Anda di halaman 1dari 3

Julia Eileen Gillard (48 tahun), seorang perempuan kelahiran Barry Island Wales, telah menyentakkan publik Australia

dan masyarakat dunia karena terpilih sebagai PM (Perdana Menteri) Australia ke-27. Keterkejutan tersebut tidak hanya lantaran terkuaknya pergolakan dalam internal Partai Buruh Australia (Australian Labor Party/ALP) yang memaksa Kevin Rudd mundur dari jabatannya, namun juga karena latar belakang alasan dibalik penunjukkan Gillard untuk menduduki posisi strategis tersebut. Posisi Gillard sebelumnya sebagai Wakil PM Australia, merangkap Menteri Tenaga Kerja, Menteri Sosial, dan Menteri Pendidikan, memang menempatkannya sebagai calon pengganti utama Rudd. Oleh karena itu ketika Rudd dinilai gagal menepati janji-janjinya dan kebijakan kontroversial atas skema perdagangan emisi dan pajak pertambangan, maka anggota parlemen Partai Buruh mengangkat Gillard sebagai PM Australia perempuan pertama dalam sepanjang sejarah politik Australia. Hal ini penting mengingat walaupun mengaku sebagai negara demokrasi Australia masih menunjukkan kepemimpinan politik yang didominasi laki-laki. Paling tidak terdapat empat hal yang menarik untuk dicermati dari kacamata gender dibalik terpilihnya Julia Gillard sebagai wujud representasi formal kaum perempuan dalam institusi pemerintahan Australia.

Pertama, naiknya Gillard ke tampuk pemerintahan tertinggi di Australia telah menciptakan momentum bagi representasi perempuan dalam institusi politik di Australia secara lebih serius. Mengapa perlu lebih serius? Sebagai penyandang reputasi internasional negara pelopor hak-hak politik perempuan, Australia tergolong lambat dibanding negara-negara demokrasi barat lainnya dalam merealisasikan hak-hak politik perempuan secara nyata. Finlandia misalnya, hanya memerlukan waktu setahun bagi kaum perempuannya untuk dilantik sebagai anggota parlemen setelah menikmati hak-hak politiknya pada tahun 1906. Hal serupa juga terjadi di Belanda (1918), Jerman (1919) dan Inggris (1918) dimana pelantikan anggota parlemen perempuan hanya berselang tidak lebih dari satu tahun sejak diberikan hak-hak politiknya. Bahkan kaum perempuan Austria (1919) tidak perlu menunggu tahun berikutnya untuk menikmati hak-hak politiknya sebagai anggota parlemen nasional. Namun, hak suara dalam pemilu dan hak duduk dalam parlemen nasional yang diberikan kepada perempuan Australia pada tahun 1902, baru terealisasi 40 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1943, untuk pertama kalinya perempuan Australia Senator Dorothy Tangney dan Dame Enid Lyons dilantik menjadi anggota parlemen nasional Australia. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa prestasi Australia sebagai pelopor pejuang hak-hak politik perempuan ternyata tidak serta merta diikuti oleh eksistensi akan representasi politik kaum perempuannya di arena publik dan kebijakan legislasi perempuan yang progresif. Situasi representasi perempuan dalam institusi politik Australia saat ini belum juga beranjak terlalu jauh. Jumlah perempuan di Parlemen Australia hingga hari ini hanya sekitar 30,1 persen, sementara posisi sebagai menteri dalam kabinet tidak lebih dari 3-4 orang perempuan saja.

Hal menarik kedua adalah sikap para petinggi dan anggota ALP yang sepakat memilih Gillard menegaskan perubahan orientasi kebijakan yang sensitive gender pada salah satu partai terkuat di Australia tersebut. Pada awal pendiriannya, ALP sebenarnya bukanlah partai yang bervisi misi mendorong representasi politik perempuan. Hal inilah yang membedakannya dengan partai buruh dan partai sosial demokratis di kebanyakan negara lainnya. Kebijakan politik ALP yang egalitarian tersebut, menurut Sawer and Simms (1984) diantaranya dipengaruhi oleh masih melekatnya budaya

Katolik Irlandia dan etos mateship di Australia yang menjadi sumber tidak diikutsertakannya perempuan dalam aktivitas politik. ALP saat itu merupakan tangan politik bagi serikat buruh Australia yang keanggotaannya didominasi oleh laki-laki. Akibatnya kebijakan partai lebih menekankan pada peran laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada masa-masa awal ALP bukanlah termasuk partai yang diminati oleh kaum perempuan Australia. ALP juga tidak berperan signifikan dalam mempelopori representasi politik perempuan dan mengantarkan perempuan pertama Australia untuk menjadi anggota parlemen. Oleh karena itu, sampai dengan tahun 1977 mayoritas anggota parlemen perempuan Australia bukan berasal dari Partai Buruh, melainkan dari Partai Konservatif dan jalur Independen. Namun, memang perlu diakui bahwa pada sejarahnya kemudian ALP turut berkontribusi dalam upaya afirmatif mendukung representasi perempuan. Hal ini terlihat dari terpilih senator Susan Ryan (1983-1988) sebagai menteri pertama dalam kabinet Partai Buruh PM Bob Hawke dan senator Jenny Macklin dari Partai Buruh sebagai wakil PM Australia perempuan pertama (2001-2005). Kondisi inilah yang kemudian memuluskan jalan Gillard sebagai wakil PM Australia perempuan berikutnya pada 2007. Selama menjabat, Gillard menunjukkan upaya keras untuk meningkatkan kesetaraan perempuan. Misalnya, Gillard mengembangkan kebijakan yang meningkatkan angka partisipasi angkatan kerja perempuan, diantaranya di kalangan pengungsi perempuan dan mendirikan Emilys List, kelompok yang mengumpulkan dana untuk membantu perempuan dari partai buruh untuk terpilih. Akhirnya tiga tahun kemudian (2010), 122 anggota parlemen dari partai buruh secara bulat dan tanpa pertentangan memilih Gillard, yang notabene adalah perempuan, sebagai Ketua ALP sekaligus PM Australia.

