Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR JAN 2013

LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID

OLEH : Anni Fitria Rahmawati Safmawati

PEMBIMBING : dr. A. Alwi Mappiasse, Sp.KK, FINS-DV


DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2013

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama :

1. Anni Fitria 2. Rahmawati 3. Safmawati

Judul Refarat :

Lupus Eritematosus Diskoid

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar

Makassar, Februari 2013

Pembimbing,

(dr. A. Alwi Mappiasse, Sp.KK, FINS-DV )

DAFTAR ISI LEMBAR SAMPUL ............................................................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................. ii DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii A. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 B. DEFINISI .................................................................................................................... 2 C. EPIDEMIOLOGI ......................................................................................................... 3 D. ETIOLOGI .................................................................................................................. 3 E. PATOGENESIS ........................................................................................................... 3 F. GAMBARAN KLINIS ............................................................................................... 5 G. PEMERIKSAAN PENUNJANG ................................................................................ 9 H. DIAGNOSIS ............................................................................................................... 11 I. DIAGNOSIS BANDING ............................................................................................ 12 J. PENATALAKSANAAN ............................................................................................ 13 K. KOMPLIKASI ............................................................................................................ 15 L. PROGNOSIS .............................................................................................................. 15 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 16 LAMPIRAN

LUPUS ERITEMATOSUS DISKOID A. PENDAHULUAN Lupus eritematosus merupakan kelainan autoimun, yang terdapat dalam bentuk utama yaitu lupus eritematosus sistemik (LES) yang dapat menyerang kulit maupun organ-organ dalam, dan lupus eritematosus diskoid (LED), yang hanya bisa menyerang kulit. Pada sebagian kecil pasien, LED bisa berkembang menjadi LES. Varian ketiga, yaitu lupus eritematosus kutan subakut (LEKS), mempunyai ciri lesi kulit berbeda yang mungkin berkaitan dengan gejala-gejala sistemik.[1] Berikut ini adalah perbedaan dari masing-masing varian lupus

eritematosus kutaneus yang diterangkan berdasarkan gambaran klinis dan profil autoantibodi yang bisa ditemukan pada masing-masing varian[2] :

Gambar 1. Lupus Eritematosus : Profil autoantibodi dan gambaran klinis

[2]

Lupus eritematosus diskoid adalah penyakit kulit kronik yang dapat menyebabkan jaringan parut, kerontokan rambut dan hiperpigmentasi kulit jika tidak ditatalaksana dengan segera. Diagnosis biasanya ditegakkan melalui gejala klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.[3] Lesi bermula sebagai makula eritematosa di wajah, hidung dan pipi, memberi gambaran kupu-kupu. Lesi tersebut sedikit gatal, bagian tengah lesi tampak agak pucat dan atrofi (mencekung) serta dapat terlihat skuama berupa sumbatan folikular. Pada bagian tepi lesi terlihat eritema dan telangiektasia.[4] Secara klasik LED terjadi pada tempat-tempat yang terpapar sinar matahari, terutama pada wajah dan leher, tetapi dapat juga pada punggung tangan dan lengan. Lesi-lesi dapat timbul atau terjadi eksaserbasi akibat sinar matahari. Masing-masing lesi terdiri atas plak eritematosa berskuama, dengan banyaknya folikel yang tersumbat. Bila skuama diangkat, maka dapat terlihat sumbat-sumbat folikel yang terdapat dibawah permukaan yang disebut tanda paku karpet (carpettack).[1,5,6,7]

Gambar 2. Carpet-tack sign pada LED[7]

