapat gambaran pengaruh perilaku berisiko secara simultan terhadap
kejadian DM pada masing-masing tingkat ekonomi, maka dilakukan regresi logistik
multivariat. Pada Tabel 4.21 terlihat bahwa kurang aktivitas fisik pada tingkat ekonomi
rendah mempunyai pengaruh yang kuat (p < 0,05) untuk terjadinya DM dengan OR
2,019(1,219-3,345).
Pada Tabel 4.22 menunjukkan bahwa pada tingkat ekonomi menengah, kurang
aktivitas fisik dan merokok setiap hari mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap
kejadian DM. Variabel kurang aktivitas fisik memiliki risiko yang paling kuat untuk
kejadian

DM

dengan

OR

1,684(1,110-2,556),

selanjutnya

merokok

dengan

OR=0,447(0,280-0,712).
Tabel 4.21.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Mellitus
pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Konsumsi makanan asin
setiap hari

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

-0,365

0,225

0,694

0,384 1,253

Merokok setiap hari

-0,538

0,050

0,584

0,341 1,001

Kurang aktivitas fisik

0,703

0,006

2,019

1,219 3,345

Tabel 4.22.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Mellitus
pada Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah &
sayur

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

-1,166

0,078

0,312

0,085 1.141

Merokok setiap hari

-0,806

0,001

0,447

0,280 0,712

Kurang aktivitas fisik

0,521

0,014
Tabel 4.23.

1,684

1,110 2,556

61

Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Mellitus


pada Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah dan
sayur

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

-0,597

0,212

0,551

0,216 1,405

Konsumsi makanan manis


setiap hari

-0,497

0,042

0,608

0,377 0,982

Merokok setiap hari

-0,577

0,042

0,561

0,322 0,980

Kurang aktivitas fisik

0,477

0,057

1,561

0,985 2,633

Tabel 4.23. menyajikan hasil analisis multivariat logistik regresi antara perilaku
berisiko terhadap kejadian DM pada tingkat ekonomi tinggi. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa konsumsi makanan manis setiap hari dan merokok setiap hari pada tingkat
ekonomi tinggi mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian DM dengan
OR masing-masing 0,608(0,377-0,982) dan 0,561(0,322-0,980). Kurang aktivitas fisik
memiliki pengaruh yang kuat untuk terjadinya DM dengan nilai OR=1,561(0,985-2,633),
walaupun nilai kemaknaannya sedikit di atas 0,05.
4.4.4. Sindroma Metabolik
Tabel 4.24. menyajikan distribusi sindroma metabolik berdasarkan perilaku berisiko
(pola makan, aktivitas fisik dan merokok) menurut tingkat status ekonomi (quintil 1-5).
Terlihat bahwa perilaku berisiko penderita sindroma metabolik (SM) meningkat seiring
dengan meningkatnya status ekonomi.
Penderita sindroma metabolik yang kurang mengkonsumsi sayur dan buah, makanan manis
setiap hari, dan kurang aktivitas lebih besar dibanding dengan yang cukup konsumsi buah
dan sayur, cukup aktivitas fisik, dan konsumsi makanan manis < setiap hari. Sebaliknya,
penderita sindroma metabolik yang mengkonsumsi makanan asin, berlemak, dan jeroan
setiap hari atau lebih, dan merokok setiap hari, proporsinya lebih kecil dibanding dengan
yang mengkonsumsi makanan asin, berlemak dan merokok < setiap hari dan kadangkadang atau tidak merokok.
Tabel 4.24.
Prevalensi Sindroma Metabolik Penduduk 15 Tahun ke Atas
62

Berdasarkan Perilaku Berisiko: Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut


Tingkat Ekonomi di Jawa dan Sulawesi
Karakteristik Responden

Sindroma Metabolik
Q3-4
14,3
0,2

Konsumsi Sayur
buah

Kurang serat
Cukup serat

Q1-2
10,5
0,1

Makanan Manis

setiap hari
< setiap hari

7,3
3,3

9,3
5,2

9,9
7,9

Makanan Asin

setiap hari
< setiap hari

2,5
8,1

4,4
10,2

3,3
14,5

Makanan Berlemak

setiap hari
< setiap hari

2,1
8,4

2,8
11,7

3,7
14,2

Jeroan

setiap hari
< setiap hari

0,2
10,4

0,2
14,3

0,4
17,5

Aktivitas

Kurang
aktivitas
Cukup
aktivitas

5,9
4,6

7,7
6,9

9,7
8,2

1,8
8,8

3,3
11,3

3,7
14,2

Merokok

Setiap hari
(risiko tinggi)
Kadang2 &

Q5
16,6
1,3

Dilakukan analisis logistik bivariat SM dengan faktor perilaku berisiko. SM


dikelompokkan ke dalam 2 kategori : (1) SM dan (2) non SM. Variabel SM, sebagai
variabel tergantung (dependen) dan faktor perilaku berisiko sebagai variabel independen
pada masing-masing tingkat ekonomi. Hasil analisis sebagaimana terlihat pada Tabel 4.25.
Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa, terdapat pengaruh bermakna (p < 0,05)
variabel aktivitas dan merokok terhadap SM pada tingkat ekonomi rendah dengan nilai OR
masing-masing 2,471(1,722-3,547) dan 0,205(0,129-0,326). Demikian halnya pada tingkat
ekonomi menengah, aktivitas fisik dan merokok berpengaruh bermakna (p<0,05) terhadap
sindroma metabolik dengan nilai OR masing-masing 1,767(1,313-2,378) dan 0,304(0,2150,429).

63

Tabel.4.25.
Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Sindroma Metabolik dengan Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2);
Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4); dan Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Jenis Variabel
Perilaku Makan
Buah & Sayur
Kurang Serat
Cukup Serat*)
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari*)
Jeroan
setiap hari
< setiap hari*)
Aktivitas
Aktivitas kurang
Aktivitas cukup
Rokok
Merokok tiap hari
Merokok kurang risiko

Signifikansi (P)

OR ()

95% CI

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

Q1-2

Q3-4

Q5

-0,531

-0,307

0.777

0,629

0.639

0,048*

0,588

0,460

0,291

0,068 5,073

0,208 2,604

0,213 0,994

0,178

-0.194

-0.687

0,363

0.220*

0,000*

1,195

0,503

0,409

0,814 1,755

0,605 1,123

0,346 0,732

-0,333

-0,092

-0.547

0,117*

0.578

0,020*

0,717

1,096

0,579

0,473 1,086

0,793 1,514

0,366 0,916

0,060

0,152

0,152

0,792

0.659

0,511

1,062

0,920

1,165

0,679 1,660

0,634 1,334

0,739 1,835

0,192

-0,179

-0,143

0,799

0.773

0,827

1,214

0,836

1,153

0,273 5,399

0,247 2,829

0,905

0,569

0,378

0,000*

0,000*

0,044*

2,471

1,767

1,459

1,722 3,547

1,313 2,378

1,011 2,105

-1,583

-1,192

-1,048

0,000*

0,000*

0,000*

0,205

0,304

0,351

0,129 0,326

0,215 0,429

0,226 0,543

0,321 4,142

Keterangan - *) Referensi untuk pembanding


- * nilai p < 0,25 dilanjutkan untuk analisis multivariat

64

Pada tingkat ekonomi tinggi, selain aktivitas dan merokok, konsumsi buah-sayur, makanan
manis dan asin juga berpengaruh (p<0,05) terhadap SM dengan nilai OR masing-masing
1,459(1,011-2,105), 0,331(0,226-0,543), 0,460(0,213-0,994),

