Anda di halaman 1dari 38

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Konsep Lansia
II.1.1 Definisi lansia
Lansia (masa dewasa tua) dimulai setelah pensiun, yaitu
biasanya antara usia 65 tahun dan 75 tahun (Potter, 2005). Sedangkan
menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1965 pasal 1 (Nugroho, 2000),
merumuskan bahwa Seseorang dapat dinyatakan sebagai orang jompo
atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun,
tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk
keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain,
tetapi telah diperbaharui dan saat ini berlaku UU No. 13 tahun 1998
yaitu : pada pasal 1 ayat 2 yang berbunyi Lanjut usia adalah seseorang
yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Maryam, 2008).
Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari,
berjalan secara terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan
menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh,
sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara
keseluruhan(Maryam, 2008).
II.1.2 Klasifikasi Lansia
Beberapa pendapat para ahli tentang klasifikasi lansia adalah sebagai
berikut:
1. Menurut Depkes RI tahun 2003 ada lima klasifikasi pada lansia,
yaitu: pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-
59 tahun; lansia, yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih;
lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih, atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan
8
masalah kesehatan; lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu
melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang menghasilkan barang
atau jasa; lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya
mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang
lain (Maryam, 2008).
2. Menurut WHO dikelompokkan menjadi empat meliputi: usia
pertengahan (middle age), kelompok usia 45-59 tahun; usia lanjut
(elderly age), antara usia 60-74 tahun; usia lanjut usia (old), antara
usia 75-90 tahun; usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun
(Nugroho, 2000).
3. Menurut Jos Masdani, lansia merupakan kelanjutan dari usia dewasa
yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu fase iuventus, antara usia
25-40 tahun; fase verilitas, antara usia 40-50 tahun; fase prasenium,
antara usia 55-65 tahun; fase senium, usia lebih dari 65 tahun
(Nugroho, 2000).
4. Menurut Koesoemato Setyonegoro, dikelompokkan menjadi 5,
yaitu: usia dewasa muda (elderly adulhood), usia 18 atau 20-25
tahun; usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas, usia 25-60
tahun atau 65 tahun; lanjut usia (geriatric age), usia lebih dari 65
atau 70 tahun; (old) usia 70-75 tahun dan (very old) lebih dari 80
tahun (Nugroho, 2000).
II.1.3 Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental sosial dan sosial ekonominya
(Nugroho, 2000). Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan,
bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi
undangan, dan menjadi panutan.
9
2. Tipe mandiri, yaitu menggantikan kegiatan yang hilang dengan yang
baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan
memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan
sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit
dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.
4. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti
agama dan melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung, yaitu kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan
diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe kontruktif, tipe
dependen (kebergantungan), tipe defensif (bertahan), tipe militan dan
serius, tipe pemarah atau frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam
melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
II.1.4 Teori-Teori Proses Menua (Potter & Perry, 2005)
1. Teori Biologis
a. Teori Radikal Bebas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan
akumulasi kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidan.
Radikal bebas adalah produk metabolisme selular yang
merupakan bagian molekul yang sangat reaktif. Molekul ini
mempunyai muatan ekstraselular kuat yang dapat menciptakan
reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan sifatnya ; molekul
ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran
sel, mempengaruhi permeabilitasnya, atau dapat berikatan
dengan organel sel lainnya (Christiansen dan Grzybowsky,
1993).
Proses metabolisme oksigen diperkirakan menjadi
sumber radikal bebas terbesar (Hayflick, 1987), secara spesifik,
10
oksidasi lemak, protein dan karbohidrat dalam tubuh
menyebabkan formasi radikal bebas. Polutan lingkungan
merupakan sumber eksternal radikal bebas.
b. Teori Cross-Link
Teori cross-link dan jaringan ikat menyatakan bahwa
molekul kolagen dan elastin, komponen jaringan ikat,
membentuk senyawa yang lama meningkatkan rigiditas sel,
cross-linkage diperkirakan akibat reaksi kimia yang
menimbulkan senyawa antara molekul-molekul yang normalnya
terpisah (Ebersole dan Hess, 1994). Kulit yang menua
merupakan contoh cross-linkage elastin. Contoh cross-linkage
jaringan ikat terkait usia meliputi penurunan kekuatan daya
rentang dinding arteri, tanggalnya gigi, dan tendon kering dan
berserat (Ebersole dan Hess, 1994).
c. Teori Imunologis
Teori ini menggambarkan suatu kemunduran dalam
sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang
bertambah tua, pertahanan mereka terhadap organisme asing
mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk
menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring
dengan berkurangnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan
dalam respon autoimun tubuh. Ketika orang mengalami penuaan
mereka mungkin mengalami penyakit autoimun yaitu penyakit
dimana sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi benda
asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru
dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi,
seperti artritis rematoid.
11
d. Teori Wear and Tear
Teori ini mengatakan bahwa manusia diibaratkan
seperti mesin, sehingga perlu adanya perawatan, dan penuaan
merupakan hasil dari penggunaan.
e. Teori Riwayat Lingkungan
Menurut teori ini faktor-faktor didalam lingkungan
misalnya karsinogen dari industri, cahaya matahari, trauma dan
infeksi dapat membawa perubahan dalam proses penuaan.
Walaupun faktor-faktor ini diketahui dapat mempercepat
penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak
sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan.
2. Teori Sosial
a. Teori Pembebasan
Salah satu teori sosial yang berkenaan dengan proses
penuaan adalah teori pembebasan (disengagement teory). Teori
tersebut menerangkan bahwa dengan berubahnya usia seseorang
secara berangsurangsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya atau menggambarkan proses penarikan diri. Keadaan
ini mengakibatkan interaksi sosial lansia menurun, baik secara
kualitatif maupun kuantitasnya sehingga sering terjadi
kehilangan ganda yaitu:
1) Kehilangan peran
2) Hambatan kontrol social
3) Berkurangnya komitmen
b. Teori Aktifitas
Lawan langsung dari teori pembebasan (disengagement
teory) adalah teori aktivitas penuaan, yang berpendapat bahwa
jalan menuju penuan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif
dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Havighurst yang pertama
kali menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagai
12
alat untuk penyesuaian diri yang sehat untuk lansia pada tahun
1952. sejak saat itu, berbagai penelitian telah memvalidasi
hubungan positif antara mempertahankan interaksi yang penuh
arti dengan orang lain dan kesejahteraan fisik dan mental orang
tersebut.
Kesempatan untuk turut berpean dengan cara yang
penuh arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya
adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia.
Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran pada
lansia secara negatif mempengaruhi kepuasan hidup. Selain itu,
penelitian terbaru menunjukkan pentingnya aktivitas mental dan
fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan
pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia.
c. Teori Kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam
siklus kehidupan lansia. Dengan demikian pengalaman hidup
seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada
saat ini menjadi lansia.
Pokok-pokok dari teori kesinambungan adalah :
1) Lansia tak disarankan untuk melepaskan peran atau harus
aktif dalam proses penuaan, akan tetapi didasarkan pada
pengalamannya di masa lalu, dipilih peran apa yang harus
dipertahankan atau dihilangkan.
2) Peran lansia yang hilang tak perlu diganti.
3) Lansia dimungkinkan untuk memilih berbagai cara adaptasi
3. Teori Psikologi
a. Hirarki Maslow
Motivasi manusia dilihat dari hirarki kebutuhan pada
titik kritis pertumbuhan dan perkembangan pada semua manusia.
13
Individu dilihat pada partisipasi aktif dalam hidup sampai
aktualisasi diri.
b. Jung's Teory of Individualism
Perkembangan dilihat sampai dewasa dengan relisasi
tujuan perkembangan kepribadian. Pada beberapa individu akan
mentranformasikan kepada hal-hal spiritual.
c. Selective Optimalization with Compensation.
