Anda di halaman 1dari 30

BAB I PENDAHULUAN

Peningkatan kolesterol, peningkatan trigliserida, kadar HDL yang rendah, dan small dense LDL merupakan prediktor independen untuk penyakit jantung koroner. Hipotesis response to retention pada aterosklerosis menyatakan bahwa deposisi kolesterol dalam arteri berbanding langsung dengan kadar lipoprotein plasma dalam sirkulasi. Banyak bukti yang menunjang konsep bahwa lipoprotein tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk tersimpan dalam dinding arteri, hal ini dapat merupakan akibat dari permukaan sel dan matriks ekstraselular yang lebih kuat. Pemahaman terbaru mengenai hipotesisi ini adalah bahwa deposisi kolesterol dalam intima sebanding dengan tingkat paparan arteri terhadap lipoprotein proaterogenik (kaya kolesterol). Lebih dari tiga dekade riset klinis menyatakan hubungan antara trigliserida dengan PJK. Tetapi, karena kompleksitas akan apa yang sebenarnya terukur oleh pemeriksaan trigliserida plasma, menetapkan hubungan yang pasti antara trigliserida dan PJK menjadi suatu hal yang tidak mudah. Penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis diawali proses aterogenik sejak usia anak dengan derajat aterogenesis yang sangat berkaitan dengan faktor-faktor risiko. Deteksi dan pengendalian faktor-faktor risiko inilah yang merupakan dasar pemikiran untuk pencegahan proses aterogenik dalam dua dekade terakhir, walaupun pada kenyataannya jarang mendapat perhatian yang serius. Pencegahan terhadap didapatkannya dan yang memperberat faktorfaktor risiko timbulnya proses aterogenik merupakan konsep tindakan pencegahan

primordial penyakit jantung aterosklerotik. Penyakit jantung koroner tercatat sebagai penyakit pembunuh utama, berbagai faktor risiko telah teridentifikasi, dan salah satunya adalah dislipedemia Dislipidemia adalah suatu keadaan dengan gangguan kadar lipid darah diluar batas-batas normal. Keadaan ini meliputi

terdapatnya peningkatan kadar total kolesterol, low-density lipoprotein (LDL) kolesterol, very low-density lipoprotein (VLDL) kolesterol serta penurunan kadar high-density tlipoprotein (HDL) kolesterol. 1,2 Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia kronik akibat dari kekurangan sekresi insulin atau gangguan kerja insulin atau kedua-duanya. DM jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, saraf, dll. Komplikasi tersebut dapat terjadi secara akut maupun kronis.3,4 ,5 Berdasarkan estimasi McCarty dan Zimmet (1994) yang dilengkapi dengan data Tattersall 1996 dan Askandar Tjokroprawiro (1994, 1996, 1997, 1998), dapat diperkirakan jumlah penderita Diabetes Mellitus (DM) di dunia dan Indonesia. Dari 1994 sampai 2020, jumlah penderita DM di seluruh dunia berturut-turut: tahun 1994 (110.4 juta); 1998 (+150 juta); 2000 (175.4 juta) + 1.5 kali tahun 1994; 2010 (279.3 juta) + 2 kali tahun 1994; dan tahun 2020 (300 juta) + 3 kali tahun 1994. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan prevalensi +1.5%, dapat diperkirakan bahwa jumlah DM (minimal) pada 1994 adalah 2.5 juta; 1998 sebanyak 3.5 juta; tahun 2000 sebanyak 4 juta; tahun 2010 sebanyak 5 juta; dan pada 2020 sebanyak 6.5 juta 6 2 bentuk komplikasi akut pada DM yaitu hipoglikemia dan hiperglikemia. Komplikasi akut ini masih menjadi masalah utama karena angka kematiannya masih tinggi. Komplikasi kronik pada dasarnya dapat terjadi pada semua bagian tubuh (angiopati diabetik) yang dapat dibagi 2 yaitu makroangiopati (makrovaskular) dan mikroangiopati (mikrovaskular). Penyulit kronik yang paling sering dijumpai adalah neuropati kinis (51,4% berdasarkan data yang diambil dari RSUD dr.Sutomo, 68,2% berdasarkan data yang diambil dari RS Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 1998) disusul dengan penurunan kemampuan seksual, keluhan sendi, katarak, TBC paru, hipertensi, PJK, nefropati-diabetik, selulitis-gangren, dan batu empedu.