0,503(0,346-0,732) dan

0,579(0,366-0,916).
Tabel 4.26.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Sindroma Metabolik
pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Konsumsi makanan asin
setiap hari

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

-0,293

0,179

0,746

0,487 1,144

Merokok setiap hari

-1,459

0,000

0,232

0,145 0,372

Kurang aktivitas fisik

0,690

0,000

1,993

1,375 2,888

Untuk mendapat gambaran pengaruh perilaku berisiko secara simultan terhadap


kejadian SM pada masing-masing tingkat ekonomi, maka dilakukan regresi logistik
multivariat multinomial. Pada Tabel 4.26. terlihat bahwa merokok setiap hari pada tingkat
ekonomi rendah mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) untuk terjadinya SM, dan
bersifat protektif dengan OR=0,143(1,219-3,345). Kurang aktivitas fisik pada tingkat
ekonomi rendah mempunyai pengaruh bermakna (p<0,05) dan memberi pengaruh yang kuat
dengan OR 1,988 (1,219-3,345).
Pada Tabel 4.27 menunjukkan bahwa pada tingkat ekonomi menengah, kurang
aktivitas fisik dan merokok setiap hari mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap
kejadian SM. Variabel kurang aktivitas fisik memiliki risiko yang paling kuat untuk kejadian
SM dengan OR 1,479(1,091-2,007), selanjutnya merokok dengan OR=0,327(0,230-0,465).
Tabel 4.27.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Sindroma Metabolik
pada Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Konsumsi makanan asin
setiap hari

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

-0,116

0,472

0,890

0,649 1,222

Merokok setiap hari

-1,117

0,000

0,327

0,230 0,465

Kurang aktivitas fisik

0,392

0,012

1,479

1,091 2,007

65

Tabel 4.28. menyajikan hasil analisis multivariat logistik regresi antara perilaku
berisiko terhadap kejadian SM pada tingkat ekonomi tinggi. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa merokok setiap hari dan konsumsi makanan manis setiap hari pada tingkat ekonomi
tinggi mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian SM dengan OR masingmasing 0,393(0,250-0,619) dan 0,556(0,383-0,838). Kedua variabel tersebut memberi efek
protektif sebesar nilai Ornya terhadap kejadian sindroma metabolik. Tidak ada variabel yang
memberi pengaruh kuat terhadap sindroma metabolik.
Tabel 4.28.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Sindroma Metabolik
pada Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah dan
sayur
Konsumsi makanan manis
setiap hari
Konsumsi makanan asin
setiap hari
Merokok setiap hari
Kurang aktivitas fisik

Signifikansi (p)

OR ()

95%CI

-0,558

0,167

0,573

0,260 1,263

-0,568

0,004

0,566

0,383 0,838

-0,325

0,185

0,723

0,447 1,168

-0,933

0,000

0,393

0,250 0,619

0,149

0,447

1,161

0,790 1,717

V. PEMBAHASAN
Analisis lanjut data riskesdas 2007 ini telah dilakukan pada 3.478 responden pulau
Jawa dan Sulawesi. Sebagaian besar responden yang terpilih berada di pulau jawa sebesar
85,6% atau sekitar 4 kali lipat responden dari Sulawesi. Rerata umur untuk laki-laki 46,80
tahun, sedangkan rerata umur untuk perempuan 49,86 tahun. Rata-rata tingkat pendidikan
terbanyak adalah tamat SMA (25,96%), pekerjaan terbesar di bidang wiraswasta/jasa
(29,50%), dan status ekonomi menengah (kuintil 3-4) memiliki sampel terbesar (40,68%).
Prevalensi obesitas sentral mencapai 20,8% lebih tinggi dibandingkan dengan angka
nasional 18,8%. Prevalensi hipertensi untuk Jawa-Sulawesi mencapai 45,4% sedangkan
angka nasional 31,7%, dan DM 7,1% lebih tinggi dibanding prevalensi rata-rata nasional
(berdasarkan pengukuran glukosa darah) yang mencapai 4,7%. Propinsi Gorontalo
merupakan daerah yang paling buruk berdasarkan parameter penilai sindroma metabolik,

66

dengan prevalensi paling tinggi pada obesitas sentral (32,1%), hipertensi (52,8%) dan DM
(15,1%) sedangan prevalensi obesitas berdasarkan IMT

( 25) tertinggi pada propinsi

Sulawesi Utara (38,6%).


Pendekatan analisis lanjut data Riskesdas 2007 ini, mencoba untuk melihat pengaruh
perilaku terhadap kejadian sindroma metabolik pada berbagai tingkat sosial ekonomi. Sosial
ekonomi menjadi faktor risiko yang berperanan penting pada perkembangan kejadian
sindroma metabolik. Data epidemiologi sindroma metabolik pada orang dewasa di berbagai
negara berkembang memperlihatkan bahwa meningkatnya prevalensi obesitas juga diikuti
oleh naiknya prevalensi sindroma metabolik 21. Tingginya prevalensi sindroma metabolik
seperti yang dilaporkan pada beberapa hasil penelitian di negara berkembang seperti India
(penelitian oleh Gupta et al pada 1091 sampel > 20 tahun di perkotaan India Utara tahun
2007, prevalensi 22,9% laki-laki dan 31,6% perempuan); Cina (penelitian oleh Fan et al,
pada 3903 sampel dengan usia 20-88 tahun di Shanghai 2008, prevalensi 15,3%), dan
Venezuela (penelitian oleh Florez et al, tahun 2005 pada 3108 sampel usia > 20 tahun
mencapai 31,2%).
Pada analisis ini, ditemukan prevalensi sindroma metabolik sebesar 13,8% (kriteria:
lingkar perut >80 cm perempuan, >90 cm laki-laki; tekanan darah sistolik 130 mmHg,
diastolik 85 mmHg; glukosa darah 2 jam PP 140 mg/dL) lebih tinggi dari angka
nasional dengan prevalensi 12,7%, prevalensi SM di pulau jawa lebih rendah dibanding
pulau sulawesi, masing-masing 21,6% dan 22,6%.
5.1. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Obesitas
Data WHO menyebutkan bahwa lebih dari satu milyar orang dewasa menderita
overweght dan 300 juta orang lainnya menderitas obes. Obesitas di negara berkembang
terus bertambah dengan lebih dari 115 juta orang menderita obesitas beserta gangguan
yang ditumbulkannya. Menurut WHO terdapat 40-60% penderita obesitas akan
menimbulkan diabetes dan hipetensi. Popkin dan Doak tahun 1998, melaporkan bahwa
prevalensi obesitas bertambah dari 2,3% menjadi 19,6% selama kurun waktu kurang
lebih 10 tahun di beberapa negara berkembang. Pada umumnya di negara berkembang,
individu yang berasal dari keluarga sosial yang memiliki tingkat ekonomi rendah
biasanya mengalami malnutrisi. Sebaliknya, individu dari keluarga dengan status