Kemampuan fisik dikurangi oleh umur. Individu
dengan yang berhasil pada usianya akan mengkompensasi
kekurangan dengan seleksi, optimasi dan kompensasi.
d. Erikson's Eight Stage of Life.
Setiap orang mengalami tahap perkembangan selama
hidupnya. Pada beberapa tahap akan ada krisis tujuan yang
mengintegrasikan kematangan fisik dengan keinginan
psikologisnya. Pada beberapa tahap orang berhasil mengatasi
krisis tersebut. Keberhasilan tersebut akan membantu
perkembangan pada tahap selanjutnya. Individu ingin selalu
memperoleh peluang untuk bekerja kembali sesuai perasaannya
untuk mencapai kesuksesannya.
II.1.5 Tugas Perkembangan Lansia (Potter & Perry, 2005)
Tugas perkembangan muncul dari banyak sumber. Tugas-tugas
tersebut muncul dari kematangan fisik, tekanan budaya dari
masyarakat, dan nilai serta aspirasi pribadi. Tugas perkembangan
utama pada lansia adalah mengklarifikasi, memperdalam, dan
menemukan fungsi seseorang yang sudah diperoleh dari proses
belajar dan beradaptasi seumur hidup. Ahli teori perkembangan
menyakini bahwa sangatlah penting bagi lansia untuk terus tumbuh,
berkembang, dan mengubah diri mereka jika ingin mempertahankan
dan ingin meningkatkan kesehatan.
14
1. Menurut Erickson
Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau
meyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut
dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya.
Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembang sebelumnya
melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik serta
membina hubungan yang serasi dengan orang-orang di sekitarnya,
maka pada usia lanjut ia akan tetap melakukan kegiatan yang biasa
ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga,
mengembangkan hobi bercocok tanam dan lain-lain.
Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Mempersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial atau
masyarakat secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan
2. Menurut Peck
Peck mengonseptualisasi tiga tugas yang berisi pengaruh dari hasil
konflik antara perbedaan integritas dan keputusasaan.
a. Perbedaan ego versus preokupasi peran kerja
Tugas ini membutuhkan pergeseran system nilai seseorang, yang
memungkinkan lansia untuk mengevaluasi ulang dan
mendefinisikan kembali pekerjaan mereka. Penilaian ulang ini
mengarahkan lansia untuk mengganti peran yang sudah hilang
dan aktivitas baru. Selanjutnya, lansia mampu menemukan cara-
cara baru memandang diri mereka sendiri sebagai orang yang
berguna selain peran orang tua dan okupasi
15
b. Body Transendens versus preokupasi tubuh
Sebagian besar lansia mengalami beberapa penurunan fisik.
Untuk beberapa orang, kesenangan dan kenyamanan berarti
kesejahteraan fisik. Orang-orang tersebut mungkin mengalami
kesulitan terbesar dan mengabaikan status fisik mereka. Peck
mengemukakan bahwa dalam sistem nilai mereka, sumber-
sumber kesenangan sosial dan mental dan rasa menghormati diri
sendiri dapat mengabaikan kenyamanan fisik semata.
c. Transendensi ego versus preokupasi ego.
Peck mengemukakan bahwa cara paling konstruktif untuk hidup
ditahun-tahun terakhir dapat didefinisikan : hidup secara
dermawan dan tidak egois yang merupakan prospek dari
kematian personal ( the night of the ego ), yang bisa disebut
paras dan perasaan kurang penting dibandingkan pengetahuan
yang telah diperoleh seseorang untuk masa depan yang lebh luas
dan lebih panjang daripada yang dapat dicakup dari ego
seseorang. Manusia menyelesaikan hal melalui warisan mereka,
anak-anak mereka, konstribusi mereka pada masyarakat dan
persahabatan mereka. Kemudian, untuk mencapai integritas,
seseorang harus mengembangkan kemampuan untuk
mendefinisikan diri kembali, untuk melepas identitas okupasi,
untuk bangkit dari ketidaknyamanan fisik, dan untuk membentuk
makna pribadi yang melampaui jangkauan pemusatan diri.
3. Menurut Havighurst dan Duvall
Tugas-tugas perkembangan yang dinyatakan oleh Havighurst
dan komite Duvall keduanya mengarah kepada perubahan-
perubahan hidup yang diperlukan dalam kaitannya dengan
pengaturan hidup, pensiun, pendapatan, hubungan interpersonal,
aktivitas dan kewajiban sosial, kematian. Perbedaan utama adalah
16
bahwa Havighust mengarah pada individual, sedangkan Duvall
mengarah pada kerangka kerja keluarga.
Tabel II.1
Tugas-tugas perkembangan Havighurst dan Duvall
Menurut Havighurst Menurut Duvall
Menyesuaikan diri terhadap penurunan
kekuatan dan kesehatan fisik
Menyesuaikan diri terhadap masa
pensiun dan penurunan pendapatan
Menyesuaikan diri terhadap kematian
pasangan dan orang penting lainnya
Membentuk gabungan eksplisit
dengan kelompok yang seusia
dengannya
Memenuhi kewajiban-kewajiban
sosial dan kewarganegaraan
Membentuk kepuasaan pengaturan
kehidupan fisik
Menemukan rumah yang
memuaskan untuk tahun-tahun akhir
kehidupan
Menyesuaikan diri terhadap
pendapatan pensiunan
Membentuk rutinitas rumah tanga
yang nyaman
Saling menjaga satu sama lain
sebagai suami dan istri
Menghadapi kehilangan dan
menjadi janda atau duda
Mempertahankan hubungan dengan
anak-anak dan cucu
Merawat kerabat yang lebih tua
Menjaga minat orang-orang diluar
keluarga
Menemukan makna hidup
2.1.6 Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia (Nugroho, 2000)
1. Perubahan Fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem
organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran,
penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh,
muskuloskeletal, gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan
integumen.
a. Sistem Pernafasan pada lansia : otot pernafasan kaku dan
kehilangan kekuatan, penurunan aktivitas silia jumlah udara
pernafasan yang masuk keparu mengalami penurunan, alveoli
semakin melebar dan jumlahnya berkurang kemampuan batuk
berkurang, sehingga pengeluaran sekret berkurang dan
mengalami sumbatan atau obstruksi.
17
b. Sistem Pendengaran pada lansia : hilangnya kemampuan (daya)
pendengaran pada telinga dalam, membran timpani menjadi
atropi, terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras karena
meningkatnya kreatin.
c. Sistem Penglihatan pada lansia : kornea lebih berbentuk skeris,
lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), meningkatnya ambang
pengamatan sinar (daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat, susah melihat dalam cahaya gelap), hilangnya daya
akomodasi, menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas
pandang, menurunnya daya membedakan warna biru atau warna
hijau.
d. Sistem Kardiovaskuler pada lansia : katub jantung menebal dan
menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1
% pertahun sesudah berumur 20 tahun, kehilangan elastisitas
pembuluh darah, tekanan darah meningkat akibat meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer.
e. Sistem Genito Urinaria : ginjal mengecil dan nefron menjadi
atropi, vesika urinaria otot-ototnya menjadi lemah, kapasitasnya
menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi BAK
meningkat.
f. Sistem Endokrin pada lansia : produksi hampir semua hormon
menurun, menurunnya produksi aldosteron, menurunnya sekresi
hormon gonad (progesteron, estrogen, testosteron), defisiensi
hormonal dapat menyebabkan hipotirodism, depresi dari sumsum
tulang serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan jiwa
(stres).
g. Sistem Pencernaan pada lansia : kehilangan gigi, indera
pengecap menurun, esofagus melebar, peristaltik lemah &
biasanya timbul konstipasi.