Ketiga, keberanian Gillard untuk berkompetisi dengan Rudd dalam konvensi Partai Buruh yang membuahkan kemenangan baginya menunjukkan adanya perubahan karakteristik perempuan kelas menengah (middle-class women) di Australia. Sebagai politisi perempuan yang dapat dikatakan termasuk dalam kategori tersebut, Gillard telah berani menunjukkan sikapnya untuk bersedia dipilih sebagai pengganti Kevin Rudd. Walaupun menurut pangakuannya, pada awalnya Gillard tidak berniat menduduki posisi PM, tapi karena ada tekanan dari pihak negara bagian Victoria, New South Wales dan Australia Selatan, maka Gillard berubah pikiran. Hal ini menunjukkan upaya Gillard untuk menegaskan eksistensinya dalam ruang lingkup politik yang lebih luas. Hal ini penting mengingat pada masa lalu karakteristik perempuan kelas menengah Australia lebih banyak berkutat dalam politik di level Negara bagian (states) dan tidak banyak bermain di level nasional (federal). Diantara para politisi perempuan tersebut adalah Edith Cowan (Australia Barat), May Holman (Australia Barat), Millicent Preston Stanley (New South Wales), Irene Longman (Queensland), Lady Millie Peacock (Victoria), Florence Cardell-Oliver (Australia Barat), Ivy Weber (Victoria), Fanny Brownbill (Victoria) dan Mary Quirk (New South Wales).

Hal keempat, kemunculan Gillard, yang berstatus perempuan single (tidak menikah) dan tidak memiliki anak, dalam pentas politik Australia juga mampu mendobrak asumsi yang berkembang tentang motherhood seorang pejabat publik. Secara umum, terdapat ekspektasi sosial bahwa perempuan yang menikah lebih dapat diterima oleh publik daripada perempuan yang belum pernah atau gagal menunjukkan peran kewanitaannya sebagai seorang istri dan ibu. Dalam sejarahnya,

kesembilan anggota parlemen perempuan pertama di Australia adalah perempuan yang menikah, kecuali Millicent Preston Stanley. Karena itulah, aktivitas mereka sebagai anggota parlemen semasa periode Perang Dunia Pertama lebih dianggap sebagai perluasan dari fungsi maternal mereka daripada relasi kekuasaan dalam kompetisinya dengan laki-laki. Negara lebih dilihat sebagai only the larger home dimana tetap ada pembagian tugas yang dianggap alami antara lakilaki/perempuan dan perempuan tetap berperan sebagai pelengkap bagi laki-laki. Meskipun telah terjadi perubahan jaman, asumsi akan lebih dihargainya status perempuan menikah dalam perannya sebagai pejabat publik masih melekat dan menjadi perdebatan di kalangan masyarakat Australia. Perdebatan tentang status Gillard ini telah menjadi bahan perbincangan sejak Gillard pertama kali menjabat sebagai Deputi PM tahun 2007.

Akhirnya, terpilihnya Gillard sebagai PM perempuan pertama akan berkorelasi erat dengan kemungkinan perolehan suara dari kaum perempuan Australia, paling tidak pada Pemilu Nasional bulan Oktober 2010. Banyak kalangan memprediksi bahwa tampilnya Gillard akan mampu mendongkrak perolehan suara Partai Buruh. Gillard juga dipercaya akan mampu bersaing dengan pemimpin partai Oposisi Konservatif, Tony Abbott, dalam memperebutkan posisi PM Australia periode berikutnya. Mengutip berita dari Kompas (25 Juni 2010) berdasarkan jajak pendapat terbaru, kalangan perempuan Australia akan lebih memilih Gillard daripada Abbott dengan perbandingan angka 53 persen lawan 23 persen dalam pemilu selanjutnya. Untuk menuju dan menjaga perolehan tersebut, tentu saja masa pemerintahan transisi dibawah pemerintah Gillard akan menghadapi berbagai tantangan. Namun paling tidak, posisi dan status Gillard sebagai seorang politisi perempuan diharapkan dapat menawarkan keberagaman pandangan politik, yang akan berkontribusi dalam proses demokratisasi pada sistem politik dan pemerintahan Australia.

Anda mungkin juga menyukai