b20 Analisis Pola Makan Dan Aktivitas Terhadap Sindroma Metabolik Pada Berbagai Tingkat Sosial Ekonomi
b20 Analisis Pola Makan Dan Aktivitas Terhadap Sindroma Metabolik Pada Berbagai Tingkat Sosial Ekonomi
Nurhaedar Jafar
Siswanti Lusiana
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya, dan salawat dan salam atas junjungan Nabi Besar
Muhammad S.A.W, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan akhir analisis lanjut data
Riskesdas 2007 ini.
Analisis ini, sebagai salah satu upaya pemanfaatan data yang terhimpun begitu
besar, yang oleh tim riskesdas tidak mungkin dilaporkan dalam waktu yang begitu singkat,
sehingga kami diberi kesempatan untuk ambil bagian untuk menganalisis lebih dalam pada
variabel-variabel yang lebih spesifik.
Topik ini kami angkat, oleh karena ketersediaan data yang memungkinkan dan
prevalensinya yang terus meningkat khususnya di negara-negara berkembang apakah
trendnya sama dengan Indonesia, walaupun yang kami analisis hanya untuk Jawa dan
Sulawesi. Diharapkan laporan ini dapat memberikan gambaran informasi mengenai
pengaruh perilaku pola makan, rokok, dan aktifitas fisik terhadap sindroma metabolik.
Kami menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif untuk
penyempurnaan laporan ini.
Perkenankan pada kesempatan ini kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah banyak membantu hingga laporan Analisis Pola Makan
Dan Aktivitas Terhadap Sindroma Metabolik Pada Berbagai Tingkat Sosial Ekonomi
terselesaikan.
Akhirnya kami berharap semoga laporan ini dapat menambah wawasan dan
pemahaman, serta memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Tim Penulis
RINGKASAN EKSEKUTIF
Analisis lanjut data Riskesdas ini merupakan salah satu bentuk pemanfaatan data yang
tersedia untuk menilai pengaruh perilaku berisiko terhadap kejadian sindroma metabolik.
Data yang dianalisis merupakan data untuk pulau Jawa dan Sulawesi.
Populasi yang digunakan adalah seluruh sampel biomedis Riskesdas 2007 pulau Jawa
dan Sulawesi sebesar 99.515, sedangkan jumlah sampel akhir yang dianalisis sebesar
3.478 sampel dengan mengikuti validitas data variabel glukosa darah 2 jam PP, tekanan
darah diastolik-sistolik, dan lingkar perut. Sebagian besar data yang terpilih berada di pulau
Jawa sebesar 85,6% atau sekitar 4 kali lipat dari Sulawesi.
Variabel yang dianalisis terdiri dari data karakteristik sampel, faktor perilaku antara
lain pola konsumsi, rokok dan aktivitas, dan komponen sindroma metabolik seperti lingkar
perut, tekanan darah dan glukosa darah 2 jam PP. 78,92% sampel adalah laki-laki dan
21,08% perempuan. Umur dikelompokkan menjadi 7 kelompok; 2,01% sampel berusia 1524 tahun, 16,88% pada 25-34 tahun, 26,80% pada 35-44 tahun, 24,5% pada 45-54 tahun,
16,76% pada 55-64 tahun, 9,52% pada 65-74 tahun dan 3,56% pada 75 tahun ke atas.
48,76% berpendidikan dasar ke bawah, 42,15% berpendidikan menengah dan sisanya 8,8%
berpendidikan tinggi. 1,06% sampel masih sekolah, 17,08% tidak bekerja, 18,89%
berpenghasilan tetap (pegawai), 28,19% merupakan petani/buruh/nelayan, dan yang
terbesar adalah mereka yang bekerja sebagai wiraswasta sebesar 29,05%. Status ekonomi
(SES) dinilai berdasarkan pengeluaran rata-rata per kapita per hari dengan
pengelompokkan quintil. 36,77% sampel berada pada SES rendah (quintil 1-2), 40,68%
sampel pada SES menengah, dan 22,54% sampel pada SES tinggi.
Prevalensi terbesar obesitas sentral di pulau Jawa adalah propinsi DKI Jakarta
(31,5%), angka ini lebih kecil jika dibandingkan dengan prevalensi obesitas sentral
tertinggi di pulau Sulawesi yang tempati oleh propinsi Gorontalo (32,1%). Propinsi ini juga
menempati urutan teratas untuk kejadian hipertensi dan DM di pulau Sulawesi masingmasing sebesar 52,8% dan 15,1%, sedangkan propinsi Jawa Tengah dan Banten masingmasing menempati urutan teratas kejadian hipertensi dan DM masing-masing sebesar 49,8
dan 9,8%. Sulawesi Barat berada dibawah angka nasional untuk hipertensi, sedangkan
Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi tenggara merupakan propinsi yang prevalensi
DMnya di bawah prevalensi nasional.
Kategori IMT yang digunakan berdasarkan kriteria WHO Asia Pasifik tahun 2000.
Prevalensi obese secara nasional hasil analisis Riskesdas 2007 adalah 19,1% (BB lebih (25<27) + obese (27)) artinya kriteria tersebut dapat dibandingkan dengan prevalensi obese I
dan obese II. Umumnya prevalensi obese di Jawa dan Sulawesi ini lebih tinggi jika
dibandingkan obesitas secara nasional. Ada 2 propinsi yang prevalensi obesitasnya di
bawah angka nasional yakni Banten dan Sulawesi Tengah. Dan yang tertinggi di pulau
Jawa adalah propinsi DKI Jakarta dan di pulau Sulawesi adalah Sulawesi Utara.
Ada kecenderungan prevalensi obese sentral, hipertensi dan DM meningkat seiring
bertambahnya umur hingga umur 65-74 tahun. Prevalensi obesitas sentral, hipertensi, dan
DM pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut tingkat pendidikan
prevalensi obesitas sentral cenderung meningkat dimulai dari mereka yang berpendidikan
tidak tamat SD ke atas, sedangkan untuk hipertensi dan DM berfluktuasi.
Tingkat pendidikan tidak sekolah menempati peringkat tertinggi prevalensi hipertensi
dan DM. Menurut jenis pekerjaan utama, prevalensi obesitas sentral tertinggi terdapat pada
4
kelompok pengurus rumah tangga, disusul kelompok yang tidak bekerja. Prevalensi
hipertensi paling tinggi ditemukan pada kelompok yang tidak memiliki pekerjaan, diikuti
kelompok pekerjaan lainnya dan tidak bekerja. Prevalensi DM paling banyak terdapat pada
kelompok pekerjaan lainnya diikuti kelompok pengurus rumah tangga (ibu rumah tangga)
dan tidak bekerja. Menurut tingkat ekonomi, prevalensi obesitas sentral, hipertensi dan DM
cenderung meningkat.
Penilaian sindroma metabolik didasarkan atas kriteria IDF Asia 2005. Sindroma
metabolik (SM) di Jawa dan Sulawesi adalah sebesar 13,8. Prevalensi tertinggi terdapat di
Provinsi DKI Jakarta (21,6%) yang kemudian secara berturut turut diikuti oleh DI
Yogyakarta (15,2%), dan Jawa Timur (14,5%) untuk pulau Jawa. Di Sulawesi prevalensi
SM tertinggi di provinsi Gorontalo (22,6%), kemudian diikuti oleh Sulawesi Selatan
(16,2%) dan SM tidak ditemukan pada propinsi Sulawesi Tengah.
Ada kecenderungan prevalensi sindroma metabolik meningkat dengan bertambahnya
umur hingga kelompok umur 65-74 tahun kemudian turun pada umur 75. Prevalensi
tertinggi pada kelompok umur 64-75 tahun. Menurut jenis kelamin prevalensi sindroma
metabolik dijumpai lebih tinggi pada perempuan (29,7%). Menurut tingkat pendidikan,
prevalensi sindroma metabolik meningkat seiring meningkatnya status pendidikan mulai
dari tidak tamat SD, namun pada mereka yang tidak pernah sekolah prevalensinya
mencapai (15,0%). Menurut jenis pekerjaan utama, prevalensi sindroma metabolik tertinggi
terdapat pada kelompok ibu rumah tangga (34,5%), disusul kelompok bekerja lainnnya dan
tidak bekerja. Ada kecendrungan prevalensi sindroma metabolik meningkat seiring
meningkatnya status ekonomi.
Penduduk umur 15 tahun ke atas di Jawa dan Sulawesi yang cukup konsumsi buah
dan sayur sebesar 1,6%. Konsumsi buah dan sayur paling rendah terdapat di Sulawesi
Barat dan Banten, masing-masing tidak ada yang cukup mengkonsumsi buah dan sayur.
Kecukupan konsumsi buah dan sayur di Jawa dan Sulawesi masih lebih rendah yakni 1,6%
dibandingkan angka nasional yang mencapai 6,4%. Kecukupan konsumsi buah dan sayur
yang tertinggi pada propinsi Sulawesi Tengah (4,0%) dan Sulawesi tenggara (3,3%).
Kelompok umur yang paling kurang konsumsi buah dan sayur adalah 75 tahun ke
atas (100,0%). Tidak ada perbedaan kecukupan konsumsi buah dan sayur antara laki-laki
(1,6%) dan perempuan (1,5%). Sementara berdasarkan pendidikan, semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin baik konsumsi buah dan sayur. Menurut kelompok pekerjaan,
konsumsi buah dan sayur yang paling kurang pada kelompok tidak bekerja (0,6%) dan
yang tertinggi adalah yang bekerja sebagai pegawai (3,2%). Berdasarkan tingkat
pengeluaran per kapita (status ekonomi), kecukupan konsumsi buah dan sayur semakin
tinggi menurut tingkat pengeluaran per kapita perbulan.
Konsumsi makanan manis asin, berlemak dan jeroan dengan frekuensi berisiko
(setiap hari atau lebih) di Jawa dan Sulawesi berturut-turut adalah 67,1%, 68,4%, 19,6%
dan 1,6%. Hampir tidak ada perbedaan konsumsi makanan manis dan asin pada kelompok
umur. Kelompok umur 15-24 tahun merupakan kelompok yang paling rendah frekuensi
konsumsi makanan asin tiap hari (21,4%) dan 65-75 tahun terendah konsumsi makanan
manis tiap hari (62,5%). Sedangkan konsumsi makanan berlemak dan jeroan cenderung
menurun seiring dengan bertambahnya umur. Tidak terlihat adanya perbedaan konsumsi
makanan manis, asin, berlemak dan jeroan pada laki-laki dan perempuan, hanya saja laki-
laki lebih tinggi frekuensinya. Konsumsi makanan asin, manis, berlemak dan jeroan yang
tertinggi pada tingkat pendidikan berturut-turut adalah tamat SD (33,4%), Tamat
perguruan tinggi (73,9%), tamat SMP (21,7%) dan Tamat SMA (2,3%). Konsumsi
makanan asin, manis, berlemak dan jeroan yang tertinggi menurut kelompok pekerjaan
utama berturut-turut adalah petani/nelayan/buruh (33,1%), pegawai (71,2%), wiraswasta
(22,2) dan ibu rumah tangga (2,5%). Konsumsi makanan manis dan jeroan meningkat
seiring menigkatnya pengeluaran RT, sedangkan konsumsi makanan asin menurun.
Konsumsi makanan berlemak tertinggi pada kelompok dengan status ekonomi menengah
(20,6%).
Lebih dari separuh penduduk (59,4%) di Jawa dan Sulawesi cukup melakukan
aktifitas fisik, secara nasional rata-rata cukup aktivitas fisik mencapai 51,8%. Cukup
aktifitas fisik paling tinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara (77,3%) dan Provinsi
Gorontalo (73,6%). Prevalensi cukup aktifitas fisik di bawah rata-rata Jawa Sulawesi
terdapat di Banten (48,3%), DKI Jakarta (48,8%), Sulawesi Tenggara (55,4%), DI
Yogyakarta (55,8), Sulawesi Selatan (56,6%) dan Jawa Barat (57,9%). Menurut kelompok
umur, kurang aktifitas fisik paling tinggi terdapat pada kelompok 75 tahun ke atas (70,2%)
dan umur 65-74 tahun (66,9%), dan perempuan (61,3%) lebih tinggi dibanding laki-laki
(35,1%). Berdasarkan tingkat pendidikan, prevalensi kurang aktifitas fisik tertinggi terdapat
pada kelompok tidak sekolah (55,0%), kemudian tamat perguruan tinggi (54,6%).
Berdasarkan pekerjaan utama, prevalensi kurang aktivitas tertinggi terdapat kelompok
pekerjaan tidak bekerja (71,2%) kemudian ibu rumah tangga (67,3%) dan semakin tinggi
tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas
fisik.
Persentase penduduk umur 15 tahun ke atas di Jawa dan Sulawesi yang merokok tiap
hari 44,1%. Persentase tertinggi ditemukan di Provinsi Gorontalo (54,7%), diikuti dengan
Jawa Barat (53,2%) dan Sulawesi Tengah (52,0%). Sedangkan persentase terendah
dijumpai di Provinsi Sulawesi Tenggara (33,7%). Lebih dari separuh (54,7%) penduduk
laki-laki umur 15 tahun ke atas merupakan perokok tiap hari. Menurut pendidikan, proporsi
tertinggi dijumpai pada penduduk tidak tamat SD (50,1%). Menurut pekerjaan utama,
proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk petani/nelayan/buruh (60,2%) disusul penduduk
yang wiraswasta/jasa (47,1%). Semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan,
semakin sedikit penduduk yang merokok setiap hari.
Perokok saat ini adalah perokok setiap hari dan perokok kadang-kadang. Berdasarkan
data analisis Jawa dan Sulawesi rerata prevalensi perokok saat ini mencapai 52,4% dengan
rerata jumlah batang rokok yang hisap 10 batang per hari. Rata-rata umur mulai merokok
setiap hari di Jawa dan Sulawesi adalah 19,4 tahun. Umur mulai merokok setiap hari
cenderung meningkat pada kelompok umur, atau semakin muda usia perokok semakin
cepat mulai merokok setiap hari. Rata-rata laki-laki mulai merokok setiap hari umur 19
tahun, sedangkan perempuan 30 tahun. Tidak ada perbedaan umur mulai merokok setiap
hari dengan tingkat pendidikan dan tingkat pengeluaran rata-rata per kapita per hari. Anak
sekolah merupakan perokok yang paling cepat merokok setiap hari, sedangkan ibu rumah
tangga mulai merokok umur 30 tahun.
Rerata batang rokok yang dihisap per hari cenderung menurun seiring bertambahnya
umur. Laki-laki merokok rata-rata lebih banyak dibanding perempuan, tetapi tidak ada
perbedaan rata-rata jumlah batang rokok yang diisap menurut tingkat pendidikan. Anak
6
sekolah rata-rata lebih banyak mengkonsumsi rokok (12 batang/hari), dan ibu rumah
tangga yang paling sedikit konsumsi rokok rata-rata per hari (5 batang).
Ada kecendrungan meningkat kebiasaan perokok merokok dalam rumah ketika ada
ART lain menurut kelompok umur hingga 55-64 tahun setelahnya itu menurun. Laki-laki
lebih banyak merokok dalam rumah ketika ada ART lain di banding perempuan. Kebiasaan
merokok dalam rumah ketika ada ART ada kecendrungan menurun menurut tingkat
pendidikan, atau semakin tinggi tingkat pendidikan semakin berkurang kebiasaan merokok
dalam rumah ketika ada ART lain. Hampir tidak ada perbedaan kebiasaan merokok dalam
rumah ketika ada ART lain menurut kelompok pekerjaan dan tingkat pengeluaran per
kapita per hari responden.