18
h. Sistem Muskuloskeletal pada lansia : tulang kehilangan
kepadatannya sehingga mudah rapuh, kyphosis (tubuh
membungkuk), persendian besar & menjadi kaku.
i. Sistem Integumen pada lansia : kulit keriput akibat kehilangan
jaringan lemak, kulit kering & kurang elastis karena menurunnya
cairan dan hilangnya jaringan adiposa, kelenjar-kelenjar keringat
mulai tak bekerja dengan baik, kulit pucat dan terdapat bintik
bintik hitam akibat menurunnya aliran darah dan menurunnya sel
sel yang meproduksi pigmen, kuku pada jari tangan dan kaki
menjadi tebal dan rapuh, pertumbuhan rambut berhenti dan
mengalami penipisan.
2. Perubahan-perubahan mental/ psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa
b. Kesehatan umum
c. Tingkat pendidikan
d. Keturunan (herediter)
e. Lingkungan
f. Gangguan memori : kenangan jangka panjang (berjam-jam
sampai berhari-hari yang lalu mencakup beberapa perubahan,
kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit), kenangan
buruk.
g. (IQ) Intelegentia Quation : tidak berubah dengan informasi
matematika dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan,
persepsi dan keterampilan psikomotor : terjadi perubahan pada
daya membayangkan, karena tekanan-tekanan dari faktor waktu.
3. Perubahan Psikososial : pensiun, sadar akan kematian, ekonomi
akibat penghentian jabatan, penyakit kronis dan ketidakmampuan,
gangguan syaraf panca indera sehingga menyebabkan buta dan tuli,
19
kehilangan hubungan dengan teman-teman dan family, kehilangan
kekuatan dan ketegapan fisik.
II.2 Konsep Tidur
II.2.1 Pengertian Tidur
Potter & Perry (2005) mendefinisikan tidur sebagai perubahan
keadaan kesadaran yang secara terus-menerus dan berulang untuk
menyimpan energi dan kesehatan. Menurut Guyton (2000) yang
mendefinisikan tidur sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana orang
tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau
dengan lainnya.
Sedangkan Kozier (2003) definisi tidur telah mengalami evolusi.
Secara historis tidur dianggap sebagai keadaan tidak sadar (state
unconsciusness). Sedangkan menurut konsep terbaru, tidur didefinisikan
sebagai suatu keadaan sadar (state of consciusness) dimana persepsi dan
reaksi individu terhadap lingkungan menurun.
II.2.2 Fungsi Tidur (Potter & Perry, 2005)
1. Memelihara fungsi jantung
Menurut teori, tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan
untuk periode terjaga berikutnya. Selama tidur NREM, fungsi
biologis menurun. Laju denyut jantung normal pada orang dewasa
sehat sepanjang hari rata-rata 70 hingga 80 denyut per menit atau
lebih rendah jika individu berada pada kondisi fisik yang sempurna.
Akan tetapi selama tidur laju denyut jantung turun sampai 60 denyut
per menit atau lebih rendah. Hal ini berarti bahwa denyut jantung 10
hingga 20 kali lebih sedikit dalam setiap menit selama tidur atau 60
hingga 120 kali lebih sedikit dalam setiap jam.
20
2. Memperbaiki proses biologis secara rutin
Selama tidur gelombang-rendah yang dalam (NREM tahap 4),
tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk
memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel
otak (Horne, 1983; Mandleson1 1987; Born, Muth, dan Fehm,
1988). Akan tetapi, Jorne (1983) juga berpendapat bahwa peran
hormon pertumbuhan yang umum sebagai suatu promotor sintesis
protein dan pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada
kulit, sumsum tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama
istirahat dan tidur (Oswald, 1984).
3. Menyimpan energi selama tidur
Otot skelet berelaksai secara progresif, dan tidak adanya
kontraksi otot menyimpan energi kimia untuk proses seluler.
Penurunan laju metabolik basal lebih jauh menyimpan persediaan
energi tubuh (Anch dkk, 1988).
4. Pemulihan kognitif
Tidur REM dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah
serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi
oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat membantu
penyimpanan memori dan pembelajaran. Selama tidur, otak
menyaring informasi yang disimpan tentang aktivitas hari tersebut.
II.2.3 Proses Tidur
1. Tahapan Tidur
Di dalam kita tidur ternyata terdapat dua tahap yang harus
dilalui yaitu: tidur gerakan mata cepat disebut Rapid Eye Movement
Sleep (REMS) dan tidur gerakan mata lambat disebut Non Rapid Eye
Movement Sleep (NREMS). Selama NREMS seseorang yang tidur
mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama siklus tidur
yang tipikal 80 menit. Kualitas tidur dari tahap 1 sampai tahap 4
21
bertambah dalam. Tidur yang dangkal merupakan karakteristik dari
tahap 1 dan 2 dan seseorang lebih mudah terbangun. Tahap 3 dan 4
melibatkan tidur yang dalam, disebut tidur gelombang rendah, dan
seorang sulit terbangun. Tidur REM merupakan fase pada akhir tiap
siklus tidur 90 menit. Konsolidasi memori dan pemulihan psikologis
terjadi pada waktu ini (Potter & Perry, 2005).
Tabel II.2
Tahapan Siklus Tidur
TAHAPAN SIKLUS TIDUR
Tahap 1: NREM
a. Tahap meliputi tingkat paling dangkal dari
tidur.
b. Tahap berakhir beberapa menit.
c. Pengurangan aktivitas fisiologis dimulai
dengan penurunan secara bertahap tanda-
tanda vital dan metabolisme.
d. Seseorang dengan mudah terbangun oleh
stimulus sensori seperti suara.
e. Ketika terbangun, seseorang seperti telah
melamun.
Tahap 2 NREM
a. Tahap 2 merupakan proses tidur bersuara.
b. Kemajuan relaksasi.
c. Untuk terbangun masih relatif mudah.
d. Tahap berakhir 10 hingga 20 menit.
e. Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban.
Tahap 3: NREM
b. Tahap 3 meliputi tahap awal dari tidur
yang dalam.
c. Orang yang tidur sulit dibangunkan dan
jarang bergerak.
d. Otot-otot dalam keadaan santai penuh.
e. Tanda-tanda vital menurun tetapi tetap
teratur.
f. Tahap berakhir 15 hingga 30 menit.
Tahap 4: NREM
a. Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam.
b. Sangat sulit untuk membangunkan orang
yang tidur.
c. Jika terjadi kurang tidur, maka orang
yang tidur akan menghabiskan porsi
malam yang seimbang pada tahap ini.
d. Tanda-tanda vital menurun secara
bermakna dibanding selama jam terjaga.
e. Tahap berakhir kurang lebih 15 hingga
30 menit.
f. Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat
terjadi.
TIDUR REM
a. Mimpi yang penuh warna dan tampak
hidup dapat terjadi pada REM. Mimpi
yang kurang hidup dapat terjadi pada
tahap yang lain.
b. Tahap ini biasanya dimulai sekitar 90
menit setelah mulai tidur.
c. Hal ini dicirikan dengn respons otonom
dari pergerakan mata yang cepat,
fluktuasi jantung dan kecepatan respirasi
dan peningkatan atu fluktuasi tekanan
darah.
d. Terjadi tonus otot skelet penurunan.
e. Sangat sulit sekali membangunkan orang
yang tidur.
f. Durasi dari tidur REM meningkat pada
tiap siklus dan rata-rata 20 menit.
Sumber: Potter & Perry, 2005
22
2. Siklus Tidur
Secara normal, pada orang dewasa, pola tidur rutin dimulai
dengan periode sebelum tidur, selama seseorang terjaga hanya pada
rasa kantuk yang bertahap berkembang secara teratur. Periode ini
secara normal berakhir 10 hingga 30 menit, tetapi untuk seseorang
yang memiliki kesulitan untuk tertidur, akan berlangsung satu jam
atau lebih.
Ketika seseorang tertidur, biasanya melewati 4 sampai 6 siklus
tidur penuh, tiap siklus tidur terdiri 4 tahap dari tidur NREM dan
satu periode dari tidur REM. Pola siklus biasanya berkembang dari
tahap 1 menuju ke tahap 4 NREM, diikuti kebalikan tahap 4 ke-3,
lalu ke-2, diakhiri dengan periode dari tidur REM. Seseorang
biasanya mencapai tidur REM sekitar 90 menit ke siklus tidur.
