E. Rial N.
Pengertian Perundang-undangan
(menurut Maria Farida Indrati Soeprapto)
Mempunyai 2 pengertian yang berbeda yaitu: 1. perundangan-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah; 2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
Pengertian Perundang-undangan
(menurut Maria Farida Indrati Soeprapto)
Mempunyai 2 pengertian yang berbeda yaitu : 1. perundangan-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah; 2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
Pengertian Perundang-undangan
(menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 ttg PUU)
Arti secara yuridis Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004: proses pembuatan peraturan perundangundangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan
Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan
.@
Unsur-Unsur :
1. Peraturan tertulis
mengikat secara umum 3. Dibentuk oleh lembaga yang negara, atau 4. Pejabat yang berwenang 5. Melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundanganundangan
1. Dasar Filosofis Kelakuan filosofis/berlakunya secara filosofis, artinya bhw kaidah hukum tsb sesuai dgn cita-cita hukum (Rechtsidee) sbg nilai positif yg tertinggi misalnya; Pancasila, masyarakat adil dan makmur, dst. Stp masyarakat selalu mempunyai rechtsidee yaitu apa yg mereka harapkan dari hukum, misalnya utk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan,dll. Cita hukum (rechtsidee) tsb tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, ttg kebendaan, ttg kedudukan wanita, ttg dunia gaib, dll. Dasar filosofis terkait dgn nilai keadilan yg harus dimiliki oleh suatu produk kebijakan publik
Zairin Harahap, SH., M.Si
2. Dasar Sosiologis
Dikatakan mempunyai landasan sosiologis bila ketentuan-ketentuannya sesuai dgn keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU efektif berlaku dimasyarakat.
artinya pembuatan peraturan perundangundangan mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan buruh, dan lain sebagainya.
Zairin Harahap, SH., M.Si
gelding),
peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya.
Dasar sosiologis terkait dengan nilai kemanfaatan
3. Dasar Yuridis
hukum (legalitas) bila terdapat dasar hukum yang lebih tinggi derajatnya. Dasar Yuridis (juridische gelding) menurut Bagir Manan sangat penting dalam pembuatan peraturan perundangundangan
2) Keharusan adanya kesesuaian bentuk /jenis peraturan perundang-undangan dgn materi yg diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perUUan yg lebih tinggi/sederajat.
Ketidaksesuaian bentuk ini dpt menjadi alasan utk membatalkan peraturan perUUan tsb. Peraturan perUUan tsb dpt dibatalkan (vernietigbaar);
Zairin Harahap, SH., M.Si
(lanjutan) 3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perUUan tsb mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4) Keharusan tidak bertentang dgn peraturan per-UU-an yg lebih tinggi tingkatannya
Dasar yuridis terkait dgn nilai kepasrtian hukum yg harus dimiliki oleh produk kebijakan publik
Zairin Harahap, SH., M.Si
undangan : 1. Fungsi Internal fungsi sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan)terhadap sistem hukum pada umumnya 2. Fungsi Eksternal Fungsi eksternal sbg ketentuan peraturan perundang-undangan dg lingkungan tempatnya berlaku. Fungsi dpt disebut sbg fungsi sosial hukum, sehingga juga berlaku hukum kebiasaan dan hukum adat serta hukum yurisprudensi
1. Fungsi Internal
Secara internal PUU menjalankan beberapa fungsi, yaitu :
1. Fungsi Penciptaan hukum Melahirkan sistem kaidah hukum yg berlaku umum dilakukan/tjd melalui bbrp cara, yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi), kebiasaan yg timbul di dlm praktik dlm kehidupan masyarakat/negara, dan PUU Secara tdk lgsg hukum dpt terbentuk melalui ajaran hukum (doktrin) yg diterima & digunakan dlm pembentukan hukum. Di Indonesia, PUU mrpk cara penciptaan hukum, mrpk sendi utama sistem hukum nasional 2. Fungsi Pembaharuan Hukum Pembentukan PUU dpt direncanakan, shg pembaruan hukum dapat direncanakan PUU tdk hanya melakukan fungsi pembaruan thdp PUU yg sdh ada, ttp digunakan sbg alat memperbarui yurisprudensi, hukum kebiasaan, atau hukum adat.
