Anda di halaman 1dari 86

1

BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Luka bakar merupakan jenis luka, kerusakan jaringan atau kehilangan jaringan yang diakibatkan sumber panas ataupun suhu dingin yang tinggi, sumber listrik, bahan kimiawi, cahaya, radiasi dan friksi.Luka bakar dapat merusak jaringan otot, tulang, pembuluh darah dan jaringan epidermal yang mengakibatkan kerusakan yang berada di tempat yang lebih dalam dari akhir sistem persarafan (Chemical Burn Causes emedicine Health, 2008). Luka bakar adalah luka pada kulit atau jaringan lain yang disebabkan oleh panas atau terkena radiasi, radioaktivitas, listrik, sentuhan atau kontak dengan bahan kimia. Luka bakar terjadi ketika beberapa atau semua sel pada kulit rusak karena cairan panas (air mendidih), benda panas dan nyala api. Luka bakar adalah masalah kesehatan masyarakat secara global yang diperkirakan menyebabkan 195.000 kematian. Luka bakar paling banyak sekitar 84.000 kasus terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah yaitu Regio WHO Asia Tenggara (WHO, 2012). Pada tahun 2002 Departemen Kebakaran Amerika menemukan sedikitnya 401.000 kasus kebakaran tiap 79 detik dimana 76% kasus kebakaran menyebabkan luka bakar (National Safe Kids Campaign, 2004). Data unit luka bakar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta

mencapai 27,6% pada tahun 2012 (Martina & Wardhana, 2013).

Penyebab luka bakar adalah 60% kecelakaan rumah tangga, 20% kecelakaan kerja dan 20% sebab lain. Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbanyak adalah luka bakar derajat II (Nurdiana dkk., 2008). Berdasarkan kedalamannya luka bakar dibagi menjadi 3 yaitu derajat I, derajat II, dan derajat III. Kerusakan luka bakar derajat II meliputi epidermis dan dermis (Betz, 2009). Luka bakar derajat II dibagi menjadi dua yaitu luka bakar derajat II dangkal / IIA dan II dalam / IIB. Luka bakar derajat IIA memerlukan balutan khusus yang merangsang pembelahan dan pertumbuhan sel (Corwin, 2009). Luka bakar yang luas mempengaruhi metabolisme dan fungsi setiap sel tubuh. Semua sistem terganggu terutama sistem kardiovaskuler. Semua organ memerlukan aliran darah yang adekuat sehingga perubahan fungsi

kardiovaskuler memiliki dampak luas pada daya tahan hidup dan pemulihan pasien (Corwin, 2009). Oleh karena itu luka bakar harus segera ditangani agar tidak terjadi komplikasi dan terjadi proses penyembuhan luka (Morison, 2003). Proses penyembuhan luka adalah proses biologis yang terjadi di dalam tubuh (Guo dan DiPietro, 2010). Proses ini dapat dibagi ke dalam 4 fase utama yaitu koagulasi, inflamasi, proliferasi dan remodeling. Pada fase proliferasi fibroblas adalah elemen sintetik utama dalam proses perbaikan dan berperan dalam produksi struktur protein yang digunakan selama rekonstruksi jaringan (Suriadi, 2004). Fase inflamasi terjadi dari hari 0-5. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha

menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang

putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi (Cotran dan Mitchell, 2008). Salah satu perawatan untuk perawatan luka bakar adalah menggunakan cairan normal saline steril. Normal saline steril adalah larutan fisiologis yang ada diseluruh tubuh, karena alasan ini tidak ada reaksi hipersensivitas dari sodium klorida. Normal saline steril aman

digunakan untuk kondisi apapun. Sodium klorida atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah merah, melindungi granulasi jaringan dan kondisi kering, menjaga kelembapan sekitar luka dan membantu luka menjalani proses penyembuhan luka. (InETNA, 2004). Menurut Taqwim et al. (2009), Penyembuhan luka merupakan proses alamiah dari tubuh, namun seringkali dilakukan pemberian obat-obatan untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Obat-obatan untuk memulihkan dan mempertahankan kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan

penyembuhan luka, saat ini dirasakan relatif mahal. Selain itu, dengan adanya resistensi antibiotika pada bakteri dan efek samping yang berat pada beberapa obat-obatan yang sintesis menjadi alasan tersendiri untuk mengalihkan perhatian pada terapi alternatif (Rohmawati, 2007).

Pengobatan tradisional menggunakan tanaman telah berkembang di antara pengobatan modern saat ini karena besarnya potensi kesembuhan dan beban keuangan yang lebih ringan. Salah satu tanaman yang memiliki khasiat dalam mengobati luka bakar derajat II dangkal adalah buah pare

(Momordica charantia). Pare (bitter melon) merupakan tanaman yang


tumbuh di daerah tropis Amerika digunakan Selatan. sebagai Selain seperti kawasan Asia, Afrika Timur, dan dikonsumsi sebagai yang sayur, pare dilakukan juga Anila

obat. Dari

penelitian

dan Vijayalakshmi (2000). Salah satu kandungan dari pare yang diduga mempunyai

efek antiinflamasi adalah senyawa flavonoid. Senyawa flavonoid yang mempunyai aktifitas inflamasi adalah apginin dan luteolin, selain itu terdapat pula senyawa flavonoid sintesis atau semi sintesis yang berpotensi sebagai obat antiinflamasi, yaitu O-B hidroksiethil rutin dan derivat quercetin (Kurniawati, 2005). Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa ekstrak buah pare memberikan pengaruh dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal pada tikus galur wistar. Pengaruh ekstrak terlihat dari penurunan rata-rata dari pengukuran yang dilakukan dengan pengamatan warna eritema dengan lebar diameter eritema yang dilakukan dari hari pertama sampai hari kesembilan dan fase inflamsi hanya terjadi samapi hari ke 2. Penelitian sebelumnya menggunakan ekstrak buah pare dengan teknik balutan skunder yaitu balutan yang menempel pada balutan primer, pada penelitian kali ini peneliti ingin menggunakan ekstrak buah pare dengan teknik balutan primer yaitu balutan yang langsung menempel pada dasar luka, terdapat berbagai macam jenis balutan primer yang telah berkembang di dunia, namun hanya ada beberapa saja yang ada diindonesia. jenis-jenis balutan primer yang telaha ada di dunia yaitu tujuan peneliti menggunakan teknik balutan primer adalah menyediakan

alternatif pengobatan yang mudah dan efektif terutama bagi daerah yang terpencil dan kalangan yang tingkat ekonominya rendah, Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jackie Stephen-Haynes june 2004 berjudul Evaluation Of a Honeyimpregnated tulle dressing in primary care pada penelitian ini menggunakan madu pada luka ulkus kronis dikaki, pada penelitiannya madu dijadikan balutan primer pada luka ulkus kronis serta luka borok membaik. Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui seberapa besar pengaruh ekstrak pare (Momordica charantia) dengan balutan primer dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal pada tikus putih galur wistar hasilnya diperoleh luka dapat sembuh dan

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana

pengaruh dengan

penggunaan jenis

ekstrak

buah

pare dalam

(Momordica

charantia)

balutan

primer

memperpendek masa inflamasi pada tikus putih galur wistar dengan luka bakar derajat 2 dangkal?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 TUJUAN UMUM


Untuk mengetahui pengaruh ekstrak buah pare (Momordica charantia) dengan jenis balutan primer dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal

1.3.2 TUJUAN KHUSUS


1. Mengidentifikasi masa inflamasi luka bakar derajat II dangkal dengan perawatan standart menggunakan NaCl 2. Mengidentifikasi masa inflamasi luka derajat II dangkal dengan perawatan menggunakan ekstrak buah pare jenis balutan primer 3. Membandingkan pengaruh perawatan standart menggunakan Normal Saline sterile dengan ekstrak buah pare (Momordica charantia) dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat II dangkal

1.4 MANFAAT

1.4.1 BAGI MAHASISWA KEPERAWATAN


Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

mengenai penyembuhan luka bakar derajat 2 dangkal dengan menggunakan buah pare dengan cara balutan primer

1.4.2 BAGI PROFESI KEPERAWATAN


Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu keperawatan khususnya dalam pengobatan luka bakar dengan menggunakan bahan alami dari alam / herbal

1.4.3 BAGI MASYARAKAT


Penelitian ini diharapkan dapat memberi penjelasan ilmiah mengenai manfaat ekstrak buah pare dalam merawat luka bakar, khususnya luka bakar derajat 2 dangkal, sehingga dapat menghemat biaya perawatan

1.4.4 BAGI LEMBAGA RS


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan metode baru dalam perawatan luka bakar khususnya metode balutan primer

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Kulit 2.1.1 Anatomi Kulit
Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok yaitu epidermis, dermis atau korium, dan jaringan subkutan atau subkutis (Harahap, 2000).

Gambar 2.1 Gambaran tiga dimensi kulit. (Dari : Hudak & Gallo : Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik, ed.6, EGC, 1996).

1) Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas : 6 a. Stratum Korneum Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng mati, tidak berinti, protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk). b. Stratum Lusidum Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma berubah menjadi protein disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki. c. Stratum Granulosum Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti. Butir-butir kasar terdiri atas keratohialin. Stratum granulosum tampak jelas di telapak tangan dan kaki. d. Stratum Spinosum

Stratum Spinosum (stratum Malphigi) disebut pickle cell layer (lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel berbentuk polygonal besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti terletak di tengah-tengah. Selsel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan antar sel (intercellular bridges) terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan-tersebut membentuk penebalan bulat kecil disebut nodulus

Bizzozero. Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat sel Langerhans. Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen. e. Stratum Basale Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus

(kolumnar) tersusun vertikal pada perbatasan dermoepidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal mengadakan mitosis berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri dua jenis sel yaitu : 1. Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan antar sel. 2. Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma

10

basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes) (Wasitaatmadja, 2005).

2) Lapisan Dermis
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis lebih tebal dari pada epidermis. Lapisan ini terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. 2) Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya menonjol ke arah subkutan, terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, terdapat fibroblas. Serabut kolagen dibentuk fibroblas,

membentuk ikatan (bundel) mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulum mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang,

berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis (Wasitaatmadja, 2005).

3) Lapisan Subkutis

11

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada lokalisasinya. Di abdomen mencapai ketebalan 3 cm, di kelopak mata dan penis sangat sedikit. Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus di atas dermis (pleksus superfisial) dan di subkutis ( pleksus profunda). ( Wasitaatmadja, 2005).

2.1.2 Fungsi Kulit 1) Fungsi Proteksi


Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi, misalnya zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, contohnya lisol, karbol, asam, misalnya radiasi, sengatan sinar ultra violet; gangguan infeksi luar terutama kuman/bakteri maupun jamur. Melanosit berperan dalam melindungi kulit terhadap sinar matahari dengan mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia terjadi karena sifat stratum korneum impermeabel terhadap

12

berbagai zat kimia dan air, di samping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit terbentuk dari hasil ekskresi keringat dan sebum, keasaman kulit menyebabkan pH kulit berkisar pada pH 5-6.5 sehingga kimiawi terhadap infeksi bakteri merupakan maupun perlindungan jamur. Proses

keratinisasi berperanan sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel-sel mati melepaskan diri secara teratur.