Baik pada diabetes tipe 1 atau 2 kurang lebih 80% mortalitasnya disebabkan oleh aterosklerotis. Secara umum 75% dari semua mortalitas yang disebabkan oleh aterosklerotis diabetik adalah akibat koroner (PJK) 7. Pada 1993, Askandar Tjokroprawiro melaporkan bahwa 3 (tiga) komplikasi menahun DM tersering adalah dislipidemia (67.0%), neuropati diabetik simptomatik 51.4%, dan disfungsi ereksi/impotensi ( 50.9%).6 Dislipidemia pada DM dapat terjadi sebagai akibat adanya gangguan pada metabolisme lipoprotein. Pada kasus DM type 2, terdapat beberapa ganggguan yang menyebabkan terjadinya disslipidemia, yang meliputi hypertrigliseridemia, penurunan HDL dan perubahan ukuran molekul LDL yang menjadi lebih kecil, hal ini menyebabkan efek atherogenisitas pada vaskular menjadi lebih tinggi 8.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dislipidemia I. Metabolisme Lipid Lipid plasma utama terdiri atas kolesterol, trigliserida, phosfolipid dan free fatty acid. Namun karena lipid ini bersifat hidrofobik maka sirkulasinya dalam darah adalah dalam bentuk kompleks lipid-protein atau lipoprotein. Plasma lipoprotein sendiri, berdasarkan densitasnya, terdiri atas: kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. Komposisi dan fungsi dari tiap lipoprotein ini berbeda-beda. Kandungan terbanyak dari LDL, misalnya, adalah kolesterol (50%) dan phospolipid (25%), sedangkan kandungan terbanyak dari HDL adalah protein (50%).9 Metabolisme lipid dan lipoprotein pada dasarnya terbagi atas 10: 1. Extrahepatic pathway Kolesterol dan free fatty acid yang masuk kedalam tubuh lewat asupan akan diserap di intestinal mikrovili dimana mereka akan dirubah menjadi kolesterol ester dan trigliserida. Kedua zat ini kemudian dikemas dalam bentuk kilomikron dan disekresi kedalam sistem limfatik dan memasuki sirkulasi sistemik. Dikapiler jaringan lemak dan otot, trigliserida mengalami hidrolisis menjadi mono dan diglyserida. Akibatnya, ukuran kilomikron menjadi berkurang dan karenanya ditransfer menjadi HDL. Kilomikron yang tersisa, meskipun mengalami penurunan volume, masih tetap mengandung kolesterol dan trigliserida yang berpotensi menimbulkan atherogenik. Kilomikron ini kemudian dikeluarkan dari sistem sirkulasi oleh hepar, meskipun sebagian kolesterol disekresi sebagai asam empedu kedalam kantung empedu. 4

2. Endogenous pathway Jalan ini dimulai dengan sintesa VLDL oleh hepar yang kemudian disirkulasikan ke jaringan lemak dan otot. Trigliserida yang ada pada zat ini kemudian diambil oleh lemak dan otot sekitar, sedangkan komponen permukaannya ditransfer kebentuk HDL. Sekitar 50% dari VLDL dikeluarkan oleh hepar melalui LDL reseptor. Selain itu, hepar juga dapat mengeluarkan LDL (suatu lipoprotein yang mengandung cholesterol ester dan apoprotein B-100). HDL sendiri merupakan suatu lipoprotein yang disintesa di hepar dan intestinum dan terdiri atas 50% protein dan 20% kolesterol. HDL ini bersifat protektif terhadap aterosklerosis.

Gambar: Metabolisme lipid dan lipoprotein.

Sesaat setelah terjadinya peningkatan kadar LDL dan atau kolesterol, sejumlah monosit akan melekat pada permukaan endotel arteri dan selanjutnya melakukan migrasi kedalam ruangan subendotel. Setelah berbulan-bulan akan terjadi penumpukan kolesterol dan makrofag dalam ruangan subendotel ini dan disebut foam cell. Foam sell yang bertumpuk kemudian akan menimbulkan fatty streak. Sejalan dengan peningkatan kadar kolesterol, sejumlah sel otot halus muncul pada permukaan subendotel. Sel otot halus ini kemudian secara progresif memproduksi kolagen dan membentuk fibrous cap di atas inti lemak dari lesi. Kolagen yang terbentuk secara terus menerus kemudian menimbulkan bentuk athresclerotik yang disebut fibrous plaque.11 Kestabilan plaque sangat menentukan apakah lesi aterosklerosis ini akan menimbulkan kelainan kardiovaskuler. Plaque yang stabil merupakan hasil langsung dari kemampuan sel otot halus untuk memproduksi kolagen dan membentuk fibrous cap. Plaque yang stabil adalah plaque yang memiliki fibrous cap yang tebal yang menghalangi inti lemak kontak dengan darah. Sedangkan plaque yang tidak stabil adalah plaque yang mengandung inti lemak yang tebal atau banyak ditutupi oleh fibrous cap yang tipis. Adanya flow shear stress, hipertensi dan hiperlipidemia akan mengiritasi atau menimbulkan fissura/rupture dari plaque yang ada dan selanjutnya menimbulkan kondisi aterogenik berupa aggregasi platelet dan trombus. Keadaaan ini menimbulkan sumbatan atau obstruksi yang signifikan terhadap vaskularisasi koroner dan menimbulkan manifestasi klinis penyakit kardiovaskuler.9,11 II. KLASIFIKASI DISLIPIDEMIA

