Anda di halaman 1dari 164

Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

E. Rial N.

Pengertian Perundang-undangan
(menurut Maria Farida Indrati Soeprapto)

Mempunyai 2 pengertian yang berbeda yaitu: 1. perundangan-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah; 2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;

Pengertian Perundang-undangan
(menurut Maria Farida Indrati Soeprapto)

Mempunyai 2 pengertian yang berbeda yaitu : 1. perundangan-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah; 2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;

Pengertian Perundang-undangan
(menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 ttg PUU)

Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum

Arti secara yuridis Pasal 1 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004: proses pembuatan peraturan perundangundangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan

Pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


(menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 ttg Pembentukan PUU)

Pembuatan Peraturan Perundang-undangan yg mencakup

tahapan perencanaan, penyusunan,pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

Pengertian Peraturan Perundang-undangan


(menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 ttg Pembentukan

Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan
.@

Unsur-Unsur :
1. Peraturan tertulis

2. Memuat norma hukum yang

mengikat secara umum 3. Dibentuk oleh lembaga yang negara, atau 4. Pejabat yang berwenang 5. Melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundanganundangan

Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang Baik

Dasar-dasar pembentukan peraturan perundangundangan yang baik meliputi:


1. Dasar Filosofis
2. Dasar Sosiologis 3. Dasar Yuridis

1. Dasar Filosofis Kelakuan filosofis/berlakunya secara filosofis, artinya bhw kaidah hukum tsb sesuai dgn cita-cita hukum (Rechtsidee) sbg nilai positif yg tertinggi misalnya; Pancasila, masyarakat adil dan makmur, dst. Stp masyarakat selalu mempunyai rechtsidee yaitu apa yg mereka harapkan dari hukum, misalnya utk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan,dll. Cita hukum (rechtsidee) tsb tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, ttg kebendaan, ttg kedudukan wanita, ttg dunia gaib, dll. Dasar filosofis terkait dgn nilai keadilan yg harus dimiliki oleh suatu produk kebijakan publik
Zairin Harahap, SH., M.Si

2. Dasar Sosiologis

Dikatakan mempunyai landasan sosiologis bila ketentuan-ketentuannya sesuai dgn keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar UU efektif berlaku dimasyarakat.

N. Satria Abdi, S.H., M.H.

Dasar Sosiologis (sociologische

artinya pembuatan peraturan perundangundangan mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan buruh, dan lain sebagainya.
Zairin Harahap, SH., M.Si

gelding),

Dengan dasar sosiologis ini diharapkan

peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya.
Dasar sosiologis terkait dengan nilai kemanfaatan

yg harus dimiliki oleh suatu produk kebijakan publik;


Zairin Harahap, SH., M.Si

3. Dasar Yuridis

mempunyai landasan hukum atau dasar

hukum (legalitas) bila terdapat dasar hukum yang lebih tinggi derajatnya. Dasar Yuridis (juridische gelding) menurut Bagir Manan sangat penting dalam pembuatan peraturan perundangundangan

N. Satria Abdi, S.H., M.H.

Pentingnya dasar yuridis dlm peraturan per-uu-an:


(menurut Bagir Manan)

1) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perUUan.


Setiap peraturan perUUan harus dibuat oleh badan/pejabat yg berwenang. Kalau tidak, peraturan perUUan itu batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan perUUan dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum;

2) Keharusan adanya kesesuaian bentuk /jenis peraturan perundang-undangan dgn materi yg diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perUUan yg lebih tinggi/sederajat.
Ketidaksesuaian bentuk ini dpt menjadi alasan utk membatalkan peraturan perUUan tsb. Peraturan perUUan tsb dpt dibatalkan (vernietigbaar);
Zairin Harahap, SH., M.Si

Pentingnya dasar yuridis

(lanjutan) 3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perUUan tsb mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4) Keharusan tidak bertentang dgn peraturan per-UU-an yg lebih tinggi tingkatannya
Dasar yuridis terkait dgn nilai kepasrtian hukum yg harus dimiliki oleh produk kebijakan publik
Zairin Harahap, SH., M.Si

Fungsi Peraturan perundang-undangan


(menurut Bagir Manan)

Ada 2 kelompok utama fungsi peraturan perundang-

undangan : 1. Fungsi Internal fungsi sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan)terhadap sistem hukum pada umumnya 2. Fungsi Eksternal Fungsi eksternal sbg ketentuan peraturan perundang-undangan dg lingkungan tempatnya berlaku. Fungsi dpt disebut sbg fungsi sosial hukum, sehingga juga berlaku hukum kebiasaan dan hukum adat serta hukum yurisprudensi

1. Fungsi Internal
Secara internal PUU menjalankan beberapa fungsi, yaitu :

1. Fungsi Penciptaan hukum Melahirkan sistem kaidah hukum yg berlaku umum dilakukan/tjd melalui bbrp cara, yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi), kebiasaan yg timbul di dlm praktik dlm kehidupan masyarakat/negara, dan PUU Secara tdk lgsg hukum dpt terbentuk melalui ajaran hukum (doktrin) yg diterima & digunakan dlm pembentukan hukum. Di Indonesia, PUU mrpk cara penciptaan hukum, mrpk sendi utama sistem hukum nasional 2. Fungsi Pembaharuan Hukum Pembentukan PUU dpt direncanakan, shg pembaruan hukum dapat direncanakan PUU tdk hanya melakukan fungsi pembaruan thdp PUU yg sdh ada, ttp digunakan sbg alat memperbarui yurisprudensi, hukum kebiasaan, atau hukum adat.

1. Fungsi Internal (lanjutan)


Secara internal peraturan perundang-undangan

menjalankan beberapa fungsi, yaitu : 3. Fungsi Integrasi Pluralisme sistem hukum Indonesia masih berlaku berbagai sistem hukum. Pembaruan sistem hukum nasional dlm rangka mengintegrasikan berbagai sistem hukum tsb, shg tersusun dlm satu tatanan yg harmonis satu sama lain 4. Fungsi Kepastian Hukum Kepastian hukum mrpkn asas penting dlm tindakan dan penegakan hukum

2. Fungsi Eksternal
Fungsi eksternal dpt sbg fungsi sosial, di mana akan

lebih baik digunakan oleh PUU krn pertimbangan, yaitu :


1. Fungsi Perubahan

Hukum sbg sarana rekayasa sosial, di mana PUU diciptakan/dibentuk utk mendorong perubahan masyarakat di bidang eksosbud. Di dalam PUU terdapat kaidah-kaidah yg bertujuan menjamin stabilitas masyarakat Berfungsi sbg sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas) peraturan yg berisi insentif, seperti keringanan pajak, penagihan pajak tata cara perizinan Namun tidak selamanya peraturan kemudahan kan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan

2. Fungsi Stabilisasi

3. Fungsi Kemudahan

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan


Sebelum berbicara mengenai materi muatan, utk

memahaminya, ditampilkan jenis peraturan perundangundangan krn jenis tsb terkait erat dengan materi muatan. Rincian jenis peraturan perundang-undangan membedakan materi muatan masing-masing jenis tersebut. Demikian juga terhadap jenis norma pada masing-masing materi muatan. Untuk membedakan masing-masing, sering mengalami kesulitan karena ada perbedaan yg sangat tipis antara jenis yg satu dgn jenis lainnya, dan kemungkinan dpt menimbulkan tumpang tindih materi muatan dan persamaan jenis norma pd masing-masing jenis yg jenjangnya berurutan satu tingkat ke bawah atau ke atas.