67

ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak tiga
dekade terakhir, prevalensi obesitas meningkat secara dramatis pada setiap kelompok
status sosial ekonomi20.
Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa obesitas sentral semakin tinggi
prevalensinya seiring dengan bertambahnya umur, pendidikan dan pengeluaran ratarata per kapita per hari (tingkat ekonomi). Perempuan lebih berisiko menjadi obesitas
dibanding laki-laki, hal ini dapat dijelaskan dengan tingginya prevalensi obes sentral
pada perempuan sebesar 45,1% atau kurang lebih satu banding dua. Ibu rumah tangga
merupakan jenis pekerjaan yang memiliki prevalensi obes sentral terbesar yakni
mencapai 54,1%. Hal ini dapat menjelaskan mengapa perempuan lebih berisiko. Jika
dilihat dari perilaku konsumsi buah dan sayur, makanan manis asin, berlemak dan
jeroan, hampir tidak ada perbedaan diantara karakteristik sosial ekonomi tersebut,
begitu pula dengan perilaku merokok, kecuali pada rata-rata umur mulai merokok,
laki-laki lebih cepat merokok dibanding dengan perempuan. Yang sangat mencolok
perbedaannya ada pada perilaku aktifitas fisik yang berbanding terbalik dengan
karakteriktik sosek obesitas sentral. Aktivitas fisik cenderung menurun seiring dengan
bertambahnya umur, tingkat pendidikan dan pengeluaran rata-rata per kapita per hari.
Perempuan sangat kurang beraktivitas dibanding laki-laki, diperjelas dengan jenis
pekerjaan yang sedikit beraktivitas cukup yakni ibu rumah tangga.
Berdasarkan analisis logistik bivariat, ditemukan bahwa pada masing-masing
tingkat ekonomi, pengaruh perilaku terhadap obesitas sentral bervariasi. Pada status
ekonomi rendah (pengeluaran rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 1 dan 2)
makanan jeroan dan aktivitas fisik memberikan risiko masing-masing 1,745 dan 2,081
kali menjadi obesitas, walaupun nilai kemaknaan konsumsi jeroan di atas 0,05. Jika
diteruskan pada analisis multivariat (logistik multinomial), maka kurang aktivitas
fisiklah yang menyebabkan obesitas sentral dengan risiko 2,032 kali. Pada status
ekonomi menengah (pengeluara rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 3 dan
4) makanan berlemak dan aktivitas fisik memberikan risiko masing-masing 1,393 dan
1,469 kali menjadi obesitas. Melihat hasil analisis multivariat, maka kurang aktivitas
fisiklah yang memberikan kontribusi paling kuat untuk obesitas sentral dengan risiko
1,461 kali selain konsumsi makanan berlemak setiap hari dengan risiko 1,358 kali,
68

walaupun nilai kemaknaannya sedikit di atas 0,05. Pada status ekonomi tinggi
(pengeluara rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 5) menunjukkan karakter
yang sama pada tingkan ekonomi rendah, dimana, konsumsi jeroan dan aktivitas fisik
memberikan risiko masing-masing 1,759 dan 1,313 kali menjadi obesitas, walau nilai
kemaknaan keduanya di atas 0,05. setelah dianalisis lebih lanjut, makan kurang
aktivitas fisik yang memberikan kontribusi paling kuat untuk obesitas sentral dengan
risiko 1,332 kali.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurang aktifitas yang memberikan
risiko terbesar untuk obesitas, selain pola konsumsi. Mengingat data pola konsumsi
diperoleh hanya berdasarkan frekuensi makan, oleh karenanya analisis tidak dapat
menunjukkan hasil yang optimal.
Jika di bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Australia,
obesitas justru lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial ekonomi rendah,
yaitu sekitar 6 - 12 kali lebih banyak dibanding mereka dengan sosial ekonomi tinggi.
Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan antara
sosial economic status (SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa, di
negara maju kelompok wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi 8. Di negara
berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih sering terdapat di
daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya kejadian obesitas lebih
sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi. Prevalensi Obesitas di Afrika
Utara sama tinggi dengan kejadian di Amerika Serikat dan Mesir, 70% wanita da 48%
pria mengalami overweight dan obesitas22.
Dalam penelitian tentang obesitas pada daerah kumuh di India diketahui bahwa
masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke kota metropolitan dengan harapan dapat
mengubah gaya hidupnya. Di daerah perkotaan akhirnya mereka bermukim di daerah
kumuh dan bekerja serabutan22. Hal ini menyebabkan perubahan pada pola makan,
terpaparnya stress, dan menurunnya akivitas fisik, meningkatnya kegiatan merokok
dan konsumsi alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor resiko terjadinya
obesitas. Perubahan gaya hidup dan pola makan desa pada SES rendah menjadi lebih
modern yang tinggi akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja
69

menjadi petani dengan tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah menjadi pedagang
kaki lima dengan aktivitas fisik yang rendah8.
Efek saat merokok dan berhenti merokok terhadap berat badan telah dievaluasi
dengan membandingkan pasangan dari kembar identik untuk mengontrol genetik dan
beberapa faktor lingkungan. Pasangan yang merokok jenis ringan, menengah dan berat
memiliki rata-rata weight gain 2,4, 3,2 dan 4,0 kg lebih besar dibandingkan dengan
kembaran mereka yang tidak merokok. Pada sisi lain, bekas perokok memiliki insidens
yang tinggi terhadap obesitas (27%) dibandingkan dengan saudara kandung mereka
yang sekarang merokok. Oleh karena kemungkinan peramalan dari weight gain akibat
berhenti merokok, dianjurkan untuk menambah aktivitas dan mengurangi asupan
karbohidrat.
Sejalan dengan uraian tersebut, hasil analisis memberikan gambaran yang sama,
yakni merokok memberikan faktor protektif terhadap obesitas di semua tingkat
ekonomi. Pada tingkat ekonomi rendah, merokok setiap hari memberikan efek protektif
sebesar 0,248 kali terhadap obesitas. Sedangkan pada status ekonomi menengah dan
tinggi, merokok setiap hari dapat besifat protektif masing-masing sebesar 0,311 dan
0,371 kali terhadap obesitas.
5.2. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Tekanan Darah
Patogenesis obesitas menjadi hipertensi melalui berbagai faktor termasuk leptin,
FFA, TNF-, renin angiotensin dan disfungsi endotel yang akan menyebabkan aktivasi
simpatis, vasokonstruksi dan retensi sodium23. Studi epidemiologi memperlihatkan ada
korelasi yang kuat antara konsumsi sodium pada populasi dengan prevalensi
hipertensi24. Studi MONICA di Skotlandia menemukan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan faktor sosial (terdiri atas kepemilikan rumah, klas sosial, tingkat pendidikan
dan pekerjaan) terhadap hipertensi, kecuali pada mereka yang bekerja sebagai pegawai
full time. Dari studi tersebut ditemukan ada perbedaan signifikan dari umur, status
perkawinan, IMT, status merokok, konsumsi alkohol, dan tahun survei terhadap
hipertensi. Berdasarkan uji multivariat, tidak ditemukan faktor risiko yang kuat antara
faktor sosial terhadap hipertensi25.