menjalankan beberapa fungsi, yaitu : 3. Fungsi Integrasi Pluralisme sistem hukum Indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum. Pembaruan sistem hukum nasional dlm rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tsb, shg tersusun dlm satu tatanan yg harmonis satu sama lain 4. Fungsi Kepastian Hukum Kepastian hukum mrpkn asas penting dlm tindakan dan penegakan hukum
2. Fungsi Eksternal
Fungsi eksternal dpt sbg fungsi sosial, di mana akan
Hukum sbg sarana rekayasa sosial, di mana PUU diciptakan/dibentuk utk mendorong perubahan masyarakat di bidang eksosbud. Di dalam PUU terdapat kaidah-kaidah yg bertujuan menjamin stabilitas masyarakat Berfungsi sbg sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas) peraturan yg berisi insentif, seperti keringanan pajak, penagihan pajak tata cara perizinan Namun tidak selamanya peraturan kemudahan kan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan
2. Fungsi Stabilisasi
3. Fungsi Kemudahan
memahaminya, ditampilkan jenis peraturan perundangundangan krn jenis tsb terkait erat dengan materi muatan. Rincian jenis peraturan perundang-undangan membedakan materi muatan masing-masing jenis tersebut. Demikian juga terhadap jenis norma pada masing-masing materi muatan. Untuk membedakan masing-masing, sering mengalami kesulitan karena ada perbedaan yg sangat tipis antara jenis yg satu dgn jenis lainnya, dan kemungkinan dpt menimbulkan tumpang tindih materi muatan dan persamaan jenis norma pd masing-masing jenis yg jenjangnya berurutan satu tingkat ke bawah atau ke atas.
umum Semakin tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrid materi muatannya
(Mahendra Putra Kurnia,dkk, pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif)
yang dimaksud dengan perjanjian internasional tertentu adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan UndangUndang dengan persetujuan DPR. **Lihat Pasal Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 yang dimaksud dengan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Materi Perpu sama dengan materi yang terdapat dalam UU. (Pasal 11 UU no. 12 Tahun 2011) Bedanya adalah pada institusi pembentuk, tata cara pembentukan, waktu penetapan dan masa berlakunya.
(Pasal 52-53 UU no. 12 Tahun 2011)
3. Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.(Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011, lihat juga
Penjelasan Pasal 12 UU NO. 12 Tahun 2011)
4. Peraturan Presiden
berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (Pasal 13 UU Nomor 12 Tahun 2011.Lihat juga Penjelasan Pasal
13)
Bahasa Undang-Undang
Pada pokoknya, bahasa PUU tunduk pada kaidah-kaidah
Bahasa Indonesia yg baik dan benar, baik yg menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, tekhnik penulisan, maupun penulisan ejaan dan tanda bacanya; Bahasa PUU mempunyai ciri-ciri kejelasan pengertian, kejernihan dan kelugasan perumusan, kebakuan, keserasian, dan ketaat asasan dalam penggunaan katakata sesuai dg kebutuhan yg dihadapi; Biasanya, ketentuan-ketentuan dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dirumuskan sedemikian rupa sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
(Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, hlm. 245-246)
metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Satjipto Rahardjo mengemukakan : Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundangundangan
yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang serta dimaksud oleh pembuat undang-undang; Usaha memberi makna suatu atau sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar dalam memecahkan suatu persoalan hukum (rechtvragen), perbedaan antar norma atau suatu norma hukum (zairin harahap)
Contoh :
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Apabila ketentuan dimaksud diterjemahkan dalam suatu
Undang-Undang yang menentukan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh DPRD, kemudian ada pihak yang mengajukan permohonan kepada MK karena berpendapat bahwa yang dimaksud dengan demokratis adalah pemilihan langsung, maka MK dalam memutus permohonan tersebut pasti akan melakukan penafsiran untuk menentukan apa yang dimaksud dengan frasa dipilih secara demokratis.
Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 1. interpretasi harfiah; dan 2. interpretasi fungsional. 1. Interpretasi harfiah mrpkn interpretasi yg semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sbg pegangannya. Dgn kata lain, interpretasi harfiah mrpkn interpretasi yg tidak keluar dari litera legis 2. Interpretasi fungsional (interpretasi bebas). Disebut bebas krn penafsiran ini tdk mengikatkan diri sepenuhnya kpd kalimat dan kata-kata peraturan (litera legis). Sehingga, penafsiran ini mencoba utk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dgn menggunakan berbagai sumber lain yg dianggap bisa memberikan kejelasan yg lebih memuaskan.
(Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 95. )
Di samping itu ada bbrp metode penafsiran lainnya, berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi atau suatu metode penafsiran dg mempersempit arti suatu peraturan dg bertitiuk tolak pada arti bahasanya; Utk menjelaskan suatu ketentuan UU, ruang lingkup ketentuan itu dibatasi.; Prinsip yg digunakan dlm metode penafsiran ini adalah, bhw suatu materi dlm PUU tdk dpt diperluas atau ditafsirkan lain selain yg tertulis dlm PUU (lex stricta), atau dgn kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tdk dpt diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut PUU itu sendiri.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 19-20
(lanjutan)
penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal
Contoh : Kata menjual ditafsirkan luas yaitu bukan hanya berarti jual beli saja, tetapi setiap peralihan hak milik(zairin harahap)
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan bbrp metode interpretasi yg lazimnya digunakan hakim (pengadilan) sbb: 1. interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa; 2. interpretasi teleologis atau sosiologis; 3. interpretasi sistematis atau logis; 4. interpretasi historis; 5. interpretasi komparatif atau perbandingan; 6. interpretasi futuristis
bertentangan dengan isi per-UU-an yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya. Asas khusus mengesampingkan yang umum (lex specialist derogat lex generalist)
ini berkaitan dengan lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied). UU pada prinsipnya dibuat untuk keperluan masa depan. Apabila diberlakukan surut akan dapat menimbulkan akibat tidak baik. Namun di dalam penggunaan UU ada pengecualian, yaitu dalam hal-hal yang bersifat khusus. (Lihat Pasal 1 ayat (2) KUHP). Asas yang baru mengesampingkan yang lama (lex posteriori derogat lex priori) Asas Keterbukaan (Hearing), sejak diumumkan RUU sampai adanya persetujuan bersama
N. Satria Abdi, S.H., M.H.
Asas-Asas Formal
(menurut Van der Vlies)
1. 2. 3. 4. 5.
Tujuan yang jelas; Lembaga/organ yang tepat; Perlunya Pengaturan; Dapat dilaksanakan; Konsensus
Asas-Asas Material
1. 2. 3. 4. 5. Asas terminologi dan sistematika yg benar; Asas dapat dikenali; Asas perlakuan yg sama dalam hukum; Asas kepastian hukum; Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual
1. Larangan berlaku surut (aturan yang mengandung sanksi pidana); 2. Berlaku sejak diundangkan (kecuali ditentukan lain); 3. Lex superior, lex pasterior, lex specialist; 4. Setiap orang dianggap tahu adanya hukum (aturan)
1. Kejelasan tujuan; - mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai 2. Kelembagaan/pejabat pembentuk yang tepat;
stp jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga Negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang tidak berwenang.
harus benar-benar memperhatikan materi muatan yg tepat dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan.
4. Dapat dilaksanakan; memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis; 5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; dibuat memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Muatan Materi Perundang-undangan juga mengandung asas-asas dalam sebuah peraturan perundang-undangan
1. 2. 3. 4. 5.
Muatan Materi Perundang-undangan juga mengandung asas-asas dalam sebuah peraturan perundang-undangan
6. Asas Bhinneka Tunggal Ika; 7. Asas keadilan; 8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 9. Asas ketertiban dan kepastian hukum 10. Asas keseimbangan
tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, asas praduga tidak bersalah; Dalam hukum perdata (kaitannya dengan hukum perjanjian, seperti asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak asas itikad baik
Hirarkie Perundang-undangan
1. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 2. Tap MPR No. III/MPR/2000 3. UU No. 10 Tahun 2004 ttg Pembentukan
1945 Ketetapan MPR Undang-Undang/Perpu Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, seperti: a) Peraturan Menteri b) Instruksi Menteri , dll.
2.
3. 4. 5. 6. 7.
1945 Ketetapan MPR Undang-Undang (UU) Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu) Peraturan Pemerintah (PP) Keputusan Presiden (Keppres) Peraturan Daerah (Perda)
Ditinjau dari tata urutannya : 1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 3. Peraturan Pemerintah (PP); 4. Peraturan Presiden (Perpres); 5. Peraturan Daerah (Perda);
a) Peraturan Daerah Propinsi (Perda Prop) b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda
3.
4.
5.
6. 7.
Tahun 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Tugas
Mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam
Jenis kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus berperilaku. Kaidah ini menjalankan fungsinya sebagai kaidah yang mengatur perilaku orang-orang di dalam masyarakat. Kaidah ini merupakan sifat dan hakikat kaidah hukum, yang di dalam realitasnya kaidah ini diwujudkan dalam berbagai bentuk.
a) Kaidah perintah
kaidah yang merupakan kewajiban untuk
melakukan sesuatu. Biasanya dengan bantuan kata wajib atau harus atau terikat untuk atau berkewajiban untuk.
b) Kaidah larangan
kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu. Biasanya menggunakan kata-kata dilarang atau tidak boleh atau tidak dapat.