LED cenderung memiliki prognosis yang lebih baik daripada LES. namun LED dapat ditemukan pada pasien dengan LES berat, karena itu penting bagi para

klinikus untuk mengenali LED, sebab penyakit ini menyebabkan parut terutama pada wajah dan untuk membedakannya dengan LES.[6] B. DEFINISI Lupus eritematous merupakan penyakit yang menyerang sistem konektif dan vaskular yang memiliki dua varian : lupus eritematous diskoid dan sistemik.[8] Lupus eritematosus diskoid (LED) adalah suatu penyakit kolagen atau autoimun yang menyerang kulit, relatif ringan dengan gambaran klinis yang khas di wajah, dada, kepala dan ekstremitas.(4) LED adalah penyakit kulit karakteristik dengan lesi berwarna merah yang menonjol dan berkembang perlahan-lahan. Bagian tengah menyembuh
[9]

dengan

bersisik,

atrofi,

parut,

depigmentasi,

dan

telangiektasia.

Lupus eritematosus diskoid bersifat kronik dan tidak berbahaya.

LED menyebabkan bercak di kulit, yang eritematosa dan atrofik tanpa ulserasi.[8] C. EPIDEMIOLOGI LED menyerang umur dan jenis kelamin tertentu. Wanita terkena dua kali lebih sering daripada laki-laki, dengan onset puncak pada dekade keempat, walaupun kelainan ini dapat terjadi pada semua umur. Sebuah penelitian menunjukkan, dari 1045 kasus, 3% dimulai sejak umur 15 tahun dan 2.5% pada umur 70 tahun.[3] D. ETIOLOGI Penyebab dari LED masih belum sepenuhnya diketahui. Ada banyak anggapan bahwa penyakit ini disebabkan oleh interaksi berbagai faktor predisposisi. Ada banyak anggapan bahwa penyakit disebabkan oleh interaksi antara faktor-faktor genetik dan imunologik. Selain faktor genetik ada faktor infeksi virus dan faktor hormonal. [5,8] Telah dilaporkan bahwa faktor genetik termasuk mutasi somatik terlibat dalam patogenesis LED. Pada model matematika berdasarkan umur onset

terjadinya penyakit, didapatkan sedikitnya tiga genotip yang berhubungan dengan hadirnya imunoglobulin pada dermal-epidermal junction. Mutasi yang terjadi menyebabkan hilangnya kontrol limfosit dan setelah periode sekitar 4 tahun pada wanita dan 2 tahun pada pria, gejala klinis LED mulai tampak. Secara normal, mekanisme pertahanan endogen timbul secara langsung untuk melawan limfosit yang tidak terkontrol. [3] Faktor Lingkungan diduga menjadi faktor predisposisi terjadinya eksaserbasi pada LED. Lesi dipresipitasi dengan adanya trauma (11%), stres mental (12%), sinar matahari (5%), paparan terhadap cuaca dingin (2%), dan kehamilan (1%). Selain itu, adanya antibodi reovirus pada 42% penderita LED menyiratkan adanya peran virus RNA terhadap terjadinya LED.[3] E. PATOGENESIS Penyebab dan mekanisme patogenesis yang mengakibatkan LE masih belum diketahui sepenuhnya. Patogenesis LED tidak dapat dipisahkan dari patogenesis LES. Patogenesis tersebut dapat dijelaskan dengan sebuah bagan yang menjelaskan empat tahapan teoritis yang berurutan yang terjadi sebelum adanya penampakan klinis dari penyakit ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah pewarisan gen yang menyebabkan penderita lebih mudah terkena penyakit, induksi autoimunitas, perluasan proses autoimun dan jejas imunologis:[5] Tahap pertama adalah pewarisan gen yang dianggap sebagai predisposisi LE. Setidaknya ada empat gen dalam hal ini. Hubungan penyakit kulit spesifik LE dengan MHC kelas II DR sudah banyak diketahui. Selain itu, gen lain juga dianggap berperan dalam pathogenesis LES, seperti gen yang mengkodekan komplemen dan tumor necroting factor (TNF), gen yang memediasi apoptosis serta gen yang melibatkan proses komunikasi antar-sel serta gen yang berperan dalam pembersihan kompleks imun. [5] Tahap kedua dari pathogenesis LES adalah fase induksi yaitu permulaan proses autoimunitas yang ditandai dengan kemunculan sel T autoreaktif yang telah kehilangan toleransi terhadap komponen tubuh.[5]

