Anda di halaman 1dari 7

Artikel Penelitian

Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma

Puji Astuti, Faisal Yunus, Budhi Antariksa, Ratnawati


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Penelitian observasional pada penyakit respirasi menunjukkan penurunan qualitas tidur pasien asma yang mungkin disebabkan oleh gejala malam asma. Diperkirakan bahwa OSA berkaitan dengan hipereaktivitas bronkus sehingga berhubungan dengan asma. Pada penelitian observasional ini semua pasien asma yang datang ke poliklinik asma RS Persahabatan antara Mei 2009 sampai Febuari 2010 dan bersedia mengikuti penelitian dilakukan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus (larutan NaCl 4,5%). Evaluasi OSA dilakukan dengan kuesioner Berlin dan polisomnografi. Pemeriksaan laringoskopi dilakukan untuk mengevaluasi kelainan anatomis sebagai faktor risiko/komorbid OSA. Diagnosis OSA didapatkan pada 20 dari 101 subjek (19,8%) dengan kuesioner Berlin dan 9,8% dengan polisomnografi. Gejala OSA yang terbanyak ditemukan adalah mendengkur diikuti kelelahan saat bangun tidur dan mengantuk di siang hari. Dibandingkan non-OSA, pasien OSA memiliki IMT yang lebih tinggi (28,54kg/m2 vs 21,48kg/m2; p<0,05), lingkar leher lebih (37,90 cm vs 33,6 cm; p=0,01 OR=2,8 IK= 1,28-6,01), penurunan VEP1 (56,70%pred vs 59,51%pred). Pada pasien asma dengan komorbid OSA terdapat 18 subjek (90%) yang memiliki kelainan anatomis seperti deviasi septum, sinusitis, adenoid, hipertrofi konka, dan uvula panjang. Disimpulkan bahwa prevalensi OSA pada pasien asma lebih tinggi daripada populasi umum. Risiko OSA berhubungan dengan indeks massa tubuh dan lingkar leher. Gejala utama OSA adalah mendengkur. J Indon Med Assoc. 2011;61:273-9. Kata kunci: Asma, obstructive sleep apnea, kuesioner Berlin, polisomnografi.

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

273

Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma

Prevalence and Clinical Appearance of Obstructive Sleep Apnea (OSA) Among Asthma Patients Puji Astuti, Faisal Yunus, Budhi Antariksa, Ratnawati
Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta

Abstract: Studies on respiratory disorders show decreased sleep quality in asthma patients possibly due to nocturnal asthma symptoms. Recent studies show that OSA is related to bronchial hyperresponsiveness and may be related to asthma. In this observational study, asthma patients who visited Persahabatan Hospital asthma clinic from May 2009 to February 2010 was recruited consecutively. Spirometry and bronchial provocation test (4.5% hyper saline) was performed. OSA was evaluated using Berlin Questionnaire and polysomnography. Anatomical evaluation related to OSA/asthma risk factor or comorbid were performed by one ENT specialist. Diagnosis of OSA was discovered in 20 out of 101 subjects (19.8%) using Berlin questionnaire and 9.8% using polysomnography. The main OSA symptoms found were snoring, fatigue after sleeping, and daytime sleepiness. OSA patient shave higher BMI (28.54kg/m2 vs 21.48kg/m2; p<0.05); larger neck circumference (37.90 cm vs 33.6 cm; p=0.01 OR=2.8 CI=1.28-6.01), decreased FEV1 (56.70% pred vs 59.51% pred). In asthma patients with OSA, 18 (90%) have anatomical upper airway disorder such as septum deviation, sinusitis, adenoid, concha hyperthrophy and long uvula. In conclusion asthma patients have higher prevalence of OSA compared to the general population using both methods. The risk of OSA in asthma are correlated with increased BMI, neck circumference. The main OSA symptom found in asthma patients is snoring. J Indon Med Assoc. 2011;61:273-9. Keywords: Asthma, obstructive sleep apnea, Berlin questionnaire, polysomnography.