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan

Tolok ukurnya hanya dikonsepkan secara

umum Semakin tinggi kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar materi muatannya. Sebaliknya, semakin rendah kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan konkrid materi muatannya
(Mahendra Putra Kurnia,dkk, pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif)

Muatan Materi Peraturan Perundang-Undangan


Undang-Undang Materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi: 1) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Perintah suatu UU utk diatur dengan UU. 3) Pengesahan perjanjian internasional tertentu.* 4) Tindak Lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.** 5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Muatan Materi Peraturan Perundang-Undangan (lanjutan)


* Lihat Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Nomor 12 Tahun 2011,

yang dimaksud dengan perjanjian internasional tertentu adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan UndangUndang dengan persetujuan DPR. **Lihat Pasal Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 yang dimaksud dengan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Materi Perpu sama dengan materi yang terdapat dalam UU. (Pasal 11 UU no. 12 Tahun 2011) Bedanya adalah pada institusi pembentuk, tata cara pembentukan, waktu penetapan dan masa berlakunya.
(Pasal 52-53 UU no. 12 Tahun 2011)

3. Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.(Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011, lihat juga
Penjelasan Pasal 12 UU NO. 12 Tahun 2011)

4. Peraturan Presiden
berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. (Pasal 13 UU Nomor 12 Tahun 2011.Lihat juga Penjelasan Pasal
13)

5. Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota


materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan.atau penjabaran lebih lanjut Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.(Pasal 14 UU Nomor 12
Tahun 2011)

Bahasa Undang-Undang
Pada pokoknya, bahasa PUU tunduk pada kaidah-kaidah

Bahasa Indonesia yg baik dan benar, baik yg menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, tekhnik penulisan, maupun penulisan ejaan dan tanda bacanya; Bahasa PUU mempunyai ciri-ciri kejelasan pengertian, kejernihan dan kelugasan perumusan, kebakuan, keserasian, dan ketaat asasan dalam penggunaan katakata sesuai dg kebutuhan yg dihadapi; Biasanya, ketentuan-ketentuan dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dirumuskan sedemikian rupa sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
(Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, hlm. 245-246)

Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang


Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengemukakan :

metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Satjipto Rahardjo mengemukakan : Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundangundangan

interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu

Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang


mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil

yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang serta dimaksud oleh pembuat undang-undang; Usaha memberi makna suatu atau sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar dalam memecahkan suatu persoalan hukum (rechtvragen), perbedaan antar norma atau suatu norma hukum (zairin harahap)

Contoh :
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan Gubernur, Bupati,

dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Apabila ketentuan dimaksud diterjemahkan dalam suatu

Undang-Undang yang menentukan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih oleh DPRD, kemudian ada pihak yang mengajukan permohonan kepada MK karena berpendapat bahwa yang dimaksud dengan demokratis adalah pemilihan langsung, maka MK dalam memutus permohonan tersebut pasti akan melakukan penafsiran untuk menentukan apa yang dimaksud dengan frasa dipilih secara demokratis.

Satjipto Rahardjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: 1. interpretasi harfiah; dan 2. interpretasi fungsional. 1. Interpretasi harfiah mrpkn interpretasi yg semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sbg pegangannya. Dgn kata lain, interpretasi harfiah mrpkn interpretasi yg tidak keluar dari litera legis 2. Interpretasi fungsional (interpretasi bebas). Disebut bebas krn penafsiran ini tdk mengikatkan diri sepenuhnya kpd kalimat dan kata-kata peraturan (litera legis). Sehingga, penafsiran ini mencoba utk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dgn menggunakan berbagai sumber lain yg dianggap bisa memberikan kejelasan yg lebih memuaskan.
(Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 95. )

Di samping itu ada bbrp metode penafsiran lainnya, berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1. metode penafsiran restriktif;

penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi atau suatu metode penafsiran dg mempersempit arti suatu peraturan dg bertitiuk tolak pada arti bahasanya; Utk menjelaskan suatu ketentuan UU, ruang lingkup ketentuan itu dibatasi.; Prinsip yg digunakan dlm metode penafsiran ini adalah, bhw suatu materi dlm PUU tdk dpt diperluas atau ditafsirkan lain selain yg tertulis dlm PUU (lex stricta), atau dgn kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tdk dpt diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut PUU itu sendiri.

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 19-20

metode penafsiran berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode

interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

(lanjutan)

2. Metode penafsiran ekstensif;

penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal
Contoh : Kata menjual ditafsirkan luas yaitu bukan hanya berarti jual beli saja, tetapi setiap peralihan hak milik(zairin harahap)

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan bbrp metode interpretasi yg lazimnya digunakan hakim (pengadilan) sbb: 1. interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa; 2. interpretasi teleologis atau sosiologis; 3. interpretasi sistematis atau logis; 4. interpretasi historis; 5. interpretasi komparatif atau perbandingan; 6. interpretasi futuristis

Asas-asas Perundang-undangan (1)


Asas tingkatan hirarkie (lex

bertentangan dengan isi per-UU-an yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya. Asas khusus mengesampingkan yang umum (lex specialist derogat lex generalist)

inferiori), Suatu per-UU-an isinya tidak boleh

superiori derogat lex

N. Satria Abdi, S.H., M.H.

Asas-asas Perundang-undangan (2)


Asas tidak berlaku surut (non-retroactive), asas

ini berkaitan dengan lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied). UU pada prinsipnya dibuat untuk keperluan masa depan. Apabila diberlakukan surut akan dapat menimbulkan akibat tidak baik. Namun di dalam penggunaan UU ada pengecualian, yaitu dalam hal-hal yang bersifat khusus. (Lihat Pasal 1 ayat (2) KUHP). Asas yang baru mengesampingkan yang lama (lex posteriori derogat lex priori) Asas Keterbukaan (Hearing), sejak diumumkan RUU sampai adanya persetujuan bersama
N. Satria Abdi, S.H., M.H.