Gambar 3: Patomekanisme Lupus Eritematosus [5]

Selain pembentukan klon autoimun, pada tahap kedua dari patomekanisme LE juga dijelaskan antigen yang berperan dalam autoimunitas. Seperti dibahas sebelumnya, antigen LE kebanyakan adalah antigen yang terdapat di dalam inti dan sitoplasma dari sel keratinosit yang terbebaskan ke membran sel akibat mekanisme tertentu. Uji laboratorium telah membuktikan bahwa antigen tersebut dapat keluar akibat pajanan sinar ultraviolet. Selain itu, faktor lain yang dapat memicu lesi LED dan kemungkinan berhubungan dengan pembebasan antigen dari inti dan sitoplasma keratinosit adalah trauma, infeksi, pajanan dingin, sinar-X hingga bahan kimia.[3] Setelah klon autoimun terbentuk, terjadi suatu mekanisme yang memperbanyak dan memperluas klon yang bermasalah ini. Tahap ketiga atau tahap ekspansi nampaknya melibatkan peningkatan respon autoimun yang dipicu

antigen secara progresif. Pada tahap ini, autoantibodi dihasilkan oleh sel-sel B yang berlipat ganda. Walaupun sangat banyak, autoantibody LE hanya ditujukan pada beberapa antigen inti dan sitoplasma. Ada tiga target utama: nukleosom (anti-DNA dan antibodi antihiston), spliceosome (anti-Sm dan anti-RNP) molekul Ro dan La (anti-Ro dan anti-La).[5] Tahapan terakhir yang adalah tahapan yang mungkin paling penting secara klinis dan menandai awal dari penyakit klinis adalah jejas imunologis. tahapan ini sebagian besar diakibatkan oleh kerja dari autoantibodi dan kompleks imun yang terbentuk yang menyebabkan jejas jaringan baik itu dengan kematian sel secara langsung, aktivasi seluler, opsonisasi maupun karena terhambatnya fungsi molekul target. [5] F. Gambaran Klinis Lesi berbentuk koin (diskoid) adalah manifestasi lupus kutaneus yang paling umum ditemui. Lesi dapat ditemukan pada wajah (terutama hidung, pipi), telinga atau leher, dapat bilateral, namun tidak simetris atau unilateral. Pada beberapa kasus, penyebaran lesi bisa lebih luas hingga ke ekstremitas maupun badan. Walaupun begitu, lesi di bawah leher sangat jarang ditemukan jika tidak ada lesi di atas leher. Lesi juga kadang-kadang ditemukan di permukaan mukosa, termasuk bibir, lapisan mukosa oral lain, mukosa hidung, konjungtiva dan mukosa genital.[2,3,10,11] LED dapat dibedakan menjadi LED lokalisata yang mengenai wajah dan leher serta LED generalisata yang mengenasi bagian atas dan bawah dari leher.[7] Lesi primer terdiri atas bercak-bercak (makula merah atau bercak meninggi), berbatas tegas dengan sumbatan keratin pada folikel-folikel rambut (follicular plugs). Lesi tersebut tidak disertai gejala subjektif dengan sisik ringan hingga sedang, biasanya berukuran 1-2 cm. Seiring dengan perjalanan penyakit, sisik dapat menebal dan lengket, disertai hipopigmentasi di daerah inaktif (tengah) dan hiperpigmentasi di batas aktif. [2,3,12]

Gambar 4 : LED. Plak eritematous pada wajah dan leher. Sebagian besar plak menunjukkan hiperkeratosis derajat ringan dan sebagian lainnya menunjukkan atrofi kulit. Daerah noninflamasi yang telah menjadi bercak hipopigmentasi dan skar menandai tempat lesi awal yang telah menyembuh.[5]