2) Fungsi Absorpsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme. Penyerapan

berlangsung melalui celah antar sel, menembus sel epidermis atau melalui muara saluran kelenjar, lebih banyak yang melalui sel epidermis daripada melalui muara kelenjar.

3) Fungsi Ekskresi
Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa metabolisme tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Kelenjar lemak pada fetus atas pengaruh androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk melindungi kulitnya terhadap cairan amnion, pada waktu lahir dijumpai sebagai vernix

13

caseosa. Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan sebum meminyaki kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit tidak kering. Produk kelenjar lemak dan keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5-6.5.

4) Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan Krause terletak di dermis. Badan taktil Meissner terletak di papila dermis berfungsi sebagai rabaan, badan Merkel Ranvier terletak di epidermis, terhadap tekanan diperankan badan Paccini di epidermis. Saraf-saraf sensorik lebih banyak

jumlahnya di daerah yang erotik.

5) Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi)


Peranan kulit dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi cukup baik. Tonus vaskular dipengaruhi saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi biasanya dinding pembuluh darah belum terbentuk sempurna, sehingga terjadi ekstravasasi cairan, karena itu kulit bayi tampak lebih edematosa karena lebih banyak mengandung air dan Na.

6) Fungsi Pembentukan Pigmen

14

Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal. Perbandingan jumlah sel basal : melanosit adalah 10 : 1. Sel ini jernih berbentuk bulat dan merupakan sel dendrit, disebut clear cell. Melanosom dibentuk oleh alat Golgi dengan bantuan enzim tirosinase, ion Cu, dan O2. Pajanan terhadap sinar matahari mempengaruhi produksi melanosom. Pigmen disebar ke

epidermis melalui tangan-tangan dendrit sedangkan ke lapisan kulit di bawahnya dibawa oleh melanofag (melanofor). Warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb, oksidasi Hb, dan karoten.

7) Fungsi Keratinisasi
Lapisan epidermis dewasa mempunyai tiga jenis sel utama yaitu keratinosit, sel Langerhans, dan melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel basal lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum, makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung terus-menerus seumur hidup dan sampai sekarang belum sepenuhnya dimengerti. Proses ini berlangsung normal selama kira-kira 14-21 hari, dan memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.

8) Fungsi Pembentukan Vitamin D


Mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan tubuh akan vitamin D tidak cukup

15

hanya dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan (Wasitaatmadja, 2005).

2.2 Luka Bakar 2.2.1 Pengertian Luka Bakar


Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang

memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut (Moenadjat, 2003).

2.2.2 Klasifikasi Luka Bakar 1) Kedalaman Luka Bakar a. Luka Bakar Derajat I
hari Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial) Kulit kering, hiperemik berupa eritema Tidak dijumpai bulae Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10

b. Luka Bakar Derajat II


Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi Dijumpai bulae Bulae adalah lapisan epidermis terlepas dari dasarnya (dermis), merupakan suatu proses epidermolisis, disertai

16

akumulasi eksudat membentuk suatu gelembung. Bila ukuran bulae relatif kecil, cukup dibiarkan dan akan mengalami penyembuhan spontan. Bila mengganggu, cairan bulae dilakukan aspirasi tanpa melakukan pembuangan lapisan epidermis yang menutupinya. Bila ukuran bulae cukup luas atau besar, lakukan insisi atau aspirasi menggunakan semprit tanpa membuang lapisan epidermis (Moenadjat, 2003). Bula mulai terbentuk pada suhu 53-57 derajat celcius selama kontak 30-120 detik (Mansjoer, 2000). Pengeluaran cairan paling pesat terjadi dalam 6-8 jam pertama setelah trauma. Cairan di dalam bullae lebih kurang sama dengan cairan plasma, mengandung 4-6% dengan albumin: globulin lebih besar daripada di plasma, elektrolit terutama Na (Marjuki, 1991). Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas kulit normal 1. Dibedakan atas 2 (dua) yaitu : Derajat II dangkal (superficial)

Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari 2. Derajat II dalam (deep)

Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis

17

Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung biji epitel yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.

c. Luka Bakar Derajat III


Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan Tidak dijumpai bulae Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar Terjadi koagulasi protein epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka (Moenadjat, 2003).

18

Gambar 2.2 diagram kedalaman luka bakar (Sumber : Moenadjat, 2003) Tabel 2.1 karakteristik Luka Bakar dalam Berbagai Kedalaman Kedalaman Jaringan yang terkena Kerusakan epitel minimal Penyebab umum sinar matahari Karakteristik Nyeri Penyembuhan

Ketebalan parsial superfisial (derajat I)

KeringTidak ada lepuh Merah muda Pucat dengan tekanan

Sangat nyeri

Sekitar 5 hari

Ketebalan parsial dangkal (derajat II)

Epidermis Cahaya dan minimal Cairan dermis panas

Lembab

Nyeri

Merah Hiperes berbintik atau tetik merah muda Lepuh Sebagian memucat

Sekitar 21 hari, jaringan parut minimal

Ketebalan parsial dermal

Seluruh epidermis, sebagian

Di atas Kering, benda pucat, berlilin padat

Sensitif terhada p

Lama; jaringan parut hipertropik akhir;

19

dalam (derajat II)

dermis, lapisan rambut epidermal dan kelenjar keringat utuh Semua yang di atas, dan bagian dari lemak subkutan, dapat mengenai jaringan ikat, otot, tulang

panas, Tidak pucat kebakaran , jalaran cedera yang kuat

tekana n

pembentukan kontraktur jelas

Ketebalan penuh (derajat III)

Kebakara n terusmenerus, listrik, bahan kimia, dan uap panas

Kasar, Sedikit avaskular, nyeri retak-retak, kuning pucat sampai coklat hingga hangus

Tidak beregenerasi sendiri, memerlukan pencangkok-an

Sumber : Hudak & Gallo, 1996.

Gambar 2.3 Derajat Luka Bakar

2.2.3 Fase Luka Bakar

20

Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan menjadi 3 fase pada luka bakar, yaitu : fase awal/fase akut/fase syok, fase setelah syok berakhir/ fase subakut, dan fase lanjut (Moenadjat, 2003).

1) Fase awal, fase akut, fase syok


Pada fase ini terjadi gangguan saluran nafas karena adanya cedera inhalasi dan gangguan sirkulasi, gangguan

keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termis yang bersifat sistemik.

2) Fase setelah syok berakhir/diatasi, fase subakut


Fase ini berlangsung setelah syok berakhir/dapat diatasi dengan permasalahan kehilangan jaringan yang menyebabkan reaksi inflamasi, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi

hipermetabolisme dan proses penutupan luka. Pada fase ini berlangsung respon inflamasi sistemik yang mengarah pada suatu sindrom disfungsi organ multipel dan sepsis.

3) Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadi maturasi. Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertropik, kontraktur, dan deformitas terjadi karena kerapuhan jaringan atau organ-organ strukturil (Moenadjat, 2003).

2.2.4 Patofisiologi Luka Bakar

21

Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari sumber panas pada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Luka bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar termal, radiasi atau kimia. Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi isi sel. Kulit dan mukosa saluran nafas atas merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang dalam termasuk organ visera dapat mengalami kerusakan karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama dengan agen penyebab (burning agent). Nekrosis dan kegagalan organ dapat terjadi (Smeltzer, 2002). Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan

permeabilitas meninggi. Sel darah di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat tiga. Bila luka bakar kurang dari 20 % biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20 % akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala khas seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi pelanpelan maksimal terjadi setelah delapan jam.

22

Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah, ditandai dengan meningkatnya diuresis

(Sjamsuhidajat, 2004).

Sel darah merah

Laju metabolik

Anemia

Glukogenesis

Keb O2

Aldosteron

Sekresi adrenal

Luka Bakar Kehilangan H2O

Faktor depresan miokard

Retensi Na+

Katekolamin

Insufisiensi miokard

Aliran ke ginjal

Vasokontrik si

Hipovolemi a

CO

23

Kehilangan K+ LFG Aliran ke limpa Asidosis

Gagal ginjal

Hipoksia hepatik

Gagal hepar

Gambar 2.4 : Patofisologi Luka Bakar (efendy,1999)

2.2.5 Keparahan Luka Bakar 1) Luka bakar berat/kritis


a. b. c. Derajat II-III > 40 % Derajat III pada muka, tangan dan kaki Adanya trauma pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka bakar d. e. Luka bakar listrik Disertai trauma lainnya (misal fraktur iga/lain-lain)

2) Luka bakar sedang


a. b. Derajat II 15-40 % Derajat III < 10 % kecuali muka, tangan dan kaki

24

3) Luka bakar ringan


a. b. Derajat II < 15 % Derajat III < 2 % Kategori penderita ini ditujukan untuk kepentingan prognosis berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas

(Moenadjat, 2003).

2.2.6 Zona Cedera Luka Bakar


1)

Zona koagulasi, yaitu daerah yang mengalami kerusakan


(koagulasi protein) akibat pengaruh panas.

2)

Zona statis, yaitu daerah yang berada di luar zona koagulasi.


Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan lekosit terjadi gangguan perfusi diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal. Berlangsung 12-24 jam pasca cedera dan berakhir dengan nekrosis jaringan.

3)

Zona hiperemi, yaitu daerah di luar zona statis, reaksi berupa


vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi seluler. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama (Moenadjat, 2003).

25

Gambar 2.5 Zona cedera pada luka bakar (Sumber : Smeltzer& Bare, 2002).

2.2.7 Ukuran Luas Luka Bakar 1) Rumus Sembilan (Rule of Nines)


Sembilan merupakan cara menghitung luas daerah yang terbakar. Sistem tersebut menggunakan persentase dalam kelipatan sembilan terhadap permukaan tubuh yang luas (Smeltzer, 2002). The rule of nines (Aturan Sembilan) membagi bagian tubuh ke dalam kelipatan dari 9%. Bagian kepala diperhitungkan sebagai 9% dari LPTT (Luas Permukaan Tubuh Total), masing-masing lengan 9%, masing-masing kaki

18%,trunkus anterior 18%, trunkus posterior 18%, dan perineum 1%, dengan total 100% (Hudak & Gallo, 1996). Rumus ini

membantu untuk menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa (Sjamsuhidajat, 2004).

26

Gambar 2.6 Metode Rule of Nines untuk menentukan persentase luas permukaan tubuh yang mengalami cedera luka bakar (Sumber : Effendi, 1999).

2) Metode Lund dan Browder


Metode yang lebih cepat untuk memperkirakan luas permukaan tubuh yang terbakar adalah metode Lund dan Browder yang mengakui bahwa persentase luas luka bakar pada berbagai bagian anatomik, khususnya kepala dan tungkai, akan berubah menurut pertumbuhan. Dengan membagi tubuh menjadi daerah-daerah yang sangat kecil dan memberikan estimasi proporsi luas permukaan tubuh untuk bagian-bagian tubuh tersebut (Smeltzer, 2002). Penggunaan diagram bagan Lund dan Browder ditujukan untuk menentukan keluasan luka bakar yang terjadi pada anak-anak dan bayi (Effendi, 1999).