Bukti terakhir yang ada menyatakan bahwa peningkatan risiko PJK tidak dapat dijelaskan secara utuh dengan asumsi sederhana bahwa peningkatan kada lipoprotein dalam plasma secara proporsional sama dengan peningkatan deposisi kolesterol dalam arteri. Asumsi yang lebih baik adalah dinding arteri memiliki afinitas yang berbeda untuk 6

subspesies lipoprotein, sehingga lipoprotein yang masuk ke subendotel tidak selalu harus disimpan. Karakteristik seperti ukuran lipoprotein, densitas, komposisi lipid dan apolipoprotein yang menjadi pelengkap merupakan hal yang penting dalam menentukan tingkta retensi di dalam arteri dan respon proinflamasi yang terkait. Dislipidemia ditegakan bila pada pemeriksaan profil lipid pasien didapatkan 12 : LDL > 150 mg/dl Total kolestrol > 200 mg/dl HDL < 40 mg/dl Trigliserida >150 mg/ dl

III.

Pengelolaan dislipidemia I. Umum13 Pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah upaya nonfarmakologis yang meliputi modiflkasi diet, latihan jasmani serta pengelolaan berat badan. Tujuan utama terapi diet disini adalah menurunkan resiko penyakit jantung koroner dengan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol serta mengembalikan kesimbangan kalori, sekaligus memperbaiki nutrisi.Perbaikan keseimbangan kalori biasanya memerlukan peningkatan penggunaan energi melalui kegiatan jasmani serta pembatasan asupan kalori II. Upaya Non Farmakologis Terapi diet Terapi diet dimulai dengan menilai pola makan pasien, mengidentifikasi makanan yang mengandung banyak lemak jenuh dan kolesterol serta berapa serin keduanya dimakan. Jika diperlukan ketepatan yang lebih tinggi untuk menilai asupan gizi, perlu dilakukan penilaian yang lebih rinci, yang biasanya membutuhkan bantuan 7

ahli gizi. Pola kolesterol serum dinilai setelah 4-6 minggu dan kemudian setelah 3 bulan. Target terapi ialah menurunkan kadar kolestrol total hingga kurang dari 200, dan dan LDL < 130 mg/dl. Latihan jasmani Dari beberapa penelitian diketahui bahwa latihan fisik dapat meningkatkan kadar HDL dan Apo AI, menurunkan resistensi insulin, meningkatkan sensitivitas dan meningkatkan keseragaman fisik, menurunkan trigliserida dan LDL, dan menurunkan berat badan. Setiap melakukan latihan jasmani perlu diikuti 3 tahap : 1) Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit 2) Aerobik sampai denyut jantung sasaran yaitu 70-85 % dari denyut jantung maximal ( 220 - umur ) selama 20-30 menit . 3) Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan - lahan, selama 510 menit. Frekwensi latihan sebaiknya 4-5 x/minggu dengan lama latihan seperti diutarakan diatas. Latihan juga dapat juga dilakukan 2-3x/ minggu dengan lama latihan 45-60 menit dalam tahap aerobik.

Terapi farmakologis pada dislipidemic dapat menggunakan moodalitas therapi obat berikut :

Diabetes Melitus Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia kronik akibat dari kekurangan sekresi insulin atau gangguan kerja insulin atau kedua-duanya. Keadaan hiperglikemi yang kronis pada diabetes mellitus dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi kronik beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Komplikasi kronis pada DM dipengaruhi oleh banyak faktor, yang terpenting diantaranya kadar gula darah, hipertensi, dislipidemia dan merokok. selain itu banyak faktor lain yang berperan yaitu asam urat, obesitas, genetik, kurang aktivitas dan sebagainya. Dengan demikian pencegahan komplikasi kronis meliputi 9

semua faktor resiko tersebut, terutama faktor-faktor yang dapat dikoreksi. Dengan kendali glikemi ketat (tight glicemic control) dapat mencegah insidens komplikasi kronik vaskular terutama mikroangiopati disamping dapat memperlambat perlangsungan komplikasi tersebut. Karena itu, hal yang terpenting adalah deteksi diabetes mellitus sedini mungkin dan mengobati seagresif mungkin untuk mencapai kendali glikemi yang ketat dengan kadar A1c < 7%.3

Epidemiologi
Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, jumlah penderita diabetes mellitus terutama tipe 2 meningkat dengan pesat. Pada tahun 1997, penderita DM di dunia menurut WHO sebanyak 124 juta orang dan pada tahun 2010 diperkirakan akan meningkat menjadi 221 juta orang. Jumlah penderita diabetes mellitus yang meningkat terutama di benua Asia sebesar 100%, Afrika 78% dan Amerika Selatan 72% dimana ketiga benua tersebut merupakan pusat negara yang sedang berkembang. Kenaikan ini antara lain karena usia harapan hidup semakin meningkat, diet kurang sehat, kegemukan, serta gaya hidup modern. Menurut survei pada tahun 1993, prevalensi DM di Indonesia terutama di kota besar pada usia 620 tahun adalah 0,26%, usia di atas 20 tahun 1,43%, dan usia di atas 40 tahun 4,16%. Sedangkan di pedesaan, usia di atas 20 tahun 1,47%. Diperkirakan jumlah seluruh penderita diabetes di Indonesia sekitar 2,5 juta orang. Berbagai penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi DM sebesar 1,52,3% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Walaupun demikian, prevalensi DM di daerah rural ternyata masih rendah 1,3.

