Anda di halaman 1dari 3

Jolenan Tradisi Mengandung Filosofi Tinggi

Berbagai cara digunakan masyarakat dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena telah memberikan rezeki dan keselamatan. Biasanya kegiatan tersebut dilakukan dengan kegiatan ritual, dalam waktu yang telah ditentukan. Namanya pun bermacammacam, ada yang disebut selamatan desa, merti desa, sedekah bumi, dan lain-lain. Demikian juga yang dilakukan masyarakat Desa Somongari Kecamatan Kaligesing menyelenggarakan ritual merti desa dengan nama Jolenan. Ribuan orang datang dari berbagai tempat, untuk menyaksikan perayaan, yang digelar setiap dua tahun sekali. Pada perayaan kali ini, hadir Wakil Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain, beserta unsur pimpinan daerah. Jolenan merupakan sebuah magnet bagi masyarakat untuk hadir menyaksikan. Ketua panitia Sungkono, menyatakan kegiatan tersebut, sebagai upaya untuk mengangkat Desa Somongari sebagai desa wisata. Wakil Bupati Mahsun Zain sendiri mengaku, dari berbagai kegiatan ritual desa, Jolenan-lah yang terbesar dan paling meriah di Kabupaten Purworejo. Sebenarnya makna apa yang terkandung dalam ritual, yang telah berjalan puluhan bahkan ratusan tahun silam. KIPRAH, berupaya menelusuri, dan meminta keterangan dari dua warga Desa Somongari. Warno Wasito (73), warga Dusun Sijanur Rt/Rw 2/4 Desa Somongari mengungkapkan bahwa, ritual Jolenan pada dasarnya sebagai ungkapan rasa sukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rezeki berlimpah, dengan memberikan panen pada tanaman yang hidup di desanya. Seraya memohon keselamatan dari mara bahaya, serta rezeki yang lebih di tahun mendatang. Jolenan, menurutnya, berasal dari kata dasar jolen, kependekan dari kata aja lalen (bahasa jawa), atau jangan lupa. Kalimat ini mengandung makna mengingatkan kepada masyarakat Desa Somogari agar tidak lupa terhadap Tuhan pencipta alam, dan para leluhurnya yang telah berusaha mendirikan desanya. Jolenan dirayakan bertepatan pada hari Selasa, pasaran Wage, bulan Sapar, pada penaggalan Jawa, setiap dua tahun sekali. Warno Wasito sendiri, tidak mengetahui mengapa harus hari pasaran tersebut, karena tradisi tersebut telah berjalan ratusan tahun yang lalu. Jolenan diwujudkan dalam bentuk gubungan yang terbuat dari anyaman bambu (ancak) yang ditutup dengan anyaman daun aren muda. Bentuk ini mengandung makna, segi empat dibawah, menggambarkan hubungan sesama manusia di dunia. Kemudian keatas semakin mengerucut, hal ini dimaksudkan semua kegiatan di dunia ini, pada akhirnya menyatu untuk menyembah kepada Tuhan sang pencipta.