Hasil analisis bivariat antara obesitas sentral dengan faktor perilaku berisiko adalah
pada tingkat ekonomi rendah yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap
obesitas sentral adalah konsumsi makanan asin (OR=0,663;CI(95%)= 0,437-0,918),
aktifitas fisik (OR=2,081;CI(95%)=1,524-2,840) dan merokok (OR=0,250 dan CI
(95%)=0,173-0,361). Pada tingkat ekonomi menengah, terdapat pengaruh bermakna
terhadap obesitas sentral adalah konsumsi buah dan sayur (OR=0,350;CI (95%)=0,1230,992), konsumsi makanan berlemak (OR=1,393 & CI(95%)=1,006-1,930), aktivitas fisik
(OR=1,469 & CI(95%)=1,125-1,918) dan merokok (OR=0,312& CI(95%)=0,232-0,419).
Pada tingkat ekonomi tinggi, yang mempunyai pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap
obesitas sentral adalah konsumsi makanan manis (OR=0,669 & CI(95%)=0,471-0,950) dan
merokok (OR=0,367 & CI(95%)=0,250-0,540).
Hasil analisis regresi logistik multivariat multinomial, pada SES rendah, semua
variabel yang memenuhi syarat memiliki pengaruh terhadap kejadian obesitas sentral.
Kurang aktivitas fisik memiliki pengaruh paling kuat dengan nilai OR=2,032 dibanding
dengan konsumsi makanan asin setiap hari (OR=0,689) dan merokok setiap hari
(OR=0,248). Pada SES menengah, ada 3 variabel yang memiliki pengaruh (p < 0,05)
terhadap kejadian obesitas sentral yaitu, kurang aktivitas fisik, kurang konsumsi buah dan
sayur dan merokok setiap hari. Kurang aktivitas fisik memiliki pengaruh paling kuat
dengan nilai OR=1,461 dibanding dengan kurang konsumsi buah dan sayur (OR=0,348)
dan merokok setiap hari (OR=0,311). Pada SES tinggi, ada 2 variabel yang memiliki
pengaruh (p < 0,05) terhadap kejadian obesitas sentral yaitu, konsumsi makanan manis
tiap hari dan merokok setiap hari. Konsumsi makanan manis tiap hari memiliki pengaruh
paling kuat dengan nilai OR= 0,678 dibanding dengan merokok setiap hari (OR=0,371).
Hasil analisis bivariat antara hipertensi dengan faktor perilaku berisiko adalah pada
SES rendah konsumsi jeroan mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap
hipertensi dengan OR=0,186;CI (95%)=0,041-0,841, aktivitas fisik dengan OR=1,664;
CI(95%)=1,299-2,081, dan merokok dengan OR=0,664;CI(95%)=0,528-0,835. Pada SES
menengah, variabel yang memiliki pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap kejadian
hipertensi hanya merokok dengan nilai OR= 0,537;CI(95%)=0,4320,668, lebih rendah
dibanding pada SES rendah. Pada SES tinggi, variabel yang memiliki pengaruh bermakna
(p<0,05) terhadap hipertensi adalah konsumsi buah & sayur dengan nilai
OR=0,450;CI(95%)=0,208-0,973, dan merokok dengan nilai OR=0,598 CI(95%)=0,4400,812.
Hasil analisis regresi logistik multivariat multinomial pada SES rendah, ternyata ada
3 variabel yang mempunyai pengaruh terhadap risiko terjadinya hipertensi yaitu perilaku
merokok tiap hari dengan OR=0,663(0,527-0,834); kurang aktivitas fisik dengan nilai
OR=1,646(1,303-2,083) dan konsumsi jeroan setiap hari dengan OR= 0,173(0,0390,774). Variabel lain yang memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap terjadinya
hipertensi adalah kurang konsumsi buah & sayur dengan OR=4,286(0,492-37,327), walau
nilai kemaknaan untuk konsumsi buah dan sayur di atas 0,05. Pada SES menengah,
ternyata hanya perilaku merokok tiap hari yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05)
untuk terjadinya
hipertensi dengan OR=0,540(0,232-0,418). Analisis ini juga
menunjukkan bahwa konsumsi buah & sayur yang kurang memiliki risiko yang kuat untuk
hipertensi dengan OR=1,990(0,679-5,830), walau nilai kemaknaannya di atas 0,05. Pada
SES tinggi, ternyata perilaku merokok tiap hari dan kurang konsumsi buah dan sayur
mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian hipertensi dengan
OR=0,608(0,453-0,816) untuk merokok dan OR=0,442(205-0,953) untuk konsumsi buah
dan sayur.
Hasil analisis bivariat antara DM dengan faktor perilaku berisiko adalah terdapat
pengaruh bermakna (p < 0,05) hanya variabel aktivitas dengan OR=1,664(1,210-3,327)
terhadap DM pada SES rendah. Pada SES menengah, terdapat pengaruh bermakna
(p<0,05) variabel kurang aktivitas fisik, merokok terhadap DM. Nilai OR aktivitas fisik
dan merokok masing-masing secara berurutan adalah 1,653(1,087-2,514) dan 0,452(0,2830,722). Pada SES tinggi, hanya variabel merokok yang mempunyai pengaruh yang
bermakna (p<0,05) terhadap terjadinya DM dengan nilai OR=0,598(0,325-0,994)
Hasil analisis regresi logistik multivariat multinomial menunjukkan bahwa kurang
aktivitas fisik pada SES rendah mempunyai pengaruh yang kuat (p < 0,05) untuk terjadinya
DM dengan OR 2,019(1,219-3,345). Pada SES menengah, kurang aktivitas fisik dan
merokok setiap hari mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian DM.
Variabel kurang aktivitas fisik memiliki risiko yang paling kuat untuk kejadian DM dengan
OR 1,684(1,110-2,556), selanjutnya merokok dengan OR=0,447(0,280-0,712). Pada SES
tinggi, konsumsi makanan manis setiap hari dan merokok setiap hari pada tingkat
ekonomi tinggi mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian DM dengan
OR masing-masing 0,608(0,377-0,982) dan 0,561(0,322-0,980). Kurang aktivitas fisik
memiliki pengaruh yang kuat untuk terjadinya DM dengan nilai OR=1,561(0,985-2,633),
walaupun nilai kemaknaannya sedikit di atas 0,05.
Hasil analisis bivariat antara SM dengan faktor perilaku berisiko adalah bahwa,
terdapat pengaruh bermakna (p < 0,05) variabel aktivitas dan merokok terhadap SM pada
tingkat SES rendah dengan nilai OR masing-masing 2,471(1,722-3,547) dan 0,205(0,1290,326). Demikian halnya pada SES menengah, aktivitas fisik dan merokok berpengaruh
bermakna (p<0,05) terhadap sindroma metabolik dengan nilai OR masing-masing
1,767(1,313-2,378) dan 0,304(0,215-0,429). Pada SES tinggi, selain aktivitas dan
merokok, konsumsi buah-sayur, makanan manis dan asin juga berpengaruh (p<0,05)
terhadap SM dengan nilai OR masing-masing 1,459(1,011-2,105), 0,331(0,226-0,543),
0,460(0,213-0,994), 0,503(0,346-0,732) dan 0,579(0,366-0,916).
Hasil analisis regresi logistik multivariat multinomial memperlihatkan bahwa
merokok setiap hari pada SES rendah mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) untuk
terjadinya SM dengan OR=0,143(1,219-3,345). Kurang aktivitas fisik pada SES rendah
8
mempunyai pengaruh bermakna (p<0,05) dan memberi pengaruh yang kuat dengan OR
1,988 (1,219-3,345). Pada SES menengah, kurang aktivitas fisik dan merokok setiap hari
mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian SM. Variabel kurang
aktivitas fisik memiliki risiko yang paling kuat untuk kejadian SM dengan OR
1,479(1,091-2,007), selanjutnya merokok dengan OR=0,327(0,230-0,465). Merokok setiap
hari dan konsumsi makanan manis setiap hari pada tingkat ekonomi tinggi mempunyai
pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian SM dengan OR masing-masing
0,393(0,250-0,619) dan 0,556(0,383-0,838). Kedua variabel tersebut bukan sebagai faktor
risiko terhadap kejadian sindroma metabolik dan tidak ada variabel yang memberi
pengaruh kuat terhadap sindroma metabolik.
Dari uraian di atas, maka kami merekomendasikan sebagai berikut:
1. Perlunya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai pengaruh
merokok (jumlah batang rokok yang diisap per hari, lama merokok, antara perokok
aktif dan perokok pasif, antara perokok aktif, bekas perokok dan tidak pernah
merokok) terhadap sindroma metabolik, karena sebagaimana telah dipaparkan pada
hasil analisis ini, bahwa merokok setiap hari bukan sebagai faktor resiko.
2. Perlu adanya perincian jenis makanan pada makanan manis, makanan asin, dan
makanan berlemak supaya pengruhnya terhadap sindroma metabolik dapat
dijelaskan lebih mendalam.
3. Perlu penelitian lebih jauh tentang perubahan perilaku konsumsi dan aktivitas fisik
dari SES rendah ke SES tinggi daerah perkotaan di kota-kota besar yang memiliki
angka urbanisasi yang tinggi.
4. Perlunya pemasyakatan (gerakan) konsumsi sayur dan buah (terutama sayur & buah
lokal) dan aktivitas fisik hingga ke lapisan masyakat terbawah (terutama ibu rumah
tangga/perempuan) dan edukasi mengenai pola konsumsi terutama makanan yang
berisiko terhadap sindroma metabolik, PJK dan kanker.
Latar Belakang: Obesitas sebagai titik sentral dari resistensi insulin dan sindroma
metabolik lebih banyak disebabkan oleh faktor perilaku (pola makan, rokok dan aktivitas
fisik) dan faktor sosial ekonomi. Seiring dengan perubahan gaya hidup di berbagai wilayah
di Indonesia dan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi obesitas, dislipidemia,
tekanan darah, dan glukosa darah di masyarakat, maka prevalensi kejadian sindroma
metabolik juga meningkat. Analisis ini bertujuan untuk menilai pengaruh, pola makan,
rokok dan aktivitas terhadap sindroma metabolik pada berbagai tingkat sosial ekonomi.
Metode: Analisis ini menggunakan data biomedis Riskesdas 2007 pulau Jawa dan
Sulawesi. Data yang diterima direcleaning hingga diperoleh sampel akhir sebesar 3.478
responden. Analisis data menggunakan uji univariat untuk melihat gambaran seluruh
variabel; uji regresi logistik bivariat untuk menilai adanya pengaruh dan faktor risiko antara
variabel perilaku dengan sindroma metabolik; dan uji regresi logistik multivariat
multinomial untuk melihat faktor determinan proksi variabel perilaku (nilai p <0,25 pada
uji bivariat) terhadap sindroma metabolik pada masing-masing tingkat sosial ekonomi.
Hasil: Pada analisis ini, prevalensi obesitas sentral mencapai 20,8%; hipertensi
45,4%, DM 7,1% dan sindroma metabolik mencapai 13,8%. Prevalensi obesitas sentral,
hipertensi, DM dan sindroma metabolik meningkat seiring dengan meningkatnya SES.
Kurang aktivitas fisik memberi pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap SM pada SES
rendah dan menengah. Berdasarkan besar risikonya pengaruhnya menurun dari SES
rendah ke SES tinggi dengan nilai OR pada masing-masing SES berturut-turut adalah
1,993(1,375-2,888), 1,479(1,091-2,007) dan 1,161 (0,790-1,707). Merokok setiap hari
berpengaruh bermakna terhadap SM pada semua SES. Tetapi, merokok setiap hari bukan
merupakan faktor risiko terhadap SM dengan nilai OR masing-masing 0,232(0,145-0,372),
0,327(0,230-0,465) dan 0,393(0,250-0,619). Konsumsi makanan manis setiap hari
memiliki pengaruh bermakna (p<0,05) terhadap SM pada SES tinggi dengan OR sebesar
0,566(0,383 0,838).
Kesimpulan : Perilaku aktifitas fisik yang menjadi faktor risiko yang paling kuat
terhadap SM. Perilaku Merokok setiap hari dan pola konsumsi yang kurang baik bukan
merupakan faktor risiko terhadap SM.
Kata Kunci: Sindroma metabolik, obesitas sentral, hipertensi, diabetes melitus, pola
konsumsi, aktivitas fisik, merokok, tingkat sosial ekonomi.
10
Konsultan
Prof.Dr.Veni Hadju, MSc.,PhD
Peneliti Utama
Dra.Nurhaedar Jafar, Apt.,M.Kes
Anggota Peneliti
Siswanti Lusiana, Amd
dr. Devintha Virani
Staf Administrasi
Syamsiah, SE
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................
i
11
iii
xiv
xvi
I.
PENDAHULUAN .................................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................................
3
II.
TUJUAN ................................................................................................................
4
2.1. Tujuan Umum .................................................................................................
4
2.2. Tujuan Khusus ................................................................................................
4
III.
5
3.1. Kerangka Konsep.............................................................................................
5
3.2. Alur Analisis ...................................................................................................
5
12
PEMBAHASAN ....................................................................................................
45
5.1. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Obesitas ..............................................
46
5.2. Analisis pengaruh Perilaku Terhadap Tekanan Darah ....................................
49
5.3. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Glukosa Darah ....................................
51
5.4. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Sindroma Metabolik ...........................
54
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................
57
6.1. Kesimpulan .....................................................................................................
57
13
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.
11
Tabel 3.2.
11
Tabel 3.3.
Tabel 3.4.
Tabel 3.5.
Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 4.3.
Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
Tabel 4.7.
Tabel 4.8.
15
Tabel 4.12. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada
Tingkat Ekonomi Menengah di Jawa dan Sulawesi ..................................
31
Tabel 4.13. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada
Tingkat Ekonomi Tinggi di Jawa dan Sulawesi .......................................
32
Tabel 4.14. Prevalensi Hipertensi Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Perilaku
Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat Ekonomi di
Jawa & Sulawesi ........................................................................................
33
Tabel 4.15. Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Hipertensi dengan Perilaku
Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah, Menengah dan Tinggi di Jawa
dan Sulawesi .............................................................................................
35
Tabel 4.16. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi pada Tingkat
Ekonomi Rendah di Jawa dan Sulawesi ....................................................
36
Tabel 4.17. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi pada Tingkat
Ekonomi Menengah di Jawa dan Sulawesi ................................................
36
Tabel 4.18. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi pada Tingkat
Ekonomi Tinggi di Jawa dan Sulawesi ......................................................
36
Tabel 4.19. Prevalensi Diabetes Melitus Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan
Perilaku Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat
Ekonomi di Jawa dan Sulawesi ..................................................................
37
Tabel 4.20. Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Diabetes Melitus dengan
Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah, Menengah dan
Tinggi di Jawa dan Sulawesi .....................................................................
38
Tabel 4.21. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Melitus pada
Tingkat Ekonomi Rendah di Jawa dan Sulawesi .....................................