Asas-Asas Formal
(menurut Van der Vlies)

1. 2. 3. 4. 5.

Tujuan yang jelas; Lembaga/organ yang tepat; Perlunya Pengaturan; Dapat dilaksanakan; Konsensus

Asas-Asas Material
1. 2. 3. 4. 5. Asas terminologi dan sistematika yg benar; Asas dapat dikenali; Asas perlakuan yg sama dalam hukum; Asas kepastian hukum; Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual

3 aspek peraturan perundang-undangan


1. Aspek filosofis a) aspek ontologis (apa yang diatur) b) aspek epistimologis (metodologinya benar) c) aspek aksiologi (nilai dan moral yang universal) 2. Aspek sosiologis sensitif dan responsif terhadap kepentingan masyarakat 3. Aspek yuridis fundamental dalam hukum ;social justice

Ketentuan Umum Peraturan Perundang-Undangan ( Prinsip Umum )

1. Larangan berlaku surut (aturan yang mengandung sanksi pidana); 2. Berlaku sejak diundangkan (kecuali ditentukan lain); 3. Lex superior, lex pasterior, lex specialist; 4. Setiap orang dianggap tahu adanya hukum (aturan)

Asas-asas Peraturan Perundang-undangan ( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011)

1. Kejelasan tujuan; - mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai 2. Kelembagaan/pejabat pembentuk yang tepat;
stp jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat

3. Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan;

oleh lembaga Negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang tidak berwenang.

dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

harus benar-benar memperhatikan materi muatan yg tepat dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan.

Asas-asas Peraturan Perundang-undangan ( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011)

4. Dapat dilaksanakan; memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis; 5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; dibuat memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

Asas-asas Peraturan Perundang-undangan ( Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011)


6. Kejelasan rumusan; harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan sistematika & pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yg jelas & mudah dimengerti, shg tdk menimbulkan berbagai macam interpretasi dlm pelaksanaannya. 7. Keterbukaan. Dlm proses Pembentukan Peraturan Perundangundangan mulai dari pencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dgn demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yg seluas-luasnya utk memberikan masukan dlm pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Muatan Materi Perundang-undangan juga mengandung asas-asas dalam sebuah peraturan perundang-undangan

(Pasal 6 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011)

1. 2. 3. 4. 5.

Asas Asas Asas Asas Asas

pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan;

Muatan Materi Perundang-undangan juga mengandung asas-asas dalam sebuah peraturan perundang-undangan

6. Asas Bhinneka Tunggal Ika; 7. Asas keadilan; 8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 9. Asas ketertiban dan kepastian hukum 10. Asas keseimbangan

Asas lain sesuai bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan


(Pasal 6 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011)

Dalam hukum pidana, asas legalitas, asas

tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, asas praduga tidak bersalah; Dalam hukum perdata (kaitannya dengan hukum perjanjian, seperti asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak asas itikad baik

Hirarkie Perundang-undangan
1. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 2. Tap MPR No. III/MPR/2000 3. UU No. 10 Tahun 2004 ttg Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan 4. UU No. 12 Tahun 2011 ttg Pembentukan peraturan perundang-undangan

Tap MPRS No. XX/MPRS/1966


1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 2. 3. 4. 5. 6.

1945 Ketetapan MPR Undang-Undang/Perpu Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, seperti: a) Peraturan Menteri b) Instruksi Menteri , dll.

Tap MPR No. III/MPR/2000


1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

2.
3. 4. 5. 6. 7.

1945 Ketetapan MPR Undang-Undang (UU) Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu) Peraturan Pemerintah (PP) Keputusan Presiden (Keppres) Peraturan Daerah (Perda)

Hierarki Peraturan Perundang-undangan


(menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004)

Ditinjau dari tata urutannya : 1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; 3. Peraturan Pemerintah (PP); 4. Peraturan Presiden (Perpres); 5. Peraturan Daerah (Perda);
a) Peraturan Daerah Propinsi (Perda Prop) b) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda

Kab/Kota) c) Peraturan Desa (Perdes)

Hirarki Peraturan perundang-undangan


( Pasal 7 ayat (1) UU No, 12 Tahun 2011)

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 2.

3.
4.

5.
6. 7.

Tahun 1945 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Peraturan Pemerintah Peraturan Presiden Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Norma Hukum / Kaidah Hukum


Norma/kaidah; norma (Latin), kaidah (Arab). Norma/kaidah, ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dlm hubungan dengan sesama atau dengan lingkungannya Norma (kaidah) hukum, suatu patokan yang didasarkan kpd ukuran nilai-nilai baik atau buruk yg berorientasi kepada asas keadilan, dan bersifat: 1) suruhan (impare/gebod), yg harus dilakukan orang; 2) larangan (prohibire/verbod), yg tidak boleh dilakukan; 3) kebolehan ( permitted/mogen), sesuatu yang tidak dilarang dan disuruh.

Fungsi, Tujuan, dan Tugas Norma Hukum


Fungsi dan Tujuan
Fungsi, melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusia. Tujuan, tercapainya ketertiban dalam masyarakat

Tugas
Mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam

masyarakat dan kepastian hukum agar tercapainya tujuan hukum.

Jenis Norma/Kaidah Hukum


1. Kaidah perilaku

Jenis kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus berperilaku. Kaidah ini menjalankan fungsinya sebagai kaidah yang mengatur perilaku orang-orang di dalam masyarakat. Kaidah ini merupakan sifat dan hakikat kaidah hukum, yang di dalam realitasnya kaidah ini diwujudkan dalam berbagai bentuk.

Kaidah perilaku dapat digolongkan sbb :

a) Kaidah perintah
kaidah yang merupakan kewajiban untuk

melakukan sesuatu. Biasanya dengan bantuan kata wajib atau harus atau terikat untuk atau berkewajiban untuk.

b) Kaidah larangan
kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu. Biasanya menggunakan kata-kata dilarang atau tidak boleh atau tidak dapat.

Kaidah perilaku dapat digolongkan sbb:

(lanjutan)

c) Kaidah dispensasi
kaidah pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diwajibkan/diharuskan; dispensasi biasanya berkenaan dengan penolakan atau pengecualian terhadap suatu perintah yang dirumuskan dengan kata-kata dibebaskan dari kewajiban, atau dikecualikan dari kewajiban atau tidak berkewajiban.
kaidah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu secara umum dilarang atau tidak boleh dilakukan. Biasanya memakai kata-kata boleh atau berhak untuk atau mempunyai hak untuk atau dapat atau berwenang untuk.

d) Kaidah izin

Jenis Norma/Kaidah Hukum


2. Kaidah kewenangan Kaidah ini merupakan kaidah yang menetapkan siapa yang berhak atau berwenang untuk menciptakan dan memberlakukan kaidah perilaku tertentu. Fungsi kaidah ini untuk menetapkan siapa yang berwenang mengatur perilaku orang, menetukan prosedur bagaimana kaidah perilaku ditetapkan dan bagaimana suatu kaidah harus diterapkan jika dalam suatu kejadian terdapat ketidakjelasan.