Gambar 5: Gambaran klasik LED. Lesi eritematous dengan batas tegas berupa plak hiperkeratosis dengan atrofi, sumbatan pada folikel rambut dan sisik pada kedua pipi. [11]

Jika mengenai daerah berambut seperti kulit kepala dan janggut, skar dengan alopesia permanen dapat terjadi.[10]
10

Gambar 6 : LED pada kulit kepala yang menyebabkan alopesia permanen

[10]

Penyakit LED dapat meninggalkan sikatriks, atrofik, kadang-kadang hipertrofik, bahkan distorsi telinga atau hidung. Hidung dapat berbentuk seperti paruh kakatua. Bagian badan yang tidak tertutup pakaian, yang terkena sinar matahari lebih cepat beresidif daripada bagian-bagian lain. Lesi-lesi dapat terjadi di mukosa, yakni di mukosa oral dan vulva, atau di konjungtiva. Klinis Nampak deskuamasi kadang-kadang ulserasi dan sikatrisasi.[8]

Gambar 7 : Skar multipel dengan bagian tepi yang masih aktif ( eritematous dan berbatas tegas) [11]

11

Varian klinis lupus eritematosus diskoid, adalah: 1. Lupus eritematosus tumidus Gambaran klinisnya berupa papul dan nodul eritematosa yang terdapat pada wajah dan regio tubuh bagian atas. Lesi sangat sensitif terhadap cahaya.[12] 2. Lupus eritematosus profunda Disebut juga lupus panniculitis dan merupakan bentuk Lupus eritematous yang melibatkan jaringan subkutan, sehingga

tampak lesi berbentuk nodus-nodus yang letaknya lebih dalam, tampak pada dahi, leher, bokong, dan lengan atas. Kulit di atas nodus eritematosa, atrofik atau berulserasi. Sekitar 1/3 pasien berkembang menjadi bentuk Systemic Lupus Erythematous.[12] 3. Lupus hipotrofikus Penyakit sering terlihat pada bibir bawah dari mulut, terdiri atas plak yang berindurasi dengan sentrum yang atrofik.[8] 4. Lupus pemio (chilblain lupus, Hutchinson) Penyakit ini terdiri atas bercak-bercak eritematosa yang berinfiltrasi didaerah-daerah yang tidak tertutup pakaian, memburuk pada hawa dingin.[8] G. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Histopatologis Secara histologis, terjadi perubahan pada lapisan epidermis, dermis, dan folikel rambut, sedangkan jaringan subkutannya tidak. Penampakan mikroskopis yang khas untuk LED adalah hiperkeratosis dengan sumbatan folikel, penipisan dan pendataran epitel serta degenerasi hidrofik lamina basalis. Selain itu, terdapat keratinosit apoptotik yang tersebar pada lamina basalis. Pada jaringan dermis terdapat infiltrat limfositik berbentuk perca atau likenoid disertai pengangkatan folikel pilosebaseus. Juga terdapat

12

penimbunan musin pada ruang interstisial dan udem, dan biasanya tidak dijumpai eosinofil maupun neutrofil.[5, 13]

Gambar 8 : Ilustrasi gambaran histopatologi pada LED[10]

Gambar 9 : Perubahan histopatologi kulit pada LED[13]

2. Pemeriksaan immunopatologi Imunoglobulin (IgA,IgG, IgM) dan komponen komplemen (C3,C4,Clz,properdin, faktor B dan membrane attack complex C5b-C9) akan tertimbun menjadi susunan menyerupai pita linear atau granuler pada
13

taut dermo-epidermal dari kulit pasien LE sehingga dapat diamati dengan uji direct immunofluorescence yang disebut Lupus Band Test (LBT).[3,5,11]

Gambar 10 : Pemeriksaan direct immunofluorescence pada biopsy kulit lesi LED[5]