40
Tabel 4.22. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Melitus pada
Tingkat Ekonomi Menengah di Jawa dan Sulawesi .................................
40
Tabel 4.23. Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Melitus pada
Tingkat Ekonomi Tinggi di Jawa dan Sulawesi .......................................
40
Tabel 4.24. Prevalensi Sindroma Metabolik Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan
Perilaku Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat Ekonomi
di Jawa dan Sulawesi ................................................................................
41
Tabel 4.25. Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Sindroma Metabolik dengan
Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah, Menengah dan Tinggi
16
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Presentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Cukup Mengkonsumsi
Kombinasi Sayur dan Buah di Jawa dan Sulawesi ....................................
20
Gambar 4.2. Presentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Cukup Melakukan
Aktivitas di Jawa dan Sulawesi .................................................................
23
Gambar 4.3. Presentase Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Memiliki Perilaku
Merokok Berisiko Tinggi (setiap Hari) di Jawa dan Sulawesi ..................
25
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
17
masalah
kesehatan
yang
serius
karena
dapat
memacu
kelainan
18
1989,
menyimpulkan bahwa di negara maju, kelompok wanita pada SES rendah memiliki
prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita pada SES
tinggi8. Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, kejadian obesitas justru lebih sering
terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan, artinya kejadian
obesitas lebih sering terjadi pada golongan sosial ekonomi tinggi9.
Demikian pula dengan PJK, di negara-negara maju cenderung diderita oleh
masyarakat dengan sosek rendah. Berdasarkan, Population Attributable Fractions (PAF),
pada tahun 1991-1995 di Australia 2-41% resiko PJK dialami oleh populasi SES rendah 10.
Prevalensi PJK pada tahun 2004 di Inggris juga lebih tinggi pada golongan sosek rendah 11.
Peningkatan kesejahteraan masyarakat berdampak terhadap perubahan gaya hidup.
Kehidupan modern yang difasilitasi dengan berbagai kenyamanan dan kemudahan,
menyebabkan masyarakat kurang melakukan aktifitas fisik. Padahal, aktifitas fisik
mempunyai peranan penting dalam mencegah berbagai penyakit tidak menular. Risiko
terjadinya kegemukan dapat diturunkan dengan melakukan aktifitas fisik yang teratur12.
Berdasarkan Susenas 2004,
beraktivitas fisik dan hanya 6% penduduk yang cukup beraktivitas fisik. Penduduk wanita
yang kurang beraktivitas fisik 87%, lebih tinggi daripada penduduk laki-laki. Sedangkan
penduduk di perkotaan yang kurang beraktifitas fisik adalah sebanyak 83%, lebih tinggi
daripada penduduk di pedesaan13.
19
Selain faktor yang telah disebutkan diatas, pola makan ditengarai pula sebagai
penyebab obesitas. Manusia modern cenderung sibuk dengan berbagai aktifitas
kehidupannya hingga tak sempat lagi mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
Makanan instan menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat yang terpapar dengan
kehidupan modern. Makanan tersebut tidak mengandung komposisi zat gizi sebagaimana
yang dibutuhkan tubuh. Terlebih lagi makanan-makanan instant sangat miskin serat.
Padahal, serat berfungsi untuk memperlambat pencernaan, mengenyangkan perut dan
memperlambat rasa lapar. Hal tersebut dapat mengurangi frekuensi makan, sehingga
bermanfaat terhadap pengontrolan berat badan yang mencegah kejadian obesitas sebagai
prediktor utama kejadian SM12.
Faktor psikologi dapat menimbulkan terjadinya obesitas karena adanya emosional
yang tidak stabil (unstabil emotional). Hal tersebut menyebabkan individu cenderung untuk
melakukan pelarian diri (self mechanism defence). Bentuk pelarian diri bisa berupa
mengkonsumsi makanan yang mengandung kalori dan kolesterol tinggi dalam jumlah yang
berlebihan14.
Berdasarkan hasil penelitian HL. Bloom, di Amerika Serikat, disimpulkan bahwa
lingkungan (sosek, emosi, umur, sex) mempunyai andil yang paling besar terhadap status
kesehatan, berturut-turut disusul oleh perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan,
sedangkan menurut Adler dan Newman penyebab penyakit 50% adalah faktor lingkungan
dan gaya hidup. Belum ada penelitian tentang bagaimana proporsi pengaruh faktor-faktor
tersebut terhadap status kesehatan di negara-negara berkembang, terutama di Indonesia.
Menurut L. Bloom derajat kesehatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, sedangkan menurut Adler, status kesehatan sangat dipengaruhi oleh gaya
hidup (pola konsumsi, rokok, dan aktivitas fisik). Semua faktor ini akan dianalisis untuk
menilai pengaruhnya terhadap sindroma metabolik pada berbagai tingkat social ekonomi.
1.2. Perumusan Masalah
Obesitas merupakan prediktor Sindroma Metabolik (SM). Seseorang dikatakan
menderita SM bila ada obesitas sentral ditambah 2 dari 4 faktor berikut : (1) Trigliserida >
150 mg/dL (2) HDL-C: < 40 mg/dL (3) Tekanan darah: sistolik > 130 mmHg atau
diastolik > 85 mmHg; (4) Gula darah puasa (GDP) > 100 mg/dL (5,6mmol/L), atau
diabetes tipe 2.
20
Menurut H.L. Bloom, penyebab terjadinya penyakit ada 4 faktor, yaitu lingkungan,
perilaku, genetik dan pelayanan kesehatan. Di masyarakat, penyebab obesitas yang paling
sering didapatkan adalah factor perilaku (pola makan dan aktivitas fisik) dan factor social
ekonomi8,40.
Seiring dengan perubahan gaya hidup khusunya pola makan di berbagai wilayah di
Indonesia yang pada dasarnya dipengaruhi oleh factor social budaya, adapt istiadat, agama
dan kepercayaan15 serta adanya kecenderungan peningkatan prevalensi obesitas,
dislipidemia, tekanan darah, glukosa darah di masyarakat bisa menunjukkan jumlah
kejadian SM yang juga bertambah, maka peneliti tertarik untuk melakukan analisis
pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan, dan rokok dan aktivitas
terhadap sindrom metabolik pada berbagai tingkat sosial ekonomi.
II. TUJUAN
2.1. Tujuan Umum :
Menilai pengaruh, pola makan, rokok dan aktivitas terhadap sindroma metabolik pada
berbagai tingkat sosial ekonomi.
2.2. Tujuan khusus
1. Menganalisis pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan,
dan rokok serta aktivitas terhadap obesitas pada berbagai tingkat sosial ekonomi.
2. Menganalisis pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan,
dan rokok serta aktivitas terhadap tekanan darah pada berbagai tingkat sosial
ekonomi.
3. Menganalisis pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan,
dan rokok serta aktivitas terhadap glukosa darah darah pada berbagai tingkat
sosial ekonomi.
4. Menganalisis pengaruh pola makan; buah, sayur, manis, asin, berlemak, jeroan,
dan rokok serta aktivitas terhadap sidroma metabolik pada berbagai tingkat sosial
ekonomi.
III. METODE ANALISIS
3.1. Kerangka Konsep
21
Pendidikan
Pekerjaan
Ketersediaan
Pangan RT
Status Ekonomi
- pendapatan
- pengeluaran
- kondisi rumah
- Alat komunikasi
Variabel
dikontrol
Pola
makan
Sindroma
Metabolik
Obesitas
Dislipidemia
Tekanan darah
Glukosa darah
Inflamasi
Rokok
Aktifitas
RECLEANING
DATA
ANALISIS
DATA
LAPORAN
22
23
untuk hipertrigliseridemia; (2) HDL-C: < 40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan <
50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk
peningkatan kadar HDL-C; (3) Tekanan darah: sistolik > 130 mmHg atau diastolik
> 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan hipertensi; (4) Gula darah puasa (GDP)
> 100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2. Hingga saat ini masih ada
kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang terbaru tersebut5.
a. Glukosa Darah
Semua Responden usia > 15 tahun, kecuali wanita hamil (alasan etika)
diberi pembebanan 75 gram glukosa oral setelah puasa 10 14 jam. Khusus untuk
responden yang sudah diketahui positif menderita Diabetes Mellitus (DM)
(konfirmasi oleh dokter) hanya diberi suplemen makanan 300 kalori (alasan medis
dan etika). Pengambilan darah vena dilakukan setelah 2 jam pembebanan. Darah
didiamkan selama 20 30 menit, segera disentrifus dan dijadikan serum. Serum
segera diperiksa dengan menggunakan alat kimia klinis otomatis. Nilai rujukan
(WHO, 1999) Normal (Non DM) < 140 mg/dl, Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) 140 - < 200 mg/dl, Diabetes Mellitus (DM) > 200 mg/dl18.
b. Tekanan darah
Klasifikasi hipertensi yang digunakan adalah berdasarkan kriteria Riskesdas
2007 yang berpedoman pada The Sixth Report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure 199718.
Klasifikasi
Tensi normal
Hipertensi perbatasan
Hipertensi ringan
Hipertensi sedang
Hipertensi berat
Sistolik (mmHg)
< 130
130 - 139
140 - 159
160 - 179
180
Diastolik (mmHg)
< 85
85 - 89
90 - 99
100 - 109
110
Dalam analisis data survei diambil sebagai standar hipertensi apabila ukuran
sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg.
c. Obesitas
24
adalah perilaku,
pelayanan kesehatan, dan yang paling kecil memberikan pengaruh adalah genetik 19.
Faktor lingkungan antara lain dari pengaruh sosial,
(psikis) dan biologis, dan faktor perilaku umumnya oleh gaya hidup. Perilaku atau
gaya hidup
obesitas. Perilaku yang paling menonjol adalah perilaku konsumsi dan aktifitas fisik
dan merokok.
Perilaku konsumsi
Riskesdas 2007 menilai perilaku konsumsi berdasarkan konsumsi serat
dari buah dan sayur, dan makanan berisiko lainnya seperti makanan manis, asin,
berlemak dan jeroan. Menurut WHO, yang dimaksud dengan satu porsi sayur
adalah 1 mangkok sayur segar atau mangkok sayur masak; dan satu porsi
buah adalah 1 potongan sedang atau 2 potongan kecil buah atau 1 mangkok
buah irisan. Pada pedoman kuesioner Riskesdas 2007, takaran ini ditunjukkan
dengan menggunakan kartu bergambar buah dan sayur seperti halnya pada
Susenas 2004.
Yang dimaksud dengan cukup mengkonsumsi sayur dan buah adalah
mengkonsumsi sayur dan buah tiap hari dengan perimbangan minimal 3 porsi
sayur dan 2 porsi buah atau sebaliknya 3 porsi buah dan 2 porsi sayur selama 7
25
hari dalam seminggu. Kriteria kurang adalah apabila konsumsi sayur dan
buah kurang dari ketentuan di atas (WHO).
Untuk makanan berisiko, kriteria berisiko jika mengkonsumsi makanan
tersebut setiap hari, minimal tiga dari empat jenis makanan tersebut.
Aktivitas
Kebiasaan melakukan aktivitas fisik sangat penting dalam menjaga
kesehatan tubuh, meningkatkan kesehatan psikologis dan mencegah kematian
prematur. Kebiasaan melakukan aktivitas fisik selama satu minggu terakhir
ditanyakan dan dikelompokan menjadi 2 yaitu (1) kurang dan (2) cukup.
Cukup beraktivitas fisik: Penduduk yg melakukan aktivitas berat,
sedang maupun berjalan paling sedikit 10 menit tanpa henti untuk setiap
kegiatan, dan kumulatif 150 menit dlm seminggu
Yang dimaksud dengan cukup aktivitas adalah kegiatan paling sedikit
10 menit tanpa henti setiap kegiatan dan kumulatif 150 menit per minggu.
Sedangkan kurang aktivitas adalah kegiatan paling sedikit 10 menit tanpa
henti setiap kegiatan dan kumulatif < 150 menit per minggu.
Waktu melakukan aktivitas dihitung dengan menjumlahkan (waktu
untuk aktifitas berjalan) + (waktu untuk beraktifitas fisik sedang) + (2x waktu
untuk beraktifitas fisik berat). Waktu beraktifitas diantara 1-149 menit
merupakan kegiatan kurang aktivitas dan waktu beraktifitas 150 menit per
minggu termasuk dalam kegiatan aktivitas cukup.
Merokok
Informasi tentang perilaku merokok saat ini akan membantu
memprediksi gambaran beban penyakit tidak menular yang akan datang seperti
penyakit kardiovaskuler, diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, kanker
tertentu.
Perilaku merokok, umur mulai merokok, dan dosis rokok pada berbagai
karakteristik seperti umur, jenis kelamin, kegiatan, daerah, provinsi dan status
ekonomi. Pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi ini untuk
menerapkan strategi pencegahan untuk menghindari beban tersebut.
26
emosional.
Lingkungan
sosial
meliputi
tingkat
pendidikan,
Susenas
2007,
tingkat
sosial
ekonomi
diperoleh
27
Tabel 3.1.
Jumlah Populasi Sampel menurut Pulau dan Propinsi
Pulau/Propinsi
Jawa
Sulawesi
Jumlah
Persen (%)
3074
18138
21075
2591
19166
3052
4338
4520
12775
5769
2746
2271
99515
3.1
18.2
21.2
2.6
19.3
3.1
4.4
4.5
12.8
5.8
2.8
2.3
100.0
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Total
Sampel adalah semua sampel biomedis di pulau Jawa dan Sulawesi yang
memenuhi kriteria sesuai dengan variabel dependen. Data yang tersedia dan
memenuhi syarat (valid) dengan jumlah dan rentang sebagai berikut:
Tabel 3.2.
Jumlah Sampel dan Rentang Nilai Berdasarkan Variabel Dependen
Variabel
kadar glukosa 2 jam PP
Rerata Tek Darah Sistolik
Rerata tek. darah diastolik
Berat Badan
Tinggi Badan/ Panjang Badan
skor IMT
Lingkar perut
Valid N (listwise)
Minimum
Maximum
3597
3569
3569
3574
3559
3555
3515
3478
50.00
66.50
46.00
24.8
100.0
11.54
50
671.00
597.50
556.50
110.0
181.3
56.78
131
Dari Tabel 3.2. terlihat bahwa besar sampel keseluruhan yang dapat dianalisis
lebih lanjut sebanyak 3.478 responden. Tabel 3.3. menyajikan karakteristik
responden menurut kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status
ekonomi. Terlihat bahwa kelompok umur 15-24 memiliki jumlah yang terkecil
28
Jumlah
n
70
587
932
852
583
331
124
2,01
16,88
26,80
24,50
16,76
9,52
3,56
2745
733
78,92
21,08
280
541
875
563
903
306
8,05
15,55
25,16
16,19
25,96
8,80
313
37
281
657
980
1026
178
9,00
1,06
8,08
18,89
28,18
29,50
5,12
1279
1415
784
36,77
40,68
22,54
Menurut jenis pekerjaan, sampel terkecil adalah anak sekolah sebesar 1,06% diikuti
oleh jenis pekerjaan lainnya sebasar 5,12%. Jumlah sampel menurut tingkat
29
pengeluaran rata-rata per hari per bulan antara kuinti-l_2 dengan kuintil-3_4 hampir
sama, sampel terkecil berada pada kuintil 5 sebesar 22,54%.