70

Pada studi MONICA 2000 di daerah perkotaan Jakarta dan FKUI 2000-2003 di
daerah Lido pedesaan kecamatan Cijeruk memperlihatkan kasus hipertensi derajat II
(berdasarkan JNC VII) masing-masing 20,9% dan 16,9%. Menurut SKRT 2004,
prevalensi hipertensi sebesar 14%. Prevalensi ini meningkat seiring bertambahnya
umur dan didominasi oleh perempuan (16%) dibanding laki-laki (12%). Analisi SKRT
2004 pulau Jawa memperlihatkan bahwa, berdasarkan faktor risiko individu, seseorang
yang tidak merokok memiliki prevalensi hipertensi paling tinggi (45,6%) dibanding
yang merokok tiap hari (34,0%). Aktivitas fisik aktif lebih banyak yang mengalami
hipertensi (42,1%) dibanding dengan yang tidak aktif (37,5%). Mereka yang menderita
obes, hiperkolesterolemia dan DM lebih banyak yang hipertensi dibanding dengan
yang normal26.
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada
penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Analisis ini
menemukan bahwa hipertensi semakin tinggi prevalensinya seiring dengan
bertambahnya umur dan pengeluaran rata-rata per kapita per hari (tingkat ekonomi).
Perempuan lebih berisiko menjadi hipertensi dibanding laki-laki, hal ini dapat
dijelaskan dengan tingginya prevalensi hipertensi pada perempuan sebesar 53,5%
dibanding laki-laki 43,2%. Mereka yang tidak bekerja merupakan jenis pekerjaan yang
memiliki prevalensi hipertensi terbesar yakni mencapai 69,3%. Hal ini sejalan dengan
studi MONICA di Skotlandia, mereka yang sedang mencari pekerjaan atau dalam masa
pemutusan hubungan kerja (PHK) memiliki risiko masing-masing 2,15 kali (untreated)
dan 2,62 kali (uncontrolled) menjadi hipertensi 25. Mereka yang tidak pernah sekolah,
memiliki prevalensi hipertensi tertinggi sebesar 63,6%. Jika dikaitkan dengan jenis
pekerjaan, mereka yang tidak pernah mendapat pendidikan formal (tidak sekolah), dan
tidak bekerja memiliki prevalensi terbesar yakni 22,1%.
Jika dilihat dari perilaku konsumsi buah dan sayur, makanan manis asin,
berlemak dan jeroan, tidak ada perbedaan proporsi antara mereka yang mengalami
hipertensi dan yang normal, kecuali konsumsi makanan jeroan setiap hari (34,5%)
dan merokok setiap hari (37,6%). Begitu pula dengan perilaku aktifitas yang tidak
memiliki perbedaan proporsi antara kurang aktifitas dengan hipertensi dan yang
normal.
71

Berdasarkan analisis logistik bivariat, ditemukan bahwa pada masing-masing


tingkat ekonomi, pengaruh perilaku terhadap hipertensi bervariasi. Pada status
ekonomi rendah (pengeluaran rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 1 dan 2)
konsumsi buah dan sayur dan aktivitas fisik memberikan risiko masing-masing 4,260
dan 1,664 kali menjadi hipertensi, walaupun nilai kemaknaan konsumsi buah dan sayur
di atas 0,05. Jika diteruskan pada analisis multivariat (logistik multinomial), maka
kurang konsumsi buah sayur yang menyebabkan hipertensi dengan risiko 4,286 kali,
walau nilai p > 005. Pada status ekonomi menengah (pengeluara rata-rata per kapita
per hari berada pada kuintil 3 dan 4) konsumsi buah sayur dan aktivitas fisik
memberikan risiko masing-masing 2,006 dan 1,242 kali menjadi hipertensi. Melihat
hasil analisis logistik multinomial, maka konsumsi buah dan sayur yang memberikan
kontribusi paling kuat untuk hipertensi dengan risiko 1,990 kali kemudian kurang
aktifitas fisik dengan risiko 1,234 kali menjadi hipertensi, walaupun nilai
kemaknaannya di atas 0,05. Pada status ekonomi tinggi (pengeluara rata-rata per kapita
per hari berada pada kuintil 5) menunjukkan bahwa tidak ada yang memberikan risiko
terhadap hipertensi, walaupun konsumsi buah sayur dan merokok memiliki pengaruh
bermakna dengan nilai p masing-masing 0,042 dan 0,001, tetapi bersifat protektif
terhadap terjadinya hipertensi oleh karena nilai OR < 1. Hasil analisis untuk perilaku
merokok menghasilkan nilai OR yang terbalik dengan hasil kajian yang ada. Pada
semua tingkat ekonomi, merokok memberi pengaruh protektif berturut-turut sebesar
0,664, 0,537 dan 0,598 kali untuk hipertensi. Hal ini menjelaskan bahwa, kebanyakan
perokok aktif merokok jika mengalami banyak masalah atau menjadi dalih penghilang
stress, sehingga hipertensi yang disebabkan gangguan emosional dapat ditekan.
Analisis lanjut data SKRT 2004 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Perilaku merokok tiap hari dan aktivitas kurang mempunyai hubungan bermakna
(p<0,05) terhadap kejadian hipertensi dengan OR masing-masing 0,827 dan 1,181.
Artinya pada analisis simultan seorang yang merokok setiap hari mempunyai efek
protektif sebesar 0,827 dibanding orang yang tidak merokok sedang seorang yang
kurang aktifitas mempuyai risiko 1,181 kali dibanding orang yang aktivitasya cukup27.

72

5.3. Analisis pengaruh Perilaku terhadap Glukosa Darah


Telah diketahui bahwa DM adalah salah satu faktor risiko independen terhadap
kejadian penyakit kardiovaskuler (PKV) sebagaimana faktor risiko lain seperti
dislipidemia, hipertensi, obesitas, merokok. Individu dengan prediabetes dilaporkan
mempunyai risiko 5-15 kali lebih tinggi untuk menderita DM di kemudian hari,
dibandingkan dengan individu yang mempunyai nilai glukosa normal28,29,30. Sama
halnya dengan DM, subyek prediabetes juga sering disertai beberapa faktor risiko
kardiovaskuler seperti hipertensi, dislipidemia dan obesitas, sehingga selain sebagai
faktor

risiko

DM,

prediabetes

juga

dianggap

sebagai

faktor

risiko

kardiovaskuler31,32,33,34.
WDF (2006) melaporkan bahwa lebih dari 230 juta orang diseluruh dunia
menderita DM, angka ini bertambah lebih dari 6 juta setiap tahun. 7 dari 10 negara
tertinggi prevalensi DM berada di negara berkembang 35. India merupakan negara
dengan DM tertinggi. Studi di daerah perkotaan Chennai 1997 mendapatkan prevalensi
DM mencapai 12%, tertinggi pada kelompok umur 45-65 tahun sebesar 58% dan mulai
tinggi pada kelompok umur 20-44 tahun yakni sebesar 22%. Pada kelompok sosial
ekonomi tinggi, prevalensi DM mencapai 2 kali lipat dibanding pada kelompok sosial
ekonomi rendah36.
Studi morbiditas SKRT 2001, memperlihatkan bahwa prevalensi DM meningkat
dengan bertambahnya umur, hingga pada umur 55-64 tahun yang mencapai 6,9%.
Perempuan umumnya lebih tinggi (0,8%) dibanding laki-laki (0,5%)37.
Berdasarkan hasil pengukuran glukosa darah (2 jam PP), prevalensi diabetes
melitus pada penduduk umur 15 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 5,7%.
Analisis ini menemukan bahwa prevalensi DM semakin tinggi seiring dengan
bertambahnya umur dan pengeluaran rata-rata per kapita per hari (tingkat ekonomi).
Perempuan lebih berisiko menjadi DM dibanding laki-laki, hal ini dapat dijelaskan
dengan tingginya prevalensi DM pada perempuan sebesar 10,1% dibanding laki-laki
6,3%. Mereka yang tidak bekerja dan ibu rumah tangga merupakan jenis pekerjaan
yang memiliki prevalensi DM terbesar yakni mencapai 24,2%. Mereka yang tidak
pernah sekolah, memiliki prevalensi DM tertinggi sebesar 9,3%. Jika dikaitkan dengan
jenis pekerjaan, mereka yang tidak pernah mendapat pendidikan formal (tidak
73