Gunungan tersebut berisi nasi tumpeng, tiga ekor ayam panggang, berbagai macam sayur, pisang, beserta lauk. Kemudian bagian luar dihias dengan buah-buahan dan makanan kecil. Berbagai buah penghias merupakan hasil dari panenan masyarakat desa tersebut. Makanan kecil berbahan baku dari beras dan tepung (pati). Hal ini memberikan makna sebagai wujud hasil bumi Desa Somongari. Tiap rukun tetangga (RT) megirimkan dua buah jolen (gunungan), sehingga jumlahnya mencapai 48 buah. Gunungan selanjutnya diarak dari ujung timur hingga ujung barat desa. Hal itu dimaksudkan, agar merata sehingga berkah dari Tuhan yang berupa penenan yang berlipat dapat dinikmati merata di seluruh desa. Gunungan dipikul oleh dua orang dengan menggunakan pakaian keprajuritan. Setelah selesai, dilaksanakan kenduri agung, makan tumpeng beserta ugarampenya bersama-sama masyarakat yang hadir, di halaman balai desa. Iring-irngan jolenan, disertai bebagai kesenian yang ada di desa tersebut, sepeti incling, warokan, kuda kepang, dolalak, rebana dan lain-lain. Perayaan jolenan juga sebagai ungkapan terima kasih kepada para leluhur yang telah bersusah payah mendirikan desa. Dalam cerita rakyat yang diyakini masyarakat Desa Somongari, pendiri desanya bernama Lukajaya. Ia berasal dari Loano, menantu dari simbah Beluk atau Singonegoro. Waktu itu, entah tahun berapa, terjadi pagebluk, banyak musibah. Untuk mengatasi pagebluk itu, Singanegara, memerintahkan menantunya, Lukajaya, untuk memerintah desa tersebut, yang kini dikenal dengan Desa Somongari. Disamping itu masih ada satu tokoh Desa Somongari yang saat ini masih menjadi panutan, yaitu Simbah Kedana-Kedini. Orang tersebut, konon berasal dari Yogyakarta Hadiningrat yang menetap dan meninggal di Desa Somongari. Beliau dikenal sebagai budayawan, senang dengan berbagai kesenian daerah. Makanya dalam perayaan tersebut diwujudkan dengan menampilkan seluruh kesenian yang ada. Bahkan kepercayaan yang ada di masyarakat, setiap grup kesenian yang akan pentas, telebih dahulu mengunjungi makamnya. Hal itu dimaksudkan untuk mohon ijin, agar saat melaksanakan pentas selamat dari marabahaya. Hal senada disampikan H Paryono (70), warga Dusun Krajan RT/RW 02/01, Desa Somangari, bahwa tradisi Jolenan telah berjalan turun temurun entah sejak kapan, ia sendiri tidak tahu. Tradisi ini berdasarkan kepercayaan masyarakat, sebagai ritual ngebani tanaman yang tumbuh di desanya. Diharapkan setelah di kebani, tanaman akan tumbuh subur dan berbuah lebat. Pada mulanya kegiatan tersebut sebagai sarana ngebani pohon maggis dan durian, dimana kedua jenis tananan buah tesebut merupakan penghasil utama Desa Somongari. Menurut ceritera

yang ada, tanaman manggis dan durian, sudah ditanam sejak tahun 1700 an. Dengan demikian ritual Jolenan diperkirakan diselenggarakan tidak jauh dari tahun tersebut. Dalam perayaan disamping menampilkan kesenian yang ada, masih mendatangkan kesenian Warokan dari Desa Jatirejo Kecamatan Bagelen, yang dikenal dengan bende-nya. Grup kesenian itu, menurutnya, awalnya milik warga Desa Somongari, namun entah kapan dan bagaimana, saat ini menjadi milik warga Desa Jatirejo. Setelah musyawarah, setiap perayaan kesenian tersebut dipinjam untuk memeriahkan. Berdasarkan keyakinan masyarakat, masih ada satu kesenian lagi yang tidak boleh ditinggalkan dalam ritual desa, yaitu pagelaran Tayub. Penampilan kesenian tersebut menurut kepercayaan masyarakat harus ditampilkan, bila tidak, akan terjadi mara bahaya. Pernah pada suatu saat perayaan, tidak nanggap tayub, sebagai gantinya pagelaran wayang kulit. Ternyata entah itu hanya kebetulan atau bagaimana, saat iring-iringan gunungan terjadi musibah, katanya. Mengingat kesenian tersebut di desanya bahkan di Purworejo tidak ada, maka pada peringatan kali ini mendatangkan dari Wonosari Gunung Kidul. Untuk mendukung kegiatan, khususnya dari segi pembiayaan, masyarakat Desa Somongari di perantauan yang tergabung dalam paguyuban masyarakat Simongari (Pakis), selalu memberikan bantuan. Berdasarkan laporan ketua peguyuban, setidaknya ada 2000 orang Somangari yang berada di berbagai kota besar di Indonesia. Dari jumlah itu, terbanyak di DKI Jakarta dan sekitarnya. Sumber: http://purworejokab.go.id/index2.php?option=com_content&task=view&id=684&pop=1&page=0& Itemid=1

Anda mungkin juga menyukai