Penelitian awal menyebutkan bahwa 90% lesi LED imunoreaktan sehingga positif LBT tetapi penelitian terbaru menunjukkan angka yang lebih rendah. Lesi di kepala, leher dan lengan lebih sering positif (80%) dari lesi di badan (20%). LBT nampaknya lebih sering positif pada lesi yang lebih tua (>3 bulan).[5] 3. Pemeriksaan laboratorium Antinuclear antibody (ANA) yang juga disebut antinuclear factor (ANF) dan pemeriksaan antibodi DNA adalah pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis LED. Tanda khas untuk LED yang dapat ditemukan pada pemeriksaan laboratorium yaitu ditemukannya Antibodi RO/SS-A pada 70%-90% pasien. Tes ANA negatif atau ditemukan dalam titer yang rendah pada 30% - 40 % pasien. Hanya 5 % pasien dengan LED yang menunjukkan titer ANA yang tinggi.[1,5] H. DIAGNOSIS Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gabungan antara

anamnesis, pemeriksaan fisis serta pemeriksaan penunjang. Pasien mungkin mengeluh gatal ringan atau nyeri sesekali dalam lesi, tetapi kebanyakan pasien tanpa gejala. Anamnesis harus difokuskan pada

14

riwayat penyakit dan gejala LED untuk membedakannya dengan LES. Gejala yang perlu ditanyakan diantaranya riwayat fotosensitivitas, arthralgia atau arthritis, alopesia areata serta fenomena Raynaud, karditis serta
[8,14]

gangguan

neurologis.

Untuk

mendukung

diagnosis

klinis,

pemeriksaan histologis serta imunohistokimia lesi kulit perlu dilakukan.

Pasien dengan LED sering dibagi menjadi 2 kelompok: lokal dan generalisata. LED lokal terjadi ketika hanya pada kepala dan leher, sedangkan LED generalisata terjadi pada daerah lain selain kepala dan leher. Lesi primer tampak sebagai papul eritematosa atau plak dengan gambaran sisik. Semakin lama lesi semakin aktif, sisik semakin menebal dan terjadi perubahan pigmentasi dengan hipopigmentasi di daerah pusat lesi dan pada daerah perbatasan tidak aktif dan hiperpigmentasi.[3,5,7] I. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari LED antara lain : 1) Psoriasis[5,8,15] Psoriasis ialah penyakit autoimun yang bersifat kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan. Predileksi pada kulit kepala, perbatasan daerah tersebut dengan wajah, ekstremitas bagian ekstensor serta daerah lumbosakral.

Gambar 11 : Psoriasis vulgaris yang meluas dari kulit kepala ke leher [10]

15

2) Keratosis aktinik Gambaran klinis berupa bercak-bercak merah dan berskuama, yang secara khas bertambah besar dan menyusut bersama dengan waktu, dapat timbul ratusan lesi pada orang-orang yang sering terpapar sinar matahari.1

Gambar 12: Aktinik keratosis hipertrofik pada dorsum manus pasien (5)

3) Lupus Ertitematosus Kutaneus Subakut Terdapat lesi-lesi papuloskuamosa atau anular tanpa pembentukan jaringan parut, terutama pada tempat-tempat yang terpapar sinar matahari. Mugkin juga didapatkan gejala sistemik, walaupun biasanya ringan. (1)

Gambar 13: LEKS dengan lesi anular dengan pusat hipopigmentasi tanpa atrofi kulit pada punggung (5) 7dan lengan

J.

PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan LED adalah untuk memperbaiki keadaan pasien,

mengontrol lesi yang ada dan mengurangi terbentuknya jaringan parut, serta mencegah terbentuknya lesi baru.

16

Terapi non-medikamentosa:
1.

Pajanan sinar matahari harus diminimalisasi dengan sedapat mungkin mengurangi aktivitas di luar ruangan, terutama antara jam 10 pagi sampai jam 4 sore. Pasien disarankan untuk menggunakan pakaian pelindung dan tabir surya.[14]

2.

