Anda di halaman 1dari 7

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

IDENTIFIKASI NERACA ENERGI UNTUK DESKRIPSI POTENSI KEKERINGAN DENGAN DATA LANDSAT TM (STUDI KASUS KOTA SEMARANG DAN SEKITARNYA)
Lintang Pindha Maharani 1, M.Rokhis Khomarudin 2, dan Imam Santosa1
Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB Jl. Raya Darmaga Bogor Telp/Fax : +62 251 623850 2 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jalan LAPAN 70 Pekayon Pasar Rebo Jakarta Timur Telp/Fax : +62 21 8710065/+62 21 8710274 email : ayah_ale@yahoo.com
1

Abstrak
Pendugaan kekeringan selama ini sudah banyak dikaji dalam bidang hidrologi maupun meteorology. Dalam beberapa penelitian terdahulu, masih menggunakan informasi dari stasiun cuaca ataupun pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui profil iklim daerah yang dikaji. Keunggulan dari penggunaan data penginderaan jauh ini adalah dapat mengkaji wilayah yang lebih luas. Dengan tampilan spasial yang lebih bagus dan lebih efektif di banding dengan data lapangan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi secara deskriptif potensi kekeringan kota Semarang dan sekitarnya dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh LANDSAT TM dengan metode keseimbangan energi. Hal yang diharapkan dari penelitian ini adalah data penginderaan jauh dapat mengklasifikasikan potensi kekeringan dari masingmasing penutupan lahan, dengan meminimalisasi data lapangan atau data dari stasiun klimatologi. Hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa menentukan potensi kekeringan dengan metode kesetimbangan energi dengan data penginderaan jauh dapat menggambarkan kondisi potensi kekeringan wilayah Semarang dan sekitarnya pada berbagai penutupan lahan. Berdasarkan tampilan spasial yang dihasilkan oleh satelit LANDSAT TM, kota Semarang dan sekitarnya memiliki wilayah non vegetasi lebih luas dibandingkan dengan wilayah yang bervegetasi, hal ini menyebabkan potensi yang cukup besar terjadinya kekeringan. Dalam penelitian ini nilai penggunaan lahan di perkotaan, ataupun daerah industri memiliki nilai bowen ratio yang lebih tinggi dan evaporative fraction yang lebih rendah dibandingkan dengan penutupan lahan yang lain. Dalam perbandingan bowen ratio dengan indeks vegetasi, penggunaan lahan tambak berbanding lurus dan untuk penggunaan lahan bervegetasi maupun perkotaan berbanding terbalik. Berbeda dengan nilai bowen ratio, nilai evaporative fraction untuk penggunaan lahan tambak mempunyai nilai berbanding terbalik dengan nilai indeks vegetasi , sedangkan wilayah perkotaan dan wilayah bervegetasi memiliki nilai berbanding lurus. Antara tanggal 21 Agustus 2002 dan tanggal 6 September 2002 didapatkan hasil bahwa yang mempunyai potensi kekeringan paling tinggi untuk wilayah kota Semarang dan sekitarnya adalah tanggal 6 September 2002. Berdasarkan perbedaan neraca energi, radiasi netto dan evapotranspirasi untuk penggunaan lahan berkarakteristik air dan bervegetasi mempunyai nilai yang cukup tinggi di bandingkan dengan daerah lainnya. Nilai soil heat flux dan sensible heat flux berbanding terbalik dengan nilai radiasi netto ataupun evapotranspirasi. Daerah berkarakteristik air dan bervegetasi mempunyai nilai soil heat flux dan sensible heat flux yang kecil dibandingkan dengan darah perkotaan maupun jalan raya.

Kata kunci : Kekeringan, evaporative fraction, bowen ratio

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Semarang merupakan salah satu kota di wilayah pantai utara Jawa yang mempunyai perkembangan industri dan pemukiman yang cukup besar, hal ini memacu perubahan penggunaan lahan secara

cepat. Perubahan lahan tersebut mempengaruhi cuaca yang ada di kota Semarang dan sekitarnya, terutama iklim mikro dan tingkat kenyamanan wilayah tersebut. Neraca energi di dekat permukaan merupakan iklim mikro penentu utama dari pembentukan cuaca ataupun iklim suatu wilayah, hal ini juga
MBA - 114