3.5. Tahap Analisis Data
3.5.1. Recleaning data
Dari 99.515 sampel yang diterima dari data Biomedis Riskesdas 2007,
hanya 3719 (3,74%) responden yang memiliki data glukosa 2 jam PP dan hanya
3597 (3,61%) responden yang memiliki data glukosa memenuhi syarat 50 gr/dL
(kecuali kode 999=tidak diperiksa). Tekanan darah sistolik dan diastolik yang
dipilih berdasarkan pengukuran pertama dan kedua, karena syarat sampel harus
memilki perlakuan yang sama dan tidak semua sampel mendapat pengukuran
ketiga. Jumlah sampel awal 99.510 atau 99,99%. Kriteria sampel yang dipilih
berdasarkan tekanan darah yaitu sistolik 50 mmHg, diastolik 40 mmHg dan
nilai 777 atau 888 dianggap missing atau tidak memenuhi syarat.
Tabel 3.4.
Jumlah Sampel Proses Recleaning Data
Variabel
Jumlah
Awal
Glukosa 2 jam PP
3.719
Sistolik 1
99510
Sistolik 2
99510
Diastolik 1
99510
Diastolik 2
99510
Lingkar perut
99510
Tinggi badan
98172
Berat badan
98350
Rata-rata Sistolik
99510
Rata-rata
diastolik
99510
IMT
98110
Kriteria variabel
50 gr/dL
kode 999=missing
50 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
50 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
40 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
40 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
50 cm
Kode 999 = missing
100 cm
Kode 999=missing
20 kg
Kode 999=missing
50 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
40 mmHg
Kode 777 & 888 = missing
10 cm/kg2
Kode 777 & 888 = missing
3.478
97281
3.478
98271
3.478
97256
3.478
96.657
3.478
98.030
3.478
98.112
3.478
98.359
3.478
98.338
3.478
97.730
3.478
30
Kategori
1=sindroma metabolik
2= non sindroma
metabolik
1= DM
2= non DM
1=Hipertensi
2=normal
1=Obes sentral
2=Non obes sentral
1=kurang serat
2=cukup serat
1=kurang aktifitas fisik
2=cukup aktivitas
1=merokok tiap hari
2=tdk merokok/kadang2
1=setiap hari/lebih
Keterangan
IDF 2005 Asia
DM kadar gula darah 2jam
PP 200 mg/dL
Hipertensi Sistolik/diastolik
140/90 mmHg
Berdasarkan lingkar perut,
lk>90m, pr>80 cm
Berdasarkan kriteria WHO,
cukup jika 5 porsi/hari
Kriteria Riskesdas 2007
Kriteria Surkesnas 2004
Konsumsi makanan tsb
31
Lingkar Perut
Obes
Non Obes
Sentral
sentral
Tekanan Darah
Glukosa Darah
Hipertensi
Normal
DM
TGT
Normal
Jawa
DKI Jakarta (n=162)
Jawa Barat (n=777)
Jawa Tengah (n=875)
DI Yogyakarta (n=138)
Jawa Timur (n=881)
Banten (143)
Sulawesi
Sulawesi Utara (n=44)
Sulawesi Tengah (n=25)
Sulawesi Selatan (n=272)
Sulawesi Tenggara (n=92)
Gorontalo (n=53)
Sulawesi Barat (n=16)
Jawa-Sulawesi
Nasional
31,5
19,9
18,1
21,0
21,8
11,9
68,5
80,1
81,9
79,0
78,2
88,1
43,2
42,6
49,8
44,9
48,1
36,4
56,8
57,4
50,2
55,1
51,9
63,6
8,6
3,7
8,3
6,5
8,3
9,8
14,8
8,5
14,5
9,4
13,4
6,3
76,5
87,8
77,1
84,1
78,3
83,9
29,5
12,0
24,6
21,7
32,1
12,5
20,8
18,8
70,5
88,0
75,4
78,3
67,9
87,5
79,2
81,2
38,6
32,0
40,8
40,2
52,8
18,8
45,4
31,7
61,4
68,0
59,2
59,8
47,2
81,2
54,6
68,3
9,1
0
10,7
4,3
15,1
6,3
7,1
5,7
6,8
8,0
8,1
12,0
5,7
31,2
11,9
10,2
84,1
92,0
81,2
83,7
79,2
62,5
81,0
84,3
Dari Tabel 4.1. di atas menggambarkan bahwa prevalensi terbesar obesitas sentral
di pulau Jawa adalah propinsi DKI Jakarta (31,5%), angka ini lebih kecil jika dibandingkan
dengan prevalensi obesitas sentral tertinggi di pulau Sulawesi yang tempati oleh propinsi
Gorontalo (32,1%), jika dibandingkan dengan prevalensi nasional (18,8%) angka tersebut
32
lebih tinggi, akan ada 4 propinsi yang berada dibawah angka nasional yaitu, Jawa Tengah,
Banten, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat. Propinsi Gorontalo menempati urutan
teratas untuk kejadian hipertensi dan DM di pulau Sulawesi, sedangkan propinsi Jawa
Tengah dan Banten masing-masing menempati urutan teratas kejadian hipertensi dan DM.
Angka ini lebih besar jika dibandingkan dengan prevalensi secara nasional yaitu, 31,7%
hipertensi, 5,7% DM dan 10,2% TGT. Sulawesi Barat berada dibawah angka nasional
untuk hipertensi, sedangkan Jawa Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi tenggara
merupakan propinsi yang prevalensi DMnya di bawah prevalensi nasional.
Tabel 4.2.
Distribusi IMT menurut propinsi di pulau Jawa dan Sulawesi (%).
Pulau/Propinsi
Obes II
(IMT30)
Obes I
(IMT 25-<30)
BB Lebih
(IMT 23-<25)
Normal
(IMT 18,5-<23)
Kurus
(IMT < 18,5)
7,4
4,4
5,1
5,1
4,3
2,1
28,4
20,8
19,3
19,6
24,0
11,9
18,5
17,1
16,2
13,0
17,5
21,7
29,6
43,5
44,3
47,8
43,0
53,1
16,0
14,2
150
14,5
11,2
11,2
9,1
4,0
5,1
6,5
7,5
0,0
4,8
29,5
8,0
20,6
25,0
24,5
25,0
21,4
13,6
8,0
16,9
21,7
24,5
6,3
17,1
45,5
64,0
47,4
38,0
34,0
50,0
43,7
2,3
16,0
9,9
8,7
9,4
18,8
12,9
14,8
Jawa
DKI Jakarta (n=162)
Jawa Barat (n=777)
Jawa Tengah (n=875)
DI Yogyakarta (n=138)
Jawa Timur (n=881)
Banten (143)
Sulawesi
Sulawesi Utara (n=44)
Sulawesi Tengah (n=25)
Sulawesi Selatan (n=272)
Sulawesi Tenggara (n=92)
Gorontalo (n=53)
Sulawesi Barat (n=16)
Jawa-Sulawesi
Nasional
19,1
66,1
Dan yang tertinggi di pulau Jawa adalah propinsi DKI Jakarta dan di Pulau Sulawesi adalah
Sulawesi Utara.
Tabel 4.3.
Distribusi parameter penilai sindroma metabolik (lingkar perut, tekanan darah,
dan glukosa darah) menurut karakteristik sosial ekonomi di Jawa dan Sulawesi (%)
LATAR BELAKANG
KARAKTERISTIK
Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)
Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)
Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)
Tamat SMA (n=903)
Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta,
POLRI) (n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh
(n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)
Kuintil 5 (n=784)
Lingkar Perut
Obes
Non Obes
Sentral
sentral
Tekanan Darah
Glukosa Darah
Hipertensi
Normal
DM
TGT
Normal
5,7
15,8
18,4
24,1
24,4
27,2
15,3
94,3
84,2
81,6
75,9
75,6
72,8
84,7
11,4
22,3
33,5
49,6
64,0
74,6
68,5
88,6
77,7
66,5
50,4
36,0
25,4
31,5
1,4
1,9
3,5
9,6
10,3
14,2
10,5
2,9
5,8
9,6
10,6
16,1
22,1
25,8
95,7
92,3
86,9
79,8
73,6
63,7
63,7
14,2
45,4
85,8
54,6
43,2
53,5
56,8
46,4
6,3
10,1
11,1
14,9
82,6
75,0
22,1
13,7
19,5
22,9
22,5
26,1
77,9
86,3
80,5
77,1
77,5
73,9
63,6
50,8
49,0
42,8
35,7
41,8
36,4
49,2
51,0
57,2
64,3
58,2
9,3
7,4
6,1
6,7
7,3
7,8
17,9
12,0
11,1
11,0
11,7
10,8
72,9
80,6
82,9
82,2
81,0
81,4
23,3
5,4
54,1
76,7
94,6
45,9
69,3
21,6
49,5
30,7
78,4
50,5
12,1
2,7
12,1
21,4
8,1
14,6
66,5
89,2
73,3
21,3
78,7
36,2
63,8
6,7
12,3
81,0
9,0
91,0
42,8
57,2
3,4
9,2
87,4
21,2
27,5
78,8
72,5
43,9
57,9
56,1
42,1
6,6
16,3
10,3
14,6
83,0
69,1
16,7
21,6
26,3
83,3
78,4
73,7
43,5
46,0
47,3
56,5
54,0
52,7
5,2
7,1
10,1
11,9
12,6
10,7
82,9
80,3
79,2
meningkat seiring bertambahnya umur hingga umur 65-74 tahun. Prevalensi obesitas
sentral, hipertensi, dan DM pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Menurut
tingkat pendidikan prevalensi obesitas sentral cenderung meningkat dimulai dari mereka
yang berpendidikan tidak tamat SD ke atas, sedangkan untuk hipertensi dan DM
berfluktuasi.
Tingkat pendidikan tidak sekolah menempati peringkat tertinggi prevalensi
hipertensi dan DM. Menurut jenis pekerjaan utama, prevalensi obesitas sentral tertinggi
terdapat pada kelompok pengurus rumah tangga, disusul kelompok yang tidak bekerja.
Prevalensi hipertensi paling tinggi ditemukan pada kelompok yang tidak memiliki
pekerjaan, diikuti kelompok pekerjaan lainnya dan tidak bekerja. Prevalensi DM paling
banyak terdapat pada kelompok pekerjaan lainnya diikuti kelompok pengurus rumah
tangga (ibu rumah tangga) dan tidak bekerja. Menurut tingkat ekonomi, prevalensi obesitas
sentral, hipertensi dan DM cenderung meningkat.
4.2. Karakteristik sindroma metabolik.
Penilaian sindroma metabolik didasarkan atas kejadian komponen-komponen
sindroma metabolik seperti obesitas sentral, hipertensi dan diabetes mellitus (IDF Asia
2005). Seorang responden dikatakan sindroma metabolik bila ada lingkar pinggang (lakilaki > 90 cm; perempuan > 80 cm), tekanan darah (sistolik 130 mmHg; diastolik 85
mmHg), dan kadar glukosa darah 2 jam PP ( 140 mg/dL).
Tabel 4.4.
Prevalensi Sindroma Metabolik menurut Propinsi di Jawa dan Sulawesi.
Pulau/Propinsi
Sindroma Metabolik
21,6
13,8
12,5
15,2
14,5
6,3
78,4
86,2
87,5
84,8
85,5
93,7
13,6
0,0
16,2
9,8
22,6
6,3
86,4
100,0
83,8
90,2
77,4
93,7
Jawa
DKI Jakarta (n=162)
Jawa Barat (n=777)
Jawa Tengah (n=875)
DI Yogyakarta (n=138)
Jawa Timur (n=881)
Banten (143)
Sulawesi
Sulawesi Utara (n=44)
Sulawesi Tengah (n=25)
Sulawesi Selatan (n=272)
Sulawesi Tenggara (n=92)
Gorontalo (n=53)
Sulawesi Barat (n=16)
35
Jawa Sulawesi
13,8
86,2
Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa prevalensi sindroma metabolik (SM) di Jawa dan
Sulawesi adalah sebesar 13,8. Angka ini lebih besar jika dibandingkan prevalensi SM
secara nasonal yakni 12,7%. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (21,6%)
yang kemudian secara berturut turut diikuti oleh DI Yogyakarta (15,2%), dan Jawa Timur
(14,5%) untuk pulau Jawa. Di Sulawesi prevalensi SM tertinggi di provinsi Gorontalo
(22,6%), kemudian diikuti oleh Sulawesi Selatan (16,2%) dan SM tidak ditemukan pada
propinsi Sulawesi Tengah.
Tabel 4.5.
Distribusi Sindroma Metabolik Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Di Jawa Dan
Sulawesi
Latar Belakang Karakteristik
Kelompok Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)
Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)
Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)
Tamat SMA (n=903)
Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta, POLRI) (n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh (n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)
Kuintil 5 (n=784)
Sindroma Metabolik
2,9
7,8
11,0
16,2
17,7
22,1
13,7
97,1
92,2
89,0
83,8
82,3
77,9
86,3
9,6
29,7
90,4
70,3
15,0
10,2
12,9
14,6
15,2
16,0
85,0
89,8
87,1
85,4
84,8
84,0
18,8
0,0
34,5
14,0
5,5
13,6
20,2
81,2
100,0
65,5
86,0
94,5
86,4
79,8
10,6
14,6
17,9
89,4
85,4
82,1
36
Ada
kecendrungan
prevalensi
sindroma
metabolik
meningkat
seiring
3.3
2.6
2.2
2.3
1.9
1,6
1.1
1.1
Jatim
Sulsel
1.2
0.9
0
Banten
0
Sulbar
Jabar
DKI
Gorontalo
DI Yogya
Sulut
Jateng
Sultra
Sulteng
37
Kurang
Cukup
Asin
Manis
Berlemak
Jeroan
98,6
98,8
98,2
98,6
97,8
98,8
100,0
1,4
1,2
1,8
1,4
2,2
1,2
0,0
21,4
29,6
29,6
26,6
30,7
24,2
30,6
64,3
65,2
68,3
70,2
64,2
62,5
72,6
27,1
21,5
20,8
18,5
19,0
15,7
18,5
2,9
2,2
1,9
1,3
1,0
1,2
0,8
98,4
98,5
1,6
1,5
28,9
26,6
68,7
60,8
19,7
19,2
1,6
1,4
99,6
99,1
98,7
0,4
0,9
1,3
1,1
25,0
30,5
33,4
59,3
59,9
65,4
16,4
20,5
19,3
1,1
0,7
1,4
98,9
98,9
97,8
96,4
2,2
3,6
28,8
24,8
23,5
69,6
71,4
73,9
21,7
19,6
18,3
1,4
2,3
2,0
99,4
97,3
98,6
0,6
2,7
1,4
27,8
16,2
31,0
64,5
62,2
59,8
22,0
27,0
16,4
1,3
0,0
2,5
96,8
3,2
24,0
71,2
18,7
1,8
99,1
98,5
98,9
0,9
1,5
1,1
33,1
28,0
21,9
66,7
67,1
70,2
19,0
22,2
10,7
0,8
2,1
0,6
99,5
98,9
0,5
1,1
29,6
28,5
65,4
67,8
19,2
20,6
1,3
1,7
38
Kuintil 5 (n=784)
95,9
4,1
26,5
68,6
18,8
1.9
Pada tabel 4.6 tampak bahwa kelompok umur yang paling kurang konsumsi buah
dan sayur adalah 75 tahun ke atas (100,0%). Tidak ada perbedaan konsumsi buah dan sayur
antara laki-laki dan perempuan. Sementara berdasarkan pendidikan, semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin baik konsumsi buah dan sayur. Menurut kelompok pekerjaan,
konsumsi buah dan sayur yang paling kurang pada kelompok tidak bekerja. Berdasarkan
tingkat pengeluaran per kapita (status ekonomi), tampak pengurangan prevalensi kurang
konsumsi buah dan sayur, dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per
kapita perbulan, semakin tinggi konsumsi buah dan sayur.