Screening DM type II American Diabetes Association (ADA) menyepakati bahwa skrining untuk DM hanya dilakukan pada mereka yang dianggap mempunyai resiko tinggi diabetes mellitus, yaitu:

10

Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun) Kelompok usia < 45 tahun dengan keadaan sebagai berikut: Kegemukan > 120% BB idaman atau IMT > 27 kg/m2. Untuk orang Indonesia disesuaikan dengan kriteria Asia yaitu IMT > 25 kg/m2. Hipertensi > 140 / 90 mmHg. Riwayat keluarga DM (ibu / ayah / keluarga). Riwayat kehamilan dengan berat bayi lahir > 4000 gram. Riwayat DM gestasional Dislipidemia (HDL < 40 mg/dl dan atau trigliserida > 150 mg/dl). Pernah TGT atau GPPT

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa plasma sewaktu, kadar glukosa plasma puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun. Pasien dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa plasma puasa terganggu (GPPT) merupakan tahapan sementara menuju DM. Toleransi glukosa terganggu (impaired glucose tolerance) adalah suatu keadaan pra diabetes yang diasosiasikan dengan resiko tinggi berkembang menjadi diabetes tipe 2 dan / atau komplikasi makrovaskular. Pasien-pasien TGT mempunyai glukosa plasma normal, tetapi glukosa plasma postprandial (2 jam PP) meningkat setelah tes toleransi glukosa oral. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi daripada kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.

11

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)4 Bukan DM Kadar glukosa darah sewaktu. Plasma Darah kapiler Kadar glukosa darah puasa. Plasma Darah kapiler * metode enzimatik Diagnosis DM type II Penegakan diagnosis dari DM type II dapat dilakukan melalui bagan pemeriksaan berikut 14 : vena < < 90 110 110 90 109 125 110 126 vena < < 90 110 110 90 199 199 200 200 Belum pasti DM DM

12

Pengelolaan Diabetes Melitus Type 2 I.Pilar utama pengelolaan Diabetes Melitus meliputi hal berikut 3,6,14
1. 2. 3. 4. Edukasi. Diet. Olah Raga. Obat-obatan. Pada dasarnya pengelolaan DM tanpa dekompensasi metabolik dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan kegiatan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (48 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru diberikan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin / obat berkhasiat hipoglikemik dapat segera diberikan. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu. 1. Edukasi Diabetes Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien diabetes, yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal, dan penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. Edukasi merupakan bagian integral dari perawatan utama diabetes.

13

Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi diabetes adalah:


Berikan dukungan dan nasehat yang positif dan hindari terjadinya kecemasan Berikan informasi secara bertahap, jangan sekaligus Mulailah dengan hal yang sederhana, baru kemudian yang lebih sulit Gunakan alat bantu dengar pandang Lakukan pendekatan dengan mengatasi masalah dan lakukanlah simulasi Berikan pengobatan sesederhana mungkin agar kepatuhan lebih baik Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima Jangan memaksakan tujuan pengobatan kita Lakukan motivasi, berikan penghargaan dan diskusikanlah hasil pemeriksaan laboratorium

A. Penyuluhan untuk Pencegahan Primer Penyuluhan untuk pencegahan primer harus diberikan kepada: 1. Kelompok masyarakat risiko tinggi: Masyarakat perlu ditingkatkan kepeduliannya bahwa DM merupakan suatu problem kesehatan masyarakat dan dapat dicegah dengan mengendalikan kegemukan dan meningkatkan kegiatan jasmani, terutama pada resiko tinggi. 2. Perencana kebijakan kesehatan : Perencana kebijakan kesehatan perlu memahami dampak sosio - ekonomik penyakit ini dan betapa pentingnya peran penyuluhan dalam penatalaksanaan DM, sehingga kemudian dapat diambil langkah-langkah untuk meningkatkan fasilitas pelayanan kesehatan bagi pasien DM.