Lesi biasanya terdapat pada tempat yang mudah terlihat, sehingga diperlukan kamuflase kosmetik.[14]

3.

Menghentikan kebiasaan merokok, karena hal ini akan memperburuk penyakit dan membuat terapi dengan obat antimalaria kurang efektif.[8] Terapi Medikamentosa:[6]
1.

Lokal Kortikosteroid poten atau superpoten penting untuk diaplikasikan

secara topikal. Steroid yang berpotensi lemah digunakan pada muka. Losion diberikan untuk penggunaan pada kulit kepala. Kortikosteroid potensi tinggi diperlukan untuk lesi yang hipertrofik. Plaster yang mengandung kortikosteroid dapat membantu mengaplikasikan obat ini. Steroid sistemik jarang digunakan karena terbukti kurang efektif. Pengobatan lokal yang paling efektif berupa injeksi intralesi triamcinolon acetonide 2.5-10 mg/ml, diinfiltrasikan ke dalam lesi dengan menggunakan jarum No.30 dengan interval 4-6 minggu. Dosis triamcinolon yang digunakan tidak lebih dari 40 mg pada satu waktu.
2.

Sistemik Antimalaria efektif dan aman sebagai terapi sistemik, tetapi

keefektifannya berkurang pada perokok. Hidroksikloroquinon pada dosis tidak lebih dari 6.5 mg/KgBB/hari, digunakan sebagai lini-pertama karena keamanannya. Jika tidak ada respons setelah tiga bulan penggunaan, maka

17

obat yang digunakan dialihkan menjadi klorokuin dengan dosis 250 mg perhari. Jika respons masih kurang adekuat, maka quinacrine dapat digunakan sebagai obat tambahan dengan dosis 100 mg per hari.[4,5,14] Obat hanya dapat diberi maksimal 3 bulan agar tidak timbul kerusakan mata. Kerusakan kornea berupa halo di sekitar sinar atau visus kabur yang masih reversibel. Kerusakan retina yang ireversibel, ialah perubahan penglihatan warna, visus serta ada gangguan pada pigmentasi retina. Efek samping lain adalah nausea, nyeri kepala, pigmentasi pada palatum, kuku dan kulit tungkai bawah serta rambut kepala menjadi putih. Selain itu terdapat neuropati dan atrofi neuromuskular.[6] K. KOMPLIKASI Resiko perubahan penyakit menjadi LE sistemik meningkat jika lesi menyebar dan terdapat abnormalitas hasil pemeriksaan darah dan parameter serologikus.
1.

Pengobatan dini dapat mencegah terjadinya jaringan parut atau atrofi.

2.

Degenerasi malignan jarang terjadi. Pencegahan tumbuhnya lesi baru dianjurkan pada daerah yang sering terekspos. [8]

L. PROGNOSIS Prognosis LED umumnya baik. kasus LED dengan lesi kulit lokal hanya 1-5% saja yang akan berkembang menjadi LES, sedangkan LED dengan lesi kulit general 50% akan berkembang menjadi LES.[11]