(lanjutan)
c) Kaidah dispensasi
kaidah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diwajibkan/diharuskan; dispensasi biasanya berkenaan dengan penolakan atau pengecualian terhadap suatu perintah yang dirumuskan dengan kata-kata dibebaskan dari kewajiban, atau dikecualikan dari kewajiban atau tidak berkewajiban.
kaidah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu secara umum dilarang atau tidak boleh dilakukan. Biasanya memakai kata-kata boleh atau berhak untuk atau mempunyai hak untuk atau dapat atau berwenang untuk.
d) Kaidah izin
Norma hukum umum-abstrak adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak (belum konkret). Contoh:
1. Setiap warganegara dilarang mencuri 2. Setiap petani dilarang menebang pohon di hutan
Suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu (konkret). Contoh:
1. Setiap orang dilarang mencuri mobil merk peugeot berwarna biru metalik yang berparkir di depan toko Ramai 2. Setiap orang dilarang membunuh Susilo dengan parang
Suatu norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak (belum konkret). Contoh :
1. Tono yang bertempat tinggal di Jalan Tamansiswa 45 Yogyakarta dilarang mencuri 2. Ricardo bin Thoyib penduduk dari kampung melayu RT 02 RW 01 dilarang membunuh
Norma individual-konkret
Suatu norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkret. Contoh:
1. Tuan Partono, umur 35 tahun, alamat Jl. Tirtodipuran Nomor 38 Yogyakarta wajib memakai baju dinas 2. Gusnadi, umur 16 tahun dilarang merokok di kantor tempat dia bekerja
Kekuatan Perundang-undangan
Kekuatan Hukum
Suatu per-uu-an mempunyai kekuatan hukum ialah pd saat Rancangan per-uu-an tsb disahkan menjadi per-uu-an oleh Presiden Kekuatan Mengikat Per-uu-an mempunyai kekuatan mengikat ialah pd saat ditempatkan dlm Lembaran Negara/Lembaran Daerah (diundangkan) oleh Sekretaris Negara/Sekretaris Daerah. Kekuatan Berlaku Per-uu-an mempunyai kekuatan berlaku adalah setelah ditempatkan dlm LN atau LD, kecuali ditentukan lain oleh per-uu-an itu sendiri.
N. Satria Abdi, S.H., M.H.
Sifat mengikat penjelasan (memorie vantoelichting) adalah karena sifat interpretative autentic.
N. Satria Abdi, S.H., M.H.
Naskah Akademik
DASAR HUKUM (sebelumnya) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 ttg Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres 68/05); Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No.G.159.PR.09.10 Tahun 1994 ttg Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan (KK BPHN 94).
Peristilahan
naskah rancangan undang-undang; naskah ilmiah rancangan undang-undang; rancangan ilmiah peraturan perundang-undangan; naskah akademis rancangan undang-undang; academic draft penyusunan peraturan perundang-undangan Perpres 68/05 menggunakan istilah Naskah Akademik, sedangkan KK BPHN 94 menggunakan istilah Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan.
Mempersiapkan RUU memberikan penyebutan istilah Naskah Akademik dengan Rancangan Akademik; Dlm Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa Menteri/pimpinan lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan UU dpt pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai rancangan undangundang yang akan disusun. Namun, dlm UU No. 10 Tahun 2004, secara eksplisit tdk mengatur mengenai keharusan penyusunan Naskah Akademik sebelum menyusun suatu peraturan perundang-undangan.
Pasal 1 angka 7 Perpres 68/05, menyebutkan : Naskah Akademik adalah naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-Undang;
2.
undangan adalah Naskah awal yang memuat gagasan-gagasan pengaturan dan materi muatan perundang-undangan bidang tertentu .
pengaturan dan materi muatan perundang-undangan bidang tertentu. Bentuk dan naskah akademik ini memuat gagasan pengaturan suatu materi hukum bidang tertentu yg telah ditinjau secara holistik-futuristik dan dari berbagai aspek ilmu, dilengkapi dengan referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, alas hukum, prinsipprinsip yg digunakan serta pemikiran tentang normanorma yg telah dituangkan ke dalam bentuk pasalpasal dgn mengajukan beberapa alternatif, yg disajikan dlm bentuk uraian yg sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum dan sesuai dengan politik hukum yg telah digariskan.[1]
[1]Nimatul Huda, Teknik dan Strategi Pembuatan Naskah Akademik, makalah, disampaikan dalam acara Training of Trainer Teknik Penyusunan Perundang-undangan (Legal Drafting) yang diselenggarakan Pusdiklat Laboratorium FH UII, 19 Oktober 2009;
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yg dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tsb dalam suatu RUU, RAPERDA Provinsi, atau RAPERDA Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat
peraturan perundangan-undangan (PUU) adalah bersifat fakultatif bukan bersifat imperatif, artinya, dalam pembentukan suatu PUU tidak harus terlebih dahulu dimulai dgn menyusun NA; Sehingga, jika dlm pembentukan PUU tidak ada NA bukan berarti secara otomatis PUU yg dibuat itu menjadi tidak sah; Namun demikian, bukan berarti NA menjadi tidak penting. Ada beberapa alasan yg dapat dikemukakan yang menunjukkan pentingnya NA sebelum suatu PUU, khususnya UU dan Perda itu dibuat: Zairin Harahap, SH., M.Si
Abeyesekere) mengatakan utk membentuk suatu PUU yg baik, maka dlm proses penyusunan NA penting diperhatikan agenda yg mereka sebut sebagai ROCCIPI, yaitu: Rule (peraturan); Opportunity (peluang/kesempatan); Capacity (kemampuan); Communication (komunikasi); Interest (kepentingan); Process (proses); Ideology (nilai dan sikap).