Jenis Norma/Kaidah Hukum


3. Kaidah sanksi Pada hakikatnya kaidah yang memuat reaksi yuridis atau akibat-akibat hukum tertentu jika terjadi pelanggaran atau ketidakpatuhan terhadap kaidah tertentu. Umumnya kaidah ini memuat kaidah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kaidah ini ada 3 macam, pertama, sanksi administratif, berhubungan dengan tindakan dan kebijaksanaan pemerintahan yang diwujudkan dalam bentuk bestuurdwang, dwang, dwangsom, pencabutan izin, penghentian subsidi, kedua sanksi pidana, dan ketiga, sanksi perdata.

Jenis Norma/Kaidah Hukum


4. Kaidah kualifikasi
Merupakan kaidah yang menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang untuk dapat melakukan perbuatan hukum tertentu atau sebaliknya dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Kaidah ini juga dapat digunakan menentukan suatu jenis peristiwa atau keadaan tertentu dikaitkan dengan akibat hukum tertentu.

Jenis Norma/Kaidah Hukum


5. Kaidah peralihan
Kaidah ini merupakan suatu jenis kaidah hukum yang dibuat sebagai sarana untuk mempertemukan aturan hukum tertentu sebagai akibat kehadiran peraturan perundang-undangan dengan keadaan sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku. Kaidah ini berfungsi menghindari kemungkinan terjadinya kekosongan hukum atau kekosongan peraturan perundangundangan, menjamin kepastian dan memberi jaminan perlindungan hukum kepada subyek hukum tertentu.

Sifat Norma/Kaidah Hukum


Sebuah aturan hukum yang dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan memiliki sifat-sifat tertentu yang digolongkan menjadi empat golongan, yaitu:
1. 2. 3. 4. Norma Norma Norma Norma hukum umum-abstrak hukum umum-konkret hukum individual-abstrak individual-konkret

Norma hukum umum-abstrak

Norma hukum umum-abstrak adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak (belum konkret). Contoh:
1. Setiap warganegara dilarang mencuri 2. Setiap petani dilarang menebang pohon di hutan

Norma hukum umum-konkret

Suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu (konkret). Contoh:
1. Setiap orang dilarang mencuri mobil merk peugeot berwarna biru metalik yang berparkir di depan toko Ramai 2. Setiap orang dilarang membunuh Susilo dengan parang

Norma hukum individualabstrak

Suatu norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak (belum konkret). Contoh :
1. Tono yang bertempat tinggal di Jalan Tamansiswa 45 Yogyakarta dilarang mencuri 2. Ricardo bin Thoyib penduduk dari kampung melayu RT 02 RW 01 dilarang membunuh

Norma individual-konkret

Suatu norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkret. Contoh:
1. Tuan Partono, umur 35 tahun, alamat Jl. Tirtodipuran Nomor 38 Yogyakarta wajib memakai baju dinas 2. Gusnadi, umur 16 tahun dilarang merokok di kantor tempat dia bekerja

Kekuatan Perundang-undangan
Kekuatan Hukum

Suatu per-uu-an mempunyai kekuatan hukum ialah pd saat Rancangan per-uu-an tsb disahkan menjadi per-uu-an oleh Presiden Kekuatan Mengikat Per-uu-an mempunyai kekuatan mengikat ialah pd saat ditempatkan dlm Lembaran Negara/Lembaran Daerah (diundangkan) oleh Sekretaris Negara/Sekretaris Daerah. Kekuatan Berlaku Per-uu-an mempunyai kekuatan berlaku adalah setelah ditempatkan dlm LN atau LD, kecuali ditentukan lain oleh per-uu-an itu sendiri.
N. Satria Abdi, S.H., M.H.

Sifat Mengikat Pasal dan Penjelasan


Sifat Mengikat Pasal

Sifat mengikat pasal / batang tubuh adalah karena sifat normatifnya.


Sifat Mengikat Penjelasan

Sifat mengikat penjelasan (memorie vantoelichting) adalah karena sifat interpretative autentic.
N. Satria Abdi, S.H., M.H.

Naskah Akademik
DASAR HUKUM (sebelumnya) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 ttg Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres 68/05); Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional No.G.159.PR.09.10 Tahun 1994 ttg Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundangundangan (KK BPHN 94).

Peristilahan

naskah rancangan undang-undang; naskah ilmiah rancangan undang-undang; rancangan ilmiah peraturan perundang-undangan; naskah akademis rancangan undang-undang; academic draft penyusunan peraturan perundang-undangan Perpres 68/05 menggunakan istilah Naskah Akademik, sedangkan KK BPHN 94 menggunakan istilah Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan.

Keppres No. 188 Tahun 1998 ttg Tata Cara

Mempersiapkan RUU memberikan penyebutan istilah Naskah Akademik dengan Rancangan Akademik; Dlm Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa Menteri/pimpinan lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan UU dpt pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai rancangan undangundang yang akan disusun. Namun, dlm UU No. 10 Tahun 2004, secara eksplisit tdk mengatur mengenai keharusan penyusunan Naskah Akademik sebelum menyusun suatu peraturan perundang-undangan.

Pengertian Naskah Akademik (sebelumnya)


1.

Pasal 1 angka 7 Perpres 68/05, menyebutkan : Naskah Akademik adalah naskah yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-Undang;

2.

KK BPHN 94 menyebutkan : Naskah Akademik Peraturan Perundang-

undangan adalah Naskah awal yang memuat gagasan-gagasan pengaturan dan materi muatan perundang-undangan bidang tertentu .