27

Gambar 2.7

Digram bagan Lund dan Browder. Metode yang

digunakan untuk menghitung LPTT luka bakar sesuai golongan usia (Sumber : Effendi, 1999). Tabel 2.2 Tabel Lund dan Browder Bagian yang terbakar A:Setengah kepala B:Setengah paha C:Setengah tungkaibaw ah Lahir 1 tahun 5 tahun 10 tahun 15 tahun Dewasa

9% 23/4% 2%

8% 31/4% 2%

6% 4% 23/4%

5% 41/4% 3%

4% 4% 31/4%

3% 43/4% 3%

3) Metode Telapak Tangan


Pada banyak pasien dengan luka bakar yang menyebar, metode yang dipakai untuk memperkirakan persentase luka bakar adalah metode telapak tangan (palm method). Lebar telapak tangan pasien kurang lebih sebesar 1% luas permukaan tubuhnya. Lebar telapak tangan dapat digunakan untuk menilai luas luka bakar (Smeltzer, 2002).

2.2.8 Fase Penyembuhan Luka Bakar


1)

Fase Inflamasi
Fase ini berlangsung 3-4 hari pascaluka bakar. Dalam fase ini terjadi perubahan vaskular dan proliferasi selular (Effendi, 1999). Pembuluh darah yang terputus pada luka menyebabkan

28

perdarahan dan tubuh berusaha menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang putus (retraksi), reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena

trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket dan bersama jala fibrin terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah, terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat, 2004). Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyembukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat menyebabkan edema dan pembengkakan . Tanda klinis reaksi radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor) (Sjamsuhidajat, 2004). Aktivitas seluler terjadi pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena adanya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Reaksi pembentukan kolagen baru dipertautkan oleh fibrin, mulai timbul epitelisasi (Sjamsuhidajat, 2004).

2) Fase Fibroblastik (Proliferasi)


Fase yang dimulai pada hari ke 4-20 pascaluka bakar. Pada fase ini timbul sebukan fibroblast membentuk kolagen tampak secara klinis sebagai jaringan berwarna kemerahan

29

(Effendi, 1999). Fibroblast berasal dari sel mesenkim belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam

aminoglisin, dan prolin merupakan bahan dasar kolagen serat yang mempertautkan tepi luka (Sjamsuhidajat, 2004). Pada fase ini, serat-serat dibentuk dan dihancurkan untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka cenderung mengerut. Sifat ini bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast menyebabkan tarikan pada tepi luka. Pada akhir fase ini, kekuatan regangan luka mencapai 25% jaringan normal. Pada fase fibroblastik luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya berpindah mengisi permukaan luka. Proses migrasi terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar, berhenti setelah epitel menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroblastik dengan

pembentukan jaringan granulasi berhenti dan mulai proses pematangan dalam fase penyudahan (Sjamsuhidajat, 2004).

3) Fase Maturasi (Penyudahan / Remodelling)


Pada fase ini terjadi proses pematangan terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan baru terbentuk. Fase ini berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap.

30

Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Edema dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Bentuk akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang berwarna pucat, tipis, lemas tanpa rasa nyeri atau gagal (Sjamsuhidajat, 2004).

2.2.9 Masalah yang terjadi pada proses penyembuhan luka


1)

Eritema kulit & Edema


Proses perbaikan jaringan terdiri dari pengontrolan darah (hemostasis), mengirim darah, dan sel ke area yang cedera. Selama proses hemostasis, pembuluh darah yang cedera mengalami konstriksi dan trombosit berkumpul untuk

menghentikan perdarahan. Jaringan yang rusak dan sel mast mensekresi histamin, menyebabkan vasodilatasi kapiler di sekitarnya dan mengeluarkan serum sel darah putih kedalam jaringan yang rusak sehingga menyebabkan edema dan eritema (Potter, 2005).

2) Bulae
Pada luka bakar derajat II ditandai dengan adanya bulae. Bulae adalah lapisan epidermis yang terlepas dari dasarnya (dermis), merupakan proses epidermolisis, disertai akumulasi eksudat membentuk suatu gelembung (Moenadjat, 2003).

3) Nekrosis jaringan

31

Nekrosis merupakan hasil akhir perubahan perubahan morfologis akibat kerja degradatif progresif enzim yang

mengindikasikan kematian sel. Ini dapat mengenai kelompok sel atau bagian suatu struktur suatu organ (Dorland, 2002).

4) Granulasi
Granulasi merupakan pembentukan jaringan pada dasar luka menjelang proses penyembuhan. Semakin banyak granulasi yang timbul maka luka semakin membaik (Ramali, 2000).

5) Luka kering
Pada fase penyembuhan luka kering merupakan hal yang sangat biasa, karena terjadi peningkatan vaskulerisasi kelenjar sebasea, sekresi berkurang dan keringat juga berkurang. Jadi luka kering merupakan tanda tanda luka sudah mulai sembuh (Barbara, 1996).

6) Jaringan parut
Jaringan parut adalah jaringan dermis dan epidermis berisi protein terkoagulasi bersifat progresif (Moenadjat, 2003). Pada penyembuhan luka jaringan ikat, hidrofi parut akan timbul bila kulit tidak dilengketkan kepada struktur yang ada dibawahnya, bila penekanan dilakukan pada jaringan baru yang sehat, parut dapat dicegah. Jadi dapat disimpulkan bahwa penyembuhan luka yang sempurna jaringan parut harus minimal (Barbara, 1996).

3.0.0

Komplikasi Penyembuhan Luka

32

Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang berbeda beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitelisasi dan juga akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah hematoma, nekrosis jaringan lunak, dehiscence, keloids, formasi hipertropik scar, dan juga infeksi luka.(InETNA,2004)

3.0.1 Faktor Pendukung dan Penghambat Penyembuhan Luka Bakar 1) Faktor-Faktor Yang Mendukung Penyembuhan Luka Bakar

33

Higiene yang baik

Sikap mental yang positif

Kesehatan menyeluruh yang baik Keseimbangan istirahat dan latihan

Balutan yang sesuai Kontrol infeksi Tidak ada inkontinensia Penyembuhan luka

Pengetahuan perawat dan pasien

Usia (muda) Penatalaksanaan luka yang tepat Kontrol nyeri (Effendi, 1999)

Nutrisi yang adekuat

2) Faktor-Faktor Luka Bakar

yang

Menghambat

Penyembuhan

Kesehatan secara umum kurang baik

34

Higiene kurang baik Nutrisi kurang baik Pemakaian alkohol dan rokok yang berlebihan Sirkulasi kurang baik Obat-obat tertentu seperti oksitoksik, steroid

Faktor psikologis; takut, stres

Kurang mobilisasi Penyembuhan Luka Kondisi langsung Usia (tua) Nyeri Penanganan luka kurang tepat (Effendi, 1999).

2.3 Pare (Momordica Charantia) 2.3.1 Sejarah Pare


Peria atau pare adalah tumbuhan merambat yang berasal dari wilayah Asia Tropis, terutama daerah India bagian barat, yaitu Assam dan Burma. Aanggota suku labu-labuan atau Cucurbitaceae ini biasa dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai sayuran maupun bahan pengobatan. Nama Momordica yang melekat pada nama binomialnya berarti "gigitan" yang menunjukkan pemerian tepi daunnya yang bergerigi menyerupai bekas gigitan.(Sudarsono, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002) Peria memiliki banyak nama lokal, di daerah Jawa di sebut sebagai paria, pare, pare pahit, pepareh. Di Sumatera, peria dikenal dengan namaprieu, fori, pepare, kambeh, paria.Orang Nusa

Tenggara menyebutnya paya, truwuk, paitap, paliak, pariak, pania, dan pepule, sedangkan di Sulawesi, orang menyebutnya dengan

35

poya, pudu, pentu, paria belenggede, serta palia.(Sudarsono, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002.)

2.3.2 Taksonomi Pare


Klasifikasi ilmiah Kerajaan Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Violales : Curcubitacea : Momordica : M.Charantia

Nama binomialMomordica charantiaGambar2.8 : Pare

2.3.3 Kegunaan Pare


Di negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan Cina, peria dimanfaatkan untuk pengobatan, antara lain sebagai obat gangguan pencernaan, minuman penambah semangat, obat

pencahar dan perangsang muntah, bahkan telah diekstrak dan dikemas dalam kapsul sebagai obat herbal/jamu. dan Buahnya

mengandung

albuminoid,

karbohidrat,

pigmen.Daunnya

mengandung momordisina, momordina, carantina, resin, dan minyak. Sementara itu, akarnya mengandung asam momordial dan asam oleanolat, sedangkan bijinya mengandung saponin, alkaloid,

triterprenoid, dan asam momordial. (Sudarsono, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002)

36

Peria juga dapat merangsang nafsu makan,menyembuhkan penyakit kuning,memperlancar pencernaan, dan sebagai obat malaria. Selain itu, peria juga mengandung beta-karotena dua kali lebih besar daripada brokoli sehingga berpotensi mampu mencegah timbulnya penyakit kanker dan mengurangi risiko terkena serangan jantung ataupun infeksi virus. Daun peria juga bermanfaat untuk menyembuhkan mencret pada bayi, membersihkan darah bagi wanita yang baru melahirkan, menurunkan demam, mengeluarkan cacing kremi, serta dapat menyembuhkan batuk. Buahnya yang berasa pahit biasa diolah sebagai sayur, misalnya pada gado-gado, pecel, rendang, atau gulai (Sudarsono, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002). Di Cina peria diolah dengan tausi, tauco, daging sapi, dan cabai sehingga rasanya makin enak atau diisi dengan adonan daging dan tofu, sedangkan di Jepang peria jadi primadona makanan sehat karena diolah menjadi sup, tempura, atau asinan sayuran. Ekstrak biji peria selain digunakan sebagai bahan obat, ternyata juga dapat digunakan sebagai pembasmi larva alami yang merugikan seperti larva Aedes aegypti yang menyebarkan penyakit demam berdarah dengue atau DBD (Sudarsono, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002).

2.3.4 Kandungan Kimia Pare

37

Pada penelitian yang dilakukan oleh Anila

dan Vijayalakshmi

(2000), salah satu kandungan dari pare yang diduga mempunyai efek antiinflamasi adalah senyawa flavonoid. Buah pare mengandung albuminoid, karbohidrat, zat warna, karantin, hydroxytryptamine, vitamin A, B dan C. Per 100 gr bagian buah yang dapat dimakan mengandung 29 kilo kalori; 1,1 gr protein; 0,3 gr lemak; 6,6 gr karbohidrat; 45 mg kalsium; 64 mg fosfor; 1,4 mg besi; 180 s.l. nilai vit A; 0,08 mg vit B1; 52 mg vit C dan91,2 gr air.Selain itu juga mengandung saponin, flavonoid, polifenol, alkaloid, triterpenoid, momordisin, gliko sida cucurbitacin, charantin, asam b utirat, asam palmitat, asam linoleat, dan asam stearat, kandungan flavonoid pad buah pare setara dengan fenolik antara 0,121,08/gram/100gram. Daun pare mengandung momordisina,

momordina, karantina, resin, asam trikosanik, asam resinat, saponin, vitamin A, dan C serta minyak lemak yang terdiri d ari asam oleat, asam linoleat, asam stearat d an L.oleostearat.Biji pare mengandung saponin, alkanoid, triterpenoid, asam momordial dan

momordisin.Sedangkan akar pare mengandung asam momordial dan asam oleanolat (Subahar TS, 2004).