sekolah), yang bekerja ibu RT dan tidak bekerja memiliki prevalensi DM terbesar
yakni 3,9%.
Prevalensi DM masih tinggi pada kelompok sosial ekonomi tinggi, baik di India
maupun di Indonesia, dan ini menjadi ciri khas negara berkembang khususnya daerah
perkotaan, dimana naiknya pendapatan merubah pola konsumsi dengan makanan kaya
lemak, gula & kalori, ditambah dengan tingginya tingkat stress36. Jika dibandingkan
dengan negara maju, prevalensi DM terbesar justru berada di tingkat sosial ekonomi
rendah yang disebabkan oleh gaya gidup yang tidak sehat, intake gizi yang tidak
adekuat, tingginya psikologikal stress, meningkatnya obesitas, dan perilaku
merokok8,36.
Perubahan gaya hidup merupakan salah satu yang dapat menimbulkan tingginya
angka kasus diabetes dikarenakan

pergeseran gaya hidup masyarakat di era

globalisasi, khususnya yang bermukim di kawasan perkotaan karena mudahnya


mendapatkan makanan yang siap saji. Salah satu aspek paling menonjol adalah
tingginya konsumsi makanan gaya barat yaitu tinggi karbohidrat, protein dari hewani
dan lemak yang kandungan seratnya rendah serta dibarengi dengan minuman ringan
yang kadar gulanya tinggi38. Perubahan gaya hidup ini juga membuat banyak orang
minim gerak lantaran tinggal di dalam ruangan. Banyak orang lebih suka duduk di
depan televisi dan komputer daripada menghabiskan waktu di luar rumah. Padatnya
kesibukan kerja dan tingginya pemakaian kendaraan pribadi mengakibatkan orang
dewasa kian minim gerak dan malas berolahraga. Kebiasaan dan pola makan yang
salah juga meningkatkan risiko terkena diabetes20,38,39,41.
Jika dilihat dari perilaku konsumsi buah dan sayur, ternyata 94,6% penderita DM
kurang konsumsi buah dan sayur, dan 60,7% penderita DM mengkonsumsi makanan
manis setiap hari. Serta kurang dari 50% dari proporsi konsumsi makanan asin,
berlemak dan jeroan. kurang aktifitas fisik hampir tidak memiliki perbedaan proporsi
pada penderita DM yang kurang aktivitas dan cukup aktivitas. 57,1% penderita DM di
Jawa dan Sulawesi kurang aktivitas fisik. Faktor merokok kontribusinya terhadap DM
kurang dari 50%. Proporsi penderita DM yang merokok tiap hari sebesar 26,7%, hal ini
dapat dimaklumi oleh karena penderita DM lebih banyak diderita oleh perempuan yang
mayoritas tidak merokok.
74

Berdasarkan analisis logistik bivariat, ditemukan bahwa pada masing-masing


tingkat ekonomi, pengaruh perilaku terhadap DM bervariasi. Pada status ekonomi
rendah (pengeluaran rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 1 dan 2) konsumsi
jeroan dan aktivitas fisik memberikan risiko masing-masing 1,461 dan 1,664 kali
menjadi DM, walaupun nilai kemaknaan konsumsi jeroan di atas 0,05. Jika diteruskan
pada analisis multivariat (logistik multinomial), maka kurang aktivitas fisik yang
menyebabkan DM dengan risiko 2,019 kali. Pada status ekonomi menengah
(pengeluara rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 3 dan 4) memiliki
karakteristik yang sama dengan status ekonomi rendah, dimana konsumsi jeroan dan
aktivitas fisik memberikan risiko masing-masing 1,752 dan 1,653 kali menjadi DM,
walaupun nilai kemaknaan konsumsi jeroan di atas 0,05. Melihat hasil analisis logistik
multinomial, maka aktivitas fisik yang memberikan kontribusi paling kuat untuk DM
dengan risiko 1,684 kali. Pada status ekonomi tinggi (pengeluara rata-rata per kapita
per hari berada pada kuintil 5) menunjukkan bahwa tidak ada yang memberikan risiko
terhadap hipertensi, walaupun merokok memiliki pengaruh bermakna dengan nilai p
masing-masing 0,047, tetapi bersifat protektif terhadap terjadinya DM oleh karena nilai
OR < 1. Kurang aktivitas fisik memberi risiko 1,561 kali untuk DM pada tingkat sosek
tinggi, walaupun nilai kemaknaanya sedikit di atas 0,05. Hasil analisis untuk perilaku
merokok menghasilkan nilai OR yang terbalik dengan hasil kajian yang ada. Pada
semua tingkat ekonomi, merokok memberi pengaruh protektif berturut-turut sebesar
0,664, 0,452 dan 0,598 kali untuk DM. Analisis logistik multinomial mereka yang
merokok setiap hari memberi efek protektif terhadap terjadinya DM masing-masing
sebesar 0,584, 0,447 dan 0,561 kali.
Urbanisasi dan gaya hidup ala barat menjadi faktor risiko meningkatnya
prevalensi DM di India. Kemajuan ekonomi India telah merubah gaya hidup secara
dramatis dari pola tradisonal menjadi modern, selain itu, masyarakat yang kurang
aktifitas meningkat yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi 36. Faktor kurang
aktifitas memberi risiko hampir dua kali lipat untuk terjadinya DM pada semua tingkat
ekonomi. Tingkat sosek rendah yang kurang aktifitas berisiko lebih besar dibanding
pada sosek menengah dan tinggi. Perilaku hidup sedentary merupakan penyebab
sehingga masyarakat di perkotaan kurang aktivitas fisik, sedang pada sosek rendah,
75