Pendahuluan Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang penting dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Prevalensi asma bervariasi di setiap negara dan cenderung meningkat pada negara berkembang. Penyakit ini dapat timbul pada semua usia terutama pada usia muda dan tidak tergantung tingkat sosioekonomi tertentu. Asma menduduki urutan ke5 dari 10 penyebab kesakitan di Indonesia bersama bronkitis kronik dan emfisema menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986. Data SKRT 1992 menunjukkan asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia (5,6%). Prevalensi asma di seluruh Indonesia pada tahun 1995 adalah sebesar 13/1000. Proyek Pneumobile Indonesia dan Respiratory Symptoms Questionnaire of Institute of Respiratory Medicine New South Wales tahun 1993 mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7% yang terdiri dari laki-laki 9,2% dan perempuan 6,6%.1,2 Banyak pasien asma merasakan gejala pada malam hari dan kualitas tidur yang menurun. Beberapa penelitian pada populasi umum menemukan bahwa pasien asma mempunyai penu-runan kualitas tidur dibanding bukan asma, sedangkan kejadian mengantuk pada siang hari meningkat. Bergeron et al. dalam Jonson C et al4 mengemukakan bahwa inflamasi jalan napas dan sistemik menyebabkan mengantuk pada
274

siang hari dan berhubungan dengan obstructive sleep apnea (OSA). Gejala malam dan penurunan fungsi paru merupakan bagian dari gejala klinis asma. Hampir 75% pasien asma terbangun akibat gejala malam paling sedikit satu kali perminggu dan 40% merasakan gejala malam tiap hari. Penelitian juga menun-jukkan bahwa gejala malam seperti batuk dan sesak, serta keterbatasan aliran udara dan hiperesponsif jalan napas dipengaruhi variasi sirkadian dari inflamasi dan fisiologi jalan napas. Peningkatan obstruksi jalan napas merupakan hal yang mendasari perkembangan gejala malam. Hal itu terlihat lebih jelas pada pasien asma yang mempunyai gejala malam berat dan terbukti pada penurunan fungsi paru yang berat.2-4 Gangguan napas saat tidur menggambarkan abnormalitas respirasi selama tidur berupa keluhan dengkuran ringan sampai OSA yang mengancam jiwa. Karakteristiknya adalah obstruksi jalan napas yang menyebabkan episode hipoksia arteri berulang dan arousal sebagai hasil peningkatan upaya respirasi. Kejadian OSA umumnya terdapat pada usia dewasa sekitar 40-50 tahun, walaupun terkadang dapat terjadi pada anak-anak dan remaja. Prevalensi OSA pada beberapa penelitian adalah 1-4% populasi umum. Pada pasien OSA dengan kebiasaan mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea dan penurunan saturasi oksihemoglobin sewaktu tidur dibandingkan yang tidak mendengkur.4-7 Penelitian ini