(pengertian lain Naskah Akademik /NA )

naskah awal yang memuat gagasan-gagasan

pengaturan dan materi muatan perundang-undangan bidang tertentu. Bentuk dan naskah akademik ini memuat gagasan pengaturan suatu materi hukum bidang tertentu yg telah ditinjau secara holistik-futuristik dan dari berbagai aspek ilmu, dilengkapi dengan referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, alas hukum, prinsipprinsip yg digunakan serta pemikiran tentang normanorma yg telah dituangkan ke dalam bentuk pasalpasal dgn mengajukan beberapa alternatif, yg disajikan dlm bentuk uraian yg sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum dan sesuai dengan politik hukum yg telah digariskan.[1]
[1]Nimatul Huda, Teknik dan Strategi Pembuatan Naskah Akademik, makalah, disampaikan dalam acara Training of Trainer Teknik Penyusunan Perundang-undangan (Legal Drafting) yang diselenggarakan Pusdiklat Laboratorium FH UII, 19 Oktober 2009;

Naskah Akademik DASAR HUKUM (sekarang)


( Pasal 1 angka 11 jo. Lampiran I UU No. 12 Tahun 2011,jo. Pasal 1 angka 15 Permendagri No. 53 tahun 2011 (pembentukan produk hukum daerah) ) Naskah Akademik ialah :

naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yg dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tsb dalam suatu RUU, RAPERDA Provinsi, atau RAPERDA Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat

Kedudukan Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebelumnya)


Kedudukan Naskah Akademik (NA) dlm pembentukan

peraturan perundangan-undangan (PUU) adalah bersifat fakultatif bukan bersifat imperatif, artinya, dalam pembentukan suatu PUU tidak harus terlebih dahulu dimulai dgn menyusun NA; Sehingga, jika dlm pembentukan PUU tidak ada NA bukan berarti secara otomatis PUU yg dibuat itu menjadi tidak sah; Namun demikian, bukan berarti NA menjadi tidak penting. Ada beberapa alasan yg dapat dikemukakan yang menunjukkan pentingnya NA sebelum suatu PUU, khususnya UU dan Perda itu dibuat: Zairin Harahap, SH., M.Si

PENTINGNYA NASKAH AKADEMIK


1) (Robert B Seidman, Aan Seidman,& Nalin

Abeyesekere) mengatakan utk membentuk suatu PUU yg baik, maka dlm proses penyusunan NA penting diperhatikan agenda yg mereka sebut sebagai ROCCIPI, yaitu: Rule (peraturan); Opportunity (peluang/kesempatan); Capacity (kemampuan); Communication (komunikasi); Interest (kepentingan); Process (proses); Ideology (nilai dan sikap).
Zairin Harahap, SH., M.Si

2)KK BPHN 94, urgensi disusun NA ialah utk

menggambarkan :

Hasil inventarisasi hukum positif; Hasil inventarisasi permasalahan hukum yg dihadapi; Gagasan ttg materi hukum yg akan dituangkan ke dlm PUU; Konsepsi landasan, alas hukum &prinsip yg akan digunakan; Pemikiran ttg norma-normanya yg telah dituangkan ke dlm bentuk pasal-pasal; Gagasan awal naskah PUU yg disusun secara sistematis: bab demi bab, pasal demi pasal utk memudahkan & mempercepat penggarapan PUU selanjutnya oleh instansi yg berwenang menyusun PUU tsb.
Zairin Harahap, SH., M.Si

Berdasarkan pengalaman dapat dijelaskan bahwa

pentingnya NA dalam pembentukan PUU adalah agar PUU tersebut nantinya dapat bersifat: Holistik, artinya bersifat menyeluruh, shg dpt mencegah terjadinya kekurangan yuridis & tumpah tindih pengaturan (conflict of law); Argumentatif, artinya materi muatan yg terdapat dlm PUU tsb berdasarkan kajian objektif, shg dpt dipertanggungjawabkan secara ilmiah; Responsif; artinya PUU yg dibuatkan sangat berkesesuaian dg kebutuhan hukum masyarakat dlm rangka mewujudkan keadilan, persamaan;perlindungan, & kepastian hukum;
Zairin Harahap, SH., M.Si

Tujuan Penyusunan Naskah Akademik


1) Merumuskan permasalahan yg dihadapi dlm

kehidupan berbangsa, bernegara, & bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tsb. 2) Merumuskan permasalahan hukum yg dihadapi sbg alasan pembentukan RUU/RAPERDA sbg dasar hukum penyelesaian/solusi permasalahan dlm kehidupan berbangsa, bernegara,& bermasyarakat. 3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan RUU/RAPERDA. 4) Merumuskan sasaran yg akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU/RAPERDA.

suatu rancangan undang-undang

yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten/kota disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. .
(Pasal 56 ayat (2) jo.Pasal 63 UU No.12 Tahun 2011) 19 ayat (1) Permendagri No. 53 Tahun 2011

Pasal

Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik


sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan UndangUndang (RUU) atau Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA).

Sistimatika Naskah Akademik


1. Judul; 2. Kata Pengantar; 3. Daftar Isi; 1. BAB I : Pendahuluan 2. BAB II : Kajian Teoritis dan Praktis Empiris 3. BAB III : Evaluasi & Analisis PUU terkait 4. BAB IV : Landasan filosofis, sosiologis,& yuridis 5. BAB V : Jangkauan, arah pengaturan & ruang

lingkup materi muatan UU, PERDA Prov./PERDA Kab./Kota 6. BAB VI : Penutup 4. Daftar Pustaka 5. Lampiran : Rancangan Peraturan Perundang-undangan

BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.
A.Latar Belakang Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-

alasan perlunya penyusunan NA sbg acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) atau Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) tertentu.

BAB I PENDAHULUAN (lanjutan)

Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan RUU atau RAPERDA suatu PUU memerlukan suatu kajian yg mendalam & komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yg berkaitan dgn materi muatan RUU atau RAPERDA yg akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tsb mengarah kpd penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan RUU atau RAPERDA.

B.Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat rumusan

mengenai masalah apa yg akan ditemukan dan diuraikan dalam NA tsb. Pada dasarnya identifikasi masalah dlm suatu NA mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut: a) Permasalahan apa yg dihadapi dlm kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tsb dpt diatasi.

B. Identifikasi Masalah (lanjutan)

b) Mengapa perlu RUU atau RAPERDA sbg dasar

pemecahan masalah tsb, yg berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tsb. c) Apa yg menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan RUU atau RAPERDA. d) Apa sasaran yg akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.

C. Tujuan & Kegunaan Kegiatan Penyusunan NaskahAkademik

Sesuai dgn ruang lingkup identifikasi masalah yg

dikemukakan di atas, tujuan penyusunan NA dirumuskan sbb: a) Merumuskan permasalahan yg dihadapi dlm kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tsb. b) Merumuskan permasalahan hukum yg dihadapi sbg alasan pembentukan RUU atau RAPERDA sbg dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dlm kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

C.

Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik (lanjutan)

filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan RUU atau RAPERDA. d) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU atau RAPERDA. Sementara itu, kegunaan penyusunan NA adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU atau RAPERDA.

c) Merumuskan pertimbangan atau landasan

D.Metode

Penyusunan NA pd dasarnya mrpkn suatu kegiatan penelitian shg digunakan metode penyusunan NA yg berbasiskan metode penelitian hukum/penelitian lain. Penelitian hukum dpt dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dgn penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa PUU, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya.

o Metode (Lanjutan)

o Metode yuridis normative dpt dilengkapi dgn wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. o Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dgn penelitian normatif atau penelaahan thdp PUU (normatif) yg dilanjutkan dgn observasi yg mendalam serta penyebarluasan kuesioner utk mendapatkan data faktor non hukum yg terkait dan yg berpengaruh terhadap PUU yg diteliti.

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Bab ini memuat uraian mengenai materi yg bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, & ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dlm suatu UU, PERDA Provinsi, atau PERDA Kabupaten/Kota. Bab ini dpt diuraikan dlm beberapa sub bab sbb : a)Kajian teoretis. b)Kajian terhadap asas/prinsip yg terkait dgn penyusunan norma. Analisis thdp penentuan asasasas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dgn PUU yg akan dibuat, yg berasal dari hasil penelitian.

Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut : (lanjutan)

c) Kajian terhadap praktik penyelenggaraan,

kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. baru yang akan diatur dalam UU atau PERDA thdp aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.

d) Kajian terhadap implikasi penerapan sistem

BAB III : EVALUASI DAN ANALISIS PUU TERKAIT

Memuat hasil kajian thdp PUU terkait yg memuat kondisi hukum yg ada, keterkaitan UU dan PERDA baru dgn PUU yg lain; Harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta Status dari PUU yg ada, termasuk PUU yg dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta PUU yg masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dgn UU atau Perda yg baru.

BAB III : EVALUASI DAN ANALISIS PUU TERKAIT

Kajian thdp PUU ini dimaksudkan utk mengetahui

kondisi hukum atau PUU yg mengatur mengenai substansi atau materi yg akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari UU atau PERDA yg baru. Analisis ini dpt menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi PUU yg ada serta posisi dari UU dan PERDA utk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan UU, PERDA Provinsi, atau PERDA kabupaten/kota yang akan dibentuk.

BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

1.

Landasan Filosofis

Landasan filosofis mrpk pertimbangan atau alasan yg menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yg meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yg bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD RI 1945.

BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

2.

Landasan Sosiologis.
Landasan sosiologis mrpk pertimbangan atau

alasan yg menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dlm berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

3.

Landasan Yuridis. Pertimbangan/alasan yg menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk utk mengatasi permasalahan hukum/mengisi kekosongan hukum dgn mempertimbangkan aturan yg telah ada, yg akan diubah, atau yg akan dicabut guna menjamin kepastian hukum & rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yg berkaitan dgn substansi/materi yg diatur sehingga perlu dibentuk Per-UU-an yg baru. Bbrp persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yg sudah ketinggalan, peraturan yg tdk harmonis/tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari UU sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada ttpi tidak memadai/peraturannya memang sama sekali belum ada.

BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UU, PERDA PROVINSI, /PERDA KABUPATEN/KOTA

NA akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup

materi muatan RUU, RAPERDA Provinsi, atau RAPERDA Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yg akan diwujudkan, arah & jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pd ulasan yg telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Ruang lingkup materi pd dasarnya mencakup: ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa; materi yang akan diatur; ketentuan sanksi; dan ketentuan peralihan.

BAB VI PENUTUP

Bab penutup terdiri atas sub bab simpulan dan saran.


1. Simpulan

berkaitan dgn praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, & asas yg telah diuraikan dalam bab sebelumnya. 2. Saran Saran memuat antara lain: a) Perlunya pemilahan substansi NA dlm suatu PUU/ PUU di bawahnya. b) Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan RUU/RAPERDA dalam Proleknas/Prolegda. c) Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan NA lebih lanjut.

Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yg

BAB VII DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundangundangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.
BAB VIII LAMPIRAN Rancangan Peraturan Perundang-undangan

Kerangka Peraturan Perundang-Undangan


1. 2. 3. 4. 5. 6.

Judul Pembukaan Batang Tubuh Penutup Penjelasan Lampiran

1. JUDUL
Judul peraturan perundang-undangan memuat

keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan perundang-undangan. Nama peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan.

JUDUL
Contoh nama peraturan perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu) kata : Paten; Yayasan; Ketenagalistrikan. Contoh nama peraturan perundang-undangan yang menggunakan frasa : Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; Pajak Daerah dan Restribusi Daerah; Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

3)Judul peraturan perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan ditengah marjin tanpa diakhiri tanda baca.
Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM
PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM

Pada nama peraturan perundang-undangan perubahan ditambahkan frasa PERUBAHAN ATAS di depan judul peraturan perundang-undangan yang diubah.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1997 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1989 TENTANG PATEN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ..... NOMOR .... TAHUN ..... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR .... TAHUN ..... TENTANG ...............

Bagi peraturan perundang-undangan yang telah diubah lebih dari satu kali, diantara kata PERUBAHAN dan kata ATAS disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan-perubahan sebelumnya.
Contoh :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...... TAHUN ........ TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR ...... TAHUN ..... TENTANG .....

Pada nama peraturan perundang-undangan pencabutan di depan judul peraturan perundangundangan yang dicabut.
Contoh Undang-undang:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) yang ditetapkan menjadi undang-undang, ditambahkan kata PENETAPAN di depan judul peraturan perundangundangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi UU
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN MENJADI UNDANG-UNDANG

2. PEMBUKAAN
Pembukaan peraturan perundang-undangan terdiri

atas: 1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundangundangan; 3. Konsiderans; 4. Dasar hukum; dan 5. Diktum

Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun bagian pembukaan adalah sbb :
1) Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Pada pembukaan tiap jenis peraturan perundang-undangan

sebelum nama jabatan pembentuk peraturan perundangundangan, dicantumkan frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital, yang diletakkan di tengah marjin. 2) Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan Jabatan pembentuk peraturan perundang-undangan ditulis seluruhnya dgn huruf kapital yg diletakkan ditengah marjin & diakhiri dgn tanda baca koma (,) Contoh jabatan Pembentuk UU : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Contoh jabatan pembentuk PERDA Provinsi : GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

3) Konsiderans
Konsideran diawali dgn kata MENIMBANG, yg memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yg menjadi pertimbangan & alasan pembentukan per-uu-an. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans UU, PERDA Provinsi, PERDA Kabupaten/Kota, memuat unsurunsur filosofis, sosiologis & yuridis yg menjadi pertimbangan & alasan pembentukannya yg penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis dan yuridis.