Dengan tiap-tiap siklus yang berhasil, tahap 3 dan 4
memendek, dan memperpanjang periode REM. Tidur REM dapat
berakhir sampai 60 menit selama akhir siklus tidur. Tidak semua
orang mengalami kemajuan yang konsisten menuju ke tahap tidur
yang biasa. Sebagai contoh, orang yang tidur dapat berfluktuasi
untuk interval pendek antara NREM tingkat 2, 3, dan 4 sebelum
masuk tahap REM. Jumlah waktu yang digunakan tiap tahap
bervariasi. Pada orang dewasa muda memiliki waktu terjaga yang
lebih sedikit dan bergerak secara progresif selama tahap-tahap tidur,
dibandingkan lansia yang lebih sering terjaga dan lebih banyak
waktu yang terpakai dalam tahap tidur ringan (Dimodifikasi dari
Emra KL, Herrera CO: RN 52-79, 1989; kavey NB, Anderson D:
RN 49:16, 1986). Jumlah siklus tidur tergantung pada jumlah total
waktu yang klien gunakan untuk tidur (Potter & Perry, 2005).
23
II.2.4 Perubahan Sistem Fisiologik Utama Yang Dipengaruhi Tidur
1. Fungsi Kardiovaskuler
a. Penurunan tekanan darah dan nadi selama NREM dan terutama
selama tidur gelombang lambat.
b. Selama tidur REM, aktivitas fasis (gerakan mata) dihubungkan
dengan variabilitas pada nadi dan tekanan darah yang secara
prinsip diperantai oleh vagus.
c. Disritmia jantung dapat terjadi secara selektif selama tidur REM.
2. Fungsi Pernapasan
a. Kecepatan pernapasan dan ventilasi menit menurun selama tidur
NREMdan menjadi bervariasi selama tidur REM fasik.
b. Respon ventilasi terhadap karbondioksida melemah selama tidur
NREM, yang menyebabkan PCO2 lebih tinggi.
c. Selama tidur REM, respons ventilasi terhadap hiperkapnia dan
hipoksia memperlihatkan variabilitas yang nyata.
d. Otot pernapasan termasuk yang bertanggung jawab untuk jalan
napas atas adalah hipotonik sepanjang tidur dan selama tidur
REM, yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas.
3. Fungsi Endokrin
a. Perubahan paling utama tampak pada parameter neuroendokrin.
b. Tidur gelombang lambat dihubungkan dengan sekresi hormon
pertumbuhan pada laki laki muda, sementara tidur pada
umumnya dihubungkan dengan sekresi prolaktin yang
bertambah.
c. Tidur mempunyai efek kompleks pada sekresi LH pada
Luteinizing Hormone (LH)
d. Selama tidur pubertas dihubungkan dengan peningkatan sekresi
LH, sedangkan tidur pada perempuan matang menghambat fase
folikuler awal siklus menstrual.
24
e. Awitan tidur (dan mungkin tidur gelombang lambat)
dihubungkan dengan inhibisi Thyroid Stimulating Hormone
(TSH) dan Hormone Adrenokortikotropik (ACTH)aksis
kortisol, suatu efek yang tidak tergantung pada irama sirkandian
dalam dua sistem.
4. Fungsi Termoregulasi
a. Tidur NREM dihubungkan dengan perubahan respons
termoregulasi terhadap panas atau stress dingin.
b. Tidur REM dihubungkan dengan tidak adanya respons
termoregulasi yang lengkap, yang menyebabkan poikilotermi.
II.2.5 Klasifikasi Gangguan Tidur
Menurut Thorpy (1994) gangguan tidur telah diklasifikasikan
menjadi empat kategori utama dimodifikasi dari American Sleep
Disorder Association (ASDA), yaitu (Potter & Perry, 2005):
1. Disomnia
Disomnia adalah ganggguan primer yang berasal dari sistem
tubuh yang berbeda dan dibagi lagi meliputi tiga kelompok besar
yaitu gangguan tidur intrinsik, gangguan tidur ekstrinsik, dan
gangguan irama sirkadian. Gangguan tidur intrinsik meliputi
gangguan untuk memulai dan mempertahankan tidur, yaitu berbagai
bentuk insomnia dan gangguan rasa kantuk yang berlebihan seperti
narkolepsi dan apnea tidur obstruktif. Gangguan tidur ekstrinsik
terjadi akibat beberapa faktor eksternal, meliputi higiene tidur yang
tidak adekuat, sindrom tidur yang tidak adekuat, gangguan tidur
tergantung hipnotik, dan gangguan tidur tergantung alkohol, yang
jika dihilangkan menyebabkan hilangnya gangguan tidur. Gangguan
irama sirkadian sewaktu tidur terjadi karena ketidaksejajaran antara
waktu tidur dan apa yang diinginkan oleh individu atau norma sosial.
25
Gangguan irama sirkadian meliputi perubahan waktu tidur (jet lag),
gangguan tidur karena jam kerja, dan sindrom fase tidur tertunda.
2. Parasomnia
Parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur atau peristiwa
fisiologis yang dikaitkan dengan tidur, stadium tidur tertentu atau
perpindahan tidur-bangun. Parasomnia terdiri dari gangguan mimpi
buruk, gangguan teror tidur, berjalan saat tidur, dan parasomnia yang
tidak dapat diklasifikasikan.
Parasomnia adalah masalah tidur yang lebih banyak terjadi
pada anak-anak daripada orang dewasa. Sindrom kematian bayi
mendadak (sudden infant death syndrome, SIDS) dihipotesis
berkaitan dengan apnea, hipoksia dan aritmia jantung yang disebkan
oleh abnormalitas dalam system saraf otonom yang dimanifestasikan
selama tidur ( Giliss dan Elemons,1994). Parasomnia yang terjadi
pada anak-anak meliputi somnabulisme (berjalan dalam
tidur),terjaga malam,mimpi buruk,enuresis nocturnal (ngompol) dan
menggeretakkan gigi (bruksisme).
3. Gangguan tidur yang berhubungan dengan kelainan medik atau
psikiatrik.
Banyak gangguan tidur medis dan psikiatrik yang berhubungan
dengan gangguan tidur dan bangun. Gangguan tidur tersebut dibagi
menjadi gangguan tidur yang berhubungan dengan psikiatrik
meliputi gangguan alam perasaan dan gangguan kecemasan,
neurologik meliputi demensia dan parkinsonisme, atau gangguan
medis lainnya meliputi iskemia jantung noktural dan penyakit paru
obstruktif menahun.
Gangguan tidur yang berat pada usia lanjut dibagi menjadi :
1. Gangguan memulai dan mempertahankan tidur (disorders of
initiating and maintaining sleep = DIMS). Gangguan memulai dan
26
mempertahankan tidur atau insomnia berkaitan dengan gangguan
klinik sebagai berikut :
a. Apnea tidur, terutama apnea tidur sentral
b. Mioklonus yang berhubungan dengan tidur berjalan, gerakan
mendadak pada tingkat yang berulang, stereotipik, unilateral atau
bilateral, keluhan berupa tungkai gelisah (restless leg), tungkai
kaku waktu malam, neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam
folat dan besi.
c. Berbagai konflik emosional dan stress merupakan penyebab
psikofisiologik dari insomnia.
d. Gangguan psikiatrik berat terutama depresi seringkali
menimbulkan bangun terlalu pagi dan dapat bermanifestasi
sebagai insomnia dan hipersomnia. Depresi endogen berkaitan
dengan onset dini dari tidur REM dan dapat diperbaiki secara
dramatis dengan obat antidepresan.
e. Keluhan penyakit-penyakit organik, misalnya nyeri karena
arthritis, penyakit keganasan, nokturia, penyakit hati atau ginjal
dan sesak napas dapat mengakibatkan bangun berulang pada
tidur malam.
f. Sindrom otak organik yang kronik seringkali menimbulkan
insomnia. Penyakit Parkinson terganggu tidurnya 2-3 jam. Pasien
Alzheimer sering terbangun tengah malam dan dapat
menimbulkan eksitasi paradoksikal.
g. Zat seperti alkhohol dan obat kortikosteroid, teofilin dan beta-
blockers dapat menginterupsi tidur.