14

Materi penyuluhan : Faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya DM dan usaha untuk mengurangi faktor risiko tersebut. B. Penyuluhan untuk Pencegahan Sekunder Tujuannya ialah kepada kelompok pasien DM, terutama yang baru. Penyuluhan

dilakukan pada pertemuan pertama dan perlu sering diulang serta ditekankan kembali pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya. Materi yang disuluhkan pada tingkat pertama adalah : Diabetes : apakah itu DM Penatalaksanaan DM secara umum Obat-obat untuk menurunkan kadar glukosa darah (tablet dan insulin) Perencanaan makan dengan menggunakan bahan makanan penukar DM dan kegiatan jasmani

Materi penyuluhan pada tingkat lanjutan adalah : Mengenal dan mencegah penyulit akut DM Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain Makan di luar rumah Rencana untuk kegiatan khusus Penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM Pemeliharaan kaki

C. Penyuluhan untuk Pencegahan Tersier Penyuluhan diberikan kepada pasien yang sudah mengidap penyulit menahun DM.

15

Materi yang disuluhkan: Maksud, tujuan dan cara pengobatan pada penyulit menahun DM. Upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan Kesabaran dan ketaqwaan untuk dapat menerima dan memanfaatkan keadaan hidup dengan penyulit menahun. 2. Diet. Ada 2 golongan karbohidrat sebagai diet yakni karbohidrat kompleks dan karbohidrat sederhana. Bila mengkonsumsi karbohidrat kompleks seperti pada roti, nasi, atau kentang, zat ini akan diuraikan menjadi rantai tunggal glukosa, kemudian baru diserap ke dalam aliran darah. Kadar gula memang akan naik, tapi tidak dengan cepat atau banyak. Bila mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat sederhana seperti selai, jeli, sirup, limun, es krim, maka zat yang sudah berupa rantai tunggal glukosa ini segera diserap dan memasuki sistem darah yang mengakibatkan kadar gula darah meningkat dengan cepat. Sebab itu penderita DM dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi makanan berkarbohidrat sederhana. Sebaliknya, untuk diet dianjurkan mengkonsumsi sumber karbohidrat berserat alami seperti roti, biji gandum, biskuit berserat, sayuran, kacang-kacangan dan buah segar (kadar gula rendah). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut : Karbohidrat 60 - 70% Protein 10 - 15% Lemak 20 - 25%

Setiap kali makan dalam jumlah porsi kecil sampai sedang agar tidak membebani pankreas. Buah-buahan yang diajurkan, pepaya, kedondong, pisang, apel, tomat, semangka

16

yang kurang manis. Sedangkan yang tidak dianjurkan adalah sawo, mangga, jeruk, rambutan, durian dan anggur. Dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari hendaknya mematuhi pedoman diet 3-J, yakni jumlah kalori, jadwal diet, dan jenis makanan yang boleh dan yang tidak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan memper tahankan berat badan idaman. Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT). BB (kg) BMI = IMT = -----------------{TB (m)}2 IMT normal Wanita IMT normal Pria = 18,5 23 kg/m2 = 20 25 kg/m2

Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan Rumus Broca, yaitu: BB ideal = (TB 100) 10% Status gizi : Berat Badan kurang Berat Badan normal = < 90% BB ideal = 90 110% BB ideal

Berat Badan lebih = 110 120% BB ideal Gemuk = > 120% BB ideal

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikalikan kebutuhan kalori basal: 30 Kkal/kg BB untuk laki-laki

17

25 Kkal/kg BB untuk wanita Makanan sejumlah kalori terhitung, dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3

porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2 3 porsi (makanan ringan, 1015%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal. Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 7075% juga memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh. Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan mengkonsumsi garam seperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizinkan. Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori.Untuk mendapatkan kepatuhan terhadap pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai bahan penukar akan sangat membantu pasien. 3. Olah raga Olah raga secara teratur bagi penderita DM sangat dianjurkan. Penderita DM disarankan agar berolah raga 6 hari seminggu dalam porsi sedang. Jenisnya berupa aerobik seperti jalan kaki atau senam, paling tidak 20 45 menit/hari. Sebelum mulai berolahraga perlu diketahui keadaan fisik dan status penyakitnya secara pasti. Jangan memilih olahraga yang berhenti mendadak seperti tenis atau badminton. Sebaiknya tidak berolahraga di ruang ber-AC atau terlalu panas. Jika menggunakan suntikan

18

insulin, kadar gula darah harus dipantau sendiri sebelum, selama dan sehabis olahraga. Jika kadar gula > 250 mg%, olahraga ditunda dulu. Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (34 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE (continuous, rhythmical, interval, progressive, endurance training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 7585% denyut nadi maksimal (220

Umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Antara 60% - 80% denyut nadi maksimal ini disebut zone latihan. 4. Obat-obatan. Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur namun pengendalian kadar glukosa darahnya belum tercapai (lihat sasaran pengendalian glukosa darah), dipertimbangkan pemakaian obat-obatan. Obat-obatan dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat anti diabetes oral (OADO) dan Insulin. Obat anti diabetes oral sendiri dibagi lagi menjadi 4 golongan yaitu sekretagoga insulin, biguanid (metformin), glucosidase inhibitor dan insulin sensitizer. Sekretogoga insulin terdiri atas golongan sulfonilurea dan golongan glinide. Golongan glinide merupakan pemacu sekresi insulin dengan aksi kerja cepat dan keberadaan di dalam tubuh yang singkat (fast onfast off). Golongan insulin sensitizer dapat meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat mengurangi resistensi insulin. 4.1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan sulfonilurea, biguanid dan inhibitor glukosidase, harus diperhatikan benar fungsi hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk memberikan obat-obat tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal. Sulfonilurea. Sampai saat ini pemakaian sulfonilurea masih merupakan corner stone pada pengobatan DMT 2 karena obat ini masih terbukti efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah, aman dan dapat ditolerir oleh pasien, serta efek samping yang minimal.