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

merupakan kesetimbangan dinamis antara masukan energi dari matahari dengan kehilangan energi oleh permukaan setelah melalui proses-proses yang kompleks. Dengan metode neraca energi, akan diketahui profil iklim dari suatu daerah. Dalam mengidentifikasi potensi kekeringan dengan menggunakan komponen neraca energi dapat diketahui dengan menggunakan kosep bowen ratio maupun evaporative fraction yang dapat dibandingkan dengan nilai indeks vegetasi di wilayah tersebut. Dengan teknologi citra satelit LANDSAT TM yang dapat mencakup 180 x 180 km2 dengan tingkat ketelitian 30 m dalam satu foto, akan diidentifikasi lahan yang berpotensi kekeringan dengan meminimalisasi data lapangan dan tampilan spasial yang cukup bagus. Hal yang diharapkan dari penelitian ini adalah data penginderaan jauh LANDSAT TM dapat mengklasifikasikan potensi kekeringan dari masing-masing penutupan lahan, dengan meminimalisasi data lapangan atau data dari stasiun klimatologi. 1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi potensi kekeringan kota Semarang dan sekitarnya dengan menggunakan konsep bowen ratio () dan evaporative fraction (EF) dan membandingkannya dengan nilai indeks vegetasi. 2. Hasil perhitungan potensi kekeringan ini digunakan untuk mengetahui profil potensi kekeringan dari masing-masing penutupan lahan di kota Semarang dan sekitarnya dengan komponen neraca energi. 2. METODOLOGI PENELITIAN

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software Microsoft Office, Er-Mapper 6.4, Arcview 3.2, Minitab for windows v.14. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah : a. Data angin, suhu udara, dan lama penyinaran harian wilayah Semarang tahun 2002. b. Data satelit LANDSAT tanggal 21 Agustus c. Data DEM ketinggian Semarang 2.3. Metode 2.3.1. Neraca Energi 2.3.1.1.Perhitungan Albedo() Persamaan untuk menghitung albedo dari data LANDSAT TM menurut USGS (2002) adalah :
i = .L i d 2
ESUN cos

..................... (1)

Keterangan : i = Albedo setiap kanal L = spektral radiance tiap kanal d = Jarak astronomi matahari ke bumi (dalam unit astronomi nilainya mendekati 1) ESUN = Rata-rata nilai solar spectral Irradiance = Sudut zenit matahari 2.3.1.2.Perhitungan Suhu Permukaan (Ts) Pada data satelit LANDSAT TM, untuk mengetahui nilai suhu permukaan, sebelumnya harus diketahui dulu nilai suhu kecerahan dengan persamaan sebagai berikut (USGS,2002) ;
T (K ) =

2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN),Pekayon Jakarta pada bulan April 2005 hingga bulan Juli 2005 dengan studi kasus di kota Semarang dan sekitarnya.

............. (2) K2 K1 ln L + 1

Keterangan : T(K) = Suhu kecerahan (Kelvin) K1 = 666,09 W m-2 sr-1 m-1 K2 = 1282.71 Kelvin L = (17,04/255)DN ( Radiance (W m-2 sr-1 m-1)) Sedangkan persamaan suhu permukaan adalah sebagai berikut ;
MBA - 115

2.2. Bahan dan Alat

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

(4,90x10-9 MJ m-2 hari-1 K-4)


Ts = T (K ) 1+

T ( K )

........... (3)
ln

Keterangan : = Panjang gelombang radiasi emisi (11,5 m) = 1,438 x 10-2 m K = Nilai emisivitas ; 0,95 untuk vegetasi, 0,92 untuk non vegetasi dan 0,98 untuk perairan (Nichol, 1994 dalam Weng,Q ,2001). 2.3.1.3. Menghitung Radiasi Netto Rumusan metode dari konsep neraca energi sehingga diperoleh nilai evapotranspirasi adalah sebagai berikut (FAO, 1998) . Rn Rn Rs R10 RL = H + G + E + F ........................(4) =(1-)Rs+R1- (Ts +273.16)4 ......(5) = (0.75 + 2 10-5z)Ra .......................(6) = sin45 x Rmax ...............................(7) =a(Ta+273.16)40.7(1+0.17N2)....(8)

2.3.1.4. Menghitung Energi Untuk Memanaskan Udara (Sensible heat flux (H)), Memanaskan Permukaan tanah (Soil heat flux (G)) dan Evapotranspirasi (E) H =
900 .U2 Ta + 273

(Ts Ta) ............... (9)

= 0,665x10-3 P P =101,3(293-0,0065z)/293)5.26
G Ts = 0.0038 + 0.0074 2 1 0.98 NDVI 4 Rn

)(

).(10)

E = Rn G H ... (11) Keterangan : = Tetapan psikrometrik (kPaoC-1) P = Tekanan atmosfer (k Pa) Z = Ketinggian tempat (m) U2 = Kecepatan angin ketinggian 2 meter (ms-1) , Menggunakan data lapangan Ts = Suhu permukaan (oC) (diturunkan dari data satelit) = Suhu udara (oC), menggunakan data lapangan E = evapotranspirasi (Wm-2) NDVI = Normalized Difference Vegetation Index (diturunkan dari data satelit) Ta 2.3.2. Indeks Vegetasi Menurut (Nielsen,TT, et al, 2003) bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
NDVI = (CH 4 CH 3) ............... (12) (CH 4 + CH 3)
CH 4 CH 3 .... CH 4 + CH 3 + 0,5