2. Gangguan mengantuk berlebihan (disorders of excessive somnolence
= DOES). Gangguan mengantuk berlebihan ditandai dengan
mengantuk patologis yang diselingi dengan kegiatan selama jaga.
Beratnya mengantuk, onsetnya yang tidak sesuai dengan waktu dan
gangguan pada kegiatan merupakan penilaian klinik yang penting.
27
Apnea obstruktif dan mioklonus pada waktu malam dapat
menimbulkan hipersomnolensia. Efek obat, terutama efek sisa obat
hipnotika merupakan penyebab yang sering untuk hipersomnolensia.
Obat-obat lain yang mengakibatkan tidur berlebihan adalah
anthistamin, obat psikotropika, metildopa dan antidepresan jenis
trisikliik. Demikian pula kondisi-kondisi seperti post-infeksi,
keletihan dan sindrom otak kronik.
3. Gangguan siklus tidur jaga (disorders of the sleep wake cycle)
Gangguan siklus tidur jaga memendek dengan makin
bertambahnya usia. Bangun lebih pagi dan cepat mengantuk pada
malam hari merupakan hal yang wajar bagi usia lanjut. Pasien
depresi mengeluh tidurnya kurang pulas dan mudah sekali terbangun
oleh adanya perubahan suhu pada dini hari, sinar dan suara-suara
hewan di pagi hari. Tidur REM lebih cepat datangnya sehingga
biasanya mengalami mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan.
Berbeda dengan pasien depresi, pasien dengan ansietas lebih lama
masuk tidur, sukar bangun pagi dan mimpimimpi menakutkan.
4. Perilaku tidur abnormal (abnormal sleep behaviour, parasomnias)
Parasomnia merupakan perilaku tidur abnormal yang
kadang-kadang terjadi pada usia lanjut yaitu kebingungan pada
malam hari (natural confusion), jalan sambil tidur, gangguan kejang,
dekompensasi penyakit kardiovaskuler, mengompol dan reflux
gastro-esophagus (Prayitno, A. (2011). Gangguan pola tidur pada
kelompok usia lanjut dan penatalaksanaannya.
http://www.univmed.org/wpcontent/uploads/2011/02/Prayitno.pdf).
II.2.6 Kebutuhan Tidur
Pemenuhan kebutuhan tidur seseorang dapat dilihat dari
kuantitas dan kualitas tidurnya. Kuantitas dan kualitas tidur beragam
diantara orang-orang dari semua kelompok usia. Kuantitas tidur adalah
28
waktu atau jumlah tidur seseorang yang biasanya dihitung dengan
jumlah waktu (jam). Dalam satu malam, ketika ia masih bayi
membutuhkan waktu tidur sekitar 13 sampai 16 jam, tetapi ketika telah
tumbuh menjadi seorang anak kebutuhan tidur sedikit menurun sekitar 8
sampai 12 jam. Kebutuhan waktu dan lama tidurnya akan terus menurun
atau berkurang seiring dengan berjalannya waktu atau usia dirinya
hingga dewasa hanya sekitar 6 sampai 9 jam. Begitu juga bila seseorang
menjadi semakin lanjut atau tua usianya, umumnya akan menjadi
semakin berkurang kemampuan untuk tetap tidur 5 sampai 8 jam
(Lumbantobing, 2004).
Kualitas adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah
terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman disekitar mata,
kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian
terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (A.
Aziz Alimul Hidayat, 2006 : 130).
II.2.7 Penyebab Gangguan Tidur pada Lansia
1. Faktor ekstrinsik (luar), misalnya lingkungan yang kurang tenang.
2. Faktor intrinsik, baik organik maupun psikogenik. Organik berupa
nyeri, gatal, kram betis, sakit gigi, sindrom tungkai bergerak
(akatisia), dan penyakit tertentu yang membuat gelisah. Psikogenik,
misalnya depresi, kecemasan, stres, iritabilitas, dan marah yang tidak
tersalurkan (Nugroho, 2008).
II.2.8 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Tidur
Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur.
Kualitas tidur (Quality of sleep) mengandung arti kemampuan individu
untuk tetap tidur dan bangun jumlah tidur REM dan NREM yang cukup
sedangkan yang dimaksud dengan kuantitas tidur (Quantity of sleep)
29
adalah total waktu tidur individu (Kozier, 2000). Seringkali faktor
tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur. Faktor fisiologis,
psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kuantitas dan kualitas tidur.
1. Penyakit fisik
Setiap penyakit yang mengakibatkan nyeri, ketidaknyamanan
fisik (seperti kesulitan bernafas), atau masalah suasana hati seperti
kecemasan atau depresi, dapat menyebabkan masalah tidur.
Penyakit juga dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi tidak
biasa. Sebagai contoh, posisi yang aneh saat lengan diimobilisasi
pada traksi dapat mengganggu tidur.
Penyakit pernafasan seringkali mempengaruhi tidur. Klien
yang berpenyakit paru kronik seperti emfisema dengan nafas pendek
dan seringkali tidak dapat tidurtanpa dua atau tiga bantal untuk
meninggikan kepala mereka. Asma, bronkhitis, dan rinitis alergi
mengubah irama pernafasan mereka dan hal itu mengganggu tidur.
Seorang yang pilek mengalami kongesti nasal, drainase sinus, dan
sakit tenggorokan, yang mengganggu pernafasan dan kemampuan
beristirahat.
Penyakit jantung koroner sering dikarakteristikkan dengan
episode nyeri dada yang tiba-tibadan denyut jantung yang tidak
teratur. Klien yang berpenyakit ini seringkali mengalami frekuensi
terbangun yang sering dan perubahan tahapan selama tidur
(misalnya sering berpindah dari tahap 3 & 4 ke tahap tidur 2 yang
dangkal).
Hipertensi sering menyebabkan terbangun pada pagi hari dan
kelemahan. Hipotoroidisme mengurangi tidur tahap 4, sebaliknya
hipertiroidisme menyebabkan seseorang membutuhkan waktu
banyak untuk tertidur.
Nokturia (berkemih pada malam hari) mengganggu tidur dan
siklus tidur. Kondisi ini umum pada lansia dengan penurunan tonus
30
kandung kemih atau orang yang memiliki penyakit jantung, diabetes,
uretritis atau penyakit prostat. Setelah seseorang berulangkali
terbangun untuk berkemih, menyebabkan kembali untuk tertidur lagi
menjadi sulit.
Seseorang yang berpenyakit tukak peptik seringkali terbangun
pada tengah malam. Kadar asam lambung mencapai puncak sekitar
pukul 1 sampai 3 dini hari, menyebabkan nyeri lambung.
2. Obat-obatan
Obat-obatan seringkali mempengaruhi tidur. Mengantuk dan
deprivasi tidur adalah efek samping dari medikasi yang umum.
Medikasi antidepresi, inhibitor monoamine oksidase (MAOI), dan
litium yang lazim digunakan, semuanya menyebabkan penurunan
dalam tidur REM. Terapi elektrokonvulsif dan kokain juga
menyebabkan penurunan tidur REM. Obat-obatan neuroleptik dapat
meningkatkan rasa kantuk dan tidur REM. Namun, dosis
klorpomazin yang tinggi menekan REM. Benzodiazepin
menyebabkan penurunan pada stadium I, III dan IV, peningkatan
pada stadium II, dan peningkatan pada kelatenan REM serta
penurunan pada tidur REM. Hipnotik, diuretik, alkohol, kafein dan
narkotika (Morfin/Demerol) juga mempengaruhi tidur.