18

DAFTAR PUSTAKA 1. Brown RG, Burns Tony. Lecture Note Dermatology. Edisi 8. Jakarta : Erlangga; 2005. p.171-2. 2. Habif, T.P. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, 3rd edition. Chapter 17. St. Louis: Mosby-Year Book,Inc. 1996. p.592-96. 3. Goodfield,M.J.D,Jones S.K.,D.J. Veale. The Connective Tissue Disease. In: Burns T., Breathnach S., Cox N., Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology, 7th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing Company. 2004. p. 1646-793 4. Siregar RS. Lupus Eritematosus Diskoid. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi2, Jakarta EGC; 2005.p.230 5. Cotsner, M.I., Sontheimer R.D. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill. p.1678-93 6. Andrews Diseases of Skin, 4th edition. California : Lippincott William & Wilkins. 2007. 7. Trozak, Daniel J. Et al. Application Guidelines : Discoid Lupus Erythematosus . Dermatology Skills for Primary Care, Humana Press Inc; 2006. p: 176-81 8. Djuanda, Suria. Penyakit Jaringan Konektif. Dalam Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI; 2010. p.264-6. 9. Danukusumo, A. Julianto. Skleroderma, Lupus Eritematosus, dan Dermatomiositis. Dalam Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates; 2000. P. 189-90. 10. Hunter, Savin, Dahl. Connective tissue disorders : Discoid Lupus Erythematous. Clinical Dermatology 3th ed., Blackwell Science; 2003. p: 123-25

19

11. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Klaus W, Suurmond D. In Colour atlas and synopsis of clinical dermatology, 4th ed. New York (NY): McGraw-Hill Companies; 2001: 3689. 12. Wolfram S, Paus R. Burgdorf W. Lupus Erythematosus. Thieme Clinical Companions Dermatology. Stuttgart, Germany: Georg Thieme Verlag; 2006. P.204-7 13. Bolognia J.L.,L.J. Joseph, Rapini R.P. Bolognia: Dermatology,2nd ed. New York: Mosby Elsevier.2008. p.105-13 14. Discoid Lupus Erithematous [editorial]. Patient UK newspaper.2009. Available from http://www.patient.co.uk accesed on 22 january 2013 15. Djuanda, Adhi. Dermatitis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI; 2010. p.189-95.

20

DAFTAR PUSTAKA 16. Brown RG, Burns Tony. Lecture Note Dermatology. Edisi 8. Jakarta : Erlangga; 2005. p.171-2. 17. Cotsner, M.I., Sontheimer R.D. Lupus erythematosus. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill. p.1678-93

21

18. Goodfield,M.J.D,Jones S.K.,D.J. Veale. The Connective Tissue Disease. In: Burns T., Breathnach S., Cox N., Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology, 7th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing Company. 2004. p. 1646-793 19. Siregar RS. Lupus Eritematosus Diskoid. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi2, Jakarta EGC; 2005.p.230 20. Andrews Diseases of Skin, 4th edition. California : Lippincott William & Wilkins. 2007. 21. Djuanda, Suria. Penyakit Jaringan Konektif. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI; 2010. p.264-6. 22. Hunter, Savin, Dahl. Connective tissue disorders : Discoid Lupus Erythematous. Clinical Dermatology 3th ed., Blackwell Science; 2003. p: 123-25 23. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Klaus W, Suurmond D. In Colour atlas and synopsis of clinical dermatology, 4th ed. New York (NY): McGraw-Hill Companies; 2001: 3689. 24. Habif, T.P. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy, 3rd edition. Chapter 17. St. Louis: Mosby-Year Book,Inc. 1996. p.592-96. 25. Wolfram S, Paus R. Burgdorf W. Lupus Erythematosus. Thieme Clinical Companions Dermatology. Stuttgart, Germany: Georg Thieme Verlag; 2006. P.204-7 26. Bolognia J.L.,L.J. Joseph, Rapini R.P. Bolognia: Dermatology,2nd ed. New York: Mosby Elsevier.2008. p.105-13 27. Trozak, Daniel J. Et al. Application Guidelines : Discoid Lupus Erythematosus . Dermatology Skills for Primary Care, Humana Press Inc; 2006. p: 176-81 28. Discoid Lupus Erithematous [editorial]. Patient UK newspaper.2009. Available from http://www.patient.co.uk accesed on 22 january 2013 29. Djuanda, Adhi. Dermatitis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI; 2010. p.189-95.

22

30. Werth V. Current Treatment of Cutaneous Lupus Erythematosus. Dermatol


online jour. 2001:7(1):2

23

Anda mungkin juga menyukai