Keterangan : Rn = Radiasi netto (Wm-2) Rs = Radiasi gelombang pendek yang datang (Wm-2) Ra = Radiasi ekstraterestrial (Wm2) merupakan fungsi dari letak lintang, sudut waktu, sudut zenit, dan sudut deklinasi surya yang tergantung dari tanggal. RL = radiasi gelombang panjang yang datang (Wm-2) R10 = radiasi pada pukul 10.00 waktu setempat (Wm-2) H = Perpindahan panas terasa (sensible heat flux) (Wm-2) Ts = Suhu Permukaan (oC), diturunkan dari data satelit. Ta = Suhu udara (oC), dari data sekunder G = Perpindahan panas tanah (soil heat flux) (Wm-2) = albedo permukaan (diturunkan dari data satelit) = emisivitas permukaan = Tetapan Stefan Bolztman 2.3.3.Identifikasi Kekeringan dengan Keseimbangan Energi

SAVI = (1 + 0,5)

(13)

Secara teoritis nilai indeks vegetasi berkisar antara (-1) sampai (+1), tetapi kisaran sebenarnya menggambarkan kehijauan vegetasi adalah antara 0.1 sampai 0.6. (Murai dan Honda, 1991 dalam Trinahwati, 1998).

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

MBA - 116

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

Nilai EF semakin rendah maka potensi kekeringan pada daerah yang diteliti akan semakin tinggi. Persamaannya adalah sebagai berikut ; EF =
E
Rn G

Gambar 2. Bowen ratio di kota Semarang dan Sekitarnya

... (14)

Parameter lain yang dapat mengidentifikasi kekeringan adalah menggunakan konsep bowen ratio (). Berbeda dengan evaporative fraction (EF), jika nilai bowen ratio makin tinggi maka lahan tersebut memiliki potensi kekeringan yang semakin tinggi pula. Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai bowen ratio adalah sebagai berikut : = H ... (15) E Secara lengkap urutan metode penelitian disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 3. Evaporative Fraction di kota Semarang dan Sekitarnya

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Identifikasi Potensi Kekeringan Potensi kekeringan kota Semarang dan sekitarnya dapat diketahui berdasarkan indeks kehijauan. Nilai indeks kehijauan akan dibandingkan dengan bowen ratio dan evaporative fraction. Gambar 2 dan Gambar 3 merupakan hasil perhitungan bowen ratio dan evaporative fraction di kota Semarang dan Sekitarnya.

Bowen ratio dan evaporative fraction merupakan suatu fungsi kebalikan, dimana jika bowen ratio tinggi maka evaporative fractionnya rendah, potensi kekeringan akan semakin tinggi. Pada Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa di wilayah perkotaan (pemukiman) dan industri memiliki nilai bowen ratio yang tinggi dan evaporative fraction rendah, hal ini mengungkapkan bahwa potensi kekeringan di wilayah perkotaan (pemukiman) dan industri adalah tinggi. Jika dihubungkan dengan indek kehijauan NDVI, nilai bowen ratio di perkotaan berbanding terbalik dengan NDVI, sedangkan evaporative fraction berbanding lurus. Gambar 4 dan Gambar 5 menjelaskan kondisi tersebut. Hasil ini menjelaskan bahwa neraca energi dapat menjelaskan mengenai potensi kekeringan di wilayah perkotaan.

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

MBA - 117

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

Data Satelit (LANDSAT TM)

Data BMG

NDVI

Ts

Ta

U2

Rs

Radiasi Netto (Rn)


Rn =(1-)Rs+R1- (Ts +273.16)4

H =

Sensible Heat flux (H) 900 .U2 (Ts Ta) Ta + 273

Soil Heat Flux (G)


Ts G = 0.0038 + 0.0074 2 1 0.98 NDVI 4

)(

) Rn

Energi Evapotranspirasi E = Rn G H

Evaporative Fraction (EF) Bowen Ratio ()

Gambar 1. Urutan Metode Penelitian

3.2. Sensible Heat Flux (H) dan Pemanasan Udara Energi yang digunakan untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara disebut sebagai sensible heat flux (H). Energi ini pada akhirnya akan menjadi penentu peningkatan suhu udara. Pada kajian ini telah dihitung nilai H untuk beberapa penggunaan lahan dengan data Satelit Landsat TM. Gambar 5 merupakan kondisi spasial sensible heat flux (H) di kota Semarang dan Sekitarnya. Secara spasial terlihat bahwa

nilai sensible heat flux (H) di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di penggunaan lahan lainnya. Kondisi ini, karena di wilayah perkotaan lebih banyak permukaan yang memindahkan panas, seperti bangunan bertingkat dan gedung tinggi, sehingga lebih banyak energi sensible heat flux (H). Suhu permukaan yang sangat tinggi juga mempengaruhi hal ini, karena perbedaan dengan suhu udaranya akan lebih tinggi. Pernyataan ini diperkuat dengan boxplot pada Gambar 6.