Kelompok umur yang paling kurang konsumsi buah dan sayur adalah 75 tahun ke
atas (100,0%). Tidak ada perbedaan konsumsi buah dan sayur antara laki-laki dan
perempuan. Sementara berdasarkan pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin
baik konsumsi buah dan sayur. Menurut kelompok pekerjaan, konsumsi buah dan sayur
yang paling kurang pada kelompok tidak bekerja. Berdasarkan tingkat pengeluaran per
kapita (status ekonomi), tampak pengurangan prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur,
dengan perkataan lain, semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita perbulan, semakin
tinggi konsumsi buah dan sayur.
Konsumsi makanan seperti makanan dominan manis, asin, berlemak dan jeroan
berisiko terhadap obesitas, hipertensi dan diabetes mellitus. Frekuensi makan makanan
tersebut setiap hari dianggap cukup berisiko terhadap obesitas, hipertensi dan DM.
Konsumsi makanan manis asin, berlemak dan jeroan di Jawa dan Sulawesi berturut-turut
adalah 67,1%, 68,4%, 19,6% dan 1,6%. Hampir tidak ada perbedaan konsumsi makanan
manis dan asin pada kelompok umur. Kelompok umur 15-24 tahun merupakan kelompok
yang paling rendah frekuensi konsumsi makanan asin tiap hari dan 65-75 tahun terendah
konsumsi makanan manis tiap hari. Sedangkan konsumsi makanan berlemak dan jeroan
cenderung menurun seiring dengan bertambahnya umur. Tidak terlihat adanya perbedaan
konsumsi makanan manis, asin, berlemak dan jeroan pada laki-laki dan perempuan, hanya
saja laki-laki lebih tinggi frekuensinya. Konsumsi makanan asin, manis, berlemak dan
jeroan yang tertinggi pada tingkat pendidikan berturut-turut adalah tamat SD, Tamat
39
perguruan tinggi, tamat SMP dan Tamat SMA. Konsumsi makanan asin, manis, berlemak
dan jeroan yang tertinggi
berturut-turut adalah
40
77.3
73.6
48.3
Banten
55.4
55.8
56.6
Sultra
DI Yogya
Sulsel
57.9
60
60.7
63.2
62.5
59.4
48.8
DKI
Jabar
Sulteng
Jatim
Sulbar
Jateng
Gorontalo
Sulut
Pada gambar 4.2. tampak bahwa di Jawa dan Sulawesi lebih dari separuh penduduk
(59,4%) cukup melakukan aktifitas fisik, secara nasional rata-rata cukup aktivitas fisik
mencapai 51,8%. Cukup aktifitas fisik paling tinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara
(77,3%) dan Provinsi Gorontalo (73,6%). Prevalensi cukup aktifitas fisik di bawah rata-rata
Jawa Sulawesi terdapat di Banten (48,3%), DKI Jakarta (48,8%), Sulawesi Tenggara
(55,4%), DI Yogyakarta (55,8), Sulawesi Selatan (56,6%) dan Jawa Barat (57,9%).
Tabel 4.7.
Persentase Penduduk 15 tahun ke atas yang melakukan Aktivitas fisik berat, sedang,
bersepeda/jalan kaki dan yang cukup malakukan aktivitas
menurut karakteristik sosial ekonomi di Jawa dan Sulawesi
LATAR BELAKANG
KARAKTERISTIK
Kelompok Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)
Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)
Melakukan
Melakukan
Melakukan jalan
aktivitas berat aktivitas sedang kaki/ bersepeda
Aktivitas
Kurang
Cukup
31,4
44,5
40,8
41,3
36,4
19,9
16,1
82,9
72,6
71,9
72,1
70,7
60,7
58,1
64,3
55,5
57,8
58,6
61,4
50,5
41,1
51,4
31,2
33,5
37,3
44,1
66,2
70,2
48,6
68,8
66,5
62,7
55,9
33,8
29,8
44,7
65,9
59,9
35,1
64,9
41
Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)
Tamat SMA (n=903)
Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta, POLRI)
(n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh (n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)
Kuintil 5 (n=784)
11,9
87,9
48,4
61,3
38,7
29,6
49,4
48,1
35,3
32,4
14,7
64,3
64,9
66,7
73,0
74,1
81,7
43,6
63,8
58,6
54,7
56,4
59,2
55,0
31,8
35,0
39,1
43,1
54,6
45,0
68,2
65,0
60,9
56,4
45,4
41,5
29,7
6,8
59,1
83,8
86,8
41,9
73,0
50,5
71,2
43,0
67,3
28,8
56,8
32,7
28,5
78,7
57,4
43,8
56,2
66,4
35,3
24,7
61,8
73,3
64,0
64,9
55,3
57,0
22,4
36,2
57,3
77,6
63,8
42,7
45,0
36,5
28,2
65,8
71,7
76,0
60,6
54,9
55,1
36,6
40,9
46,6
63,4
59,1
53,4
Pada tabel 4.7 terlihat bahwa menurut kelompok umur, kurang aktifitas fisik paling
tinggi terdapat pada kelompok 75 tahun ke atas (70,2%) dan umur 65-74 tahun (66,9%),
dan perempuan (61,3%) lebih tinggi dibanding laki-laki (35,1%). Berdasarkan tingkat
pendidikan, prevalensi kurang aktifitas fisik tertinggi terdapat pada kelompok tidak sekolah
(55,0%), kemudian tamat perguruan tinggi (54,6%). Berdasarkan pekerjaan utama,
prevalensi kurang aktivitas tertinggi terdapat kelompok pekerjaan tidak bekerja (71,2%)
kemudian ibu rumah tangga (67,3%) dan semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per
bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik.
c. Merokok
Pada penduduk umur 15 tahun ke atas ditanyakan apakah merokok setiap hari,
merokok kadang-kadang, mantan perokok atau tidak merokok. Bagi penduduk yang
merokok setiap hari, ditanyakan berapa umur mulai merokok setiap hari. Pada penduduk
yang merokok, yaitu yang merokok setiap hari dan merokok kadang-kadang, ditanyakan
berapa rata-rata batang rokok yang dihisap per hari. Juga ditanyakan apakah merokok di
42
dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lain. Bagi yang merokok setiap hari
dikategorikan sebagai kelompok risiko tinggi.
Gambar 4.3. menunjukkan bahwa di Jawa dan Sulawesi persentase penduduk umur
15 tahun ke atas yang merokok tiap hari 44,1%. Persentase tertinggi ditemukan di Provinsi
Gorontalo (54,7%), diikuti dengan Jawa Barat (53,2%) dan Sulawesi Tengah (52,0%).
Sedangkan persentase terendah dijumpai di Provinsi Sulawesi Tenggara (33,7%).
Gambar 4.3.
Persentase penduduk 15 tahun ke atas yang memiliki perilaku
Merokok berisiko tinggi (setiap hari) di Jawa dan Sulawesi
50
51
52
53.2
54.7
44.9
42.8
41.4
44,1
39.1
36
37.5
33.7
Sultra
Sulsel
Sulbar
Jateng
DKI
Jatim
DI Yogya
Sulut
Banten
Sulteng
Jabar
Gorontalo
Merokok pada
Rata-rata umur Rata-rata ART lain %
mulai merokok1
batang2
( perokok)2
Kategori Merokok %
Risiko tinggi
Risiko rendah
(tiap hari)
(kadang & )
Kelompok Umur
15 24 (n=70)
25 34 (n=587)
35 44 (n=931)
45 54 (n=852)
55 64 (n=583)
65 74 (n=331)
75+ (n=124)
17,6
17,8
19,3
19,3
19,7
21,2
21,7
10,4
10,2
9,9
10,3
9,8
8,8
7,9
74,2 (31)
77,5 (352)
79,5 (546)
81,7 (492)
89,2 (260)
86,8 (129)
82,9 (41)
32,9
47,2
49,4
48,2
37,9
33,2
25,8
67,1
53,0
50,6
51,8
62,1
66,8
74,2
Jenis kelamin
Laki-laki (n=2745)
19,3
10,0
81,8 (1777)
54,7
45,3
43
Perempuan (n=733)
Pendidikan
Tidak sekolah (n=280)
Tidak tamat SD (n=541)
Tamat SD (n=875)
Tamat SMP (n=563)
Tamat SMA (n=903)
Tamat SMA+ (n=306)
Pekerjaan
Tidak bekerja (n=313)
Sekolah (n=37)
Ibu RT (n=281)
Pegawai (negeri, swasta, POLRI)
(n=657)
Petani/Nelayan/ Buruh (n=980)
Wiraswasta/Jasa (n=1026)
Lainnya (n=178)
St. ekonomi
Kuintil 1-2 (n=1279)
Kuintil 3-4 (n=1415)
Kuintil 5 (n=784)
1
2
30,3
6,1
76,6 (47)
4,2
95,8
19,7
19,8
19,3
18,5
19,8
20,0
9,0
10,0
9,7
10,0
10,2
10,3
92,0 (113)
87,1 (309)
82,8 (478)
80,5 (307)
77,5 (494)
72,5 (120)
36,1
50,1
45,3
46,4
45,1
31,0
63,9
49,9
54,7
53,6
54,9
69,0
19,5
16,7
28,8
8,4
11,9
5,1
83,5 (109)
71,4 (14)
72,7 (11)
29,1
29,7
1,8
70,9
70,3
98,2
19,5
10,2
76,2 (345)
42,9
57,1
19,5
19,2
19,6
9,8
10,0
11,3
85,8 (681)
79,9 (582)
82,7 (81)
60,2
47,1
39,3
39,8
52,9
60,7
19,6
19,4
19,3
9,4
10,1
10,9
82,8 (715)
81,1 (748)
80,3 (361)
46,5
44,8
38,8
53,5
52,2
61,2
jumlah sampel umur mulai merokok setiap hari sama dengan yang menjawab merokok setiap hari pada pertanyaan D11.
jumlah sampel rata-rata jumlah batang rokok & merokok pada ART laini sama dengan yang menjawab option tiap hari (1) dan kadang-kadang (2)
pada pertanyaan D11.
Lebih dari separuh (54,7%) penduduk laki-laki umur 15 tahun ke atas merupakan perokok
tiap hari. Menurut pendidikan, proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk tidak tamat SD
(50,1%). Menurut pekerjaan utama, proporsi tertinggi dijumpai pada penduduk
petani/nelayan/buruh (60,2%) disusul penduduk yang wiraswasta/jasa (47,1%). Semakin
tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan, semakin sedikit penduduk yang merokok
setiap hari.
Tabel 4.8. juga menyajikan umur pertama kali merokok setiap hari, rerata jumlah
batang rokok yang dihisap perokok saat ini dan perokok merokok dalam rumah ketika ada
ART lain. Perokok saat ini adalah perokok setiap hari dan perokok kadang-kadang. Secara
nasional prevalensi perokok saat ini untuk usia 10 tahun ke atas mencapai 29,2% dengan
rerata jumlah rokok yang dihisap 12 batang per hari. Berdasarkan data analisis Jawa dan
Sulawesi rerata prevalensi perokok saat ini mencapai 52,4% dengan rerata jumlah batang
rokok yang hisap 10 batang per hari. Rata-rata umur mulai merokok setiap hari di Jawa dan
Sulawesi adalah 19,4 tahun.
44
Umur mulai merokok setiap hari cenderung meningkat pada kelompok umur, atau
semakin muda usia perokok semakin cepat mulai merokok setiap hari. Rata-rata laki-laki
mulai merokok setiap hari umur 19 tahun, sedangkan perempuan 30 tahun. Tidak ada
perbedaan umur mulai merokok setiap hari dengan tingkat pendidikan dan tingkat
pengeluaran rata-rata per kapita per hari. Anak sekolah merupakan perokok yang paling
cepat merokok setiap hari, sedangkan ibu rumah tangga mulai merokok umur 30 tahun.
Rerata batang rokok yang dihisap per hari cenderung menurun seiring
bertambahnya umur. Laki-laki merokok rata-rata lebih banyak dibanding perempuan, tetapi
tidak ada perbedaan rata-rata jumlah batang rokok yang diisap menurut tingkat pendidikan.
Anak sekolah rata-rata lebih banyak mengkonsumsi rokok (12 batang/hari),dan ibu rumah
tangga yang paling sedikit konsumsi rokok rata-rata per hari (5 batang).
Ada kecendrungan meningkat kebiasaan perokok merokok dalam rumah ketika ada
ART lain menurut kelompok umur hingga 55-64 tahun setelahnya itu menurun. Laki-laki
lebih banyak merokok dalam rumah ketika ada ART lain di banding perempuan. Kebiasaan
merokok dalam rumah ketika ada ART ada kecendrungan menurun menurut tingkat
pendidikan, atau semakin tinggi tingkat pendidikan semakin berkurang kebiasaan merokok
dalam rumah ketika ada ART lain. Hampir tidak ada perbedaan kebiasaan merokok dalam
rumah ketika ada ART lain menurut kelompok pekerjaan dan tingkat pengeluaran per
kapita per hari responden.
4.4. Analisis Perilaku berisiko terhadap Kondisi Fisiologi Sindroma Metabolik
4.4.1. Obesitas sentral
Tabel 4.9. menyajikan distribusi obesitas sentral berdasarkan perilaku berisiko (pola
makan, aktivitas fisik dan merokok) menurut tingkat status ekonomi (quintil 1-5). Ada
kecendrungan meningkat kurang konsumsi buah dan sayur penderita obesitas sentral
seiring dengan meningkatnya status ekonomi.
Tabel 4.9.
Prevalensi Obesitas Sentral Penduduk 15 Tahun ke Atas Berdasarkan Perilaku
Pola Makan, Aktivitas dan Merokok Menurut Tingkat Ekonomi di Jawa dan Sulawesi
Karakteristik Responden
Konsumsi Sayur
Kurang serat
Q1-2
16,5
Obesitas Sentral
Q3-4
21,1
Q5
24,9
45
dan buah
Cukup serat
0,2
0,5
1,4
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari
11,0
5,6
14,1
7,5
15,8
10,5
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari
3,8
12,8
6,1
15,5
5,4
20,9
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari
3,5
13,1
5,0
16,5
5,1
21,2
Jeroan
setiap hari
< setiap hari
0,3
16,3
0,4
21,2
0,6
25,6
Aktivitas
Kurang aktivitas
Cukup aktivitas
9,1
7,5
11,0
10,5
14,7
11,6
Merokok
Setiap hari
(risiko tinggi)
Kadang2 &
3,2
13,4
5,0
16,5
5,6
20,7
Konsumsi makanan manis, asin, berlemak dan jeroan dikatakan berisiko jika
mengkonsumsi makanan tersebut setiap hari atau lebih, dan kurang berisiko jika tidak
mengkonsumsinya setiap hari. Konsumsi makanan manis, berlemak dan jeroan meningkat
seiring dengan meningkatnya status ekonomi pada penderita obesitas. Konsumsi makanan
asin tertinggi pada status ekonomi menengah pada penderita obesitas sentral. Obesitas
sentral semakin meningkat seiring dengan meningkatnya status ekonomi dan kurang
aktivitas fisik dan merokok setiap hari.