2.3.5 Efek Farmakologis Zat Aktif Flavonoid Pada BuahPare

Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang paling beragam dan tersebar luas. Sekitar 5-10% metabolit sekunder tumbuhan adalah flavonoid, dengan struktur kimia dan peran biologi yang sangat beragam Senyawa ini dibentuk dari jalur shikimate dan fenilpropanoid, dengan beberapa alternatif biosintesis. Flavonoid

38

banyak terdapat dalam tumbuhan hijau (kecuali alga), khususnya tumbuhan berpembuluh. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nectar, bunga, buah buni dan biji. Kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuh-tumbuhan diubah menjadi flavonoid.

Mekanisme anti-inflamasi terjadi melalui efek penghambatan jalur metabolisme asam arachidonat, pembentukan prostaglandin,

pelepasan histamin, atau aktivitas 'radical scavenging suatu molekul. Melalui mekanisme tersebut, sel lebih terlindung dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan viabilitas sel. Senyawa flavonoid yang dapat berfungsi sebagai anti-inflamasi adalah toksifolin, biazilin, haematoksilin, gosipin, prosianidin, nepritin, dan lain-lain.

Gambar 2.9 struktur flavonoid

2.3.6 Kegunaan flavonoid

39

1) Anti-inflamasi

Mekanisme anti-inflamasi terjadi melalui efek penghambatan jalur metabolisme asam arachidonat, atau pembentukan aktivitas radical

prostaglandin,

pelepasan

histamin,

scavenging suatu molekul. Melalui mekanisme tersebut, sel lebih terlindung dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan viabilitas sel. Senyawa flavonoid yang dapat berfungsi sebagai anti-inflamasi adalah toksifolin, biazilin, haematoksilin, gosipin, prosianidin, nepritin, dan lain-lain (Lenny, Sofia. 2006).

2) Anti-tumor/Anti-kanker

Senyawa isoflavon yang berpotensi sebagai antitumor/antikanker adalah genistein yang merupakan isoflavon aglikon (bebas). Genistein merupakan salah satu komponen yang banyak terdapat pada kedelai dan tempe. Penghambatan sel kanker oleh genistein, melalui mekanisme sebagai berikut : (1) penghambatan

pembelahan/proliferasi sel (baik sel normal, sel yang terinduksi oleh faktor pertumbuhan sitokinin, maupun sel kanker payudara yang terinduksi dengan nonil-fenol atau bi-fenol A) yang

diakibatkan oleh penghambatan pembentukan membran sel, khususnya penghambatan pembentukan protein yang

mengandung tirosin; (2) penghambatan aktivitas enzim DNA isomerase II; (3) penghambatan regulasi siklus sel; (4) sifat antioksidan dan anti-angiogenik yang disebabkan oleh sifat reaktif terhadap senyawa radikal bebas; (5) sifat mutagenik pada gen endoglin (gen transforman faktor pertumbuhan betha atau TGF).

40

Mekanisme tersebut dapat berlangsung apabila konsentrasi genestein lebih besar dari 5M (Lenny, Sofia. 2006).

3) Anti-virus

Mekanisme penghambatan senyawa flavonoida pada virus diduga terjadi melalui penghambatan sintesa asam nukleat (DNA atau RNA) dan pada translasi virion atau pembelahan dari poliprotein. Percobaan secara klinis menunjukkan bahwa senyawa flavonoida tersebut berpotensi untuk penyembuhan pada penyakit demam yang disebabkan oleh rhinovirus, yaitu dengan cara pemberian intravena dan juga terhadap penyakit hepatitis B. Berbagai percobaan lain untuk pengobatan penyakit liver masih terus berlangsung (Lenny, Sofia. 2006).

4) Anti-alergi

Aktivitas anti-allergi bekerja melalui mekanisme sebagai berikut : (1) penghambatan pembebasan histamin dari sel-sel mast, yaitu sel yang mengandung granula, histamin, serotonin, dan heparin; (2) penghambatan pada enzim oxidative nukleosid-3,5 siklik monofast fosfodiesterase, fosfatase, alkalin, dan penyerapan Ca; (3) berinteraksi dengan pembentukan fosfoprotein. Senyawasenyawa flavonoid lainnya yang digunakan sebagai anti-allergi antara lain terbukronil, proksikromil, dan senyawa kromon ( Lenny, Sofia. 2006).

5) Penyakitkardiovaskuler

41

Berbagai pengaruh positif isoflavon terhadap sistem peredaran darah dan penyakit jantung banyak ditunjukkan oleh para peneliti pada aspek berlainan. Khususnya isoflavon pada tempe yang aktif sebagai antioksidan, yaitu 6,7,4- trihidroksi isoflavon (Faktor-II), terbukti berpotensi 5g/ml) sebagai dan anti juga kotriksi pembuluh darah

(konsentrasi

berpotensi

menghambat,

pembentukan LDL (low density lipoprotein). Dengan demikian isoflavon dapat mengurangi terjadinya arterosclerosis pada

pembuluh darah. Pengaruh isoflavon terhadap penurunan tekanan darah dan resiko CVD (cardio vascular deseases) banyak dihubungkan dengan sifat hipolipidemik dan hipokholesteremik senyawa isoflavon (Lenny, Sofia. 2006).

6) Estrogen dan Osteoporosis

Pada wanita menjelang menopause, produksi estrogen menurun sehingga menimbulkan berbagai gangguan. Estrogen tidak saja berfungsi dalam sistem reproduksi, tetapi juga berfungsi untuk tulang, jantung, dan mungkin juga otak. Dalam melakukan kerjanya, estrogen membutuhkan reseptor estrogen (ERs) yang dapat on/off di bawah kendali gen pada kromosom yang disebut _-ER. Beberapa target organ seperti pertumbuhan dada, tulang, dan empedu responsif terhadap _-ER tersebut. Isoflavon,

khususnya genistein, dapat terikat dengan _-ER. Walaupun ikatannya lemah, tetapi dengan -ER mempunyai ikatan sama dengan estrogen. Senyawa isoflavon terbukti mempunyai efek hormonal, khususnya efek estrogenik. Efek estrogenik ini terkait

42

dengan struktur isoflavon yang dapat ditransformasikan menjadi equol. Dimana equol mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Mengingat hormon estrogen

berpengaruh pula terhadap metabolisme tulang, terutama proses kalsifikasi, maka adanya isoflavon yang bersifat estrogenik dapat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses kalsifikasi. Dengan kata lain, isoflavon dapat melindungi proses osteoporosis pada tulang sehingga tulang tetap padat dan masif ( Lenny, Sofia. 2006).

7) Anti kolesterol

Efek isoflavon terhadap penurunan kolesterol terbukti tidak saja pada hewan percobaan seperti tikus dan kelinci, tetapi juga manusia. Pada penelitian dengan menggunakan tepung kedelai sebagai perlakuan, menunjukkan bahwa tidak saja kolesterol yang menurun, tetapi juga trigliserida VLDL (very low density lipoprotein) dan LDL (low density lipoprotein). Di sisi lain, tepung kedelai dapat meningkatkan HDL (high density lipoprotein) (Amirthaveni dan Vijayalakshmi, 2000). Mekanisme lain penurunan kolesterol oleh isoflavon dijelaskan melalui pengaruh peningkatan katabolisme sel lemak untuk pembentukan energi yang berakibat pada penurunan kandungan kolesterol ( Lenny, Sofia. 2006).

2.3.7 Saponin Pada buah Pare

Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas pada tumbuhan tingkat tinggi. Saponin membentuk larutan koloidal dalam air dan membentuk busa yang mantap jika

43

dikocok

dan

tidak

hilang

dengan

penambahan

asam

(Harbrone,1996). Saponin merupakan golongan senyawa alam yang rumit, yang mempunyai massa dan molekul besar, dengan kegunaan luas (Burger et.al,1998) Saponin diberi nama demikian karena sifatnya menyerupai sabun Sapo berarti sabun. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa bila dikocok dengan air. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. Dikenal juga jenis saponin yaitu glikosida triterpenoid dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai spirotekal. Kedua saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter. Aglikonya disebut sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau hidrolisis memakai enzim (Robinson,1995).

Di kehidupan sehari-hari kita sering melihat peristiwa buih yang disebabkan karena kita mengkocok suatu tanaman ke dalam air. Secara fisika buih ini timbul karena adanyapenurunan tegangan permukaan pada cairan (air). Penurunan tegangan

permukaandisebabkan karena adanya senyawa sabun (bahasa latin = sapo) yang dapatmengkacaukan iktan hidrogen pada air. Senyawa sabun ini biasanya memiliki dua bagianyang tidak sama sifat kepolaranya. Dalam tumbuhan tertentu mengandung senyawa sabun yang biasa disebut saponin.Saponin berbeda struktur dengan senywa sabun yang ada. Saponin merupakan jenisglikosida. Glikosida adalah senyawa yang terdiri daro glikon (Glukosa, fruktosa,dll) danaglikon (senyawa bahan aalam lainya). Saponin umumnya berasa pahit dan dapatmembentuk buih saat dikocok dengan air. Selain itu juga bersifat beracun untuk beberapahewan berdarah dingin (Najib, 2009).

44

Saponin merupakan glikosida yang memiliki aglikon berupa steroid dan triterpen.Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul karbohidrat. Steroidsaponin dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai saraponin.

Saponintriterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat. Dihidrolisismenghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Masing-masing senyawa ini banyak dihasilkan di dalam tumbuhan (Hartono, 2009). Tumbuhan yang mengandung sponin ini biasanya memiliki Genus Saponaria dari Keluarga Caryophyllaceae. Senywa saponin juga ditemui pada famili

sapindaceae,curcurbitaceae, dan araliaceae.

Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui mungkin sebagai penyimpan karbohidrat atau merupakan weste product dan metabolism tumbuh-tumbuhan kemungkinan lain adalah sebagai pelindung terhadap serangan serangga. Sifat-sifat Saponin : a. Mempunyai rasa pahit b. Dalam larutan air membentuk busa stabil c. Menghemolisa eritrosit d. Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi e. Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksiteroid lainya f. Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi

45

g. Berat molekul relative tinggi dan analisi hanya menghasilkan formula empiris yang mendekati

Toksisitasnya mungkin karena dapat merendahkan tegangan permukaan (Surface tenstn) dengan hidrolisis lengkap akan

dihasilkan sapogenin (aglikon) dan karbohidrat (heksosa, pentose, dan Saccharic acid) (Kim Nio,1989).

