Anda di halaman 1dari 16

BAB 1. PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Ketahanan Pangan telah ditetapkan menjadi bahasan wajib bagi pemerintahan pusat, propinsi dan kabupaten atau kota yang semakin menegaskan pentingnya pembangunan ketahanan pangan secara lebih serius. Krisis pangan dan finansial dunia pada tahun 2008 juga semakin menegaskan pentingnya penguatan ketahanan pangan di Indonesia yang berbasis pada kemandirian. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia pada mulanya telah ditegaskan dalam Undang Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, yang secara spesifik mengatur bahwa pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, bergizi, berimbang, aman, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Beberapa hasil pengkajian menunjukan persediaan pangan yang cukup secara nasional terbukti tidak menjamin perwujudan ketahanan pangan pada tingkat wilayah (regional), rumah tangga atau individu. Data menunjukan bahwa jumlah proporsi rumah tangga yang kekurangan zat gizi disetiap

provinsi

masih

tinggi.

Berkaitan

dengan

hal

ini,

penganekaragaman pangan menjadi salah satu pilar utama untuk mewujudkan ketahanan pangan. Dalam segi fisiologis, untuk dapat hidup aktif, sehat dan produktif manusia memerlukan lebih dari 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan. Berbagai penelitian sudah

membuktikan bahwa tidak ada satupun jenis pangan yang lengkap gizinya kecuali ASI. Oleh karena itu diperukan upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan yang kokoh dan kuat. Selama ini yang tejadi pada sistem ketahanan pangan kita adalah masih rendahnya tingkat diversifikasi pangan, yang dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang masih

menggantungkan beras sebagai sumber pangan utamanya. Padahal dalam konsep ketahanan pangan, diversifikasi pangan merupakan salah satu syarat untuk mencapai ketahanan pangan yang tangguh. Selain itu, melalui penataan pola konsumsi yang tidak tergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan masyarakat menaikkan dapat pamor menetapkan pangan pangan yang pilihan sendiri, pada

lokal

berujung

peningkatan ketahanan pangan nasional. Selain itu juga pola produksinya akan ikut beragam. Sehingga impor dapat diminimalisir dan dapat menekan timbulnya eksploitasi ekonomi politik oleh negara eksportir.

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Isu Kebijakan Pemerintah tentang Ketahanan Pangan dan Diversifikasi Pangan Kebijakan pemerintah di bidang pangan belum memberi solusi yang signifikan. Keluhan petani terhadap rendahnya harga gabah serta keresahan konsumen tentang tingginya harga beras menjadi salah satu indikator lemahnya kebijakan pangan nasional. Idealnya, kebijakan pangan menguntungkan petani sebagai produsen dan konsumen sebagai pemakai. Menurut Prof. Dr. Mansyur Ramly, kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah sering tidak tepat. Hal ini terbukti dari dilakukannya impor pada saat panen raya, yang seharusnya justru harus ditekan. Apabila impor tersebut dilakukan, maka beras lokal pasti tidak laku karena lebih mahal dari beras impor. Sebaliknya, jika memasuki musim paceklik, pemerintah dalam hal ini Bulog harus melakukan berbagai upaya antisipasi. Salah satunya mengimpor beras untuk persedian pangan nasional. Penurunan produksi padi sebesar 1,7 juta ton (atau sekitar 3,33% pada tahun 1997, membuat masyarakat resah. Pada saat yang bersamaan, anomali iklim El Nino

yang telah menyebabkan turunnya produksi padi, ditambah lagi oleh krisis ekonomi yang menimbulkan kenaikan harga dan kepanikan yang luar biasa. Kedua peristiwa tersebut telah meninggalkan trauma yang cukup mendalam bagi bangsa ini. Hal tersebut tentu sangat mengawatirkan terkait penyediaan pangan yang cukup, merata, dan terjangkau oleh daya beli seluruh masyarakat (Sibuea, 2012). Persoalan beras yang rumit tersebut, perlu adanya upaya untuk melakukan diversifikasi pangan sebagai alternatif. Sehingga anggapan masyarakat dan pemerintah yang selama ini mengklaim beras sebagai bahan pangan satu-satunya, padahal ada banyak bahan pangan lain yang juga memiliki karbohidrat selain beras. Misalnya sagu, ubi jalar, sukun dan bahan pangan lainnya.