3. Gaya hidup
Rutinitas harian seseorang mempengaruhi pola tidur. Individu
dengan waktu kerja yang tidak sama setiap harinya seringkali
mempunyai kesulitan menyesuaikan perubahan jadwal tidur.
Kesulitan mempertahankan kesadaran selama waktu kerja
menyebabkan penurunan kualitas kerja. Perubahan lain yang
mengganggu pola tidur meliputi kerja berat yang tidak biasanya,
terlibat dalam aktivitas sosial pada larut malam, dan perubahan
waktu makan malam.
31
4. Stres psikologis
Kecemasan dan depresi seringkali mengganggu tidur. Orang
yang dipenuhi dengan masalah pribadi mungkin tidak mampu untuk
relaks dengan cukup yang dapat membawanya menjadi tidur.
Kecemasan meningkatkan kadar norepinephrin didalam darah
meningkatkan stimulasi sistem saraf simpatis. Zat kimia ini
mengakibatkan perubahan pada berkurangnya tidur tahap 4 NREM
dan tidur REM sering terbangun. Kecemasan tentang masalah
pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur. Stres emosional
menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah
pada frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang
mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus
tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat
menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk.
5. Lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting
pada kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang
baik adalah esensial untuk tidur yang tenang. Ukuran, kekerasan
dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Jika seseorang
biasanya tidur dengan individu lain, maka tidur sendiri menyebabkan
ia terjaga.
Suara juga mempengaruhi tidur. Tingkat suara yang
diperlukan untuk membangunkan orang tergantung pada tahap tidur.
Suara yang rendah lebih sering membangunkan seseorang dari tidur
tahap I, sementara suara yang keras membangunkan orang pada
tahap III atau IV. Beberapa orang menyukai suara sebagai latar
belakang seperti musik lembut atau televisi, sementara yang lain
membutuhkan ketenangan untuk tidur.
32
Tingkat cahaya dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur.
Beberapa klien menyukai ruangan yang gelap, sementara yang lain
menyukai cahaya remang yang tetap menyala selama tidur.
6. Aktivitas fisik dan kelelahan
Seseorang yang kelelahan menengah (moderate) biasanya
memperoleh tidur yang nyenyak, khususnya jika kelelahan adalah
hasil dari kerja atau aktivitas yang menyenangkan. Aktivitas 2 jam
atau lebih sebelum waktu tidur membuat tubuh berada pada keadaan
kelelahan yang meningkatkan relaksasi. Akan tetapi, kelelahan
berlebihan yang dihasilkan dari kerja yang meletihkan atau penuh
stres membuat sulit tidur.
7. Asupan makanan dan kalori
Makan dalam porsi besar, berat dan atau berbumbu pada
makan malam menyebabkan tidak dapat dicerna yang mengganggu
tidur. Kafein dan alkohol yang dikonsumsi pada malam hari
mempunyai efek sulit untuk tidur, sehingga mengurangi atau
menghindari zat tersebut adalah strategi penting yang digunakan
untuk meningkatkan tidur (Potter & Perry, 2005).
II.2.9 Tindakan untuk Meningkatkan Tidur Pada Lansia
1. Pola Tidur-Bangun, meliputi:
a. Pertahankan waktu bangun tidur yang teratur.
b. Hilangkan tidur siang kecuali jika tidur siang merupakan bagian
bagian rutin dari jadwal.
c. Apabila melakukan tidur siang, batasi sampai 20 menit atau
kurang dari dua kali sehari.
d. Hindari tidur yang ekstrem, yang menyebabkan rasa kantuk
berlebihan di akhir pekan.
e. Pergi tidur disaat mengantuk
33
f. Jika tidak dapat tidur dalam dalam 15 sampai 30 menit, turun
dari tempat tidur.
2. Lingkungan
a. Tidurlah di tempat Anda paling baik dapat tertidur.
b. Jaga agar kebisingan tetap minimum; jika perlu gunakan musik
yang lembut untuk menyamarkan bising.
c. Gunakan lampu tidur dan jaga agar jalur ke kamar mandi bebas
dari hambatan.
d. Atur temperatur kamar sesuai keinginan; gunakan selimut dan
kaus kaki untuk meningkatkan kehangatan.
3. Medikasi
a. Gunakan sedatif dan hipnotik sebagai upaya terakhir dan hanya
boleh dalam jangka pendek jika sangat diperlukan.
b. Sesuaikan medikasi yang diperlukan untuk kondisi lain dan cari
tahu tentang interaksi obat yang dapat menyebabkan insomnia
atau EDS.
4. Diet
a. Batasi alkohol, kafein, dan nikotin di sore dan malam hari.
b. Konsumsi karbohidrat atau susu sebagai makanan ringan
sebelum tidur.
c. Kurangi asupan cairan 2 sampai 4 jam sebelum tidur.
5. Faktor Fisiologis/ Penyakit
a. Tinggikan kepala tempat tidur dan berikan bantal tambahan
sesuai keinginan.
b. Gunakan analgesik 30 menit sebelum tidur untuk mengurangi
sakit dan nyeri.
c. Gunakan terapeutik untuk mengendalikan gejala kondisi kronik.
6. Terapi relaksasi dan biofeedback, antara lain hipnosis diri , relaksasi
progresif, latihan pernafasan dalam efektif untuk relaksasi, dan
34
imajinasi terbimbing dapat meningkatkan tidur (Potter & Perry,
2005).
II.3 Konsep Relaksasi
II.3.1 Definisi Relaksasi
Relaksasi adalah suatu keadaan dimana seseorang terbebas dari
tekanan dan kecemasan atau kembalinya keseimbangan (equilibrium)
setelah terjadinya gangguan (Oxford-University,1998). Tujuan dari
teknik relaksasi adalah mencapai keadaan relaks menyeluruh, mencakup
keadaan relaks secara fisiologis, secara kognitif dan secara behavioral.
Black dan Matassarin (1997) menyatakan bahwa relaksasi merupakan
teknik yang berhubungan dengan tingkah laku/ tindakan manusia yang
terdiri atas meditasi autogenik training, latihan relaksasi progresif,
guided imagery, pernafasan ritmik/ teratur, operan conditioning dan
biofeedback (Rahmayanti, Yeni. N. (2010). Pengaruh guided imagery
terhadap tingkat kecemasan pada pasien skizoafektif RSJD Surakarta.
http://etd.eprints.ums.ac.id/).
Menurut Potter and Perry (2005), relaksasi merupakan
kebebasan mental dan fisik dari ketegangan stres. Teknik relaksasi
memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau
nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Latihan relaksasi juga dapat
bermanfaat pada saat menjelang tidur. Teknik relaksasi dapat digunakan,
saat individu sehat atau sakit.
II.3.2 Fisiologi Relaksasi
Pada kondisi relaksasi seorang berada dalam keadaan sadar
namun rileks, tenang, istirahat pikiran, otototot rileks, mata tertutup
dan pernapasan dalam yang teratur. Keadaan ini menurunkan
rangsangan dari luar. (Khare, 2000; Udjiati, 2002 ). Perangsangan yang
35
diberbagai area dalam hipotalamus dan penurunan tekanan arteri serta
peningkatan dan penurunan denyut jantung (Guyton and Hall, 2007).
Relaksasi pernapasan memberi respon melawan mass
discharge (pelepasan impuls secara massal). Pada respon stress dari
sistem saraf simpatis. Kondisi menurun tahanan perifer total akibat
penurunan tonus vasokontriksi arteriol (Arnes, 1999; Udjiati, 2002).
Penurunan vasokontriksi arteriol memberi pengaruh pada perlambatan
aliran darah yang melewati arteriol dan kapiler, sehingga memberi
cukup waktu untuk mendistribusi oksigen dan nutrien ke sel, terutama
jaringan otak atau jantung dan menyebabkan metabolisme sel menjadi
lebih baik karena produksi energi ATP meningkat. Pernapasan lamban
menarik nafas panjang dan membuangnya dengan nafas pelan-pelan
juga memicu terjadi sinkronisasi getaran seluruh sel tubuh dan
gelombang medan bioelektrik pun menjadi sangat tenang. (Setiawan,
2000).