Zairin Harahap, SH., M.Si
menggambarkan :
Hasil inventarisasi hukum positif; Hasil inventarisasi permasalahan hukum yg dihadapi; Gagasan ttg materi hukum yg akan dituangkan ke dlm PUU; Konsepsi landasan, alas hukum &prinsip yg akan digunakan; Pemikiran ttg norma-normanya yg telah dituangkan ke dlm bentuk pasal-pasal; Gagasan awal naskah PUU yg disusun secara sistematis: bab demi bab, pasal demi pasal utk memudahkan & mempercepat penggarapan PUU selanjutnya oleh instansi yg berwenang menyusun PUU tsb.
Zairin Harahap, SH., M.Si
pentingnya NA dalam pembentukan PUU adalah agar PUU tersebut nantinya dapat bersifat: Holistik, artinya bersifat menyeluruh, shg dpt mencegah terjadinya kekurangan yuridis & tumpah tindih pengaturan (conflict of law); Argumentatif, artinya materi muatan yg terdapat dlm PUU tsb berdasarkan kajian objektif, shg dpt dipertanggungjawabkan secara ilmiah; Responsif; artinya PUU yg dibuatkan sangat berkesesuaian dg kebutuhan hukum masyarakat dlm rangka mewujudkan keadilan, persamaan;perlindungan, & kepastian hukum;
Zairin Harahap, SH., M.Si
kehidupan berbangsa, bernegara, & bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tsb. 2) Merumuskan permasalahan hukum yg dihadapi sbg alasan pembentukan RUU/RAPERDA sbg dasar hukum penyelesaian/solusi permasalahan dlm kehidupan berbangsa, bernegara,& bermasyarakat. 3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan RUU/RAPERDA. 4) Merumuskan sasaran yg akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU/RAPERDA.
yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten/kota disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. .
(Pasal 56 ayat (2) jo.Pasal 63 UU No.12 Tahun 2011) 19 ayat (1) Permendagri No. 53 Tahun 2011
Pasal
lingkup materi muatan UU, PERDA Prov./PERDA Kab./Kota 6. BAB VI : Penutup 4. Daftar Pustaka 5. Lampiran : Rancangan Peraturan Perundang-undangan
BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.
A.Latar Belakang Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-
alasan perlunya penyusunan NA sbg acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) atau Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) tertentu.
Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan RUU atau RAPERDA suatu PUU memerlukan suatu kajian yg mendalam & komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yg berkaitan dgn materi muatan RUU atau RAPERDA yg akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tsb mengarah kpd penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan RUU atau RAPERDA.
mengenai masalah apa yg akan ditemukan dan diuraikan dalam NA tsb. Pada dasarnya identifikasi masalah dlm suatu NA mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut: a) Permasalahan apa yg dihadapi dlm kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tsb dpt diatasi.
pemecahan masalah tsb, yg berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tsb. c) Apa yg menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan RUU atau RAPERDA. d) Apa sasaran yg akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan NA dirumuskan sbb: a) Merumuskan permasalahan yg dihadapi dlm kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tsb. b) Merumuskan permasalahan hukum yg dihadapi sbg alasan pembentukan RUU atau RAPERDA sbg dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dlm kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
C.
filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan RUU atau RAPERDA. d) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU atau RAPERDA. Sementara itu, kegunaan penyusunan NA adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU atau RAPERDA.
D.Metode
Penyusunan NA pd dasarnya mrpkn suatu kegiatan penelitian shg digunakan metode penyusunan NA yg berbasiskan metode penelitian hukum/penelitian lain. Penelitian hukum dpt dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dgn penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa PUU, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya.
o Metode (Lanjutan)
o Metode yuridis normative dpt dilengkapi dgn wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. o Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dgn penelitian normatif atau penelaahan thdp PUU (normatif) yg dilanjutkan dgn observasi yg mendalam serta penyebarluasan kuesioner utk mendapatkan data faktor non hukum yg terkait dan yg berpengaruh terhadap PUU yg diteliti.
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Bab ini memuat uraian mengenai materi yg bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, & ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dlm suatu UU, PERDA Provinsi, atau PERDA Kabupaten/Kota. Bab ini dpt diuraikan dlm beberapa sub bab sbb : a)Kajian teoretis. b)Kajian terhadap asas/prinsip yg terkait dgn penyusunan norma. Analisis thdp penentuan asasasas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dgn PUU yg akan dibuat, yg berasal dari hasil penelitian.
Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut : (lanjutan)
kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. baru yang akan diatur dalam UU atau PERDA thdp aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
Memuat hasil kajian thdp PUU terkait yg memuat kondisi hukum yg ada, keterkaitan UU dan PERDA baru dgn PUU yg lain; Harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta Status dari PUU yg ada, termasuk PUU yg dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta PUU yg masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dgn UU atau Perda yg baru.
kondisi hukum atau PUU yg mengatur mengenai substansi atau materi yg akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari UU atau PERDA yg baru. Analisis ini dpt menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi PUU yg ada serta posisi dari UU dan PERDA utk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan UU, PERDA Provinsi, atau PERDA kabupaten/kota yang akan dibentuk.
1.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis mrpk pertimbangan atau alasan yg menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yg meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yg bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD RI 1945.
2.
Landasan Sosiologis.
Landasan sosiologis mrpk pertimbangan atau
alasan yg menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dlm berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3.
Landasan Yuridis. Pertimbangan/alasan yg menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk utk mengatasi permasalahan hukum/mengisi kekosongan hukum dgn mempertimbangkan aturan yg telah ada, yg akan diubah, atau yg akan dicabut guna menjamin kepastian hukum & rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yg berkaitan dgn substansi/materi yg diatur sehingga perlu dibentuk Per-UU-an yg baru. Bbrp persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yg sudah ketinggalan, peraturan yg tdk harmonis/tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari UU sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada ttpi tidak memadai/peraturannya memang sama sekali belum ada.
BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UU, PERDA PROVINSI, /PERDA KABUPATEN/KOTA
materi muatan RUU, RAPERDA Provinsi, atau RAPERDA Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yg akan diwujudkan, arah & jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pd ulasan yg telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Ruang lingkup materi pd dasarnya mencakup: ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa; materi yang akan diatur; ketentuan sanksi; dan ketentuan peralihan.
BAB VI PENUTUP
berkaitan dgn praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, & asas yg telah diuraikan dalam bab sebelumnya. 2. Saran Saran memuat antara lain: a) Perlunya pemilahan substansi NA dlm suatu PUU/ PUU di bawahnya. b) Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan RUU/RAPERDA dalam Proleknas/Prolegda. c) Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan NA lebih lanjut.
BAB VII DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundangundangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.
BAB VIII LAMPIRAN Rancangan Peraturan Perundang-undangan
1. JUDUL
Judul peraturan perundang-undangan memuat
keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan perundang-undangan. Nama peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan.
JUDUL
Contoh nama peraturan perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu) kata : Paten; Yayasan; Ketenagalistrikan. Contoh nama peraturan perundang-undangan yang menggunakan frasa : Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; Pajak Daerah dan Restribusi Daerah; Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
3)Judul peraturan perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan ditengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM
Pada nama peraturan perundang-undangan perubahan ditambahkan frasa PERUBAHAN ATAS di depan judul peraturan perundang-undangan yang diubah.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ..... NOMOR .... TAHUN ..... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR .... TAHUN ..... TENTANG ...............
Bagi peraturan perundang-undangan yang telah diubah lebih dari satu kali, diantara kata PERUBAHAN dan kata ATAS disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan-perubahan sebelumnya.
Contoh :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...... TAHUN ........ TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR ...... TAHUN ..... TENTANG .....
Pada nama peraturan perundang-undangan pencabutan di depan judul peraturan perundangundangan yang dicabut.
Contoh Undang-undang:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) yang ditetapkan menjadi undang-undang, ditambahkan kata PENETAPAN di depan judul peraturan perundangundangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi UU
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN MENJADI UNDANG-UNDANG
2. PEMBUKAAN
Pembukaan peraturan perundang-undangan terdiri
atas: 1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundangundangan; 3. Konsiderans; 4. Dasar hukum; dan 5. Diktum
Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun bagian pembukaan adalah sbb :
1) Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Pada pembukaan tiap jenis peraturan perundang-undangan
sebelum nama jabatan pembentuk peraturan perundangundangan, dicantumkan frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital, yang diletakkan di tengah marjin. 2) Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan ditulis seluruhnya dgn huruf kapital yg diletakkan ditengah marjin & diakhiri dgn tanda baca koma (,) Contoh jabatan Pembentuk UU : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Contoh jabatan pembentuk PERDA Provinsi : GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
3) Konsiderans
Konsideran diawali dgn kata MENIMBANG, yg memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yg menjadi pertimbangan & alasan pembentukan per-uu-an. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans UU, PERDA Provinsi, PERDA Kabupaten/Kota, memuat unsurunsur filosofis, sosiologis & yuridis yg menjadi pertimbangan & alasan pembentukannya yg penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis dan yuridis.