47
Tabel 4.10.
Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Obesitas Sentral dengan Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2); Tingkat
Ekonomi Menengah (Q3-4); dan Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa & Sulawesi
Jenis Variabel
Perilaku Makan
Buah & Sayur
Kurang Serat
Cukup Serat*)
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari*)
Jeroan
setiap hari
< setiap hari*)
Aktivitas
Aktivitas kurang
Aktivitas cukup*)
Rokok
Merokok tiap hari
Merokok kurang risiko*)
Signifikansi (p)
OR ()
95% CI
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
-0,764
-1.050
-0.124
0,400
0.048*
0,753
0,466
0,350
0,883
0,079 2,759
0,123 0,992
0,409 1,910
0.141
-0.100
-0.402
0,403
0.487
0,025*
1,152
0,905
0,669
0,827 1,603
0,683 1,199
0,471 0,950
-0,457
0.043
-0.339
0,016*
0.775
0,107*
0,663
1,044
0,713
0,437 0,918
0,776 1,406
0,472 1,076
0,218
0.332
0.198
0,284
0.046*
0,376
1,243
1,393
1,219
0,835 1,852
1,006 1,930
0,786 1,892
0,557
-0.327
0.565
0,378
0.539
0,343
1,745
0,721
1,759
0,506 6,019
0,254 2,044
0,547 5,656
0,733
0,385
0,272
0,000*
0,005*
0,114*
2,081
1,469
1,313
1,524 2,840
1,125 1,918
0,936 1,841
-1,385
-1,165
-1,002
0,000*
0,000*
0,000*
0,250
0,312
0,367
0,173 0,361
0,232 0,419
0,250 0,540
48
49
Kurang aktivitas pada tingkat ekonomi rendah dan menengah mempunyai risiko,
masing-masing 2,081 dan 1,469 menjadi obesitas sentral dibanding mereka yang cukup
aktivitas. Selain itu, merokok setiap hari pada semua tingkat ekonomi tidak menjadi foktor
risiko dengan masing-masing OR sebesar 0,250, 0,312 dan 0,313 kali untuk obesitas sentral
dibanding mereka yang merokok kadang-kadang atau tidak merokok.
Tabel 4.11.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada Tingkat Ekonomi
Rendah (Q1-2) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
B
Signifikansi (p) OR ()
95%CI
Konsumsi makanan asin
setiap hari
-0,373
0,041
0,689
0,482 0,982
Merokok setiap hari
-1,394
0,000
0,248
0,172 0,358
0,709
0,000
2,032
1,491 2,767
merokok setiap hari (OR=0,248). Analisis ini menunjukkan bahwa seseorang dengan status
ekonomi rendah yang kurang aktivitas memiliki risiko
Tabel 4.12.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada Tingkat Ekonomi
Menengah (Q3-4) di Jawa dan Sulawesi
B
Signifikansi
(p)
OR ()
95%CI
-1,056
0,047
0,348
0,123 0,985
Konsumsi makanan
berlemak setiap hari
0,306
0,058
1,358
0,990 1,863
-1,167
0,000
0,311
0,232 0,418
0,379
0,005
1,461
1,120 1,906
Variabel
Kurang konsumsi buah &
sayur
Tabel 4.13.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Obesitas Sentral pada Tingkat Ekonomi
Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Konsumsi makanan manis
setiap hari
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
-0,389
0,029
0,678
0,478 0,962
-0,294
0,153
0,745
0,497 1,116
-0,991
0,000
0,371
0,253 0,544
0,287
0,095
1,332
0,951 1,865
Pada Tabel 4.13 terlihat bahwa pada tingkat ekonomi tinggi, analisis akhir regresi
logistik multivariat, ada 2 variabel yang memiliki pengaruh (p < 0,05) terhadap kejadian
obesitas sentral yaitu, konsumsi makanan manis tiap hari dan merokok setiap hari.
Konsumsi makanan manis tiap hari memiliki pengaruh paling kuat dengan nilai OR=
0,678 dibanding dengan merokok setiap hari (OR=0,371). Analisis ini menunjukkan bahwa
seseorang dengan status ekonomi tinggi yang konsumsi makanan manis tiap hari bersifat
protektif sebesar 0,678 kali terhadap obesitas sentral dibanding yang mengkonsumsi
makanan manis < tiap hari.
51
Konsumsi Sayur
dan buah
Kurang serat
Cukup serat
Q1-2
43,5
0,1
Hipertensi
Q3-4
45,7
0,4
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari
28,9
14,7
31,0
15,1
31,1
16,2
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari
12,2
31,4
13,5
32,5
12,0
35,3
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari
7,8
35,7
9,1
36,9
9,2
38,1
Jeroan
setiap hari
< setiap hari
0,2
43,4
0,7
45,3
0,9
46,4
Aktivitas
Kurang aktivitas
Cukup aktivitas
19,2
24,3
20,8
25,2
22,7
24,6
Merokok
Setiap hari
(risiko tinggi)
Kadang2 &
17,4
26,2
16,7
29,3
15,2
32,1
Karakteristik Responden
Q5
44,5
2,8
52
kebiasaan
Tabel 4.15.
Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Hipertensi dengan Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2); Tingkat Ekonomi
Menengah (Q3-4); dan Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Jenis Variabel
Perilaku Makan
Buah & Sayur
Kurang Serat
Cukup Serat*)
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari*)
Jeroan
setiap hari
< setiap hari*)
Aktivitas
Aktivitas kurang
Aktivitas cukup*)
Rokok
Merokok tiap hari
Merokok kurang risiko*)
Signifikansi (P)
OR ()
95% CI
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
1,449
0,696
-0.798
0,190*
0.205*
0,042*
4,260
2,006
0,450
0,488 37,170
0,683 5,887
0,208 0,973
0.141
-0.005
-0.221
0,248*
0.964
0,167*
1,152
0,995
0,802
0,906 1,464
0,790 1,253
0,585 1,097
-0,090
0.138
-0.025
0,488
0.259
0,885
0,914
1,148
0,975
0,708 1,179
0,903 1,458
0,696 1,367
-0,059
-0.039
0.131
0,700
0.777
0,498
0.943
0,962
1,140
0,700 1,270
0,733 1,261
0,780 1,666
-1,683
-0.250
0.059
0,029*
0.562
0,912
0,186
0,779
1,061
0,041 0,841
0,334 1,813
0,371 3,030
0,497
0,217
0,272
0,000*
0,053*
0,778
1,664
1,242
0,958
1,299 2,081
0,997 1,548
0,714 1,287
-0,410
-0,622
-1,002
0,000*
0,000*
0,001*
0,664
0,537
0,598
0,528 0,835
0,432 0,668
0,440 0,812
54
55
hari dengan OR= 0,173(0,039-0,774). Analisis ini menunjukkan bahwa kurang aktivitas
memiliki risiko yang paling kuat sebesar 1,646 kali. Variabel lain yang memiliki pengaruh
yang lebih kuat terhadap terjadinya hipertensi adalah kurang konsumsi buah & sayur
dengan OR=4,286(0,492-37,327), walau nilai kemaknaan untuk konsumsi buah dan sayur
di atas 0,05.
Tabel 4.16.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi
pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah &
sayur
Konsumsi makanan manis
setiap hari
Konsumsi jeroan setiap
hari
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
1,455
0,188
4,286
0,492 37,327
0,125
0,300
1,134
0,894 1,437
-1,753
0,022
0,173
0,039 0,774
-0,412
0,000
0,663
0,527 0,834
0,498
0,000
1,646
1,301 2,083
Pada Tabel 4.17 terlihat bahwa pada status ekonomi menengah, analisis akhir
regresi logistik multivariat, ternyata hanya perilaku merokok tiap hari pada yang
mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) untuk terjadinya
hipertensi dengan
OR=0,540(0,232-0,418). Analisis ini juga menunjukkan bahwa konsumsi buah & sayur
yang kurang memiliki risiko yang kuat untuk hipertensi dengan OR=1,990(0,679-5,830),
walau nilai kemaknaannya di atas 0,05.
Tabel 4.17.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi
pada Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah &
sayur
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
-1,688
0,210
1,990
0,679 5,830
-0,616
0,000
0,540
0,232 0,418
0,210
0,060
1,234
0,992 1,536
Tabel 4.18.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Hipertensi
pada Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
B
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
Kurang konsumsi buah dan
sayur
-0,816
0,037
0,442
0,205 0,953
Konsumsi makanan manis
setiap hari
-0,213
0,174
0,809
0,595 1,098
-0,498
0,001
0,608
0,453 0,816
Pada Tabel 4.18 terlihat bahwa pada tingkat ekonomi tinggi, analisis akhir regresi
logistik multivariat, ternyata perilaku merokok tiap hari dan kurang konsumsi buah dan
sayur mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian hipertensi dengan
OR=0,608(0,453-0,816) untuk merokok dan OR=0,442(205-0,953) untuk konsumsi buah
dan sayur.
4.4.3. Glukosa Darah
Tabel 4.19. menyajikan distribusi diabetes mellitus berdasarkan perilaku berisiko (pola
makan, aktivitas fisik dan merokok) menurut tingkat status ekonomi (quintil 1-5). Terlihat
bahwa
meningkatnya status ekonomi. Demikian juga halnya untuk frekuensi konsumsi makanan
berisiko, konsumsi makanan manis, asin, dan berlemak setiap hari atau lebih penderita DM,
meningkat seiring meningkatnya status ekonomi. Konsumsi jeroan setiap hari atau lebih
penderita DM yany tertinggi pada status ekonomi menengah.DM semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya status ekonomi dan kurang aktivitas fisik, serta pada orang
yang merokok setiap hari.
Dilakukan analisis bivariat DM dengan faktor perilaku berisiko. DM dikelompokkan
ke dalam 2 kategori : (1) DM dan (2) non DM. Variabel DM, sebagai variabel tergantung
(dependen), diregresikan dengan faktor perilaku berisiko, yaitu perilaku pola makan serat,
manis, asin, berlemak, jeroan, perilaku aktivitas fisik dan perilaku merokok. Hasilnya
adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 4.20.
57
Tabel 4.19.
Prevalensi Diabetes Mellitus Penduduk 15 Tahun ke Atas
Berdasarkan Perilaku Berisiko: Pola Makan, Aktivitas dan Merokok
Menurut Tingkat Ekonomi di Jawa dan Sulawesi
Karakteristik Responden
Diabetes
Q3-4
6,9
0,2
Q5
9,3
0,8
Konsumsi Sayur
buah
Kurang serat
Cukup serat
Q1-2
5,2
0,0
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari
3,2
2,0
4,5
2,6
5,7
4,3
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari
1,2
4,1
1,8
5,4
2,3
7,8
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari
0,9
4,3
1,4
5,7
1,7
8,4
Jeroan
setiap hari
< setiap hari
0,1
5,2
0,2
6,9
0,0
10,1
Aktivitas
Kurang aktivitas
Cukup aktivitas
2,9
2,3
4,0
3,2
6,1
4,0
Merokok
Setiap hari
(risiko tinggi)
Kadang2 &
1,6
3,6
1,8
5,3
2,4
7,7
Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa, terdapat pengaruh bermakna (p < 0,05)
hanya variabel aktivitas fisik dengan OR=1,664(1,210-3,327) terhadap DM pada tingkat
ekonomi rendah. Pada tingkat ekonomi menengah, terdapat pengaruh bermakna (p<0,05)
variabel aktivitas fisik dan merokok terhadap DM. Nilai OR aktivitas fisik dan merokok
masing-masing secara berurutan adalah 1,653(1,087-2,514) dan 0,452(0,283-0,722). Pada
tingkat ekonomi tinggi, hanya variabel merokok yang mempunyai pengaruh yang
bermakna (p<0,05) terhadap terjadinya DM dengan nilai OR=0,598(0,325-0,994)
Analisis bivariat ini menunjukkan bahwa orang dengan status ekonomi rendah yang
kurang melakukan aktivitas fisik berisiko 1,664 menjadi DM dibanding orang dengan
status ekonomi rendah yang cukup melakukan aktivitas fisik.
58
Tabel.4.20.
Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Sindroma Metabolik dengan Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2);
Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4); dan Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Jenis Variabel
Perilaku Makan
Buah & Sayur
Kurang Serat
Cukup Serat*)
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari*)
Jeroan
setiap hari
< setiap hari*)
Aktivitas
Aktivitas kurang
Aktivitas cukup*)
Rokok
Merokok tiap hari
Merokok kurang risiko*)
Signifikansi (P)
OR ()
95% CI
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
-0.531
-1,183
-0.588
0,999
0.075*
0,221*
83175584
0,306
0,555
0,000
0,084 1,124
0,216 1,425
0.178
-0.137
-0.484
0,716
0.536
0,055*
0,909
0,872
0,616
0,542 1,523
0,566 1,345
0,376 1,009
-0,362
-0,122
-0.007
0,244*
0.619
0,980
0,696
0,885
0,993
0,379 1,280
0,547 1,432
0,553 1,781
0,006
0,007
-0,091
0,985
0.979
0,784
1,006
1,007
0,913
0,514 1,969
0,589 1,722
0,477 1,748
0,379
0,561
-18,839 0,725
0.392
0,999
1,461
1,752
0,000
0,696
0,503
0,490
0,007*
0,019*
0,052*
1,664
1,653
0,958
1,210 3,327
1,087 2,514
0,997 2,671
-0,539
-0,794
-0,565
0,050*
0,001*
0,047*
0,664
0,452
0,598
0,340 1,000
0,283 0,722
0,325 0,994
000
59
60
Sedangkan, kurang aktivitas fisik dan merokok setiap hari pada tingkat ekonomi menengah
mempunyai risiko masing-masing 1,653 dan 0,452 menjadi DM dibanding mereka yang
cukup aktivitas dan tidak merokok. Merokok setiap hari pada tingkat ekonomi tinggi
mempunyai risiko 0,598 menjadi DM dibanding mereka yang merokok kadang-kadang
atau tidak merokok.
Untuk mendapat gambaran pengaruh perilaku berisiko secara simultan terhadap
kejadian DM pada masing-masing tingkat ekonomi, maka dilakukan regresi logistik
multivariat. Pada Tabel 4.21 terlihat bahwa kurang aktivitas fisik pada tingkat ekonomi
rendah mempunyai pengaruh yang kuat (p < 0,05) untuk terjadinya DM dengan OR
2,019(1,219-3,345).
Pada Tabel 4.22 menunjukkan bahwa pada tingkat ekonomi menengah, kurang
aktivitas fisik dan merokok setiap hari mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap
kejadian DM. Variabel kurang aktivitas fisik memiliki risiko yang paling kuat untuk
kejadian
DM
dengan
OR
1,684(1,110-2,556),
selanjutnya
merokok
dengan
OR=0,447(0,280-0,712).