II.3.3 Jenis-Jenis Teknik Relaksasi
Teknik relaksasi merupakan tindakan eksternal yang
mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri. Lemone, et.all,
1996 menyebutkan bahwa tindakan relaksasi mencakup 1) latihan
pernapasan diafragma; 2) teknik relaksasi progresif; 3) guided imagery;
4) meditasi. Beberapa contoh teknik relaksasi :
1. Teknik relaksasi pernapasan dalam (deep breathing)
Teknik pernapasan dalam merupakan teknik dasar dari
perkembangan teknik relaksasi lainnya. Dasar konsep teknik
pernapasan adalah semakin banyak paru terpenuhi oleh oksigen
maka semakin turun derajat ketegangan. Teknik relaksasi
pernapasan bermanfaat karna efektif mereduksi kecemasan (misal
karena operasi), depresi, iritabilitas (sensitif, cepat tersinggung )
ketegangan, kelelahan.
36
2. Guided imagery
Guided imagery adalah sebuah proses yang menggunakan
kekuatan pikiran dengan mengarahkan tubuh untuk menyembuhkan
diri memelihara kesehatan atau relaks melalui komunikasi dalam
tubuh melibatkan semua indra (visual, sentuhan, penciuman,
penglihatan dan pendengaran).
3. Teknik relaksasi progresif
Teknik relaksasi progresif adalah teknik relaksasi otot dalam
yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan atau sugesti.
II.4 Konsep Guided Imagery (Imajinasi Terbimbing)
II.4.1 Pengertian Guided Imagery
Imajinasi didefinisikan sebagai penggunaan manfaat kekuatan
imajinasi secara sadar dengan maksud mengaktifkan penyembuhan
biologis, psikologis, atau spiritual (Kozier, 2010). Individu berespons
baik terhadap citra yang dapat menghasilkan perubahan fisik, mental,
emosional, dan spiritual. Sebagian besar citra tidak disadari dan dapat
menghasilkan perubahan. Imajinasi yang disadari melibatkan penciptaan
citra mental apa yang diinginkan dan dapat dibangkitkan dari ingatan,
mimpi, khayalan, dan harapan. Meskipun sering kali dianggap sebagai
visualisasi, imajinasi dapat melibatkan semua indra-melihat, mendengar,
merasakan, meraba, atau bahkan mengecap citra yang tercipta.
Imajinasi terbimbing (guided imagery) adalah sebuah teknik
relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi stres dan meningkatkan
perasaan tenang dan damai serta merupakan obat penenang untuk situasi
yang sulit dalam kehidupan. Imajinasi terbimbing atau imajinasi mental
merupakan suatu teknik untuk mengkaji kekuatan pikiran saat sadar
maupun tidak sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang
membawa ketenangan dan keheningan (National Safety Council. (2004).
37
Konsep imajinasi terbimbing. http://contoh-
askep.blogspot.com/2008/09/konsep-imajinasi-terbimbing.html).
Guided imagery adalah proses yang menggunakan kekuatan
pikiran dengan mengarahkan tubuh untuk menyembuhkan diri
memelihara kesehatan/ relaksasi melalui komunikasi dalam tubuh
melibatkan semua indera (visual, sentuhan, pedoman, penglihatan dan
pendengaran). Dengan begitu terbentuklah keseimbangan antara pikiran,
tubuh dan jiwa. Imajinasi terbimbing yang sederhana adalah
penggunaan imajinasi dengan sengaja untuk memperoleh relaksasi
dan/atau menjauhkan dari sensasi yang tidak diinginkan (Smeltzer and
Bare, 2002).
II.4.2 Dasar Guided Imagery
Imajinasi merupakan bahasa yang digunakan oleh otak untuk
berkomunikasi dengan tubuh. Segala sesuatu yang kita lakukan akan
diproses oleh tubuh melalui bayangan. Imajinasi terbentuk melalui
rangsangan yang diterima oleh berbagai indera seperti gambar aroma,
rasa suara dan sentuhan (Holistic-online, 2006). Respon tersebut timbul
karena otak tidak mengetahui perbedaan antara bayangan dan aktifitas
nyata. Penelitian membuktikan bahwa dengan menstimulasi otak
melalui imajinasi dapat menimbulkan pengaruh langsung pada system
saraf dan endokrin (Tusek, 2000).
II.4.3 Manfaat Guided Imagery
Guided imagery dapat bermanfaat untuk menurunkan
kecemasan, kontraksi otot dan menfasilitasi tidur (Black and Matassarin,
1998). Potter and Perry (2005) juga menyatakan imajinasi terbimbing
(guided imagery) dapat meningkatkan tidur. Teknik guided imagery
digunakan untuk mengelola stres dan koping dengan cara berkhayal atau
membayangkan sesuatu.
38
Menurut Townsend (1977), manfaat guided imagery
diantaranya mengurangi stress dan kecemasan, mengurangi nyeri,
mengurangi efek samping, mengurangi tekanan darah tinggi,
mengurangi level gula darah (diabetes), mengurangi alergi dan gejala
pernapasan, mengurangi sakit kepala, mengurangi biaya rumah sakit,
meningkatkan penyembuhan luka dan tulang, dan lain-lain (Rahmayanti,
Yeni. N. (2010). Pengaruh guided imagery terhadap tingkat kecemasan
pada pasien skizoafektif RSJD Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id/).
II.4.4 Mekanisme Kerja Teknik Relaksasi Guided Imagery dalam
Memenuhi Kebutuhan Tidur
Relaksasi dengan teknik guided imagery akan membuat tubuh
lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya. Dengan melakukan nafas dalam
secara perlahan, tubuh akan menjadi lebih rileks. Perasaan rileks akan
diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing
Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang kelenjar pituitary untuk
meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC) sehingga
produksi enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar pituitary
juga menghasilkan endorphin sebagai neurotransmitter yang
mempengaruhi suasana hati menjadi rileks (Guyton and Hall, 2007).
Imajinasi terbimbing (Guided Imagery) merupakan suatu
teknik yang menuntut seseorang untuk membentuk sebuah
bayangan/imajinasi tentang hal-hal yang disukai. Imajinasi yang
terbentuk tersebut akan diterima sebagai rangsang oleh berbagai indra,
kemudian rangsangan tersebut akan dijalankan ke batang otak menuju
sensor thalamus. Ditalamus rangsang diformat sesuai dengan bahasa
otak, sebagian kecil rangsangan itu ditransmisikan ke amigdala dan
hipokampus sekitarnya dan sebagian besar lagi dikirim ke korteks
serebri, dikorteks serebri terjadi proses asosiasi pengindraan dimana
rangsangan dianalisis, dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata
39
sehingga otak mengenali objek dan arti kehadiran tersebut. Hipokampus
berperan sebagai penentu sinyal sensorik dianggap penting atau tidak
sehingga jika hipokampus memutuskan sinyal yang masuk adalah
penting maka sinyal tersebut akan disimpan sebagai ingatan. Hal-hal
yang disukai dianggap sebagai sinyal penting oleh hipokampus sehingga
diproses menjadi memori. Ketika terdapat rangsangan berupa bayangan
tentang hal-hal yang disukai tersebut, memori yang telah tersimpan akan
muncul kembali dan menimbulkan suatu persepsi dari pengalaman
sensasi yang sebenarnya, walaupun pengaruh / akibat yang timbul
hanyalah suatu memori dari suatu sensasi (Guyton and Hall, 2007).
Amigdala merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja
pada tingkat bawah sadar. Amigdala berproyeksi pada jalur system
limbik seseorang dalam hubungan dengan alam sekitar dan pikiran.