3) Konsiderans (lanjutan)

Unsur filosofis menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila & Pembukaan UUD 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk utk memenuhi kebutuhan masyarakat dlm berbagai aspek Unsur yuridis menggambarkan bhw peraturan yg dibentuk utk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dg mempertimbangkan aturan yg telah ada, yg akan diubah, atau yg akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Jika konsiderans memuat lebih dari satu

pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sbb :

Contoh konsiderans undang-undang :


Menimbang : a. bahwa ...........................; b. bahwa ...........................; c. bahwa ...........................; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang .....:

Jika konsiderans memuat lebih dari satu

pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sbb : Contoh konsiderans peraturan daerah provinsi :
Menimbang : a. bahwa ...........................; b. bahwa ...........................; c. bahwa ...........................; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang .....:

Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat

satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari UU yg memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah tsb dg menunjuk pasal atau beberapa pasal dari UU yg memerintahkan pembentukannya 2011 tentang Manajemen dan Rakayasa, Analisa Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.

Contoh : Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

Contoh : Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang

Manajemen dan Rakayasa, Analisa Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas.

Menimbang : bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lali lintas dan angkutan jalan, serta untuk melaksanakan ketenatuan Pasal 93, Pasal 102 ayat (3), Pasal 133 ayat (5) dan Pasal 136 ayat (3) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan pemerintah tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisa Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas;

Konsiderans Peraturan Presiden cukup memuat satu

pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang atau Peraturan pemerintah yang memerintahkan pembentukannya. Contoh :
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah.

Contoh : Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang

Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah.

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah;

Konsiderans Peraturan daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yg memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal yang memerintahkan pembentukannya.

Contoh :Peraturan Daerah Kabupaten......Nomor 8 tahun 2010 tentang Hutan Kota


Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota perlu membentuk Peraturan daerah tentang Hutan Kota;

4) Dasar Hukum Dasar hukum diawali dengan kata MENGINGAT, yang memuat pertama, dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan, dan kedua, peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika materi yang diatur dalam Undang-Undang yang akan dibentuk merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal tersebut dicantumkan sebagai dasar hukum.

Contoh :
Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR)
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman)

Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden)


Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian)

Dasar hukum pembentukan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UndangUndang menjadi Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tenang pencabutan Peraturan pemerintah Pengganti UndangUndang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Peraturan pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dasar hukum pembentukan Peraturan presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.

Jika terdapat peraturan perundang-undangan di bawah UUD

1945 yang memerintahkan langsung pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan perundang-undangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum.

Contoh :
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846);
(Contoh ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun

2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik).

5) Diktum
Diktum terdiri atas :

1) kata memutuskan; 2) kata menetapkan; 3) jenis dan nama peraturan perundangundangan. Kata MEMUTUSKAN ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi diantara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:) serta diletakkan di tengah marjin.

Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan frasa Dengan Persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin

Contoh Undang-Undang :
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Pada Peraturan Daerah, sebelum kata memutuskan dicantumkan frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH .....(nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ....(nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin.

Contoh Peraturan Daerah :


Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA TENGAH dan GUBERNUR JAWA TENGAH MEMUTUSKAN :

Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital & diakhiri dengan tanda baca titik dua. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata menetapkan tanpa frasa Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.

Contoh :
Menetapkan: MEMUTUSKAN : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN.

3. BATANG TUBUH
Batang tubuh peraturan perundang-undangan

memuat semua materi muatan peraturan perundangundangan yg dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: Ketentuan Umum; Materi Pokok yang diatur; Ketentuan Pidana (jika diperlukan); Ketentuan Peralihan (jika diperlukan); Ketentuan Penutup.

1) KETENTUAN UMUM
Ketentuan umum diletakkan dalam satu bab. Jika dalam peraturan perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal. Contoh:
BAB I KETENTUAN UMUM

Ketentuan umum dpt memuat lebih dari satu pasal. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undangundang berbunyi :
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

Ketentuan umum berisi :


1. batasan pengertian atau definisi; 2. singkatan atau akronim yg dituangkan

dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau 3. hal-hal lain yg bersifat umum yg berlaku bagi pasal atau bbrp pasal berikutnya antara lain ketentuan yg mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

Contoh batasan pengertian:


Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika.

Contoh definisi:
Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

Contoh singkatan :
Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat

BPK adalah lembaga Negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungajwaban keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang

selanjutnya disingkat SPIP adalah system pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lingkungan Pemerintah Kota Dumai

Contoh akronim :
Asuransi kesehatan yang selanjutnya disebut askes

adalah . Orang dengan HIV/AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah

2) MATERI POKOK YANG DIATUR

Materi Pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab Ketentuan Umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.

3) KETENTUAN PIDANA (JIKA DIPERLUKAN)


Ketentuan pidana memuat rumusan yg menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yg berisi norma larangan/norma perintah. Dlm merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asasasas umum ketentuan pidana yg terdapat dalam Buku Kesatu KUHP, krn ketentuan dlm Buku Kesatu berlaku jg bagi perbuatan yg dpt dipidana menurut peraturan per-uu-an lain, kecuali jika oleh UU ditentukan lain (Pasal 103 KUHP). Ketentuan pidana ditempatkan dlm bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur /sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam UU, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota.

Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari

ketentuan pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang.

Contoh :
Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000, 00 (seratus ribu rupiah).

Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek

tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negerai, saksi.

Contoh : Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


Pasal 143 Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (Enam Ratus Juta Rupiah).

4. KETENTUAN PERALIHAN (JIKA DIPERLUKAN):


Ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan

tindakan hukum atau hubungan hukum yg sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yg lama thdp peraturan perundang-undangan yg baru, yg bertujuan untuk : Menghindari terjadinya kekosongan hukum; Menjamin kepastian hukum; Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yg terkena dampak perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan; Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Contoh (dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun

2007 tentang Penanaman Modal :


Pasal 35 Perjanjian internasional, bail bilateral, regional maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh pemerintah Indonesia sebelum undangundang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut.

5. KETENTUAN PENUTUP
Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir.

Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan dalam pasal atau bbrp pasal terakhir;. Umumnya ketentuan penutup memuat mengenai :
Penunjukkan organ atau alat kelengkapan yg

melaksanakan peraturan perundang-undangan; Nama singkat peraturan perundang-undangan; Status peraturan perundang-undangan yg sudah ada; Saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan.