1) KLASIFIKASI
Saponin diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia menjadi dua yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid.

a. Saponin steroid
tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan satu aglikon yang dikenal sebagai sapogenin.Tipe saponin ini memiliki efek antijamur.Pada binatang menunjukan penghambatan aktifitas otot polos. Saponin steroid diekskresikan setelah koagulasi dengan asam glukotonida dan digunakan sebagai bahan baku pada proses biosintetis obat kortikosteroid. Saponin jenis ini memiliki aglikon berupa steroid yang di peroleh dari

metabolisme sekunder tumbuhan.Jembatan ini juga sering disebut dengan glikosida jantung, hal ini disebabkan karena memiliki efek kuat terhadap jantung.

46

Gambar 3.0 Struktur Saponin Steroid

Salah satu contoh saponin jenis ini adalah Asparagosida (Asparagus sarmentosus), Asparagus Senyawa ini terkandung yang di

dalamtumbuhan

sarmentosus

hidup

dikawasan hutankering afrika. Tanaman ini juga biasa digunkan sebagai obat antinyeri dan rematik oleh orang afrika (Amirt Pal,2002).

Gambar 3.1 Struktur Asparagosida

b. Saponin triterpenoid
tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat. Dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin ini merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat

47

asetilasi sehingga dapat dimurnikan. Tipe saponin ini adalah turunan -amyrine (Amirt Pal,2002).

Gambar 3.2 Struktur Saponin Triterpenoid Salah satu jenis contoh saponin ini adalah asiacosida. Senyawa ini terdapat pada tumbuhan Gatu kola yang tumbuh didaerah India. Senyawa ini dapat dipakai sebagai antibiotik (Amirt Pal,2002).

Gambar 3.3 Struktur Asiacosida

48

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 KERANGKA KONSEP


Pare Ekstrak Pare : Alkaloid, triterpenoid, saponin, flavonoid Mediator inflamasi : Histamin,bradikinin, serotonin, sitokinin LB

Confounding: Nutrisi, hygiene, penanganan yang tidak tepat, infeksi

Inflamasi

Perawatan steril Nacl

Perawatan dengan ekstrak pare

Masa inflamasi memendek (<3 hari) Keterangan : 3.1.1 3.1.2

Masa Inflamasi Tetap (3-4 hari)

Masa Inflamasi Memannjang (>4hari)

: Variabel yang tidak dilakukan penelitian : Variabel yang dilakukan penelitian

46

49

Pada kerangka konsep ini dijelaskan bahwa peniliti ingin melakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak buah pare terhadap masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal. Luka bakar derajat 2 dangkal akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan tersebut tubuh akan mengakibatkan pembuluh darah yang putus dan tubuh berusaha menghentikan dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang putus. setelah itu tubuh akan memicu mediator inflamasi seperti: histamin, bradikinin, serotonin, sitokinin. Setelah itu akan terjadi reaksi inflamasi. Pada kali ini peneliti mempunyai gagasan baru mengenai ekstrak buah pare dalam memperpendek masa inflamasi. Peneliti disini membuat 2 kelompok yakni kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok kontrol dengan perawatan steril menggunakan Nacl sedangkan kelompok perlakuan menggunakan ekstrak buah pare. setelah itu peneliti ingin mengetahui masa inflamasi dari masing-masing kelompok tersebut. Dari kedua kelompok tersebut apakah masa inflamasinya memendek, tetap, atau memanjang. Dalam hal ini masa inflamasi dikatakan memendek apabila kurang dari 3-4 hari. Masa inflamasi dikatakan tetap apabila masa inflamasi dalam nilai normal 3-4 hari. Masa inflamasi dikatakan memanjang apabila masa inflamasi lebih dari 4 hari. Pada kerangka konsep tersebut terdapat dua variabel yaitu variabel yang dilakukan penelitian dan yang tidak dilakukan penelitian. Variabel yang dilakukan penelitian digambarkan dengan menggunakan garis tidak putus-putus, sedangkan variabel yang tidak dilakukan penelitian digambarkan dengan menggunakan garis putusputus.

50

3.2 HIPOTESIS PENELITIAN


3.2.1 Ho : Tidak ada pengaruh ekstrak buah dalam

memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal 3.2.2 Hi : Ada pengaruh ekstrak buah pare dalam

memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal

51

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian true eksperimental dengan menggunakan hewan coba tikus wistar, untuk membuktikan pengaruh ekstrak buah pare dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat II dangkal pada tikus wistar.

4.2 Materi Penelitian 4.2.1 Populasi


Penelitian ini menggunakan populasi hewan coba tikus wistar yang dilakukan pembuatan luka bakar derajat II dangkal menggunakan air mendidih (suhu 1000C).

4.2.2 Sampel
Sampel akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pembagian kelompok ini dilakukan dengan cara simple random sampling sebagai salah satu syarat penelitian jenis True eksperimental . Pada penelitian ini diperlukan dua perlakuan dengan perhitungan: P ( n 1 ) 15 P adalah jumlah perlakuan dan n adalah banyaknya sampel tiap kelompok perlakuan. 2 ( n 1 ) 15 n 1 7,5

49

52

n8 Jadi dalam penelitian ini didapatkan jumlah sampel pada tiap kelompok perlakuan sebanyak 9, sehingga jumlah sampel secara keseluruhan dibutuhkan minimal 18 (Sudigdo, 1995).

4.2.3 Kriteria Sampel


Sampel yang ditentukan sebagai subyek penelitian adalah 18 tikus wistar yang dibuat luka bakar derajat II dangkal dengan kriteria sebagai berikut yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Usia 3-4 bulan dan berat badan 200 - 250 gram Jenis kelamin jantan Sehat ( tidak mengalami gangguan fisik) Luas luka bakar sama 1x2 cm2 Penyebab luka bakar sama yaitu air mendidih 100 derajat celcius 6. Mendapatkan nutrisi yang sama.

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Kimia Fakultas MIPAdan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Malang tahun 2013. Waktu penelitian dari pengajuan proposal sampai pembuatan laporan penelitian pada bulan Mei

53

4.4 Definisi Operasional


No 1 Variabel Penelitian Luka bakar derajat II dangkal Definisi Operasional Luka yang disebabkan oleh kassa steril yang dicelupkan ke dalam air mendidih 100C dan ditempelkan di punggung tikus wistar sebelah kanan dengan ukuran 1x2 cm2 kurang lebih selama 30 detik, lalu kassa steril diangkat dan kemudian ditunggu sampai munculnya bula (6-8 jam) dan dikompres dengan kassa steril yang dicelupkan pada air dingin steril untuk mengurangi derajat luka bakar yang lebih dalam. Produk yang dihasilkan oleh hasil olahan dari buah pare melalui metode ekstraksi dingin menggunakan pelarut etanol Parameter Hasil Skala Ukur Permukaan Luas Ordinal kulit terlihat permukaa merah n luka 1x2 berbintik cm2 atau lepuh sebagian memucat

Ekstrak pare

Cairan Luka Nominal kental yang dirawat berwarna dengan ektrak pare yangditete skan mengguna kan spuit tapa jarum secara merata Hari Rasio

Masa inflamasi luka bakar derajat II dangkal

Waktu yang Eritema diperlukan untuk kulit mengembalikan kulit dari terjadinya perubahan warna kemerahan, perubahan massa (nyeri), perubahan panas, serta nyeri luka bakar derajat II dangkal mulai dari

54

hari pertama dilakukan pembuatan luka sampai dengan kulit kembali seperti semula. Dihitung dengan hitungan hari (3-4 hari) dan difoto setiap hari menggunakan kamera sony dengan 12 megapixel dan lebar diameter eritema Perawatan Intervensi pada luka luka bakar bakar derajat II derajat II dangkal dibersihkan dangkal dengan normal dengan saline 0.9% setelah mengguna itu dioleskanekstrak kan pare secara tipis dan ekstrak merata kemudian di pare tutup dengan kassa steril dan dibalut dengan perban dilakukan sehari 3 kali setiap pagi, siang, dan sore haridi mana perawatan dilakukan peneliti. Perawatan Suatu tindakan yang steril dilakukan dengan mengguna menggunakan alat, kan nacl bahan dan teknik merawat secara steril dengan memberikan larutan nacl yang kemudian dibalut mengguanakan kassa

Luka dalam keadaan tertutup kassa steril

Luka Nominal dirawat dengan ektrak pare yang ditaburkan secara tipis dan merata

Alat dan bahan sterilserta tindakan perawatan secara steril.

Alat dan Nominal bahan disterilkan serta luka bakar dirawat dengan teknik steril.

55

4.3 Variabel Penelitian 3.3.1 Variabel Bebas


Perawatan luka bakar derajat II dangkal menggunakan ektrak pare.

3.3.2 Variabel Tergantung


Masa inflamasi luka bakar derajat II dangkal.

4.4 Instrumen Penelitian 4.4.1 Hewan coba :Tikus Wistar


Pada penelitian ini digunakan Tikus wistar karena secara anatomis kulit tikus (Rattusnovergicus) tidak berbeda dengan

hewan coba lainnya seperti mencit, marmut, dan kelinci. Selain itu, hewan coba ini memiliki struktur kulit, alat pencernaan, kebutuhan nutrisi dan memiliki homeostasis yang serupa dengan manusia (Susilawati dalam Handayani,1999).

4.4.2 Tempat Perawatan Tikus Wistar


Prinsip kandang tikus laboratorium yaitu ditempatkan pada kotak yang mudah disterilkan, mudah dibersihkan, tahan lama, tahan digigit dan tidak dapat lepas. Tetapi persyaratan yang paling penting adalah persyaratan fisiologis dan tingkah laku yaitu meliputi menjaga lingkungan tetap kering dan bersih, suhu memadai, dan memberi ruang yang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi. Selanjutnya sistem kandang harus dilengkapi makanan dan minuman yang mudah dicapai oleh tikus. Ukuran kandang yang dianjurkan adalah 900 cm2 untuk sepasang tikus bibit, dan 1800 cm2 cukup untuk seekor induk

56

dengan anak. Jumlah tikus harus sesuai atau tidak terlalu banyak karena bila tikus berdesak-desakan menyebabkan suhu badan meningkat di atas normal sehingga dapat mengalami hipertermi. Cara membersihkan kandang, yaitu dengan mengganti alas misalnya sekam atau serbuk gergaji, sekam diganti 3 hari sekali agar tetap kering dan tidak lembab (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Gambar 4.1 Kandang tikus

4.4.3 Nutrisi Tikus Wistar 1) Makanan tikus


Bahan dasar makanan tikus dapat juga bervariasi misalnya protein 20-25%, lemak 5%, pati 5-50%, serat kasar 5%, vitamin dan lain-lain. Setiap hari seekor tikus dewasa makan antara 1220 gram makanan. Keperluan mineral dalam makanan tikus adalah kalsium 0,5%, fosfor 0,4%, magnesium 400 mg/Kg,

57

kalium 0,36%, natrium, tembaga, yodium, besi, mangan, seng (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

2) Minuman tikus
Tikus minum air lebih banyak sehingga minuman harus

selalu tersedia, maka dapat digunakan botol yang dipakai untuk air minum, air minum setiap hari tikus dewasa minum 20-45 ml air (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

4.4.4 Alat dan Bahan Pembuatan Luka Bakar Derajat II dangkal


Alat dan bahan yang diperlukan untuk pembuatan luka bakar derajat II dangkal antara lain 20 ekor tikus wistar, air mendidih dengan suhu 100o C, air dingin steril, pisau cukur dan gagangnya, penggaris, aquabides, kom steril, pinset anatomis, obat anastesi (lidocain ), spuit 5cc dan jarum steril, alkohol 70%, kapas atau kassa steril, sarung tangan steril, bengkok, perlak dan alasnya, arloji, jas lab ( Oswari, dalam Kristianto 2005).