kurang aktivitas fisik juga dapat disebabkan oleh perubahan jenis pekerjaan akibat
urbanisasi.
5.4. Analisis pengaruh Perilaku Terhadap Sidroma Metabolik
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sindroma metabolik sangat erat dengan
metabolisme individu, atau bagaimana tubuh memproses makanan. Secara normal,
tubuh diserap ke aliran darah dalam bentuk gula dan substansi dasar lainnya. Ketika
kadar gula darah meningkat, pankreas (organ dibelakang lambung) melepaskan
hormon insulin. Insulin berada di sel tubuh yang menyebabkan glukosa masuk dan
digunakan untuk energi. Pada beberapa orang, sel tubuh tidak dapat merespon insulin
(resistensi insulin). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kondisi resistensi insulin
dapat berkembang menjadi sindroma metabolik1,2,4.
Seiring dengan meningkatnya prevalensi obesitas, kasus sindroma metabolik juga
meningkat di negara berkembang. Prevalensi sindroma metabolik tinggi ditemukan di
Subsahara Afrika dan negara-negara Timur Tengah, Afrika Selatan, Maroko, Oman,
Turki dan Iran masing-masing 33,5%, 16,3%, 21%, 33,4% dan 33,7%. Prevalensi yang
tinggi juga ditemukan di Venezuela (31,2%) dan daerah perkotaan di Brazil (25,4%).
Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Asia Selatan. Prevalensi insulin resisten di
India mencapai 20-55%, daerah perkotaan ditemukan lebih tinggi dari pedesaan, SES
rendah lebih besar dibanding dengan SES tinggi. Data terkini memperlihatkan bahwa
seperempat dari sepertiga populasi di perkotaan India menderita sindroma metabolik,
prevalensi pada perempuan lebih tinggi 1,5-2 kali dibanding laki-laki. Prevalensi SM
di Srilangka 35% laki-laki dan 51% perempuan. Di propinsi Sindh Pakistan,
prevalensinya mencapai 34,8 (kriteria IDF) dan 49% (kriteria NCEP, ATP III). Di
Korea, SM mencapai 29% pada laki-laki dan 16,8% perempuan21.
Prevalensi SM secara nasional berdasarkan kriteria IDF 2005 untuk Asia (lingkar
pinggang >80 cm perempuan, >90 untuk laki-laki; tekanan darah sistolik
130/diastolik 85; glukosa darah 2 jam pp 140) mencapai 12,7%, sedangkan untuk
Jawa-Sulawesi mencapai 13,8%. Analisis ini menemukan bahwa prevalensi SM
semakin tinggi seiring dengan bertambahnya umur hingga kelompok umur 65-74
tahun, pengeluaran rata-rata per kapita per hari (tingkat ekonomi), dan tingkat
76

pendidikan yang dimulai pada tidak tamat SD. Perempuan lebih berisiko menjadi SM
dibanding laki-laki, hal ini dapat dijelaskan dengan tingginya prevalensi SM pada
perempuan sebesar 29,7% dibanding laki-laki 9,6% atau kejadian SM pada perempuan
3 kali lipat dibanding laki-laki. Tigginya prevalensi pada perempuan dapat juga
digambarkan melalui jenis pekerjaan, dimana ibu rumah tangga merupakan jenis
pekerjaan yang memiliki prevalensi SM tertinggi yakni mencapai 34,5%.
Jika melihat aktifitas fisik, ternyata, 61,3% perempuan kurang beraktivitas fisik
aktif sehingga bisa dilihat bahwa prevalensi obesitas sentral pada perempuan mencapai
45,4%, aktivitas mempengaruhi sepertiga dari pengeluaran kalori, dua pertiganya
merupakan pengaruh dari metabolisme basal. Aktivitas fisik terbukti dapat
menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin di dalam otot rangka. Pengaruh aktivitas
fisik terhadap sensitifitas insulin terjadi dalam 24-48 jam dan hilang dalam 3-4 hari41,42.
Berdasarkan analisis logistik bivariat, ditemukan bahwa pada masing-masing
tingkat ekonomi, pengaruh perilaku terhadap SM hampir sama. Pada status ekonomi
rendah (pengeluaran rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 1 dan 2/SES
rndah) aktivitas fisik memberikan risiko 2,471 kali menjadi SM, tetapi pengaruhnya
menurun pada SES menengah dan SES tinggi masing-masing sebesar 1,767 dan 1,459
kali manjadi SM. Merokok bersifat protektif terhadap SM, pada semua SES dengan
nilai OR berturut-turut 0,205, 0304 dan 0,351. Perilaku merokok memberi pengaruh
bermakna terhadap sindroma metabolik, tetapi hanya 6,4% dari mereka yang perokok
aktif (setiap hari) menderita sindroma metabolik selebihnya normal. Hal ini disebabkan
efek

rokok

bekerja

dengan

cara

menekan

pusat

lapar

di

hipotalamus

(ventromedial/HVM), sehingga para perokok kurang didapati kegemukan yang


merupakan risiko dari DM dan SM.
Jika diteruskan pada analisis multivariat (logistik multinomial), maka kurang
aktivitas fisik memberi risiko yang kuat terhadap SM pada semua tingkat SES, akan
tetapi besar pengaruhnya menurun dari SES rendah ke SES tinggi. Nilai OR masingmasing SES berturut-turut adalah 1,993(1,375-2,888), 1,479(1,091-2,007) dan 1,161
(0,790-1,707). Sebaliknya, merokok bersifat protektif terhadap SM pada semua tingkat
SES, dengan nilai OR masing-masing 0,232(0,145-0,372), 0,327(0,230-0,465) dan
0,393(0,250-0,619). Konsumsi makanan manis setiap hari memiliki pengaruh
77

bermakna (p<0,05) terhadap SM pada SES tinggi dan memberi efek protektif sebesar
0,566.
Penelitian oleh Home, et.al yang melihat aktivitas fisik waktu senggang (LTPA)
saat usia pertengahan (1972/73) untuk memprediksi SM di usia tua (2000) dengan
follow-up selama 28 tahun pada sampel laki-laki di Oslo menemukan bahwa aktivitas
fisik merupakan prediktor yang signifikan terhadap DM di tahun 2000, juga memberi
hubungan yang konsisten terhadap SM, dan terlihat bahwa peningkatan pola aktivitas
di waktu senggang sejak usia pertengahan memprediksi berkurangnya proporsi subjek
dengan SM hampir 3 dekade kemudian. Penelitian ini juga menemukan bahwa bekas
perokok mengalami peningkatan berat badan, yang selanjutnya meningkatkan
prevalensi SM secara perlahan dibanding mereka yang perokok aktif dan tidak pernah
merokok, dan perokok aktif memiliki IMT yang lebih rendah dibanding yang tidak
pernah merokok. Merokok berkorelasi dan dapat menjadi penyebab meningkatnya
resistensi insulin dan DM43. pendekatan lifestyle dalam menangani dan mencegah SM
bervariasi, tetapi hampir semua ahli setuju bahwa semua parameter SM yang harus
tangani dengan cara menurunkan berat badan dan meningkatkan level aktifitas fisik41.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan
1.

Prevalensi obesitas sentral pulau Jawa-Sulawesi berdasarkan analisis ini


mencapai 20,8% lebih tinggi dibanding dengan data Riskesdas nasional sebesar
18,8%. Prevalensi obesitas sentral meningkat seiring dengan meningkatnya SES,
dengan range kenaikan 5% dari SES rendah ke SES tinggi. Pengaruh perilaku
terhadap obesitas sentral pada tiga tingkat ekonomi tersebut bervariasi. Pada SES
rendah konsumsi makanan asin setiap hari, merokok setiap hari dan kurang
aktifitas pengaruh bermakna terhadap obesitas sentral, sedang pada SES menengah,
kurang konsumsi buah & sayur, merokok setiap hari dan kurang aktivitas, dan pada
SES tinggi konsumsi makanan manis setiap hari dan merokok yang memiliki
pengaruh bermakna terhadap obesitas sentral. Kecuali kurang aktifitas fisik, semua
variabel yang berpengaruh tersebut bukan faktor risiko terhadap obesitas sentral

78

sedangkan kurang aktifitas fisik menjadi prediktor yang kuat terhadap obesitas
sentral.
2.