Jika materi muatan dalam PUU yg baru menyebabkan

perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam PUU yg lama, dalam PUU baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan PUU. Rumusan pencabutan PUU diawali dengan frasa pada saat ..... (jenis peraturan perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yg dilakukan dgn PUU pencabutan tersendiri. Pd dasarnya PUU mulai berlaku pd saat PUU tsb diundangkan.
Contoh :
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

4. PENUTUP
Penutup merupakan bagian akhir peraturan

perundang-undangan yang memuat :

Rumusan perintah pengundangan dan penempatan peraturan perundang-undangan dalam lembaran negara republik Indonesia, Berita negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau berita Daerah Kabupaten/Kota; Penandatanganan pengesahan/penetapan peraturan perundang-undangan; Pengundangan atau penetapan peraturan perundangundangan; Akhir bagian penutup.

Rumusan perintah pengundangan dan penempatan

peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi:


Contoh :

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan .... (jenis peraturan perundangundangan) ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Rumusan perintah pengundangan dan

penempatan peraturan perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi : Contoh :
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan .... (jenis peraturan perundangundangan) ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Rumusan perintah pengundangan dan penempatan

Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi: Contoh Peraturan Daerah Provinsi:

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Penandatanganan pengesahan atau penetapan

peraturan perundang-undangan memuat : a) Tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b) Nama jabatan; c) Tanda tangan pejabat; d) Nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan dan nomor induk pegawai

Rumusan tempat & tggl pengesahan/penetapan

diletakkan disebelah kanan Nama jabatan & nama pejabat ditulis dgn huruf kapital. Pd akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Untuk pengesahan : Contoh : Disahkan di Jakarta Pada tanggal 22 Juli 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Tanda tangan

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Untuk penetapan : Contoh : Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 22 Juli 2011

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Pengundangan peraturan perundang-undangan

memuat :

a) Tempat dan tanggal pengundangan; b) Nama jabatan yang berwenang mengundangkan; c) Tanda tangan; d) Nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat. Golongan, nomor induk pegawai

Tempat tanggal pengundangan peraturan perundang-

undangan diletakkan disebelah kiri (di bawah penandatangan pengesahan atau penetapan) Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir jabatan diberi tanda baca koma. Contoh :
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 Juli 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Tanda tangan PATRIALIS AKBAR

Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden

tidak menandatangani Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani Rancangan Peraturan daerah yang telah disetujui bersama antara DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.

Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran

Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota.

Penulisan frasa Lembaran Negara Republik Indonesia

atau lembaran Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

Contoh :

..... NOMOR ..... Contoh : LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA).... TAHUN ...... NOMOR ..........

5. PENJELASAN
Setiap UU, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota diberi

penjelasan. Peraturan Perundang-undangan di bawah UU (selain Perda Provinsi & Kabupaten/Kota) dpt diberi penjelasan jika diperlukan. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Penjelasan hanya memuat uraian thdp kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dlm norma yg dpt disertai dgn contoh. Penjelasan sbg sarana utk memperjelas norma dlm batang tubuh tdk boleh mengakibatkan tjdnya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.

Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan

Perundang-undangan yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf kapital. Contoh: PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA

Rincian penjelasan umum dan penjelasan

pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital. Contoh:
I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL

Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis

frasa cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan. Contoh yang tidak tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas. Seharusnya: Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas.

6. LAMPIRAN
Dlm hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan

lampiran, hal tsb dinyatakan dlm batang tubuh bhw lampiran dimaksud merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan. Lampiran dpt memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa. Dlm hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dgn menggunakan angka romawi. Contoh:
LAMPIRAN I LAMPIRAN II

Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital

yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri. Contoh:
LAMPIRAN I UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan

nama dan tanda tangan pejabat yg mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan ditulis dgn huruf kapital yg diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri dgn tanda baca koma setelah nama pejabat yg mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundangundangan. Contoh:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Tahapan/Proses Penyusunan Perundang-undangan


1. Tahap Pra Rancangan

a) riset/penelitian, survei hasil survei, riset/penelitian tersebut menghasilkan sebuah kajian ilmiah berupa naskah akademik (mengandung kaidah ilmiah) b) Amanat dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi

2.

Rancangan Harus memperhatikan tentang : a)Asas ( formil dan materiil); b)Dasar filosofis, yuridis, sosiologis Hasil kajian ilmiah (Naskah Akademik) diolah oleh Departemen tekhnis yg diharmonisasi oleh departemen yg membidangi (Dept.Hukum dan HAM utk tingkat Pusat); (Biro Hukum utk tingkat provinsi) dan Bagian Hukum utk tingkat Kabupaten/Kota Pada akhirnya menghasilkan suatu draft RUU/Raperda Provinsi/Raperda Kabupaten/Kota

3. Pembahasan
eksekutif membahas draft RUU (mengharmonisasi substansi, formulasi materi draft RUU) Selanjutnya eksekutif mengirimkan surat ke legislatif (DPR/DPRD) untuk memohon kepada dewan untuk melakukan pembahasan

Pd tingkat pembahasan dg legislatif ada 2 tingkatan:

1.Pidato penghantaran oleh eksekutif (Presiden Pusat;

Gubernur/Walikota/Bupati Provinsi/kota/kabupaten) ; dlm sidang paripurna (yang memenuhi kuorum); 2.Pidato penghantaran kemudian ditanggapi oleh masing-masing fraksi di dewan dg cara Pemandangan Umum Fraksi Isinya disesuaikan, pemandangan umum fraksi thdp pidato penghantaran eksekutif 3.Jawaban Eksekutif ats pemandangan umum fraksi Argumentasi eksekutif thdp pemandangan umum fraksi 4. Pembahasan (formil dan materiil) biasanya dibahas dlm tingkatan pansus, komisi atau panja

paripurna; laporan pembahasan tingkat 1 Tingkat 2 : laporan pembahasan tingkat II a) Oleh ketua pansus; ketua komisi; ketua panja b) Pendapat akhir fraksi 1) Apakah entitas baru akan lahir /tidak; melalui musyawarah mufakat (aklamasi) 2) Jika salah 1 fraksi ada yang tidak setuju ditempuh dengan cara voting dengan ketentuan 50+1 = disetujui; 50+1 = tidak setuju maka proses dibatalkan 4. Proses persetujuan / penandantanganan Otentifikasi; pengesahan/penetapan; diundangkan di lembaran negara/tambahan lembaga negara 5. Pelaksanaan oleh Presiden (eksekutif) 6. Evaluasi, apakah peraturan PUU bisa dilaksanakan

Hasilnya berupa laporan pembahasan untuk bahan sidang

4. Proses persetujuan / penandantanganan

Otentifikasi; pengesahan/penetapan; diundangkan di lembaran negara/tambahan lembaga negara

5. Pelaksanaan oleh Presiden (eksekutif) 6. Evaluasi, apakah peraturan PUU bisa dilaksanakan

Anda mungkin juga menyukai