Tabel 4.21.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Mellitus
pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Konsumsi makanan asin
setiap hari
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
-0,365
0,225
0,694
0,384 1,253
-0,538
0,050
0,584
0,341 1,001
0,703
0,006
2,019
1,219 3,345
Tabel 4.22.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Diabetes Mellitus
pada Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah &
sayur
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
-1,166
0,078
0,312
0,085 1.141
-0,806
0,001
0,447
0,280 0,712
0,521
0,014
Tabel 4.23.
1,684
1,110 2,556
61
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
-0,597
0,212
0,551
0,216 1,405
-0,497
0,042
0,608
0,377 0,982
-0,577
0,042
0,561
0,322 0,980
0,477
0,057
1,561
0,985 2,633
Tabel 4.23. menyajikan hasil analisis multivariat logistik regresi antara perilaku
berisiko terhadap kejadian DM pada tingkat ekonomi tinggi. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa konsumsi makanan manis setiap hari dan merokok setiap hari pada tingkat
ekonomi tinggi mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian DM dengan
OR masing-masing 0,608(0,377-0,982) dan 0,561(0,322-0,980). Kurang aktivitas fisik
memiliki pengaruh yang kuat untuk terjadinya DM dengan nilai OR=1,561(0,985-2,633),
walaupun nilai kemaknaannya sedikit di atas 0,05.
4.4.4. Sindroma Metabolik
Tabel 4.24. menyajikan distribusi sindroma metabolik berdasarkan perilaku berisiko
(pola makan, aktivitas fisik dan merokok) menurut tingkat status ekonomi (quintil 1-5).
Terlihat bahwa perilaku berisiko penderita sindroma metabolik (SM) meningkat seiring
dengan meningkatnya status ekonomi.
Penderita sindroma metabolik yang kurang mengkonsumsi sayur dan buah, makanan manis
setiap hari, dan kurang aktivitas lebih besar dibanding dengan yang cukup konsumsi buah
dan sayur, cukup aktivitas fisik, dan konsumsi makanan manis < setiap hari. Sebaliknya,
penderita sindroma metabolik yang mengkonsumsi makanan asin, berlemak, dan jeroan
setiap hari atau lebih, dan merokok setiap hari, proporsinya lebih kecil dibanding dengan
yang mengkonsumsi makanan asin, berlemak dan merokok < setiap hari dan kadangkadang atau tidak merokok.
Tabel 4.24.
Prevalensi Sindroma Metabolik Penduduk 15 Tahun ke Atas
62
Sindroma Metabolik
Q3-4
14,3
0,2
Konsumsi Sayur
buah
Kurang serat
Cukup serat
Q1-2
10,5
0,1
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari
7,3
3,3
9,3
5,2
9,9
7,9
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari
2,5
8,1
4,4
10,2
3,3
14,5
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari
2,1
8,4
2,8
11,7
3,7
14,2
Jeroan
setiap hari
< setiap hari
0,2
10,4
0,2
14,3
0,4
17,5
Aktivitas
Kurang
aktivitas
Cukup
aktivitas
5,9
4,6
7,7
6,9
9,7
8,2
1,8
8,8
3,3
11,3
3,7
14,2
Merokok
Setiap hari
(risiko tinggi)
Kadang2 &
Q5
16,6
1,3
63
Tabel.4.25.
Regresi Logistik Bivariat antara Variabel Sindroma Metabolik dengan Perilaku Berisiko pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2);
Tingkat Ekonomi Menengah (Q3-4); dan Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Jenis Variabel
Perilaku Makan
Buah & Sayur
Kurang Serat
Cukup Serat*)
Makanan Manis
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Asin
setiap hari
< setiap hari*)
Makanan Berlemak
setiap hari
< setiap hari*)
Jeroan
setiap hari
< setiap hari*)
Aktivitas
Aktivitas kurang
Aktivitas cukup
Rokok
Merokok tiap hari
Merokok kurang risiko
Signifikansi (P)
OR ()
95% CI
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
Q1-2
Q3-4
Q5
-0,531
-0,307
0.777
0,629
0.639
0,048*
0,588
0,460
0,291
0,068 5,073
0,208 2,604
0,213 0,994
0,178
-0.194
-0.687
0,363
0.220*
0,000*
1,195
0,503
0,409
0,814 1,755
0,605 1,123
0,346 0,732
-0,333
-0,092
-0.547
0,117*
0.578
0,020*
0,717
1,096
0,579
0,473 1,086
0,793 1,514
0,366 0,916
0,060
0,152
0,152
0,792
0.659
0,511
1,062
0,920
1,165
0,679 1,660
0,634 1,334
0,739 1,835
0,192
-0,179
-0,143
0,799
0.773
0,827
1,214
0,836
1,153
0,273 5,399
0,247 2,829
0,905
0,569
0,378
0,000*
0,000*
0,044*
2,471
1,767
1,459
1,722 3,547
1,313 2,378
1,011 2,105
-1,583
-1,192
-1,048
0,000*
0,000*
0,000*
0,205
0,304
0,351
0,129 0,326
0,215 0,429
0,226 0,543
0,321 4,142
64
Pada tingkat ekonomi tinggi, selain aktivitas dan merokok, konsumsi buah-sayur, makanan
manis dan asin juga berpengaruh (p<0,05) terhadap SM dengan nilai OR masing-masing
1,459(1,011-2,105), 0,331(0,226-0,543), 0,460(0,213-0,994),
0,503(0,346-0,732) dan
0,579(0,366-0,916).
Tabel 4.26.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Sindroma Metabolik
pada Tingkat Ekonomi Rendah (Q1-2) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Konsumsi makanan asin
setiap hari
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
-0,293
0,179
0,746
0,487 1,144
-1,459
0,000
0,232
0,145 0,372
0,690
0,000
1,993
1,375 2,888
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
-0,116
0,472
0,890
0,649 1,222
-1,117
0,000
0,327
0,230 0,465
0,392
0,012
1,479
1,091 2,007
65
Tabel 4.28. menyajikan hasil analisis multivariat logistik regresi antara perilaku
berisiko terhadap kejadian SM pada tingkat ekonomi tinggi. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa merokok setiap hari dan konsumsi makanan manis setiap hari pada tingkat ekonomi
tinggi mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) terhadap kejadian SM dengan OR masingmasing 0,393(0,250-0,619) dan 0,556(0,383-0,838). Kedua variabel tersebut memberi efek
protektif sebesar nilai Ornya terhadap kejadian sindroma metabolik. Tidak ada variabel yang
memberi pengaruh kuat terhadap sindroma metabolik.
Tabel 4.28.
Pengaruh Perilaku Berisiko terhadap Kejadian Sindroma Metabolik
pada Tingkat Ekonomi Tinggi (Q5) di Jawa dan Sulawesi
Variabel
Kurang konsumsi buah dan
sayur
Konsumsi makanan manis
setiap hari
Konsumsi makanan asin
setiap hari
Merokok setiap hari
Kurang aktivitas fisik
Signifikansi (p)
OR ()
95%CI
-0,558
0,167
0,573
0,260 1,263
-0,568
0,004
0,566
0,383 0,838
-0,325
0,185
0,723
0,447 1,168
-0,933
0,000
0,393
0,250 0,619
0,149
0,447
1,161
0,790 1,717
V. PEMBAHASAN
Analisis lanjut data riskesdas 2007 ini telah dilakukan pada 3.478 responden pulau
Jawa dan Sulawesi. Sebagaian besar responden yang terpilih berada di pulau jawa sebesar
85,6% atau sekitar 4 kali lipat responden dari Sulawesi. Rerata umur untuk laki-laki 46,80
tahun, sedangkan rerata umur untuk perempuan 49,86 tahun. Rata-rata tingkat pendidikan
terbanyak adalah tamat SMA (25,96%), pekerjaan terbesar di bidang wiraswasta/jasa
(29,50%), dan status ekonomi menengah (kuintil 3-4) memiliki sampel terbesar (40,68%).
Prevalensi obesitas sentral mencapai 20,8% lebih tinggi dibandingkan dengan angka
nasional 18,8%. Prevalensi hipertensi untuk Jawa-Sulawesi mencapai 45,4% sedangkan
angka nasional 31,7%, dan DM 7,1% lebih tinggi dibanding prevalensi rata-rata nasional
(berdasarkan pengukuran glukosa darah) yang mencapai 4,7%. Propinsi Gorontalo
merupakan daerah yang paling buruk berdasarkan parameter penilai sindroma metabolik,
66
dengan prevalensi paling tinggi pada obesitas sentral (32,1%), hipertensi (52,8%) dan DM
(15,1%) sedangan prevalensi obesitas berdasarkan IMT
67
ekonomi lebih tinggi biasanya menderita obesitas. Kini diketahui bahwa sejak tiga
dekade terakhir, prevalensi obesitas meningkat secara dramatis pada setiap kelompok
status sosial ekonomi20.
Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa obesitas sentral semakin tinggi
prevalensinya seiring dengan bertambahnya umur, pendidikan dan pengeluaran ratarata per kapita per hari (tingkat ekonomi). Perempuan lebih berisiko menjadi obesitas
dibanding laki-laki, hal ini dapat dijelaskan dengan tingginya prevalensi obes sentral
pada perempuan sebesar 45,1% atau kurang lebih satu banding dua. Ibu rumah tangga
merupakan jenis pekerjaan yang memiliki prevalensi obes sentral terbesar yakni
mencapai 54,1%. Hal ini dapat menjelaskan mengapa perempuan lebih berisiko. Jika
dilihat dari perilaku konsumsi buah dan sayur, makanan manis asin, berlemak dan
jeroan, hampir tidak ada perbedaan diantara karakteristik sosial ekonomi tersebut,
begitu pula dengan perilaku merokok, kecuali pada rata-rata umur mulai merokok,
laki-laki lebih cepat merokok dibanding dengan perempuan. Yang sangat mencolok
perbedaannya ada pada perilaku aktifitas fisik yang berbanding terbalik dengan
karakteriktik sosek obesitas sentral. Aktivitas fisik cenderung menurun seiring dengan
bertambahnya umur, tingkat pendidikan dan pengeluaran rata-rata per kapita per hari.
Perempuan sangat kurang beraktivitas dibanding laki-laki, diperjelas dengan jenis
pekerjaan yang sedikit beraktivitas cukup yakni ibu rumah tangga.
Berdasarkan analisis logistik bivariat, ditemukan bahwa pada masing-masing
tingkat ekonomi, pengaruh perilaku terhadap obesitas sentral bervariasi. Pada status
ekonomi rendah (pengeluaran rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 1 dan 2)
makanan jeroan dan aktivitas fisik memberikan risiko masing-masing 1,745 dan 2,081
kali menjadi obesitas, walaupun nilai kemaknaan konsumsi jeroan di atas 0,05. Jika
diteruskan pada analisis multivariat (logistik multinomial), maka kurang aktivitas
fisiklah yang menyebabkan obesitas sentral dengan risiko 2,032 kali. Pada status
ekonomi menengah (pengeluara rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 3 dan
4) makanan berlemak dan aktivitas fisik memberikan risiko masing-masing 1,393 dan
1,469 kali menjadi obesitas. Melihat hasil analisis multivariat, maka kurang aktivitas
fisiklah yang memberikan kontribusi paling kuat untuk obesitas sentral dengan risiko
1,461 kali selain konsumsi makanan berlemak setiap hari dengan risiko 1,358 kali,
68
walaupun nilai kemaknaannya sedikit di atas 0,05. Pada status ekonomi tinggi
(pengeluara rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 5) menunjukkan karakter
yang sama pada tingkan ekonomi rendah, dimana, konsumsi jeroan dan aktivitas fisik
memberikan risiko masing-masing 1,759 dan 1,313 kali menjadi obesitas, walau nilai
kemaknaan keduanya di atas 0,05. setelah dianalisis lebih lanjut, makan kurang
aktivitas fisik yang memberikan kontribusi paling kuat untuk obesitas sentral dengan
risiko 1,332 kali.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurang aktifitas yang memberikan
risiko terbesar untuk obesitas, selain pola konsumsi. Mengingat data pola konsumsi
diperoleh hanya berdasarkan frekuensi makan, oleh karenanya analisis tidak dapat
menunjukkan hasil yang optimal.
Jika di bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika dan Australia,
obesitas justru lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial ekonomi rendah,
yaitu sekitar 6 - 12 kali lebih banyak dibanding mereka dengan sosial ekonomi tinggi.
Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan antara
sosial economic status (SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa, di
negara maju kelompok wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi 8. Di negara
berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih sering terdapat di
daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya kejadian obesitas lebih
sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi. Prevalensi Obesitas di Afrika
Utara sama tinggi dengan kejadian di Amerika Serikat dan Mesir, 70% wanita da 48%
pria mengalami overweight dan obesitas22.
Dalam penelitian tentang obesitas pada daerah kumuh di India diketahui bahwa
masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke kota metropolitan dengan harapan dapat
mengubah gaya hidupnya. Di daerah perkotaan akhirnya mereka bermukim di daerah
kumuh dan bekerja serabutan22. Hal ini menyebabkan perubahan pada pola makan,
terpaparnya stress, dan menurunnya akivitas fisik, meningkatnya kegiatan merokok
dan konsumsi alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor resiko terjadinya
obesitas. Perubahan gaya hidup dan pola makan desa pada SES rendah menjadi lebih
modern yang tinggi akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja
69
menjadi petani dengan tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah menjadi pedagang
kaki lima dengan aktivitas fisik yang rendah8.
Efek saat merokok dan berhenti merokok terhadap berat badan telah dievaluasi
dengan membandingkan pasangan dari kembar identik untuk mengontrol genetik dan
beberapa faktor lingkungan. Pasangan yang merokok jenis ringan, menengah dan berat
memiliki rata-rata weight gain 2,4, 3,2 dan 4,0 kg lebih besar dibandingkan dengan
kembaran mereka yang tidak merokok. Pada sisi lain, bekas perokok memiliki insidens
yang tinggi terhadap obesitas (27%) dibandingkan dengan saudara kandung mereka
yang sekarang merokok. Oleh karena kemungkinan peramalan dari weight gain akibat
berhenti merokok, dianjurkan untuk menambah aktivitas dan mengurangi asupan
karbohidrat.
Sejalan dengan uraian tersebut, hasil analisis memberikan gambaran yang sama,
yakni merokok memberikan faktor protektif terhadap obesitas di semua tingkat
ekonomi. Pada tingkat ekonomi rendah, merokok setiap hari memberikan efek protektif
sebesar 0,248 kali terhadap obesitas. Sedangkan pada status ekonomi menengah dan
tinggi, merokok setiap hari dapat besifat protektif masing-masing sebesar 0,311 dan
0,371 kali terhadap obesitas.
5.2. Analisis Pengaruh Perilaku Terhadap Tekanan Darah
Patogenesis obesitas menjadi hipertensi melalui berbagai faktor termasuk leptin,
FFA, TNF-, renin angiotensin dan disfungsi endotel yang akan menyebabkan aktivasi
simpatis, vasokonstruksi dan retensi sodium23. Studi epidemiologi memperlihatkan ada
korelasi yang kuat antara konsumsi sodium pada populasi dengan prevalensi
hipertensi24. Studi MONICA di Skotlandia menemukan bahwa tidak ada perbedaan
signifikan faktor sosial (terdiri atas kepemilikan rumah, klas sosial, tingkat pendidikan
dan pekerjaan) terhadap hipertensi, kecuali pada mereka yang bekerja sebagai pegawai
full time. Dari studi tersebut ditemukan ada perbedaan signifikan dari umur, status
perkawinan, IMT, status merokok, konsumsi alkohol, dan tahun survei terhadap
hipertensi. Berdasarkan uji multivariat, tidak ditemukan faktor risiko yang kuat antara
faktor sosial terhadap hipertensi25.