4.4.5 Alat dan Bahan Perawatan Luka Bakar Derajat II dangkal


Alat dan bahan yang diperlukan untuk perawatan luka bakar derajat II dangkal antara lain bak instrumen steril, pinset anatomis, spuit 5 cc dan jarum steril, sarung tangan steril, kassa steril, perlak yang dilapisi kain, tas plastik untuk membuang sampah, bengkok, kom steril, korentang dan tempatnya, kassa atau perban, plester, gunting plester, normal saline 0,9 % ( Oswari, 2000 dalam Kristianto, 2005 ).

58

4.4.6 Alat dan Bahan Pembuatan Ekstrak Buah Pare


Alat dan bahan yang diperlukan untuk pembuatan ekstrak buah pare antara lain gelas erlemenyer, corong gelas, kertas saring, labu evaporator, pendingin spiral / rotary evaporator, selang water pump, water pump, water bath, vakum pump, lemari pendingin / freezer, pemanas air, botol hasil ekstrak, buah pare, aquades, etanol 90 % (Harbrone. J. B, 1987).

4.5 Prosedur Penelitian 4.5.1 Prosedur Perawatan Luka Bakar


1) Perawatan standart menggunakan nacl a. Terdapat set perawatan luka yang terdiri dari : bak instrumen steril yang didalamnya terdapat kom kecil, kassa steril, pinset anatomis, handscoon, gunting. b. c. Cairan NaCl 0,9% Setelah semua alat siap, cairan nacl dituangkan ke dalam kom kecil d. Masukkan kassa steril ke dalam kom kecil yang berisi cairan nacl 0,9 % lalu peras e. Bersihkan luka dengan kassa yang telah dibasahi dengan cairan nacl 0,9% f. Ambil kassa lain yang telah dibasahi dengan cairan nacl 0,9% dan diperas lalu dilebarkan dan diletakkan diatas luka yang telah diukur lebar dan panjangnya. g. h. Letakkan kembali kassa kering diatas kassa tersebut Plester sesuai dengan kebutuhan

59

2)

Perawatan menggunakan ekstrak pare a. Terdapat set perawatan luka yang terdiri dari : bak instrumen steril yang didalamnya terdapat kom kecil, kassa steril, pinset anatomis, handscoon, gunting. b. c. Cairan NaCl 0,9% dan ekstrak pare Setelah semua alat siap, cairan nacl dan ekstrak pare dituangkan ke dalam kom kecil d. Masukkan kassa steril ke dalam kom kecil yang berisi cairan nacl 0,9 % lalu peras e. Bersihkan luka dengan kassa yang telah dibasahi dengan cairan nacl 0,9% f. Oleskan ekstrak buah pare pada luka tersebut lalu berikan kassa yang dilebarkan dan diletakkan diatas luka yang telah diukur lebar dan panjangnya. g. h. Letakkan kembali kassa kering diatas kassa tersebut Plester sesuai dengan kebutuhan

4.5.2 Prosedur Pembuatan Ekstrak Buah Pare


Metode yang digunakan untuk pembuatan ekstrak buah pare ini adalah menggunakan metode ekstraksi dingin. Ekstraksi buah pare merupakan proses pemisahan senyawa-senyawa dari campuran bahan-bahan lain dengan menggunakan pelarut etanol 90% karena larut dengan air dan dibuat dengan ekstraktor. Pembuatan ekstrak buah pare akan mengikuti standart pembuatan ekstrak di Laboratorium Kimia Fakultas MIPA Universitas Muhammadiyah Malang.

60

Buah pare yang digunakan ditimbang terlebih dahulu dan didapatakan berat buah pare sebelum dan sesudah dikeringkan adalah 1000 gram dan 550 gram. Buah pare mula-mula dibersihkan, dicuci dengan air dan dipotong kecil-kecil. Lalu dikeringkan dengan cara diletakkan ditempat terbuka dengan sirkulasi udara yang baik dan tidak terkena sinar matahari langsung dengan ditutup kain flannel hitam, karena pada pengeringan dengan suhu terlalu tinggi akibat terkena sinar matahari secara langsung dapat merusak komponen aktif dalam buah pare. Setelah pare dikeringkan lalu buah pare dibuat menjadi serbuk menggunakan blender atau dengan ditumbuk. Serbuk pare tersebut lalu dimaserasi dengan larutan etanol dan dimasukkan ke dalam gelas erlemenyer. Hasil yang sudah dimaserasi berupa cairan kecoklatan diekstrak menggunakan rotavapor. Cairan yang sudah dimasukkan ke dalam rotavapor akan didapat hasil ekstraksi buah pare 100 ml dalam bentul larutan kental berwarna kecoklatan.

4.6 Data yang dikumpulkan


Data yang dikumpulkan adalah data primer yang didapatkan dengan mengambil foto luka bakar bakar menggunakan kamera SONY dengan 12 megapixel terhadap setiap kelompok. Pengambilan foto dilakukan setiap hari saat membersihkan luka dengan cahaya yang cukup dan sama setiap hari dengan jarak yang sudah ditentukan. Untuk mengetahui derajat inflamasi dilakukan pengolahan data menggunakan software Adode Photoshop CS 3. Pada software ini terdapat program RGB (Red Green Blue) untuk mengubah foto dari eritema luka menjadi suatu angka.

61

Hasilnya nanti akan disamakan dengan foto kulit normal yang akan dijadikan patokan sebagai nilai normal.

4.7 Kerangka Kerja


Bagan prosedur penelitian Memilih sampel tikus secara Simple Random Sampling sebanyak 9 ekor sesuai kriteria sampel

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok Perlakuan dg ekstrak pare

Kelompok Kontrol NaCl

Pembuatan luka bakar derajat II dangkal

Pembuatan luka bakar derajat II dangkal

Perawatan steril dengan ekstrak buah pare

Perawatan steril dengan Nacl

Penilaian masa inflamasi luka bakar derajat II dangkal selama perawatan

Observasi masa inflamasi luka bakar derajat II dangkal dengan kamera SONY 12 Megapixel dan pengukuran lebar diameter eritema dengan penggaris

Analisa Hasil

Kesimpulan

62

4.8 Analisa Data


Dari hasil penilaian kesembuhan luka bakar derajat II dangkal yang dilakukan dalam penelitian ini didapatkan data lama masa inflamasi dari masing-masing kelompok dan data rata-rata lama penyembuhan luka bakar derajat II tersebut. Pengujian homogenitas data menggunakan Test Levene Variances dengan taraf signifikan 5% dan pengujian kenormalan data menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test dengan taraf signifikan 5%. Uji statistik yang akan digunakan adalah t test Independent dengan selang kepercayaan 95% (Sugiyono, 2006). Untuk perhitungannya dengan bantuan komputer program SPSS Versi 13 for Windows dengan taraf signifikan 5%.

4.9 Cara Perlakuan pada Hewan Coba / Etika Penelitian


a. Hewan coba tikus wistar pada penelitian ini tidak dilakukan pengekangan (restrain). b. Tidak dilakukan pembatasan pakan dan air minum. Tikus wistar diberi pakan dan air minum sesuai kebutuhan dengan jenis nutrisi yang sama. c. Tikus wistar tidak dilakukan pembedahan, tetapi dilakukan pembuatan luka bakar derajat II dangkal dengan menggunakan kassa steril yang dibasahi dengan air mendidih (suhu 100o C) ditempelkan dengan pinset anatomis pada area pembuatan luka bakar yaitu punggung tikus sebelah kanan sampai terbentuk bulae (30 detik) kemudian dilakukan perawatan luka bakar derajat II dangkal sesuai kelompok.

63

d.

Untuk menghindari rasa nyeri sebelum dibuat luka bakar derajat II dangkal dilakukan anestesi terlebih dahulu dengan lidokain 0.1 cc dalam 1 cc aquabides.

e.

Setelah penelitian selesai dilakukan, hewan coba tikus wistar tidak dibunuh tetapi dibiarkan hidup dalam kondisi sehat.

5.0 Jadwal Penelitian


No 1. 2. 3. 4. 5. Kegiatan Pengajuan Judul ACC Judul Konsul Bab IIV ACC Bab I-IV Mendaftar proposal 6. Mendaftar Ujian 7. 8. 9. 10. 11. Ujian Proposal Menyewa Lab Melakukan Penelitian Menganalisa Hasil Menyelesaikan V-VII 12. Mendaftar Skripsi 13. Ujian Skripsi Ujian Bab Tempat Ujian Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu

64

BAB V HASIL PENELITIAN


5.1 Perawatan Luka Bakar Derajat 2 Dangkal Menggunakan Ekstrak Buah Pare Berdasarkan uji normalitas menggunakan One-Sample KolmogorovSmirnov Testdidapatkan hasil bahwa data niliai eritema dan diameter eritema berdistribusi normal dengan signifikansi p>0,5. Berdasarkan uji homogenitas menggunakan levene variances test didapatkan bahwa data memiliki populasi homogen dengan nilai signifikansi p>0,5. Karena data memiliki distribusi normal dan populasi yang homogen maka dilanjutkan dengan uji t-test independent. Uji t-test independent terhadap nilai eritema masing-masing kelompok yang menggunakan ekstrak pare dengan kelompok kontrol menggunakan NaCl. Nilai normal eritema kulit tikus yang belum dibuat luka bakar derajat 2 dangkal adalah 111 dpi, serta nilai eritema awal setelah dibuat luka bakar derajat 2 dangkal adalah 152 dpi. Didapatkan perbedaan bermakna nilai eritema pada kelompok ekstrak dengan kelompok kontrol NaCl dan Diameter pada Kelompok ekstrak dengan kelompok kontrol NaCl dengan nilai signifikansi p=0,000 atau terdapat perbedaan bermakna ( p<0,5 ). Dari hasil uji tersebut didapatkan bahwa ekstrak pare memiliki pengaruh dalam memperpendek masa inflamasi pada luka bakar derajat 2 dangkal pada tikus galur wistar.

62

65

Kelompok

Hari 1 110,0

Hari 2 97,69 4 126,8 88

Hari 3 89,30

Hari 4

Hari 5 82,55

Hari 6 80,33 3 90,22

Hari 7 76,58 3

Hari 8 73,30 5 84,86

Hari 9 64,02 7 79,97 2

Ekstrak 83 141,9 NaCl 72 55 5 117,5

84,75 5 100,1 11 94,30 5

86,5 2 1

Tabel 5.1 : Rata-rata nilai eritema tiap kelompok Ket : Satuan dpi

160 140 120 100 80 60 40 20 0 Hari 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7 Hari 8 Hari 9 Ekstrak NaCl

Gambar 5.1 Nilai Eritema Ket : Satuan dpi Grafik 5.1dan tabel 5.1 menunujukkan bahwa hasil rata-rata nilai eritema masing-masing kelompok yang dilakukan selama 9 hari. Pada grafik diatas menunjukkan bahwa penurunan nilai eritema pada kelompok ekstrak lebih baik dan stabil. Pada kelompok ekstrak didapatkan bahwa pada hari pertama menunjukkan nilai eritema 110,083.Untuk nilai (selisih terbesar) pada kelompok ekstrak adalah 12,389 yang terletak diantara hari pertama dan hari kedua.