19

Obat golongan sulfonilurea merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari risiko hipoglikemia yang berkepanjangan, pada pasien usia lanjut obat golongan sulfonilurea dengan waktu kerja panjang sebaiknya dihindari. Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang dikenal sebagai sekretagog dan saat ini dianggap mempunyai efek di luar pankreas (ekstra pankreas) yaitu meningkatkan glikogen sintase dan menurunkan pembentukan glukosa hati sehingga menurunkan produksi glukosa hati. Sulfonilurea meningkatkan sekresi insulin dengan adanya reseptor sulfonilurea pada permukaan membran sel yang mengikat sulfonilurea sehingga ATP sensitive K+ channel tertutup menyebabkan ion kalium tidak dapat keluar sel dan mengakibatkan terjadinya proses depolarisasi yang menyebabkan rasio ATP dan ADP meningkat. Hal ini akan mengakibatkan voltage dependent Ca++ channel terbuka, aliran ion kalsium akan masuk ke dalam sel yang akan merangsang granul dalam sitoplasma untuk bergerak ke daerah membran sel sehingga terjadi eksositosis yang pada akhirnya menyebabkan sekresi insulin meningkat. Mekanisme kerja sulfonilurea dari generasi I sampai generasi III adalah sama dengan mekanisme kerja diatas, namun berbeda dalam segi half life, efikasinya dan efek sampingnya. Sebagai implikasi klinik dari pemakaian glikazid jangka lama (dibandingkan dengan klorpropamid, glipizid, gliquidon dan glibenklamid) dari berbagai penelitian terbukti glikazid secara tunggal dapat memperbaiki kontrol glukosa darah baik puasa maupun 2 jam post prandial dan A1c sehingga dapat digunakan sebagai first line pengobatan diabetes tipe 2. Biguanid (Metformin). Golongan metformin merupakan antihiperglikemik dengan indikasi untuk pencegahan DMT 2. Manfaat penurunan resiko diabetes dengan perubahan gaya hidup intensif telah ditunjukkan dalam studi-studi terdahulu dan bukan merupakan hal yang luar biasa, sedangkan hasil yang terbukti dengan pemberian Glucophage merupakan studi pertama untuk penurunan resiko dengan terapi antidiabetik.

20

Mekanisme kerja metformin lebih dari hanya menurunkan kadar glukosa darah. Berbagai data yang dikumpulkan selama beberapa dekade dan telah ditinjau kembali, jelas menunjukkan kelengkapan farmakologik yang luas dari metformin (MET) (dimetil biguanid). Metformin merupakan suatu antihiperglikemik yang bekerja melalui beberapa mekanisme. Satu hal yang diketahui secara umum ialah bahwa metformin tidak meningkatkan sekresi insulin, tidak berefek hipoglikemik dan tidak menyebabkan penambahan berat badan. Efek utama metformin adalah meningkatkan sensitivitas aktivitas insulin di hati dan otot, meningkatkan uptake dan oksidasi glukosa terutama dalam otot dan jaringan lemak, menghambat absorbsi glukosa dalam GIT dan menghambat produksi glukosa dalam hepar. Metformin secara nyata mempunyai efek vaskuloprotektif dan menurunkan faktor resiko kardiovaskular yang berkaitan dengan sindroma metabolik. Obat golongan ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati di samping juga efek memperbaiki ambilan glukosa perifer. Obat golongan ini terutama dianjurkan dipakai sebagai obat tunggal pada pasien gemuk. Biguanid merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya pasien dengan penyakit serebro kardiovaskular) karena meningkatkan efek samping berupa asidosis laktat. Biguanid dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan bersamaan atau sesudah makan. Interaksi obat jarang terjadi sehingga memungkinkan pemberiannya bersama-sama obat lain. Kombinasi dengan sulfonilurea bermanfaat menggantikan atau menunda pemberian insulin. Sedangkan kombinasi dengan insulin dimaksudkan untuk mengurangi kebutuhan insulin. Pada Diabetes Prevention Programme Study (DPP) yang dilakukan oleh US

National Institutes of Health, terbukti metformin dapat menurunkan resiko progesi IGT / TGT menjadi DM tipe 2 sebesar 31% seperti dipublikasikan baru-baru ini. DPP adalah studi