2.2 Pengertian dan ruang lingkup ketahanan pangan, diversifikasi, pola konsumsi dan AKG 2.2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan 1. Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin

dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. 2. USAID (1992) Ketahanan pangan adalah kondisi dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan dan hidup yang lebih produktif. Perbedaan mendasar dari dua definisi ketahanan pangan tersebut yaitu pada UU No 7/1996 menekankan pada ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu) pangan. Sedangkan pada definisi USAID menekankan pada konsumsi, individu dan kualitas hidup. 3. FAO (1997) Ketahanan pangan adalah situasi di mana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan di mana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal ini berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas dan akses terhadap pangan-pangan utama.

1. Berdasarkan pengertian dan konsep di atas, beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ketersediaan pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Salah satu unsur tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik (Ariani, 2003). Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh. Akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses dan ketersediaan pangan tersebut merupakan determinan yang esensial dalam ketahanan pangan (Dewan Ketahanan Pangan Indonesia, 2009).

2.2.2 Pengertian dan Ruang Lingkup Diversifikasi Menurut hasil diskusi didapatkan definisi diversifikasi pangan adalah upaya meningkatkan ketahanan pangan melalui penganekaragaman

pangan,

pola

konsumsi

dan

produksi

tanpa

mengabaikan nilai gizi pangan.

2.2.3 Pengertian dan Ruang Lingkup Pola Konsumsi Pola konsumsi pangan adalah susunan, jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud susunan pangan yaitu kandungan yang terdapat pada makanan yang dikonsumsi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan lainlain.

2.2.4 Pengertian dan Ruang Lingkup AKG Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti kehamilan dan menyusui (Kartasapoetra, 2003). Jadi berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa setiap orang memiliki AKG yang berbeda-beda yang dikarenakan oleh beberapa hal.

2.3 Teori-teori terkait Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dan AKG 2.3.1 Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberaa faktor yaitu: 1. Tingkat pendapatan masyarakat Semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat maka pola konsumsinya cenderung meningkat. 2. Harga barang Harga barang sangat memengaruhi pola konsumsi masyarakat yang erat hubungannya dengan

kemampuan untuk membeli (daya beli). Semakin mahal suatu barang, maka semakin rendah daya beli masyarakat. 3. Tingkat pendidikan masyarakat Tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan akan mempengaruhi pola piker mereka terutama dalam pemenuhan pola konsumsinya. Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pola konsumsi yang

beragam. Karena mereka menyadari bahwa pola konsumsi yang beragam merupakan salah satu dari pola hidup sehat. Sedangkan masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah, cenderung kurang memahami hal tersebut, sehingga pola konsumsinya relative tetap. 4. Jumlah keluarga Semakin banyak jumlah keluarga, maka keragaman pola konsumsinya semakin rendah. Hal ini

dikarekan jumlah keluarga yang banyak akan menyebabakan semakin banyak. 5. Lingkungan Lingkungan sangat mempengaruhi keragaman pola konsumsi pangan seseorang. Misalnya gandum yang tidak dapat dijadikan sumber pangan pokok selain beras karena tidak dapat tumbuh di daerah tropis seperti Indonesia. 2.3.2 Angka Kecukupan Gizi (AKG) Konsep kecukupan energi kelompok penduduk adalah nilai rata-rata kebutuhan, sedangkan pada kecukupan protein dan zat gizi lain adalah nilai ratapengeluaran masyarakat juga

rata kebutuhan ditambah dengan 2 kali simpangan baku (2 SD). Kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang

dianjurkan adalah sebagai berikut : 1. Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi, makanan bagi

penduduk/golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survei gizi atau makanan; 2. Untuk merencanakan pemberian makanan

tambahan balita maupun untuk perencanaan institusi; 3. Untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional; 4. Untuk patokan label gizi makanan yang dikemas apabila perbandingan dengan angka kecukupan gizi diperlukan; 5. Untuk bahan pendidikan gizi. Di samping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai beberapa keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Tahap pertumbuhan dan perkembangan tubuh 2. Ukuran dan komposisi tubuh 3. Jenis kelamin