66

Kelompok Ekstrak NaCl

Hari 1 1,088 1,088

Hari 2 0,777 1,077

Hari 3 0,655 0,855

Hari 4 0,511 0,6

Hari 5 0,411 0,588

Hari 6 0,377 0,566

Hari 7 0,277 0,533

Hari 8 0,233 0,525

Hari 9 0,177 0,411

Tabel 5.2 : Diameter Luka Ket : Satuan cm

1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7 Hari 8 Hari 9 Ekstrak NaCl

Gambar 5.2 Diameter Luka Ket : Satuan cm Grafik dan tabel 5.2 menunujukkan dari hasil rata-rata diameter luka masing-masing kelompok yang dilakukan selama 9 hari. Pada grafik diatas menunjukkan bahwa penurunan nilai diameter luka pada kelompok ekstrak lebih baik dan stabil. Pada kelompok ekstrak didapatkan bahwa pada hari pertama menunjukkan diameter luka 1,088. Untuk nilai (selisih terbesar) pada kelompok ekstrak adalah 0,311 yang terletak diantara hari pertama dan hari kedua. Selama penelitian ada 1 subyek yang mengalami scar.

Gambar 5.3 : Scar pada kelompok ekstrak

67

5.2

Perawatan Luka Bakar Derajat 2 dangkal Menggunakan NaCl Berdasarkan grafik dan tabel 5.1 menunjukkan dari hasil rata-rata nilai eritema masing-masing kelompok yang dilakukan selama 9 hari.

Penurunan nilai eritema yang terjadi pada Nacl tidak lebih baik dari kelompok ekstrak. Pada hari pertama menunjukan nilai eritema 141,972 dpl. Nilai ini lebih besar dari kelompok ekstrak. Untuk nilai ( Selisih terbesar ) pada kelompok ekstrak adalah 15,084 yang terletak pada hari pertama dan kedua. Berdasarkan grafik dan tabel 5.2 menunjukkan dari hasil rata-rata diameter luka masing-masing kelompok yang dilakukan selama 9 hari. Penurunan nilai diameter luka pada kelompok nacal tidak lebih baik dari kelompok ekstrak. Pada kelompok Nacl didapatkan bahwa pada hari pertama menunjukkan nilai diameter 1,088 cm. Untuk nilai ( Selisih terbesar ) pada kelompok Nacl adalah 0,222 yang terletak diantara hari kedua dan ketiga. Selama penelitian ada 2 subyek yang mengalami scar.

Gambar 5.4 : Scar pada NaCl

Gambar 5.5 : Scar pada NaCl

68

5.3

Perbandingan Perawatan Yang Dilakukan Dengan Menggunakan Ekstrak Dan Menggunakan Nacl Uji t-test independent terhadap nilai eritema masing-masing kelompok yang menggunakan ekstrak pare dengan kelompok kontrol menggunakan NaCl. Didapatkan perbedaan bermakna nilai eritema pada kelompok ekstrak dengan kelompok kontrol NaCl dan Diameter pada Kelompok ekstrak dengan kelompok kontrol NaCl dengan nilai signifikansi p=0,000 atau terdapat perbedaan bermakna ( p<0,5 ). Dari hasil uji tersebut didapatkan bahwa ekstrak pare memiliki pengaruh dalam memperpendek masa inflamasi pada luka bakar derajat 2 dangkal pada tikus galur wistar. Berdasarkan pengukuran menggunakan nilai eritema didapatkan bahwa hasil dari kelompok ekstrak lebih baik daripada kelompok Nacl dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal. Pada hari pertama nilai eritema pada kelompok ekstrak adalah 110,083 dpi sedangkan pada kelompok nacl adalah 141,972 dpl. Untuk nilai ( Selisih terbesar ) pada kelompok ekstrak adalah 12,389 yang terletak antara hari pertama dan hari kedua. Sedangkan nilai ( Selisih terbesar ) pada kelompok Nacl adalah 15,084 yang terletak pada hari pertama dan kedua. Kelompok ekstrak pada hari pertama menunjukkan bahwa nilai eritema sudah mendekati nilai normal daripada kelompok Nacl. Berdasarkan pengukuran menggunakan nilai diameter luka didapatkan bahwa hasil dari kelompok ekstrak lebih baik daripada kelompok Nacl. Pada kelompok ekstrak didapatkan bahwa pada hari pertama menunjukkan diameter luka 1,088 cm sedangkan untuk kelompok Nacl menunjukkan nilai 1,088 cm. Untuk nilai ( Selisih terbesar ) pada kelompok ekstrak adalah

69

0,311 cm yang terletak antara hari pertama dan hari kedua. Sedangkan untuk nilai ( Selisih terbesar ) pada kelompok Nacl adalah 0,222 yang terletak antara hari kedua dan ketiga. Dalam hal ini menunjukkan bahwa kelompok ekstrak mengalami masa inflamasi yang lebih pendek daripada kelompok ekstrak.

70

BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Pengaruh Ekstrak Pare Dalam Memperpendek Masa Inflamasi Luka Bakar Derajat 2 Dangkal Pada kelompok perlakuan dengan menggunakan ekstrak pare teramati bahwa pada kelompok ini memberikan pengaruh dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal. Pengaruh ekstrak terlihat dari penurunan rata-rata dari pengukuran yang dilakukan dengan pengamatan warna eritema dengan lebar diameter eritema yang dilakukan dari hari pertama sampai hari kesembilan. Hal ini dimungkinkan bahwa kandungan dari ekstrak pare ini terdapat antiinflamasi sehingga dapat memperpendek masa inflamasi luka bakar. Hal ini didukung dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Aniladan Vijayalakshmi kandungan dari pare yang diduga (2000), salah satu

mempunyai

efek antiinflamasi

adalah senyawa flavonoid. Senyawa flavonoid yang mempunyai aktifitas inflamasi adalah apginin dan luteolin, selain itu terdapat pula senyawa flavonoid sintesis atau semi sintesis yang berpotensi sebagai obat antiinflamasi, yaitu O-B hidroksiethil rutin dan derivat quercetin (Kurniawati, 2005). Hal ini mendukung teori bahwa Mekanisme anti-inflamasi terjadi melalui efek penghambatan jalur metabolisme asam arachidonat,

pembentukan prostaglandin, pelepasan histamin, atau aktivitas radical scavenging suatu molekul.Melalui mekanisme tersebut, sel lebih terlindung dari pengaruh negatif, sehingga dapat meningkatkan viabilitas sel (Lenny, Sofia. 2006).

68

71

Menurut penelitian dari Kurniawati, 2005 dijelaskan bahwa mekanisme antiinflamasi flavonoid melalui 2 cara yaitu dengan menghambat permeabilitas kapiler dan menghambat metabolisme asam arakidonat dan sekresi enzim lisosom dari sel neutrofil dan sel endothelial. Flavonoid berperan penting dalam menjaga permeabilitas serta meningkatkan resistensi pembuluh darah kapiler. Pada keadaan patologis flavonoid berpesan saat terjadinya gangguan permeabilitas pembuluh darah. Terjadinya kerusakan pembuluh darah kapiler akibat radang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga darah (terutama plasma darah ) akan keluar dari kapiler jaringan, diikuti dengan terjadinya respon antiinflamasi. Flavonoid terutama bekerja pada endothelium mikrovaskular untuk mengurangi terjadinya hipermeabilitas dan radang. Beberapa senyawa flavonoid dapat menghambat pelepasan asam arakidonat dan sekresi enzim lisosom dari membrane dengan jalan memblok jalur siklooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur yang menuju ke hormon eikosanoid seperti prostaglandin dan tromboksan ( Atik Fitriyani, dkk,2011 ).

Gambar 6.1: Hari kesembilan ekstrak

72

6.2

Pengaruh NaCl Dalam Memperpendek Masa Inflamasi Luka Bakar Derajat 2 Dangkal Pada kelompok kontrol NaCl ini masa inflamasi luka bakar mengalami waktu masa inflamasi yang lebih panjang.Hal ini bisa dilihat dari nilai ratarata yang lebih besar daripada kelompok ekstrak dari hari pertama hingga hari kesembilan dari pengukuran menggunakan warna eritema dan lebar eritema. Pada nilai eritema hari pertama menunjukan nilai 141,972 dan untuk nilai diameter luka1,088. Pada kelompok NaCl ini nilai ( Selisih terbesar ) pada pengukuran nilai eritema 15,084 terletak antara hari pertama dan kedua. Sedangkan ( Selisih terbesar ) pada pengukuran diameter luka 0,222 yang terletak antara hari kedua dan ketiga. Pada perawatan menggunakan NaCl 0,9 % tidak mempunyai pengaruh dalam memperpendek masa inflamasi dikarenakan NaCl hanya merupakan cairan fisiologis yang merupakan perawatan luka standar untuk membersihkan luka dan memberikan kelembapan pada kulit sehingga memungkinkan terjadinya epitelisasi. Karena NaCl ini hanya merupakan cairan fisiologis, tidak mempunyai efek antiinflamasi seperti flavonoid yang terdapat dalam kandungan buah pare. Kondisi yang lembab menyebabkan oksigenasi dari luka mengalami penurunan sehingga memperlama fase inflamasi.Hal ini sejalan dengan penelitian Nurul Istikomah bahwa Povidone iodine 10 % dengan Nacl 0,9% tidak ada perbedaan yang

bermakna dalam proses penyembuhan luka. Dan didukung dengan penelitian Uli Rimadhani Masruroh bahwa NaCl 0,9% tidak mempunyai pengaruh dalam proses penyembuhan luka.

73

Gambar 6.2: Hari kesembilan NaCl 0,9%

6.3

Perbedaan Antara Kelompok Ekstrak Buah Pare ( Momordica charantia ) Dan Kelompok NaCl Berdasarkan data statistik sendiri terlihat jelas perbedan yang signifikan pada uji T-Test Independent yang menunjukkan nilai p<0,5 (p=0,000) pada nilai eritema dan nilai p<0,5 ( p=0,000 ) pada pengukuran diameter luka.Nilai normal eritema pada kulit sebelum dibuat luka bakar adalah 111. Pada kelompok ekstrak pare teramati bahwa ( Selisih

terbesar ) 12,389 pada nilai eritema. Dari diameter luka teramati bahwa ( Selisih terbesar ) 0,311. Sedangkan pada NaCl teramati bahwa nilai ( Selisih terbesar ) 15,084. Dari diameter luka teramati bahwa terbesar 0,222. Selain itu pada kelompok NaCl terdapat 2 subyek yang mengalami escar.Pada kelompok ekstrak terdapat 1 subyek mengalami escar. Zat Aktif flavonoid pada ekstrak buah pare ini berfungsi memperpendek masa inflamasi dengan melancarkan peredaran darah dan mekanisme untuk

antiinflamasi. Flavonoid bekerja pada endothelium mikrovaskular

mengurangi hipermeabilitas dan radang. Beberapa senyawa flavonoid dapat menghambat pelepasan asam arakhidonat dan sekresi enzim lisosom dari membrane dengan jalan memblok jalur siklooksigenase. Penghambatan jalur siklooksigenase dapat menimbulkan pengaruh yang

74

lebih luas karena reaksi siklooksigenase merupakan langkah pertama pada jalur yang menuju ke hormon eukosanoidseperti prostaglandin dan tromboksan (Atik Fitriyani, dkk,2011).Dalam hal ini kelompok ekstrak buah pare memiliki pengaruh yang lebih baik daripada kelompok NaCl dalam memperpendek fase inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal pada tikus galur wistar.