3) Konsiderans (lanjutan)
Unsur filosofis menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila & Pembukaan UUD 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk utk memenuhi kebutuhan masyarakat dlm berbagai aspek Unsur yuridis menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk utk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dg mempertimbangkan aturan yg telah ada, yg akan diubah, atau yg akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sbb : Contoh konsiderans peraturan daerah provinsi :
Menimbang : a. bahwa ...........................; b. bahwa ...........................; c. bahwa ...........................; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang .....:
satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari UU yg memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah tsb dg menunjuk pasal atau beberapa pasal dari UU yg memerintahkan pembentukannya 2011 tentang Manajemen dan Rakayasa, Analisa Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.
Manajemen dan Rakayasa, Analisa Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.
Menimbang : bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lali lintas dan angkutan jalan, serta untuk melaksanakan ketenatuan Pasal 93, Pasal 102 ayat (3), Pasal 133 ayat (5) dan Pasal 136 ayat (3) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan pemerintah tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisa Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;
pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang atau Peraturan pemerintah yang memerintahkan pembentukannya. Contoh :
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah.
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah;
Konsiderans Peraturan daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yg memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal yang memerintahkan pembentukannya.
4) Dasar Hukum Dasar hukum diawali dengan kata MENGINGAT, yang memuat pertama, dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan, dan kedua, peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika materi yang diatur dalam Undang-Undang yang akan dibentuk merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal tersebut dicantumkan sebagai dasar hukum.
Contoh :
Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR)
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman)
Dasar hukum pembentukan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UndangUndang menjadi Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tenang pencabutan Peraturan pemerintah Pengganti UndangUndang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Peraturan pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dasar hukum pembentukan Peraturan presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
1945 yang memerintahkan langsung pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan perundang-undangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum.
Contoh :
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
(Contoh ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik).
5) Diktum
Diktum terdiri atas :
1) kata memutuskan; 2) kata menetapkan; 3) jenis dan nama peraturan perundangundangan. Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:) serta diletakkan di tengah marjin.
Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frasa Dengan Persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin
Contoh Undang-Undang :
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Pada Peraturan Daerah, sebelum kata memutuskan dicantumkan frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH .....(nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ....(nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.
Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital & diakhiri dengan tanda baca titik dua. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata menetapkan tanpa frasa Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh :
Menetapkan: MEMUTUSKAN : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN.
3. BATANG TUBUH
Batang tubuh peraturan perundang-undangan
memuat semua materi muatan peraturan perundangundangan yg dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: Ketentuan Umum; Materi Pokok yang diatur; Ketentuan Pidana (jika diperlukan); Ketentuan Peralihan (jika diperlukan); Ketentuan Penutup.
1) KETENTUAN UMUM
Ketentuan umum diletakkan dalam satu bab. Jika dalam peraturan perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal. Contoh:
BAB I KETENTUAN UMUM
Ketentuan umum dpt memuat lebih dari satu pasal. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undangundang berbunyi :
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau 3. hal-hal lain yg bersifat umum yg berlaku bagi pasal atau bbrp pasal berikutnya antara lain ketentuan yg mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika.
Contoh definisi:
Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Contoh singkatan :
Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat
BPK adalah lembaga Negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungajwaban keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang
selanjutnya disingkat SPIP adalah system pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lingkungan Pemerintah Kota Dumai
Contoh akronim :
Asuransi kesehatan yang selanjutnya disebut askes
Materi Pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab Ketentuan Umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
Contoh :
Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000, 00 (seratus ribu rupiah).
tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negerai, saksi.
tindakan hukum atau hubungan hukum yg sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yg lama thdp peraturan perundang-undangan yg baru, yg bertujuan untuk : Menghindari terjadinya kekosongan hukum; Menjamin kepastian hukum; Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yg terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
5. KETENTUAN PENUTUP
Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir.
Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal atau bbrp pasal terakhir;. Umumnya ketentuan penutup memuat mengenai :
Penunjukkan organ atau alat kelengkapan yg
melaksanakan peraturan perundang-undangan; Nama singkat peraturan perundang-undangan; Status peraturan perundang-undangan yg sudah ada; Saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan.
perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam PUU yg lama, dalam PUU baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan PUU. Rumusan pencabutan PUU diawali dengan frasa pada saat ..... (jenis peraturan perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yg dilakukan dgn PUU pencabutan tersendiri. Pd dasarnya PUU mulai berlaku pd saat PUU tsb diundangkan.