Prevalensi hipertensi pulau Jawa-Sulawesi berdasarkan analisis ini mencapai


45,4% lebih tinggi dibanding dengan data Riskesdas nasional sebesar 31,7%.
Prevalensi Hipertensi meningkat seiring dengan meningkatnya SES, tetapi besar
perbedaannya tidak terlalu bermakna. Pengaruh perilaku terhadap hipertensi pada
tiga tingkat ekonomi tersebut bervariasi. Pada SES rendah konsumsi jeroan setiap
hari, merokok setiap hari dan kurang aktifitas pengaruh bermakna terhadap
hipertensi, sedang pada SES menengah adalah merokok setiap hari dan pada SES
tinggi, kurang konsumsi buah & sayur dan merokok setiap berpengaruh bermakna
terhadap kejadian hipertenasi. Kecuali kurang aktifitas fisik, semua variabel yang
berpengaruh tersebut bukan faktor risiko terhadap hipertensi. Kurang aktifitas fisik
menjadi prediktor yang kuat terhadap hipertensi, walaupun nilai kemaknaannya >
0,05 pada SES menengah dan tinggi, selain itu, kurang konsumsi sayur & buah pada
SES rendah memiliki risiko 4,286 kali terhadap hipertensi.

3.

Prevalensi DM pulau Jawa-Sulawesi berdasarkan analisis ini mencapai 7,1%


lebih tinggi dibanding dengan data Riskesdas nasional sebesar 4,7%. Prevalensi DM
meningkat seiring dengan meningkatnya SES, dengan range kenaikan 2-3% dari
SES rendah ke SES tinggi. Pengaruh perilaku terhadap DM pada tiga tingkat
ekonomi tersebut hampir sama, dimana merokok setiap hari dan kurang aktifitas fisik
pengaruh bermakna terhadap DM, kecuali konsumsi makanan manis setiap hari
yang berpengaruh bermakna terhadap DM pada SES tinggi. Merokok setiap hari dan
konsumsi makanan manis setiap hari bukan faktor risiko terhadap DM, sedangkan
kurang aktifitas fisik menjadi prediktor yang kuat terhadap DM.

4.

Prevalensi sindroma metabolik pulau Jawa-Sulawesi berdasarkan analisis ini


mencapai 13,8% lebih tinggi dibanding dengan data Riskesdas nasional sebesar
12,7%. Prevalensi SM meningkat seiring dengan meningkatnya SES, dengan range
kenaikan 4% dari SES rendah ke SES tinggi. Pengaruh perilaku terhadap SM
kejadiannya sama pada DM, hanya saja pengaruh aktivitas fisik pada SM risikonya
lebih rendah dibanding risiko kurang aktivitas pada DM.

79

6.2. Saran
1. Perlunya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai pengaruh
merokok (jumlah batang rokok yang diisap per hari, lama merokok, antara perokok
aktif dan perokok pasif, antara perokok aktif, bekas perokok dan tidak pernah
merokok) terhadap sindroma metabolik, karena sebagaimana telah dipaparkan pada
hasil analisis ini, bahwa merokok setiap hari bukan sebagai faktor resiko.
2. Perlu adanya perincian jenis makanan pada makanan manis, makanan asin, dan
makanan berlemak supaya pengruhnya terhadap sindroma metabolik dapat dijelaskan
lebih mendalam.
3. Perlu penelitian lebih jauh tentang perubahan perilaku konsumsi dan aktivitas fisik
dari SES rendah ke SES tinggi daerah perkotaan di kota-kota besar yang memiliki
angka urbanisasi yang tinggi.
4. Perlunya pemasyakatan (gerakan) konsumsi sayur dan buah (terutama sayur & buah
lokal) dan aktivitas fisik hingga ke lapisan masyakat terbawah (terutama ibu rumah
tangga/perempuan) dan edukasi mengenai pola konsumsi terutama makanan yang
berisiko terhadap sindroma metabolik, PJK dan kanker.

80

UCAPAN TERIMA KASIH


Bismillahi Rahmanir Rahim
Puji syukur kehadirat Allah swt, senantiasa penulis panjatkan, atas perkenanNYA
jualah hingga laporan analisis lanjut data Riskesdas 2007/2008 ini dapat
penulis
selesaikan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Triono. Baik selakui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) Republik Indonesia pada saat proposal ini diajukan, tetapi lebih dari itu
sebagai pribadi yang banyak membantu kami, sehingga kami diizinkan untuk terlibat secara
langsung pada saat analisis data di Cisarua Bogor, hal mana membuat kami lebih mudah
memahami data riskesdas dan bahkan kami turut serta sebagai tim yang melakukan analisis
lanjut data riskesdas. Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh staf Balitbangkes
terutama, Pak Abbas, yang pada saat analisis data di Cisarua Bogor banyak mengarahkan
bagaimana menganalisis variabel yang berkaitan dengan disertasi kami dengan
menggunakan data riskesdas. Kepada ibu Atmarita sebagai penanggung jawab management
data yang pada saat itu dengan kesibukan yang amat besar tetap menerima kami dengan
hangat dan membantu hingga data awal dapat kami peroleh dan bersedia datang ke Makassar
untuk menghadiri presentasi proposal kami. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
ibu Hapsari yang penuh kesabaran ketika kami beberapa kali minta konfirmasi data yang
tidak lengkap, juga kepada ibu Ida dengan senyumnya yang ramah senantiasa membantu
kelancaran proses administrasi penyelesaian laporan kami, saya juga menyampaikan terima
kasih kepada bu Cristin dan bu Supraptini yang senantiasa mengkonfirmasi laporan
keuangan kami yang selalu tidak lengkap. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
bapak dr Agus sebagai Kepala Balitbangkes pada saat ini, yang memungkinkan hubungan
silaturahim kepada Balitbangkes tetap terjalin. dimana pengharapan kami agar data biomedis
segera dapat diakses. Karena kami rasakan baik sebagai mahasiswa maupun sebagai tenaga
pengajar sangat terbantu dengan data yang tersedia dalam laporan riskesdas, terlepas dari
kekurangan yang ada.
Kepada direktur pascasarjana UNHAS bapak A.Razak Thaha yang selalu memotivasi
kami dalam proses pendidikan dan bahkan lebih banyak kami rasakan interaksi sebagai
kakak dan adik, yang tidak hanya terlibat dalam penilaian proposal tapi berusaha agar
proposal bisa selesai sampai ke laporan akhir. Terima kasih juga disampaikan kepada bapak
Veni Hadju selaku dekan FKM UNHAS yang sangat sabar menuntut kami dalam
pembuatan sampai penyelesaian laporan ini.
Terima kasih juga Kepada semua teman-teman di FKM Unhas yang banyak memberi
dukungan dan bantuan. Secara khusus saya sampaikan kepada teman-teman di bagian gizi;
dr. Citra, kak dedi, dr.Bur Bahar, adik Amin, Healthy, Vinta, Dwi dan Yessi atas berbagai
masukan dan inspirasi yang dilahirkan sehingga laporan ini dapat diselesaikan.

