Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

Infeksi pada susunan saraf pusat dapat rejadi dibeberapa tempat. Bagian SSP yang sering terinfeksi adalah otak (ensephalitis), membran yang membungkus otak (meningitis), medulla spinalis (myelitis), rongga-rongga di otak (ventrikulitis), serta peradangan kombinasi pada medulla spinalis dan otak (myeloensephalitis). 1 Kerusakan sistem saraf pusat sebenarnya tidak hanya karena adanya mikroorganisme, tetapi lebih diakibatkan oleh proses inflamasi sebagai respon adanya mikroorganisme tersebut. Penyakit meningitis dapat terjadi pada semua tingkat usia, namun kalangan usia muda lebih rentan terserang penyakit ini.2 Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, mycobacterium, dan protozoa.1,2 Disamping angka kematiannya yang masih tinggi, banyak penderita yang menjadi cacat akibat keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan.3 Angka kematian meningitis di antara 77 kasus di Libya Arab Jamahiriya adalah 13,0%. Meskipun tingkat kematian yang lebih rendah telah dilaporkan di negara-negara industri seperti Amerika Serikat (2,6%). 4 Data dari penelitian lain di salah satu rumah sakit di Surabaya pada tahun 2000 hingga pertengahan tahun 2001 menunjukkan jumlah 31 penderita meningitis. Dengan usia kurang dari satu tahun (22,6%), usia 1-5 tahun (3,2%), usia 5-15 tahun (6,4%), usia 15-25 tahun (32%), usia 25-45 tahun (16,1%), usia 45-65 tahun (16,1%), usia lebih dari 65 tahun 3,2%. Dari 31 penderita tersebut sebanyak delapan orarng (25,8%) meninggal dunia.5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI Meningitis adalah infeksi cairan serebrospinalis disertai radang pada araknoid, piamater, dan dalam derajat ringan mengenai bagian superfisial otak dan susmsum tulang belakang.3 Meningitis adalah radang umum pada araknoid dan piamater, disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa yang terjadi secara akut dan kronis.6 II.2. Anatomi Meningens Otak dan medulla spinalis dilindungi oleh tiga lapis selaput otak yaitu7 : II.2.1. Dura mater Dura mater terdiridari dua lapisan jaringan ikat padat. Lapisan yang lebih luar berfungsi sebagai periosteum dan secara kuat melekat pada tulang. Lapisan yang lebih dalam adalah selaput otak yang sebenarnya dan menghadap rongga subdural yang sangat sempit. Arteri duralis atau meningealis berjalan di antara dua lapisan ini. II.2.2. Araknoid mater Terdiri dari membran seluler luar dan lapisan jaringan ikat dalam, dimana melekat jaringan longgar trabekula yang tipis. Membran araknoid yang avaskuler merupakan membran yang transparan dan tipis. Lapisan dalam dari araknoid dan trabekula subaraknoidnya ditutupi oleh sel-sel mesothelial yang mampu memberikan respons terhadap berbagai rangsangan patogenik dan untuk membentuk, misalnya fagosit. Rongga subaraknoid (rongga leptomeningeal) ini terisi oleh cairan serebrospinalis yang bersirkulasi. Semua pembuluh darah dan saraf dari

otak dan medulla spinalis melewati cairan ini. Oleh karena itu, jika rongga leptomeningeal terinfeksi, maka pembuluh darah dan saraf akan terlibat melalui proses peradangan. II.2.3. Piamater Pia mater terdiri dari lapisan sel mesodermal tipis seperti endotelium. Membran ini menutupi semua permukaan otak dan medula spinalis, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi kecuali permukaan ventrikel. Pada lapisan ini juga terdapat pembuluh-pembuluh darah kecil dan serat saraf yang peka terhadap stres tensil atau perubahan tonus pada dinding pembuluh darah.

Gambar 1. Meninges Sumber : www.clinicadam.com II. 3. Klasifikasi meningitis Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan cerebrospinal yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.6
3

Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan pimater yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lain seperti virus, Toxoplasma gondhii, Ricetsia.6 Meningitis serosa merupakan komplikasi serius dari tuberculosis, terutama pada anak-anak. Meningitis serosa harus

dideferensiasi antara meningitis tuberkulosa, torulosis (kriptokokus), meningoensefalitis parainfeksisosa (virus) dan tahap meningitis dari poliomielitis anterior akuta.1 Meningitis purulenta atau saat ini disebut juga meningitis bakterial akut pada umumnya timbul sebagai komplikasi dari septikemia.1 II.4. ETIOLOGI Setiap mikroorganisme yang dapat masuk ke dalam tubuh mempunyai kesempatan untuk menimbulkan meningitis. Terdapat bakteri-bakteri tertentu yang mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan meningitis pada umur-umur tertentu.3 Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal

dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Infeksi bakteri Neisseria meningitidis (Meningokokus) dan Streptococcus pneumoniae (Pneumokokus) lebih banyak dijumpai pada penderita meningitis dewasa. Lanjut usia merupakan kelompok usia yang rentan terhadap infeksi pneumonia dan biasanya disertai infeksi streptococcus. Sedangkan Haemophilus influenza adalah penyebab utama meningitis pada anak-anak usia 3 bulan hingga 4 tahun.3 Selain bakteri, meningitis juga dapat disebabkan oleh virus. Adapun Jenis virus yang biasanya menjadi penyebab terjadinya meningitis adalah Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus.8 Infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat merupakan penyakit oportunistik yang biasanya terjadi pada penderita acquired immunodeficiency
4

syndrome (AIDS) dan pada beberapa keadaan tidak terdiagnosa sehingga penanganannya juga sulit. Manifestasi infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat dapat berupa meningitis (paling sering) dan proses desak ruang (abses atau kista). 5 II. 5. PATOGENESIS Mikroorganisme dapat mencapai susunan saraf pusat melalui empat cara : 1) Infeksi langsung. Melalui luka terbuka di kepala; Infeksi langsung pada CSF akibat trauma / LP yang tidak steril 2) Penyebaran infeksi perikranial. Misalnya, penyebaran infeksi langsung dari otitis media, sinus-sinus paranasal, kulit kepala dan wajah; 3) Benda asing yang terkontaminasi. 4) Hematogen.3 Infeksi ialah invasi dan multiplikasi mikroorganisme didalam jaringan tubuh (buku hitam). Mikroorganisme yang dimaksud dapat berupa spirochaeta, riketsia, protozoa, ataupun virus.
1

bakteri,

Invasi atau penetrasi berarti

penembusan. Halangan besar bagi mikroorganisme untuk menembus tubuh dibentuk oleh epitelium permukaan tubuh luar dan dalam yaitu kulit, konjungtiva, dan mukosa. Setelah penetrasi berhasil, kuman dapat tumbuh dan berkembang biak. Mikroorganisme tersebut akan berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada tubuh manusia.1,2 Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem saraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme tertentu.1,2,9 Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.1,2,9 Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun ( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen).

Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.1,2,9 Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.1,2,9 Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor).1,2,9 TNF- merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal.1,2,9 Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.1,2,9 Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas Blood-Brain Barrier(BBB) sehingga terjadi

perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein Liquor

Cerebropinalis (LCS). Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.1,2 Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influks komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.1,2 Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.1,2

II.6. GAMBARAN KLINIK Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis bakterial. Tanda dan gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit dirumah sebelum didiagnosis, dan respon tubuh terhadap infeksi.3,6 Gambaran klinis yang dapat timbul adalah3,6 : 1. Gejala infeksi akut a. Lethargi b. Irritabilitas c. Demam ringan d. Muntah e. Anoreksia f. Sakit kepala 2. Gejala tekanan intra cranial yang meningkat a. Muntah b. Nyeri kepala

c. Penurunan kesadaran dari apatis sampai koma d. Kejang terjadi secara umum, fokal atau twitching e. Gejala kelainan cerebral yang lain, mis ; hemiparesis, paralisis, strabismus 3. Gejala rangsang meanings a. Kaku kuduk positif b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif Sebelum gejala diatas terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.

Gambar 2.1 Teknik Pemeriksaan Brudzinskis neck sign dan Kernigs sign Sumber: http://graphics8.nytimes.com/images

II.7. PERJALANAN PENYAKIT2,3,6 Dari anamnesis dapat diketahui adanya trias meningitis yaitu nyeri kepala dan demam, sedangkan tanda rangsang meningeal (kaku kuduk, kernig,

Brudzinsky I dan II) dapat menyusul beberapa minggu kemudian. Perbedaan dari meningitis viral dan bakterial hanya lamanya keluhan konstitusional seperti sakit kepala, demam, tidak nafsu makan dan lemas hingga tanda rangsang menings muncul. Pada meningitis tuberculosis perjalanan dapat beberapa minggu bahkan lebih lama, sedangkan untuk meningitis tipe lain berjalan lebih cepat.