21

pertama di US yang memperlihatkan bahwa diabetes dapat dicegah dengan obat. Sejauh ini belum ada terapi antidiabetik oral dengan indikasi untuk pencegahan diabetes tipe 2. Inhibitor Glukosidase (Acarbose) : Obat golongan ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik sesudah makan. Terutama bermanfaat untuk pasien dengan kadar glukosa darah puasa yang masih normal. Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50 mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika tidak didapati keluhan gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg. Pada pasien yang menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal secara serial, terutama pasien yang sudah mengalami gangguan faal hati dan ginjal. Insulin sensitizing Agent. Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemi. Penggunaan insulin juga memiliki efikasi pengobatan yang tinggi. Insulin dapat mencegah kemunculan komplikasi baik mikro maupun makrovaskullar, dan memberikan kontrol gula darah yang lebih baik pada penderita Diabetes melitus. Indikasi penggunaan insulin pada DM - tipe 2 : Ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat Stres berat (infeksi sistemik, operasi berat). Berat badan yang menurun dengan cepat. Kehamilan / DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan. Tidak berhasil dikelola dengan OHO dosis maksimal atau ada kontra indikasi dengan OHO.

22

Berdasarkan algoritma penanganan diabetes melitus tipe 2, lini pengobatan dapat mengacu pada gambar berikut 15,16:

23

Adapun pemantauan pada terapi pada diabetes melitus maupun progresivitas perburukan dari penyakit dapat di periksa berdasarkan tabel berikut29 :
Kriteria Pengendalian DM Baik Glukosa darah puasa (mg/dl) Glukosa darah 2 jam (mg/dl) Hb A1c (%) Kolesterol total (mg/dl) Kolesterol LDL (mg/dl) tanpa PJK DenganPJK Kolesterol HDL (mg/dl) Trigliserida (mg/dl) tanpa PJK DenganPJK BMI = IMT wanita 80 - 109 110 - 159 4 - 5,9 < 200 < 130 < 100 > 45 < 200 < 150 18,5 - 22,9 Sedang 110 139 160 199 68 200 239 130 159 100 129 35 45 200 249 150 199 23 - 25 Buruk > 140 > 200 >8 > 240 > 160 > 130 < 35 > 250 > 200 > 25 atau < 18,5 Pria Tekanan darah (mmHg) 20 24,9 < 140/90 25 - 27 > 27 atau < 20

140 160 / 90 - > 160/95 95

24

Dislipidemia Pada Diabetes melitus

I.

Abnormalitas lipoprotein pada diabetes Hiperglikemia dan gangguan fungsi insulin merupakan penyebab gangguan

metabolisme lipoprotein pada plasma. Gangguan metabolisme lipoprotein pada diabetes melitus type 2 bermanifestasi pada hypertrigiseridemia dan penurunan kadar HDL, perubahan konformitas LDL menjadi molekul yang lebih kecil yang bersifat lebih atherogenik17. Beberapa faktor yang berkontribusi pada keunculan dislipidemia pada diabetes melitus meliputi : Fungsi regulasi insulin terhadap apoprotein liver dan metabolisme lipid Pada beberapa penelitian, ditemukan bahwa pada orang dengan DM type 2 memiliki protein apolipoprotein B (apo B) yang lebih banyak dibandingkan orang normal, dimana protein ini merupakan penyususn dari VLDL dan LDL. Pada orang normal, segera setelah disintesis, apo B akan segera didegradasi oleh tubuh. Apo B tidak akan didegradasi oleh tubuh ketika Apo B telah berikatan dengan kolestrol. Pada kasus Diabetes Melitus type 2, terjadi lipolisis dalam mencukupi kebutuhan gula dan sebagai respon glukoagon, dimana hasil dari lipolisis akan melepaskan asam lemak dan kolestrol Kolestrol ini yang kemudian akan menyebabkan terjadinya penghambatan pemecahan Apo B. Efek dari fenomena ini menyebabkan peningkatan apo B yang akan membentuk LDL
18,19

. Penyebab lainnya dari gangguan insulin terhadap dislipidemia ialah insulin

ditengarai secara langsung menyebabkan penurunan produksi Apo B oleh hepar. Dengan menurunnya insulin pada DM type 2, terjadi kegagalan inhibisi pembentukan apo B, akibatnya Apo B akan diproduksi terus, sehingga