4. Keadaan kesehatan tubuh 5. Keadaan fisiologis tubuh 6. Kegiatan fisik 7. Lingkungan 8. Mutu makanan 9. Gaya hidup Angka kecukupan gizi yang sudah ditetapkan untuk orang Indonesia meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin C, tiamin, riboflavin, niacin, piridoksin, vitamin B12, asam folat, kalsium, fosfor, magnesium, besi, seng, iodium, mangan, selenium, dan fluor. Angka kecukupan energi tingkat nasional yang pada taraf konsumsi 2000 kkal dan taraf persediaan 2200 kkal. Sedangkan angka kecukupan protein tingkat nasional pada taraf konsumsi 52 gram dan taraf persediaan 57 gram. Kecukupan gizi pelabelan produk makanan yang dikemas disebut dengan acuan label gizi (ALG) (Almatsier, 2006).

2.4 Diversifikasi konsumsi pangan sumber bahan pokok selain beras Upaya yang saat ini sedang digencarkan yaitu diversifikasi konsumsi pangan yang terbuat dari bahan pokok selain beras (umbi-umbian, serealia, dan lainnya), sumber protein hewani (daging, ikan, susu dan lainnya), protein nabati (kacang-kacangan, koro-koroan dan lainnya) dan zat mikro (vitamin, mineral dan serat) sesuai potensi daerah sebagai sumber pangan lokal. Banyak produk diversifikasi yang berhasil dibuat sebagai solusi ketergantungan terhadap konsumsi beras. Bahkan kandungan zat gizinya lebih tinggi dari beras. Sebagai contohnya yaitu beras cerdas yang terbuat dari Modified Cassava Flour (MOCAF). Selain itu juga terdapat tempe yang dibuat dari koro-koroan (tempe kacang tunggak khas Jember), dan masih banyak lagi produk diversifikasi yang memiliki mutu dan kandungan gizi yang baik.

2.5 Pengertian dan ruang lingkup pangan lokal Pangan lokal adalah pangan yang diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi dan sumberdaya wilayah dan budaya setempat.

Berikut beberapa pengertian terkait definisi dari macam-macam pangan untuk memudahkan memahami pengertian dari pangan lokal di atas :

a. Pangan khas Pangan khas adalah pangan yang asal usulnya secara biologis ditemukan di suatu daerah. b. Pangan tradisional Pangan tradisional adalah pangan atau makanan yang diolah dengan cara, resep atau cita rasa yang khas berkaitan dengan nilai-nilai kelompok etnis tanpa memperhatikan asal bahan bakunya. c. Pangan pokok Pangan pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama dan memberikan sumbangan energi lebih dari sepertiga total konsumsi energi. d. Makanan tradisional Makanan tradisional adalah makanan yang dikonsumsi masyarakat golongan etnik dan wilayah yang spesifik, diolah dari resep yang dikenali masyarakat, bahanbahannya diperoleh dari sumber lokal dan memiliki rasa yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat.

Ditinjau dari potensi sumberdaya lokal wilayah, sumberdaya alam Indonesia memiliki potensi ketersediaan pangan yang beranekaragam, baik pangan untuk sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Kita bisa mencermati hal ini, dimana setiap wilayah di Indonesia mempunyai sumber pangan lokal tersendiri seperti Madura dan Nusa Tenggara dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu, dan sebagainya.

BAB 3. KESIMPULAN Berdasarkan teori dari referensi yang didapatkan dan hasil brainstorming dapat disimpulkan bahwa : 1. Pangan lokal merupakan pangan yang diproduksi dan dikembangkan sesuai sumberdaya dan potensi wilayah setempat. 2. Pola konsumsi adalah suatu bentuk susunan, jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang ataupun masyarakat pada kurun waktu tertntu.

DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ariani, Mewa, dkk. Arah, 2003. Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Pangan di Indonesia. Bogor : Forum Agro Ekonomi. Vol. 21 no 2.

Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi Tahun 2015. Jakarta : Aspirasi Putra.

Kartasapoetra, Drs.G. 2003. Ilmu Gizi. Jakarta. Rineka Cipta.

Sibuea, Posman. 2012. Ketergantuangan Indonesia Pada Beras. Bogor : IPB.

Anda mungkin juga menyukai