Selama 2-8 minggu pertama selain ditemukan malaise, anoreksia, demam dan nyeri kepala yang semakin memburuk, kejang didapatkan pula perubahan mental, penurunan kesadaran, hemiparese, dan keterlibatan fungsi saraf cranial II, III, IV, VI. VII, VIII. Tapi keterlibatan saraf VI yang paling sering. Perjalanan penyakit meningitis tuberculosis memperlihatkan 3 stadium, yaitu :13 1. Stadium I (Stadium awal) Gejala prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi biasa. Terdapat demam yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah. 2. Stadium II (Intermediate) Berlangsung selama 1 3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tandatanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Dapat terjadi kelumpuhan saraf III, IV, VI. 3. Stadium III (Stadium lanjut) Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma, kejang, gerakan involunter, dan dapat ditemukan hemiparesis. Pada beberapa kasus ditemukan ditemukan disfungsi batang otak yang menimbulkan iregularitas nadi dan napas. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya. II.8. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis dapat diketahui gejala meningitis berupa demam tinggi, nyeri kepala, dan tanda rangsang menings sebagai gejala yang timbul hampir pada semua jenis meningitis. Pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan tanda perangsangan meningeal seperti kaku kuduk, Brudzinsky I dan II, serta kernig sign yang dapat timbul 12-24 jam atau beberapa minggu kemudian. Selain dari anamnesis dan pemeriksaan klinis pemeriksaan yang harus segera dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis yaitu pemeriksaan Liquor Cerebrospinalis (LCS). Untuk pemeriksaan liquor serebrospinalis didapatkan dengan pungsi lumbal. Pungsi lumbal adalah tindakan untuk memperoleh liquor serebrospinalis dan untuk mengetahui keadaan lintasan likuor.1 II.9. DIAGNOSA BANDING Diagnosa banding untuk meningitis adalah perdarahan sub araknoid. Perdarahan sub araknoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya. Bila perdaran agak besar dan terjadi lebih dekat ke basis serebri dapat timbul kaku kuduk seperti yang dapat ditemukan pada meningitis. Oleh karena itu, untuk menyingkirkan diagnosis perdarahan sub araknoid tersebut perlu ditanyakan adanya riwayat trauma kapitis serta gejala-gejala lain yang mendahului. 10 II.10. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis meningitis adalah: 1. Pemeriksaan darah Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah dah hitung jenis leukosit, laju endap darah (LED), kadar glukosa puasa. Pada meningitis serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu pada meningitis tuberculosis didapatkan juga peningkatan LED. 2. Pemeriksaan cairan cerebrospinalis

10

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada meningitis purulenta, didapatkan hasil pemeriksaan cairan serebrospinalis yang keruh, karena mengandung pus yang merupakan campuran leukosit, jaringan yang mati dan bakteri.6 Sedangkan hasil pemeriksaan cairan serebrospinalis yang jernih terdapat pada infeksi virus. Pemeriksaan kultur liquor digunakan untuk menentukan bakteri penyebab.6 Dalam banyak kasus, hasil pemeriksaan mikroskopik Lumbal pungsi (LP) sudah dapat mendiagnosis penyebab meningitis. Oleh karena itu, pemeriksaan ini sangat penting dilakukan. Selain pemeriksaan mikroskopis, hasil liquor digunakan untuk membuat kultur bakteri maupun biakan virus. Dengan demikian dapat diketahui dengan jelas jenis bakteri dan pemberian antibiotik yang sesuai.6 3. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis meliputi foto thorax PA dan foto kepala, bila mungkin dapat dilakukan CT-Scan kepala.6 4. Pemeriksaan PCR (Polimerase Chain reaction) Merupakan pemeriksaan paling mutakhir untuk membedakan jenis-jenis meningitis. II.11. PENATALAKSANAAN Terapi bertujuan memberantas penyebab infeksi disertai perawatan intensif suportif untuk membantu pasien melalui masa kritis. Sementara menunggu hasil pemeriksaan terhadap kausa diberikan obat sebagai berikut3 : 1. Kombinasi ampisilin 12-18 gram, kloramfenikol 4 gram, intravena dalam dosis terbagi, setiap 6 jam. 2. Dapat ditambahkan campuran trimetoprim 80 mg, sulfametoksazol 400 mg intravena
11

3. Dapat pula ditambahkan ceftriaxone 4-6 gram intravena Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin,

chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke Sistem Saraf Pusat (SSP). Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasuk Streptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan Enterococcus sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.