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

MBA - 118

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

1 0.8 0.6 Bowen 0.4 0.2 0 -0.1 -0.05 -0.2 NDVI 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3

4. KESIMPULAN Berdasar nilai bowen ratio () dan evaporative fraction (EF) yang dibandingakan dengan nilai indeks vegetasi, di penggunaan lahan perkotaan mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan bervegetasi dan tambak, sehingga di perkotaan mempunyai potensi kekeringan yang tinggi di bandingkan dengan penutupan lahan yang lain. Menurut perbedaan neraca energi, radiasi netto dan evapotranspirasi di wilayah penggunaan lahan perkotaan (perumahan dan jalan raya), dan daerah industri mempunyai nilai yang lebih rendah di bandingkan dengan penutupan lahan berkarakteristik air. Namun nilai soil heat flux (G), dan sensible heat flux (H) untuk wilayah perkotan, dan daerah industri kebalikan dari nilai evapotranspirasi dan radiasi netto. Di penggunaan lahan perumahan dan jalan raya menghasilkan nilai soil heat flux dan sensible heat flux paling besar diantara yang lain. Hal ini mengungkapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan lahan dari vegetasi menjadi pemukiman (perkotaan) akan meningkatan energi untuk memanaskan udara dan menurunkan evapotranspirasi. Hal ini mengakibatkan suhu udara di wilayah perkotaan akan meningkat, demikian juga dengan kelembaban udara akan menurun, tingkat kekeringan akan ting, sehingga kenyamanan akan menjadi lebih rendah. Menjaga keseimbangan antara vegetasi dan bangunan di wilayah perkotaan perlu dilakukan, sehingga akan menjadikan kota lebih nyaman.

y = 3.7226x2 - 1.8926x + 0.3729 R2 = 0.3806

Gambar 3. Bowen ratio dengan NDVI


1.2 1 0.8 EF 0.6 0.4 0.2 0 -0.1 -0.05 0 0.05 0.1 NDVI 0.15 0.2 0.25 0.3
y = -2.1947x2 + 1.0818x + 0.746 R2 = 0.4233

Gambar 4. Evaporative fraction dengan NDVI

Gambar 5. Sensible heat flux (H) di Semarang dan Sekitarnya


150

5. DAFTAR PUSTAKA
Food And Agriculture Organization (FAO), 1998. Crop Evapotranspiration-Guidelines for Computing Crop Water RequirementsFAO Irrigation and Drainage paper 56. http://www.fao.org/docrep/X0490E/x0490e07.ht m# radiation. [1 Maret 2005] Khomarudin MR, 2005. Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. Tesis. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB, Bogor.

Sensible heat flux (Wm-2)

100 50 0

-50 -100

Keterangan : 1. Air (laut) 2. Tambak 3. Daerah industri 4. Jalan raya 5. Perumahan 6. Sawah
1 2 3 4 5 penutupan Lahan 6 7

Gambar 6. Sensible heat flux (H) di Penggunaan Lahan

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

MBA - 119

Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa

Nielsen TT, et al, 2003. Documentation and Evaluation of the CSE NOAA-AVHRR Data Set. Di dalam: Geografisk Tidsskrift, Danish Journal of Geography. Denmark. 103 (1) :125-135. Oke, TR, 1978. Boundary Layer Climates. A Halsted Press Book John Wiley & Sons. New York U.S. Geological Survey (USGS), 2002. Landsat 7 Science Data Users Handbook. United States Of America.http://ltpwww.gsfc.nasa.gov/IAS/handbo ok/handbook_htmls [11 Juni 2005]

_________, 2003. Landsat: A Global LandObserving Program. USGS Fact Sheet 023-03. US. Vogt JV ,et al, 1998. Drought Monitoring From Space Using Empirical Indices And Physical Indicators. Space Applications Institute joint Research Centre of the European Commission. TP 441, 21020 Ispra (Va) Italy. Weng Q, 2001. A Remote SensingGIS Evaluation Of Urban Expansion And Its Impact On Surface Temperature In The Zhujiang Delta, China. Int. J. Remote Sensing 2001 Vol 22 No 10: 19992014. Department of Geography, University of Alabama, Tuscaloosa, AL 35487, USA.

Gedung Rektorat lt. 3 Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 15 September 2005

MBA - 120

Anda mungkin juga menyukai