81

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijaya A, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum Diagnostikcum. 4:1-16


2. Grundy, SM. 2004. Obesity, Methabolic Syndrome, and Cardiovascular Disease. The
Journal of Clinical Endocrininology & Metabolism. Vol. 89,No.6:2595-2600.
3. Depkes, 2003. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001.
4. Shemiardji, G. 2004. The Significant of Visceral Fat in Metabolic Syndrome. Jakarta
Diabetes Meeting 9-10 Oktober.
5. IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome.
www.idf.org.
6. NHLBI. 1998. Clinical Guidelines on the Identification, Evaluation, and Treatment of
Overweight
and
Obesity
in
Adults:
The
Evidence
Report.
www.nhlbi.nih.gov/guidelines/obesity/ob_gdlns.htm
7. Thaha, A.R. 2003. Anak-anak Indonesia:dari kemiskinan struktural hingga kemiskinan
herediter. Pidato Pengukuhan Guru Besar.Unhas. Makassar.
8. Crawford, D. Jeffery, RW et al. 2005. Obesity Prevention and Public Health. New York.
Oxford University Press.
9. Inoue, S. Zimmet P. Caterson I. 2000. The Asia Pasific Perspective: redefining obesity
and its treatment. Health Communication. Australia.
10. Taylor, R. et.al. Socio-economic, Migrant and Geographic Differentials in Coronary
Heart Disease Occurrence in New South Wales. Australia and New Zealand J. of. PH. 13
May Vol.23:Issue 1; p20-26.
11. British Heart Foundation. Coronary Heart Disease Statistik 2004, www.heartstats.org
12. Hadju, V. 2003. Bahan Bacaan Mata Kuliah Dietetik Masyarakat. Makassar. Jurusan
Gizi FKM Unhas.
13. BPS. 2005. Laporan Hasil Susenas 2004.
14. Dariyo. 2004. Psikologis Perkembangan Remaja. Jakarta. Ghalia Indonesia
15. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi Pusat Antar Uniersitas Pangan dan Gizi IPB Bogor.
16. Grundy. SM, 2005. Metabolic Syndrome Scientific Statement by the American Hearth
Association and the National Heart, Lung, and Blood Institute. Arterioscler Thromb
Vasc Biol, 25:2243-2244.
17. Tjokroprawiro A. 2006. New approach in the treatment of T2DM and Metabolic
syndrome. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 38:160-166.
18. Balitbangkes. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007. Balitbangkes Depkes
RI.

82

19. Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat: prinsip-prinsip dasar. Jakarta.


Rineka Cipta
20. Zhang. 2004. Trends in the Association betwen Obesity Sosioeconomic Status in US
Adults. Obesity Research. 12:1622-1632.
21. Misra, A. and Khurana, L. 2008. Obesity and the Metabolic Syndrome in Developing
Countries. J. Clin. Endocrinol Metab. November 2008, 93(11):S9-S30.
22. Misra, A., et al., 2001. High Prevalence of Diabetes, Obesity and Dyslipiddaemia in
Urban Slum Population in Northern India. International Journal of Obesity.
Nov.2001.Vol 25, No.11:1722-1729
23. Dullo. AG, Antic. V, Montani. JP. Pathogenesis of the Worst Killer of the Century. Int. J.
of Obesity 2002;26(Suppl 2):S1-2
24. Newman,J.H.,N Engl Med,Vol.346,No.12,March21,2002 Pp.933-935)
25. Chen et al. Trends and Social Faktors in Blood Pressure Control in Scottish Monica
Surveys 1986-1995:the rule of halves Revisited. J. Of Human Hypertension 2003 17,
751-759.)
26. Setiawan, Z. 2006. Prevalensi dan Determinan Hipertensi di Pulau Jawa Tahun 2004.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.1. No.2, Oktober 2006.
27. Handayani, L. Dan Siswanto. 2007. Pemodelan Risiko Kejadian Diabetes Mellitus
Analisis Data Surkesnas 2004. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.35.No.1.
28. Shaw J, Zimmet P, deCourten M, et al. Impaired fasting glucose or impaired glucose
tolerance.What best predicts future diabetes in Mauritius? Diab Care. 1999;22:399-402.
29. Gabir MM, Hanson RL, Dabelea D, et al. Plasma glucose and prediction of
microvascular disease and mortality: evaluation of 1997 American Diabetes Association
and 1999 World Health Organization criteria for diagnosis of diabetes. Diab Care.
2000;22:399-402
30. deVegt F, Dekker JM, Stehouwer CD, et al. The 1997 American Diabetes Association
criteria versus the 1985 glucose tolerance: poor agreement in the Hoorn Study. Diab
Care. 1998;21:1686-1690
31. Fuller JH. Coronary heart disease risk and impaired glucose tolerance. The Whitehall
Study. Lancet. 1980;1:1373 - 1376.
32. Fontbonne A. Hypertriglycemia as a risk factor of coronary heart disease mortality in
subject with impaired glucose tolerance or diabetes. Results from the 11-year follow-up
of the Paris Propective Study. Diabetalogia 1989;32:300-304.
33. Wen CP, Cheng TYD, Tsai SP, et al. Increased mortality risks of pre-diabetes (impaired
fasting glucose) in Taiwan. Diab Care. 2005;28:2756 - 2761
34. Drexel H, Aczel S, Marte T, et al. Is atherosclerosis in diabetes and impaired fasting
glucose driven by elevated LDL cholesterol or by decreased HDL cholesterol? Diab
Care. 2005;28:108 - 114

83

35. WDF. 2006. WDF Press Release: world diabetes day, 14 Nov 2006, walking for the
disadvantaged and vulneareable. www.worlddiabeticfoundation.org
36. Mohan, et.al. 2004. Diabetes Social and economic perspective in the New Milenium.
Int.J. Diab Dev. Countries, Vol. 24.
37. Pradono, J. Dan Hapsari, D. 2003. Determinan faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di
Indonesia. Majalah Kesehatan Perkotaan. Volume 10. No. 2.
38. Mahyar, V. Mengetahui Hubungan Faktor risiko Penyakit Diabetes Melitus pada
penderita dan tidak penderita DM. Venimahyars Blog, WorldPress.com. posted 13
Februari 2009.
39.

Arief, I. 2008. Mencegah Obesitas dengan Mengurangi Waktu Nonton TV. Artikel.
www.pjnhk.go.id./view/808/31

40. Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and the Methabolic Sindrome: from bench to
bedside. Springer Science.
41. Pitsavos, C. Et.al. Diet, Exercise ang the Matabolic Syndrome. Rev Diabetic Stud 2006,
3:118-126.
42. Shahab, Alwi. Sindrom Metabolik. http://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html.
43. Holme, I. et.al. Leisure Time Phisical Activity in Middle Age Predicts the Metabolic
Syndrome in Old Age: results of a 28-year follow-up of men in the Oslo studi. BMC
Public Health 2007, 7:154. http://www.biomedcentral.com/1471-2458/7/154

84

Anda mungkin juga menyukai