12

Setelah penyebab diketahui, maka pengobatan dapat di berikan sesuai dengan penyebab infeksi6 : 1. Meningitis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa Regimen terapi : 2 HRZE 7RH Dua bulan pertama : a. INH : 1 x 400 mg/hari, oral b. Rifampisin : 1x 600 mg/hari, oral c. Pirazinamid : 15 30 mg/kgbb/hari, oral d. Etambutol : 15 20 mg/kgbb/hari, oral 7 12 bulan berikutnya :

a. INH : 1x 400 mg/hari, oral b. Rifampisin : 1x 600 mg/hari, oral 2. Meningitis yang disebabkan pneumokokkus dan meningokokkus Ampisilin 12- 18 gram intravena dalam dosis terbagi per hari, selama minimal 10 hari atau hingga sembuh 3. Meningitis yang disebabkan oleh Haemophylus influenzae Kombinasi ampisilin dan kloramfenikol dilanjutkan dengan

kloramfenikol disuntikkan 30 menit setelah ampisilin. Lama pengobatan minimal 10 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, dapat diberikan kloramfenikol saja. 4. Meningitis yang disebabkan enterobacteriaceae Cefotaxime 1-2 gram intravena setiap 8 jam. Bila resisten terhadap cefotaxime, berikan : campuran trimetoprim 80 mg dan

sulfametoksasol 400 mg per infus 2 kali ampul per hari, selama minimal 10 hari. Disamping pengobatan dengan menggunakan antibiotik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan dexamethason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan-perlekatan antara araknoid dan otak. Selain itu pemberian dexametahason juga dapat mengatasi efek dari lisis dinding bakteri. Indikasi pemberiannya yaitu adanya kesadaran menurun dan defisit neurologis
13

fokal. Dosis dexamethason 10 mg intravena, kemudian 4 mg intravena tiap 6 jam selama 2- 3 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.3,6 II.12. PROGNOSIS Secara umum, pasien dengan meningitis yang mengalami penurunan kesadaran atau kejang, berisiko tinggi untuk mengalami gejala sisa berupa kelainan neurologik fokal atau kematian.
2

Sedangkan untuk meningitis

tuberculosis, angka kematian pada umumnya 50 %. 3 II.13. KOMPLIKASI3,6,12 Disamping angka kematiannya yang masih tinggi, banyak penderita yang menjadi cacat akibat keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan sehingga tidak jarang penderita mengalami komplikasi setelah infeksi yang dialaminya. Meningitis tuberkulosis dapat berkembang juga sebagai penjalaran infeksi tuberkulosis di mastoid atau spondilitis tuberkulosa. Meningens yang paling berat terkena radang adalah bagian basal. Di bagian basal terdapat sisterna, sehingga berbagai komplikasi umum sering dijumpai hidrosefalus. Saraf otak juga dapat tertekan oleh reorganisasi eksudat di bagian basal. Hemiplegia, afasia dan lain lain merupakan manifestasi ensefalomalasia regional dapat timbul sebagai komplikasi dari radang tuberkulosis pembuluh darah. Jika plexus koroideus terkena radang tuberkulosis, maka produksi liquor sangat besar dan hidrosefalus komunikans akan berkembang. Karena itu atrofi jaringan otak akan cepat terjadi dan dapat menyebabkan gejala sisa berupa demensia dan perubahan watak II.14. PENCEGAHAN Walaupun merupakan salah satu penyakit dengan angka kematian tinggi, bukan berarti bahwa meningitis tidak dapat dicegah. Pencegahan kecacatan maupun mortalitas yang disebabkan oleh meningitis dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

14

II.14.1. Pencegahan primer Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh.Meningitis Meningococcus pada orang dewasa dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.9 Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.35 Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet. II.14.2. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis. II.14.3. Pencegahan tertier Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis
12 11

jangka

panjang

misalnya

tuli

atau

ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.6

15

BAB III RINGKASAN

Meningitis adalah infeksi cairan serebrospinalis disertai radang pada araknoid, piamater, dan dalam derajat ringan mengenai bagian superfisial otak dan susmsum tulang belakang. Gambaran klinis meningitis dapat berupa gejala infeksi akut, tanda iritasi menings, dan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda dan gambaran klinis sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit dirumah sebelum didiagnosis, dan respon tubuh terhadap infeksi. Diagnosis meningitis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu, pemeriksaan yang harus segera dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis adalah pemeriksaan Liquor Cerebrospinalis. Meningitis merupakan salah satu kedaruratan neurologis sehingga membutuhkan penanganan yang cepat untuk mencegah dan mengurangi angka kecacatan serta mengurangi angka mortalitas yang tinggi.

16

17

Anda mungkin juga menyukai