6.4

Keterbatasan Penelitian 6.4.1 Keterbatasan waktu dan tempat Pada penelitian ini peneliti mengalami kesulitan dalam menyesuaikan jadwal dengan laboratorium biomedik karena bersamaan dengan mahasiswa yang sedang ujian praktek dan banyaknya mahasiswa yang melakukan penelitian di laboratorium biomedik. Sehingga tempat untuk melakukan observasi terkadang dilakukan dikandang. 6.4.2 Keterbatasan pada proses pembuatan luka Pada penelitian ini peneliti mengalami kesulitan pada saat

pembuatan luka bakar derajat 2 dangkal. Pada saat pembuatan luka pada subyek percobaan ukuran yang sudah ditentukan mengalami pelebaran yang dikarenakan konduksi panas tersebut. Untuk mensiasati hal tersebut peneliti menggunakan kassa yang diberi air untuk mengurangi konduksi panas tersebut.

75

BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan 7.1.1 Masa Inflamasi Luka Bakar Derajat 2 Dangkal Pada Kelompok Ekstrak Masa inflamasi pada kelompok ekstrak mengalami waktu yang lebih pendek, pada hari pertama penurunan nilai eritema kelompok ekstrak (110,083 dpi ) sudah mendekati nilai normal ( 111 dpi ). 7.1.2 Masa Inflamasi Luka Bakar Derajat 2 Dangkal Pada Kelompok Nacl Masa Inflamasi pada kelompok Nacl mengalami waktu yang lebih panjang daripada kelompok ekstrak, pada hari pertama penurunan nilai eritema Nacl (141,972 dpi ) belum mendekati nilai normal ( 111 dpi ). 7.1.3 Perbandingan Antara Kelompok Ekstrak Dan Kelompok Nacl Masa inflamasi pada kelompok ekstrak mengalami

penurunan yang lebih cepat daripada kelompok Nacl. Pada uji T-Test Independent yang menunjukkan nilai p<0,5 (p=0,000) pada nilai eritema dan nilai p<0,5 ( p=0,000 ) pada pengukuran diameter luka. Kelompok ekstrak

73

76

memberi pengaruh dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal. 7.2 Saran Peneliti menyarankan agar untuk penelitian lebih lanjut tentang buah pare ( Momordica charantia ) dalam memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal dengan menggunakan dosis supaya untuk mengetahui dosis yang efektif ekstrak pare untuk memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal, dengan menggunakan kelompok pembanding yang lain seperti ( SSD ) Silver Sulfadiazine, dan juga agar bisa diterapkan di praktek klinis.

77

DAFTAR PUSTAKA
Amirth,Pal,Singh,2002. A Trestie on Phytochemistry. Emedia Sience Ltd. Atik Fitriyani, Lina Winarti, Siti Muslichah, dan Nuri, 2011. Uji Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun Sirih Merah ( Piper Crocatum Ruiz & Pav ) Pada Tikus Putih. Majalah Obat Tradisional. 34-42. Budiman, Iman Burger,I.,Burger,B,V.Albrecht,C.F.Spicies,H.S.C. Triterpenoid saponinFrom Bacium and gradivlona Sandor.P.,1998. Var. Obovatum

Phytochemistry.49. 2087-2089. Anonymus.2006. Luka. http://digilib.unikom.ac.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-

2002-dalima-759-luka diakses 30 Maret 2013 Anonymus.2010.Pare. http://di.wikipedia.org./wiki/pare. diakses 07 Maret 2013 Cahyadi, Robby. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Buah Pare (Momordica charantia) Terhadap Larva Artemia salina leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Tugas Akhir. Semarang : Universitas Diponegoro Depkes RI,1995. Materia Medika Indonesia, Depkes RI : Jakarta. Effendi, Christantie. 1999. Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta : EGC, hal. 14-27 Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2006. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Edisi Ketiga. Malang, hal. 1-60 Fikri.2006. Penyembuh dari Dasar Samudra. http://www.kesehatan-

alami.com/sea-cucumber-testimoni-trubus-penyembuh.php diakses tanggal 30 Maret 2007

78

Handayani D.I, Barid I, Rahayu Y.C, Kurniawati A, Yustisia Y. 2005. petunjuk praktikum biologi mulut. FKG Jember Harahap, Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates, hal. 1 Harbrone.J.B.,1987.Metode Fitokimia : Penuntun Cara Moderen Menaganalisis Tumbuhan. Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik Vol .II. Jakarta : EGC, hal. 540-543 Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association (InETNA) & Tim Perawatan Luka dan Stoma Rumah Sakit Dharmais.2004, Perawatan Luka, Makalah Mandiri, Jakarta Kristianto, H.2005. Perbedaan Efektivitas Perawatan Luka Bakar Derajat II dengan Lendir Lidah Buaya (Aloe Vera) dibandingkan dengan Cairan Fisiologis (Normal Saline 0,9%) dalam Mempercepat Proses

Penyembuhan.Tugas Akhir.Malang: Universitas Brawijaya Kurniawati, A.2005. Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Metanol

Graptophyllum Griff Pada Tikus Putih. Majalah Kedokteran Gigi Edisi khusus Temu Ilmiah Nasional IV, 11-13 Agustus 2005:167-170 LaRocca, Joanne. 1998. Terapi Intravena Edisi 2. Jakarta : EGC, hal.101 Lenny S. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida Dan Alkaloida. Medan:Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UniversitasSumatera Utara; 2006. p. 14. Maruf,Anwar.2005.Studi Fisiobiologi Ikatan Lektin Dengan Reseptor Pada Saluran Pencernaan Kelinci Sebagai Dasar Pembuatan Vaksin Anti Diare.http://adln.lib.unair.ac.id diakses tanggal 30 Maret 2007

79

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. Moenadjat, Yefta. 2003. LUKA BAKAR : Pengetahuan Klinis Praktis Edisi Revisi. Jakarta : FKUI, hal. 1-7 Morrisey JP dan Ousbon AE, 1999. Fungal Resistence to Plant Antibiotic as a Mechanism ofPhatogenesis. Mikrobiologi and molecular biologi. Reviw 63, 708-729 Robinson ,T., 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, ITB : Bandung Smeltzer, suzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Sudarth ed 8. EGC : Jakarta Subahar TS.Khasiat dan Manfaat Pare. Penerbit Agromedia Pu staka,Jakarta;2004. Sudarno, Selvi Lely Rosanti, dan Sri Subekti, 2012. Uji Sensifitas Sari Buah Pare ( Momordica Charantia) Pada Bakteri Edwardsiella Tarda dengan Metode Difusi Kertas Cakram Secara In Vitro, Jurnal Ilmiah Perikana dan Kelautan, Vol 4, No.1 Sudarsono, D. Gunawan, S. Wahyono, I.A. Donatus, dan Purnomo.

2002.Tumbuhan Obat II. Yogyakarta: Pusat Studi Obat Tradisional UGM. Terbitan Kedua,ITB : Bandung Kim Nio, Ocy.,1989. Zat-zat toksik yang secara alamiah ada pada tumbuhan nabati. Cermin Dunia Kedokteran, No.58.

80

Yoshiki Y, Kudo & Okobo K,1998. Relationship Between Cemical Structure and Biological Activities of Triterpenoid Saponin from Soybean (Reviw) Biosience Biotechnology and Biochemistry. 62. 2291-2292

81

Lampiran 1 DOKUMENTASI

Gambar 8.1 : Kandang tikus

Gambar 8.2 : Alat untuk memasak air

Gambar 8.3 : Alat membuat luka

Gambar 8.4 : Tikus yang sudah dicukur

Gambar 8.5 : Rotavapor

Gambar 8.6 : Maserasi serbuk pare

82

Gambar 8.7 : Perawatan Luka Gambar 8.8 : Luka bakar derajat 2 dangkal

Gambar 8.9 : Hari 1 ekstrak

Gambar 9.0 : Hari 1 Nacl

83

LAMPIRAN 2 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN


Saya yang bertanda tangan disini : Nama NIM Program Studi : Faris Aditiya Permana : 0901.14201.003 : S1 Ilmu Keperawatan STIKES Widyagama Husada

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Skripsi yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan allihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa skripsi ini adalah hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Mengetahui Ketua Program Studi

Malang, 15 Juli 2013 Penulis

( Dr. Wira Daramatasia, M.Biomed )

( Faris Aditiya Permana )

84

Lampiran 3 CURRICULUM VITAE

Nama : Faris Aditiya Permana Tempat/TGL Lahir : Pasuruan, 23 Agustus 1991

Motto : Jadilah Orang Yang Berguna Serta Bermanfaat Buat Diri Sendiri Serta Orang Lain Dan Berkacalah Atas Apa Kesalahan Yang Telah Kita Lakukan Bukan Berapa Banyak Kesalahan Yang Kita Lakukan

Riwayat Pendidikan SD Negeri 2 Kejapanan Lulus Tahun 2003 SLTP Negeri 1 Gempol Lulus Tahun 2006 SMA Kemala Bhayangkari 3 Porong Lulus Tahun 2009 S.1 Ilmu Keperawatan STIKES Widyagama Husada

85

BERITA ACARA PERBAIKAN UJIAN SKRIPSI

Nama NIM Judul

: Faris Aditiya Permana : 0901.14201.003 : Pengaruh ekstrak buah pare ( Momordica charantia ) dalam

memperpendek masa inflamasi luka bakar derajat 2 dangkal pada tikus galur wistar.
NAMA PENGUJI / NO PEMBIMBING MASUKAN TANDA TANGAN

1. Revisi penulisan disesuaikan dengan pedoman TA 2. Hasil penelitian dibahas sesuai tujuan 3. Hasil kesimpulan sesuain PENGUJI 1 dengan tujuan 1. Dr. Wira Daramatasia, 4. Gambar hasil maupun M.Biomed. pembuatan disertakan pada lampiran 5. Revisi penulisan sample 6. Teori masa inflamasi disertakan

86

PEMBIMBING 1 2. Dr. Rudy Joegijantoro, MMRS 1. Perbaiki grafik

PEMBIMBING 2 3. Ns. Bayu Budi Laksono. S.Kep

1. Perbaiki abstrak 2. Perbaiki analisa data 3. Tabulasi data

Anda mungkin juga menyukai