25

menyebabkan terjadinya peningkatana produksi VLDL yang akan dibubah menjadi LDL yang bersifat aterosklerotik 21. Gangguan protein spesifik Pada orang dengan DM type 2, terjadi perlambatan klirens kilomikron dari darah dibandinkan dengan orang tanpa DM type 2. Hal ini menyebabkan terjadinya postprandial lipemia. Postprandial lipemia pada diabetes melitus type 2 dapat terjadi sebagai akibat klirens dari kilomikron remnan yang terhambat. Secara normal, setelah seseorang memammakan lipid, maka lipid akan dibawa ke hepar dan jaringan adiposit serta otot via kilomikron. Ketika sampai di kilomikron, maka kilomikron akan dipecah oleh enzim lipoprotein lipase yang diaktivasi oleh partikel apo cII. Kilomikron ini kemudian akan melepaskan lipid (trigliserida), dan menjadi kilomikron remnants. Kilomikron remnan mengandung apo b yang mengandung kolestrol sebayanyak 48 % (apob 48) molekul ini sangat aterogenik, dan akan di bawa kembali kehepar dengan bantuan enzim hepatik lipase dan proteoglikan. Pada oraang dengan DM type 2, akan terdapat hambatan sekresi yang berakibat pada penurunan produksi hepatik lipase dan proteoglikan, hal ini akan menyebabkan suatu fenomena yang disebut postprandial lipemia, yang sanngat bersifat atherogenik terhadap pembuluh darah21,22,23,24,25,. Peningkatan kadar LDL peningkatan kadar VLDL sebagai respon pada dislipidemia dengan diabetes menyebabkan terinduksinya enzim cholesteryl ester transfer protein (CETP), enzim ini menyebabkan terjadinya pertukaran molekul trigliserida pada VLDL terhadap kolesterol ester pada HDL dan LDL. 26

Akibatnya ialah terjadi HDL dan LDL sama-sama mengangkut banyak molekul trigliserida, tetapi efeknya ialah terjadi katabolisme trigliserida pada molekul tersebut sebagai akibat dari kerja enzim hepatic lipase. Akibatnya pada molekul LDL ialah perubahan ukuran menjadi lebih kecil dan berdensitas lebih tinggi, yang mana hal ini bersifat lebih atherogenik 26 . secara lebih lanjut, dapat dilohat pada gambar berikut :

27

II.

Hubungan antara dislipidemia diabetik dengan resiko atherosklerosis Adanya diabetes yang dapat memperburuk keadaan dari dislipidemia

akan menyebabkan prognosis dari penyakit ini semakin berat. Berbagai gangguan yang diakibatkan oleh penyakkit ini, menyebabkan efek kerusakan baika pada makro maupun mikrovaskular. Pada kasus ini, mutlak kontrol gula darah penting dalam mencegah terjadinya efek yang lebih fatal. Resiko terjadinya

mkroangiopati dan mikro angiopati akan meningkat lebih pesat dan lebih mungkin terjadi pada diabetik dislipidemia 28. American diabetic society mengeluarkan target terapi diabetse dengan disslipidemia. Ditekankan bahwa acuan sasaran LDL harus dibawah 100 mg/dl, sedangkan HDL harus diatas 45 mg/dl, sedangkan TG harus dibbawah 200 mg/dl. Target ketat yang diberlakukan ini didasarkan atas kesamaan resiko mortalitas dan morbiditas antara pasien dengan penyakit jantung koroner tanpa diabete, dengan pasien dislipidemia diabeteik dengan taret HDL,LDL,dan TG yang tercapai 29. Target berikutnya ialah dengan cara meningkatkan kadar HDL. Peningkatan kadar HDL dimungkinkan dengan penggunaan preparat niacin. Penggunaan niacin sendiri dapat meningkatkan kadar HDL hingga 25%, tetapi perlu dipertimbnagkan karna niacin sendiri apat menyebabkan hiperglikemia yang semakin memperparah kerusakan endotel vaskular. Sebagai alternatif, penggunaan fibrat dan statin juga dapat meningkatkan HDL walaupun tidak setinggi LDL30

28

BAB III KESIMPULAN

Diabetes dan dislipidemia sama sama merupakan stress oksidator terhadap pembuluh darah dimana keduanya dapat menyebabkan makro dan mikroangiopati. Pada diabetes melitus, peningkatann kadar glukosa pada darah secara berkepanjangan akan menyebabkan lesi pada endotel dan dapat berakibat pada pembentukan plak atherosclerosis. Pada kasus dislipidemia, adanyan penigktan akadar TG, LDL, kolestrol total dan penurunan HDL akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif pula pada pembuluh darah, hal ini akan berakibat pula pada makro dan mikroangiopati. Pada kasus diabetik dislipidemia, diaman terjadi peningkatan kadara LDL, TG dan kolestrol total, tetapi terjadi penurunan kadar HDL, yang diinduksi oleh ganggguan sekresi mapun sisntesis insulin pada diabetes melitus type 1, efek makro dan mikro angioptai kan terjadi berkaali-kali lipat. Gangguan sekresi insulin secara nyata menyebabkan peningkatan VLDL sebagai bahan utama pembentuk trigliserida dan LDL, serta menyebabkan ukuran LDL yang semakin kecil tetapi berdensita kolsetrol yang lebih tinggi, yang mana sangat atherogenik terhadap pembuluh darah Kontrol kolestrol dan gula darah merupakan pengobatan mutlak pada kasus ini, pengendalian dapat dilakukan baik melalui terapi farmakologis maupun non farmakologis.

29

30

Anda mungkin juga menyukai