Berlandaskan pada informasi ini, amigdala dianggap membantu
menentukan pola respon perilaku seseorang sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan setiap keadaan. Dari hipokampus rangsangan
yang telah mempunyai makna dikirim ke amigdala. Amigdala
mempunyai serangkaian tonjolan dengan reseptor yang disiagakan untuk
berbagai macam neurotransmitter yang mengirim rangsangan kewilayah
sentralnya sehingga terbentuk pola respons perilaku yang sesuai dengan
makna rangsangan yang diterima (Guyton&Hall, 2007)
Dengan relaksasi nafas dalam secara perlahan sehingga
meningkatnya enkephalin dan endorphin dan dengan adanya suatu
rangsangan berupa bayangan tentang hal-hal yang disukai, lansia akan
merasa lebih rileks dan nyaman dalam tidurnya.
II.4.5 Prosedur Teknik Relaksasi Guided Imadery
1. Anjurkan klien mengenakan pakaian yang longgar.
2. Tidur dengan posisi yang nyaman.
3. Anjurkan klien untuk menutup mata dengan lembut.
40
4. Minta klien menarik napas dalam dan perlahan untuk menimbulkan
relaksasi.
5. Minta klien untuk menggunakan seluruh pancaindranya dalam
menjelaskan bayangan dan lingkungan bayangan tersebut.
6. Mulailah membayangkan tempat yang menyenangkan dan dapat
dinikmati.
7. Minta klien untuk menjelaskan perasaan fisik dan emosional yang
ditimbulkan oleh bayangannya, dan bantu klien untuk mengekplorasi
respons terhadap bayangannya.
8. Ulangi 10 sampai 15 menit sampai Anda tertidur.
9. Ciptakan lingkungan yang sunyi dan bebas dari gangguan (Berman,
2009).
Sebaiknya dilakukan pada waktu kita kesulitan untuk memulai
tidur. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam relaksasi, ada 3
hal yang harus diperhatikan, yaitu : posisi yang nyaman, pikiran yang
tenang dan lingkungan yang nyaman. Dengan melakukan latihan
selama tujuh hari, pemenuhan kebutuhan tidur dapat terpenuhi baik
kualitas maupun kuantitasnya.
II.5 Penelitian Terkait
Penelitian dengan judul yang sama yaitu Pengaruh teknik relaksasi
guided imagery terhadap pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia di RW 06
Kelurahan Rempoa Kecamatan Ciputat Timur Tangerang, belum pernah
dilakukan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Adapun
Penelitian yang berkaitan yaitu :
a. Abidin (2001) pada penelitiannya tentang Pengaruh Teknik Relaksasi
Imajinasi Terhadap Pengurangan Tingkat Nyeri pada Klien Post Op
Fraktur dengan menggunakan desain Quasi Eksperiment yang dilakukan
terhadap klien dengan post operasi fraktur yang hasilnya : relaksasi otot dan
teknik relaksai imajinasi yang dilakukan selama tujuh hari dapat
41
menurunkan nyeri dan membuat rasa nyaman p = 0,448 dengan standar
deviasi 0,971 dengan penurunan intensitas nyeri kelompok intervensi adalah
0,50 (50%) pada 10 responden pada kelompok intervensi. Sedangkan pada
kelompok kontrol hanya 1 responden (10%) yang mengalami penurunan
intensitas nyeri dari 10 responden. Maka dari penelitian ini yang telah
dilakukan terbukti terdapat pengaruh teknik relaksasi imajinasi dan relaksasi
otot terhadap pengurangan tingkat nyeri antara kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol.
b. Saseno (2001) tentang Teknik Relaksasi Dapat Mengurangi Kecemasan
Menghadapi Ujian Di Akademi Perawat Departemen Kesehatan Magelang.
Rencana penelitian eksperimental randomized control group pretest-posttest
design, subjek penelitian 79 orang, alat ukur skala kecemasan T-MAS.
Hasilnya sebelum pra uji tidak ada perbedaan setelah di uji menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara dua kelompok.
c. Waluyo (2004) tentang Efektifitas Imajinasi Terbimbing Terhadap Persepsi
Nyeri Pasien Post Operasi Mayor Hari Pertama yang mengidentifikasi 10
responden yang diberikan imajinasi terbimbing. 9 diantaranya menunjukkan
adanya penurunan nyeri yang signifikan (90%) pada kelompok intervensi.
Sedangkan pada kelompok kontrol 6 dari 10 responden yang mengalami
penurunan nyeri dengan imajinasi terbimbing (60%).
d. Yeni Nur Rahmayanti (2010) tentang Pengaruh Guided Imagery Terhadap
Tingkat Kecemasan pada Pasien Skizoafektif di RSJD Surakarta 2010
dengan jenis penelitian menggunakan quasi eksperimen dengan pretes-
postest with control group design. Jumlah populasi adalah seluruh pasien
skizoafektif sejumlah 309 orang berdasarkan data rekam medik RSJD
Surakarta. Pengambilan sampel menggunakan tingkat kesalahan sebesar
10% dengan menggunakan teknik Purposive Sampling, maka jumlah sampel
penelitian sebesar 20 responden. Pengujian hipotesis menggunakan uji
Mann Whitney Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok
perlakuan sebelum mengalami kecemasan berat. Setelah mendapatkan terapi
42
guided imagery selama tujuh hari, tingkat kecemasan kelompok perlakuan
menjadi ringan 8 responden. Hasil pengujian Mann Whitney Test pada
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah terapi diperoleh nilai p=
0,001, sehingga disimpulkan ada perbedaan kecemasan pada pasien
skizoafektif antara kelompok perlakuan dan kontrol setelah diberikan post
test di RSJD Surakarta.
e. Endrayani Sehono (2010) tentang Pengaruh Teknik Relaksasi Guided
Imagery Terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Pasca Operasi Fraktur di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan rancangan penelitian yang dipakai
adalah Quasi Experimental Design dengan Pre Post Test Control Group
Design. Sampel penelitian adalah sebanyak 40 pasien post operasi dengan
diagnosa fraktur di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan teknik purposive
sampling. Teknik pengolahan data menggunakan teknik analisis t-test.
Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka
kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) tingkat nyeri responden sebelum
perlakuan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebagian besar
mengalami nyeri sedang, (2) Tingkat nyeri responden sesudah perlakuan
pada kelompok eksperimen sebagian besar mengalami nyeri sedang dan
ringan, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata mengalami nyeri sedang,
(3) ada pengaruh yang signifikan teknik relaksasi guided imagery terhadap
penurunan nyeri pada pasien pasca operasi fraktur di Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta.
f. Haris, AB & Muhtar (2010) tentang Pengaruh Tehnik Relaksasi Progresif
Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Istirahat-Tidur Klien Di Ruangan Vip-B
Rsud Bima. Berdasarkan hasil uji statistik yang telah dilakukan, hasil
tersebut menunjukan bahwa t-hitung > t-tabel (11,481 > 1,729) dengan p
value = 0,000. Dengan demikian ada pengaruh teknik relaksasi progresif
terhadap pemenuhan kebutuhan istirahat-tidur klien di ruangan VIP-B
RSUD Bima.
43
II.6 Kerangka Teori



Karaktristik
responden:
1. Jenis kelamin
2. Umur
3. Pendidikan
4. Status
perkawinan
5. Pekerjaan
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
tidur:
1. Penyakit fisik
2. Obat-obatan
3. Gaya hidup
4. Stres
psikologis:
kecemasan
5. Lingkungan
6. Aktivitas fisik
dan kelelahan
7. Asupan
makanan dan
Intervensi
Keperawatan:
1. Pola Tidur-
Bangun
2. Lingkungan
3. Medikasi
4. Diet
5. faktor
Fisiologis/Peny
akit
6. Teknik Relakasi
Guided Imagery
Gangguan Tidur
Pemenuhan
Kebutuhan Tidur
Penyebab
gangguan pola
tidur pada lansia:
1. Perubahan
lingkungan
2. Perubahan
sensori
3. Tekanan
psikologis,
kerusakan
neurologis
4. Perubahan pola
aktivitas
7

Anda mungkin juga menyukai