70
Pada studi MONICA 2000 di daerah perkotaan Jakarta dan FKUI 2000-2003 di
daerah Lido pedesaan kecamatan Cijeruk memperlihatkan kasus hipertensi derajat II
(berdasarkan JNC VII) masing-masing 20,9% dan 16,9%. Menurut SKRT 2004,
prevalensi hipertensi sebesar 14%. Prevalensi ini meningkat seiring bertambahnya
umur dan didominasi oleh perempuan (16%) dibanding laki-laki (12%). Analisi SKRT
2004 pulau Jawa memperlihatkan bahwa, berdasarkan faktor risiko individu, seseorang
yang tidak merokok memiliki prevalensi hipertensi paling tinggi (45,6%) dibanding
yang merokok tiap hari (34,0%). Aktivitas fisik aktif lebih banyak yang mengalami
hipertensi (42,1%) dibanding dengan yang tidak aktif (37,5%). Mereka yang menderita
obes, hiperkolesterolemia dan DM lebih banyak yang hipertensi dibanding dengan
yang normal26.
Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah, prevalensi hipertensi pada
penduduk umur 18 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 31,7%. Analisis ini
menemukan bahwa hipertensi semakin tinggi prevalensinya seiring dengan
bertambahnya umur dan pengeluaran rata-rata per kapita per hari (tingkat ekonomi).
Perempuan lebih berisiko menjadi hipertensi dibanding laki-laki, hal ini dapat
dijelaskan dengan tingginya prevalensi hipertensi pada perempuan sebesar 53,5%
dibanding laki-laki 43,2%. Mereka yang tidak bekerja merupakan jenis pekerjaan yang
memiliki prevalensi hipertensi terbesar yakni mencapai 69,3%. Hal ini sejalan dengan
studi MONICA di Skotlandia, mereka yang sedang mencari pekerjaan atau dalam masa
pemutusan hubungan kerja (PHK) memiliki risiko masing-masing 2,15 kali (untreated)
dan 2,62 kali (uncontrolled) menjadi hipertensi 25. Mereka yang tidak pernah sekolah,
memiliki prevalensi hipertensi tertinggi sebesar 63,6%. Jika dikaitkan dengan jenis
pekerjaan, mereka yang tidak pernah mendapat pendidikan formal (tidak sekolah), dan
tidak bekerja memiliki prevalensi terbesar yakni 22,1%.
Jika dilihat dari perilaku konsumsi buah dan sayur, makanan manis asin,
berlemak dan jeroan, tidak ada perbedaan proporsi antara mereka yang mengalami
hipertensi dan yang normal, kecuali konsumsi makanan jeroan setiap hari (34,5%)
dan merokok setiap hari (37,6%). Begitu pula dengan perilaku aktifitas yang tidak
memiliki perbedaan proporsi antara kurang aktifitas dengan hipertensi dan yang
normal.
71
72
risiko
DM,
prediabetes
juga
dianggap
sebagai
faktor
risiko
kardiovaskuler31,32,33,34.
WDF (2006) melaporkan bahwa lebih dari 230 juta orang diseluruh dunia
menderita DM, angka ini bertambah lebih dari 6 juta setiap tahun. 7 dari 10 negara
tertinggi prevalensi DM berada di negara berkembang 35. India merupakan negara
dengan DM tertinggi. Studi di daerah perkotaan Chennai 1997 mendapatkan prevalensi
DM mencapai 12%, tertinggi pada kelompok umur 45-65 tahun sebesar 58% dan mulai
tinggi pada kelompok umur 20-44 tahun yakni sebesar 22%. Pada kelompok sosial
ekonomi tinggi, prevalensi DM mencapai 2 kali lipat dibanding pada kelompok sosial
ekonomi rendah36.
Studi morbiditas SKRT 2001, memperlihatkan bahwa prevalensi DM meningkat
dengan bertambahnya umur, hingga pada umur 55-64 tahun yang mencapai 6,9%.
Perempuan umumnya lebih tinggi (0,8%) dibanding laki-laki (0,5%)37.
Berdasarkan hasil pengukuran glukosa darah (2 jam PP), prevalensi diabetes
melitus pada penduduk umur 15 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 5,7%.
Analisis ini menemukan bahwa prevalensi DM semakin tinggi seiring dengan
bertambahnya umur dan pengeluaran rata-rata per kapita per hari (tingkat ekonomi).
Perempuan lebih berisiko menjadi DM dibanding laki-laki, hal ini dapat dijelaskan
dengan tingginya prevalensi DM pada perempuan sebesar 10,1% dibanding laki-laki
6,3%. Mereka yang tidak bekerja dan ibu rumah tangga merupakan jenis pekerjaan
yang memiliki prevalensi DM terbesar yakni mencapai 24,2%. Mereka yang tidak
pernah sekolah, memiliki prevalensi DM tertinggi sebesar 9,3%. Jika dikaitkan dengan
jenis pekerjaan, mereka yang tidak pernah mendapat pendidikan formal (tidak
73
sekolah), yang bekerja ibu RT dan tidak bekerja memiliki prevalensi DM terbesar
yakni 3,9%.
Prevalensi DM masih tinggi pada kelompok sosial ekonomi tinggi, baik di India
maupun di Indonesia, dan ini menjadi ciri khas negara berkembang khususnya daerah
perkotaan, dimana naiknya pendapatan merubah pola konsumsi dengan makanan kaya
lemak, gula & kalori, ditambah dengan tingginya tingkat stress36. Jika dibandingkan
dengan negara maju, prevalensi DM terbesar justru berada di tingkat sosial ekonomi
rendah yang disebabkan oleh gaya gidup yang tidak sehat, intake gizi yang tidak
adekuat, tingginya psikologikal stress, meningkatnya obesitas, dan perilaku
merokok8,36.
Perubahan gaya hidup merupakan salah satu yang dapat menimbulkan tingginya
angka kasus diabetes dikarenakan
kurang aktivitas fisik juga dapat disebabkan oleh perubahan jenis pekerjaan akibat
urbanisasi.
5.4. Analisis pengaruh Perilaku Terhadap Sidroma Metabolik
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sindroma metabolik sangat erat dengan
metabolisme individu, atau bagaimana tubuh memproses makanan. Secara normal,
tubuh diserap ke aliran darah dalam bentuk gula dan substansi dasar lainnya. Ketika
kadar gula darah meningkat, pankreas (organ dibelakang lambung) melepaskan
hormon insulin. Insulin berada di sel tubuh yang menyebabkan glukosa masuk dan
digunakan untuk energi. Pada beberapa orang, sel tubuh tidak dapat merespon insulin
(resistensi insulin). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kondisi resistensi insulin
dapat berkembang menjadi sindroma metabolik1,2,4.
Seiring dengan meningkatnya prevalensi obesitas, kasus sindroma metabolik juga
meningkat di negara berkembang. Prevalensi sindroma metabolik tinggi ditemukan di
Subsahara Afrika dan negara-negara Timur Tengah, Afrika Selatan, Maroko, Oman,
Turki dan Iran masing-masing 33,5%, 16,3%, 21%, 33,4% dan 33,7%. Prevalensi yang
tinggi juga ditemukan di Venezuela (31,2%) dan daerah perkotaan di Brazil (25,4%).
Hal yang sama juga terjadi di negara-negara Asia Selatan. Prevalensi insulin resisten di
India mencapai 20-55%, daerah perkotaan ditemukan lebih tinggi dari pedesaan, SES
rendah lebih besar dibanding dengan SES tinggi. Data terkini memperlihatkan bahwa
seperempat dari sepertiga populasi di perkotaan India menderita sindroma metabolik,
prevalensi pada perempuan lebih tinggi 1,5-2 kali dibanding laki-laki. Prevalensi SM
di Srilangka 35% laki-laki dan 51% perempuan. Di propinsi Sindh Pakistan,
prevalensinya mencapai 34,8 (kriteria IDF) dan 49% (kriteria NCEP, ATP III). Di
Korea, SM mencapai 29% pada laki-laki dan 16,8% perempuan21.
Prevalensi SM secara nasional berdasarkan kriteria IDF 2005 untuk Asia (lingkar
pinggang >80 cm perempuan, >90 untuk laki-laki; tekanan darah sistolik
130/diastolik 85; glukosa darah 2 jam pp 140) mencapai 12,7%, sedangkan untuk
Jawa-Sulawesi mencapai 13,8%. Analisis ini menemukan bahwa prevalensi SM
semakin tinggi seiring dengan bertambahnya umur hingga kelompok umur 65-74
tahun, pengeluaran rata-rata per kapita per hari (tingkat ekonomi), dan tingkat
76
pendidikan yang dimulai pada tidak tamat SD. Perempuan lebih berisiko menjadi SM
dibanding laki-laki, hal ini dapat dijelaskan dengan tingginya prevalensi SM pada
perempuan sebesar 29,7% dibanding laki-laki 9,6% atau kejadian SM pada perempuan
3 kali lipat dibanding laki-laki. Tigginya prevalensi pada perempuan dapat juga
digambarkan melalui jenis pekerjaan, dimana ibu rumah tangga merupakan jenis
pekerjaan yang memiliki prevalensi SM tertinggi yakni mencapai 34,5%.
Jika melihat aktifitas fisik, ternyata, 61,3% perempuan kurang beraktivitas fisik
aktif sehingga bisa dilihat bahwa prevalensi obesitas sentral pada perempuan mencapai
45,4%, aktivitas mempengaruhi sepertiga dari pengeluaran kalori, dua pertiganya
merupakan pengaruh dari metabolisme basal. Aktivitas fisik terbukti dapat
menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin di dalam otot rangka. Pengaruh aktivitas
fisik terhadap sensitifitas insulin terjadi dalam 24-48 jam dan hilang dalam 3-4 hari41,42.
Berdasarkan analisis logistik bivariat, ditemukan bahwa pada masing-masing
tingkat ekonomi, pengaruh perilaku terhadap SM hampir sama. Pada status ekonomi
rendah (pengeluaran rata-rata per kapita per hari berada pada kuintil 1 dan 2/SES
rndah) aktivitas fisik memberikan risiko 2,471 kali menjadi SM, tetapi pengaruhnya
menurun pada SES menengah dan SES tinggi masing-masing sebesar 1,767 dan 1,459
kali manjadi SM. Merokok bersifat protektif terhadap SM, pada semua SES dengan
nilai OR berturut-turut 0,205, 0304 dan 0,351. Perilaku merokok memberi pengaruh
bermakna terhadap sindroma metabolik, tetapi hanya 6,4% dari mereka yang perokok
aktif (setiap hari) menderita sindroma metabolik selebihnya normal. Hal ini disebabkan
efek
rokok
bekerja
dengan
cara
menekan
pusat
lapar
di
hipotalamus
bermakna (p<0,05) terhadap SM pada SES tinggi dan memberi efek protektif sebesar
0,566.
Penelitian oleh Home, et.al yang melihat aktivitas fisik waktu senggang (LTPA)
saat usia pertengahan (1972/73) untuk memprediksi SM di usia tua (2000) dengan
follow-up selama 28 tahun pada sampel laki-laki di Oslo menemukan bahwa aktivitas
fisik merupakan prediktor yang signifikan terhadap DM di tahun 2000, juga memberi
hubungan yang konsisten terhadap SM, dan terlihat bahwa peningkatan pola aktivitas
di waktu senggang sejak usia pertengahan memprediksi berkurangnya proporsi subjek
dengan SM hampir 3 dekade kemudian. Penelitian ini juga menemukan bahwa bekas
perokok mengalami peningkatan berat badan, yang selanjutnya meningkatkan
prevalensi SM secara perlahan dibanding mereka yang perokok aktif dan tidak pernah
merokok, dan perokok aktif memiliki IMT yang lebih rendah dibanding yang tidak
pernah merokok. Merokok berkorelasi dan dapat menjadi penyebab meningkatnya
resistensi insulin dan DM43. pendekatan lifestyle dalam menangani dan mencegah SM
bervariasi, tetapi hampir semua ahli setuju bahwa semua parameter SM yang harus
tangani dengan cara menurunkan berat badan dan meningkatkan level aktifitas fisik41.
78
sedangkan kurang aktifitas fisik menjadi prediktor yang kuat terhadap obesitas
sentral.
2.
3.
4.
79
6.2. Saran
1. Perlunya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai pengaruh
merokok (jumlah batang rokok yang diisap per hari, lama merokok, antara perokok
aktif dan perokok pasif, antara perokok aktif, bekas perokok dan tidak pernah
merokok) terhadap sindroma metabolik, karena sebagaimana telah dipaparkan pada
hasil analisis ini, bahwa merokok setiap hari bukan sebagai faktor resiko.
2. Perlu adanya perincian jenis makanan pada makanan manis, makanan asin, dan
makanan berlemak supaya pengruhnya terhadap sindroma metabolik dapat dijelaskan
lebih mendalam.
3. Perlu penelitian lebih jauh tentang perubahan perilaku konsumsi dan aktivitas fisik
dari SES rendah ke SES tinggi daerah perkotaan di kota-kota besar yang memiliki
angka urbanisasi yang tinggi.
4. Perlunya pemasyakatan (gerakan) konsumsi sayur dan buah (terutama sayur & buah
lokal) dan aktivitas fisik hingga ke lapisan masyakat terbawah (terutama ibu rumah
tangga/perempuan) dan edukasi mengenai pola konsumsi terutama makanan yang
berisiko terhadap sindroma metabolik, PJK dan kanker.
80
81
DAFTAR PUSTAKA
82
83
35. WDF. 2006. WDF Press Release: world diabetes day, 14 Nov 2006, walking for the
disadvantaged and vulneareable. www.worlddiabeticfoundation.org
36. Mohan, et.al. 2004. Diabetes Social and economic perspective in the New Milenium.
Int.J. Diab Dev. Countries, Vol. 24.
37. Pradono, J. Dan Hapsari, D. 2003. Determinan faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di
Indonesia. Majalah Kesehatan Perkotaan. Volume 10. No. 2.
38. Mahyar, V. Mengetahui Hubungan Faktor risiko Penyakit Diabetes Melitus pada
penderita dan tidak penderita DM. Venimahyars Blog, WorldPress.com. posted 13
Februari 2009.
39.
Arief, I. 2008. Mencegah Obesitas dengan Mengurangi Waktu Nonton TV. Artikel.
www.pjnhk.go.id./view/808/31
40. Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and the Methabolic Sindrome: from bench to
bedside. Springer Science.
41. Pitsavos, C. Et.al. Diet, Exercise ang the Matabolic Syndrome. Rev Diabetic Stud 2006,
3:118-126.
42. Shahab, Alwi. Sindrom Metabolik. http://dokter-alwi.com/sindrommetabolik.html.
43. Holme, I. et.al. Leisure Time Phisical Activity in Middle Age Predicts the Metabolic
Syndrome in Old Age: results of a 28-year follow-up of men in the Oslo studi. BMC
Public Health 2007, 7:154. http://www.biomedcentral.com/1471-2458/7/154
84