Contoh :
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
4. PENUTUP
Penutup merupakan bagian akhir peraturan
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan dalam lembaran negara republik Indonesia, Berita negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau berita Daerah Kabupaten/Kota; Penandatanganan pengesahan/penetapan peraturan perundang-undangan; Pengundangan atau penetapan peraturan perundangundangan; Akhir bagian penutup.
pengundangan .... (jenis peraturan perundangundangan) ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
penempatan peraturan perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi : Contoh :
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan .... (jenis peraturan perundangundangan) ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi: Contoh Peraturan Daerah Provinsi:
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
peraturan perundang-undangan memuat : a) Tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b) Nama jabatan; c) Tanda tangan pejabat; d) Nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan dan nomor induk pegawai
diletakkan disebelah kanan Nama jabatan & nama pejabat ditulis dgn huruf kapital. Pd akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Untuk pengesahan : Contoh : Disahkan di Jakarta Pada tanggal 22 Juli 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Tanda tangan
memuat :
a) Tempat dan tanggal pengundangan; b) Nama jabatan yang berwenang mengundangkan; c) Tanda tangan; d) Nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat. Golongan, nomor induk pegawai
undangan diletakkan disebelah kiri (di bawah penandatangan pengesahan atau penetapan) Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir jabatan diberi tanda baca koma. Contoh :
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 Juli 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Tanda tangan PATRIALIS AKBAR
tidak menandatangani Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani Rancangan Peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota.
Contoh :
..... NOMOR ..... Contoh : LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA).... TAHUN ...... NOMOR ..........
5. PENJELASAN
Setiap UU, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota diberi
penjelasan. Peraturan Perundang-undangan di bawah UU (selain Perda Provinsi & Kabupaten/Kota) dpt diberi penjelasan jika diperlukan. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan hanya memuat uraian thdp kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dlm norma yg dpt disertai dgn contoh. Penjelasan sbg sarana utk memperjelas norma dlm batang tubuh tdk boleh mengakibatkan tjdnya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
Perundang-undangan yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf kapital. Contoh: PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA
pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL
frasa cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan. Contoh yang tidak tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas. Seharusnya: Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas.
6. LAMPIRAN
Dlm hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan
lampiran, hal tsb dinyatakan dlm batang tubuh bhw lampiran dimaksud merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan. Lampiran dpt memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa. Dlm hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dgn menggunakan angka romawi. Contoh:
LAMPIRAN I LAMPIRAN II
yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri. Contoh:
LAMPIRAN I UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
nama dan tanda tangan pejabat yg mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan ditulis dgn huruf kapital yg diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri dgn tanda baca koma setelah nama pejabat yg mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundangundangan. Contoh:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
a) riset/penelitian, survei hasil survei, riset/penelitian tersebut menghasilkan sebuah kajian ilmiah berupa naskah akademik (mengandung kaidah ilmiah) b) Amanat dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi
2.
Rancangan Harus memperhatikan tentang : a)Asas ( formil dan materiil); b)Dasar filosofis, yuridis, sosiologis Hasil kajian ilmiah (Naskah Akademik) diolah oleh Departemen tekhnis yg diharmonisasi oleh departemen yg membidangi (Dept.Hukum dan HAM utk tingkat Pusat); (Biro Hukum utk tingkat provinsi) dan Bagian Hukum utk tingkat Kabupaten/Kota Pada akhirnya menghasilkan suatu draft RUU/Raperda Provinsi/Raperda Kabupaten/Kota
3. Pembahasan
eksekutif membahas draft RUU (mengharmonisasi substansi, formulasi materi draft RUU) Selanjutnya eksekutif mengirimkan surat ke legislatif (DPR/DPRD) untuk memohon kepada dewan untuk melakukan pembahasan
Gubernur/Walikota/Bupati Provinsi/kota/kabupaten) ; dlm sidang paripurna (yang memenuhi kuorum); 2.Pidato penghantaran kemudian ditanggapi oleh masing-masing fraksi di dewan dg cara Pemandangan Umum Fraksi Isinya disesuaikan, pemandangan umum fraksi thdp pidato penghantaran eksekutif 3.Jawaban Eksekutif ats pemandangan umum fraksi Argumentasi eksekutif thdp pemandangan umum fraksi 4. Pembahasan (formil dan materiil) biasanya dibahas dlm tingkatan pansus, komisi atau panja
paripurna; laporan pembahasan tingkat 1 Tingkat 2 : laporan pembahasan tingkat II a) Oleh ketua pansus; ketua komisi; ketua panja b) Pendapat akhir fraksi 1) Apakah entitas baru akan lahir /tidak; melalui musyawarah mufakat (aklamasi) 2) Jika salah 1 fraksi ada yang tidak setuju ditempuh dengan cara voting dengan ketentuan 50+1 = disetujui; 50+1 = tidak setuju maka proses dibatalkan 4. Proses persetujuan / penandantanganan Otentifikasi; pengesahan/penetapan; diundangkan di lembaran negara/tambahan lembaga negara 5. Pelaksanaan oleh Presiden (eksekutif) 6. Evaluasi, apakah peraturan PUU bisa dilaksanakan
5. Pelaksanaan oleh Presiden (eksekutif) 6. Evaluasi, apakah peraturan PUU bisa dilaksanakan