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma bertujuan untuk mengetahui prevalensi OSA pada pasien asma intermiten sampai persisten berat yang datang berkunjung ke RS Persahabatan dengan menggunakan kuesioner Berlin yang dilanjutkan dengan pemeriksaan polisomnografi, mengetahui gejala OSA pada pasien asma berdasarkan kuesioner Berlin, mendapatkan gambaran gejala klinis OSA dengan kuesioner Berlin, mengetahui faktor risiko OSA dengan kuesioner Berlin, dan mengetahui apakah ada hubungan nilai VEP1 dan derajat inflamasi dibandingkan dengan derajat OSA. Metode Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Persahabatan dan Laboratorium Gangguan Tidur Rumah Sakit Persahabatan bulan Mei 2009September 2010. Kriteria penerimaan adalah laki-laki atau perempuan berusia lebih dari 17 tahun, memiliki asma intermiten sampai persisten berat, setuju mengikuti penelitian, menjalani uji provokasi bronkus, pemeriksaan laringoskopi dan pemeriksaan polisomnografi bila kuesioner Berlin positif. Kriteria penolakan adalah apabila pasien mengalami sesak akibat penyakit lain selain asma (PPOK, SOPT), memiliki penyakit paru lain atau pernah menjalani torakotomi, atau sedang hamil. Rekrutmen subjek penelitian dilakukan secara konsekutif sampai jumlah subjek terpenuhi. Derajat kepercayaan yang diinginkan pada penelitian ini sebesar 95% (1,96) dengan presisi 10%. Berdasarkan perhitungan didapatkan jumlah n minimal sebesar 92. Perkiraan drop out adalah 10% atau 9 subjek sehingga besar sampel yang diperlukan 101 subjek. Data numerik setiap variabel dihitung nilai rata-rata dan standar deviasi (simpang baku).Analisis data bivariat diuji dengan chi-square namun bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji Fisher sedangkan data numerik diuji dengan Mann-Whitney. Seluruh subjek menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik, foto rontgen toraks, dan pemeriksaan faal paru (spirometri) dengan MIR-SPIROLAB II. Pasien yang memenuhi kriteria diberi penjelasan tujuan penelitian serta rencana penelitian secara keseluruhan. Bila pasien bersedia menjadi subjek penelitian, melakukan uji provokasi bronkus, dan pemeriksaan polisomnografi, serta mempunyai risiko OSA (berdasarkan kuesioner Berlin), maka diminta pernyataan secara tertulis. Selanjutnya subjek dikonsulkan ke bagian THT untuk melihat kelainan anatomi sebagai komorbid asma dan faktor risiko OSA. Pada subjek juga dilakukan uji provokasi bronkus dengan larutan garam hipertonik 4,5%, dan pemeriksaan polisomnografi menggunakan folismnografi Weinnman di Laboratorium Tidur RS Persahabatan selama minimal 6 jam. Hasil Karakteristik Umum Pasien Karakteristik dasar subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 1 sedangkan hasil pemeriksaan pada tabel 2. Sebanyak
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

21 subjek (20,8%) memiliki rinitis alergi dan empat subjek (3,9%) memiliki GERD sebagai komorbid asma. Berdasarkan anamnesis dan wawancara dengan pasien serta pasangannya didapatkan dua pasien (1,98%) dengan keluhan gangguan seksual. Penelitian ini juga mendapatkan keluhan mendengkur pada 28 pasien (27,7%) pasien asma.
Tabel 1. Data Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Derajat Asma, Indeks Massa Tubuh, Risiko OSA n Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Derajat asma Intermiten Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat Risiko OSA Ada risiko Tidak ada risiko Indeks massa tubuh (IMT) Kurang (underweight) Normal (normoweight) Lebih (overweight) Obesitas (obese) 25 76 7 33 38 23 20 81 10 60 25 6 % 24,8 75,2 7,2 32,7 37,6 22,8 19,8 80,2 9,9 59,4 24,8 5,9

Tabel 2. Data Hasil Pemeriksaan minimal Usia (tahun) Berat Badan (Kg) Lingkar leher (cm) Tekanan darah (mmHg) sistolik diastolik VEP1/prediksi 18 31 31 100 70 39.00% maksimal 79 131 45 160 90 75.00% rerata 49 59 34 median 48 56 34

VEP1 = volume ekspirasi paksa detik pertama

Pada 101 pasien asma yang diberikan kuesioner Berlin, 20 pasien (19,8%) mempunyai risiko OSA. Berdasarkan polisomnografi pasien asma yang mempunyai OSA nilai AHI 5 atau lebih berjumlah 10 pasien (9,9%). Berdasarkan kuesioner Berlin maka derajat asma pada pasien yang mempunyai risiko OSA paling banyak asma persisten sedang yaitu 12 pasien (60,0%) sedangkan pada pasien yang tidak mempunyai risiko OSA paling banyak juga asma persisten sedang 44 pasien (54,3%). Perbandingan nilai rerata berat badan, indeks massa tubuh, VEP1, lingkar leher dan tekanan darah pasien yang memiliki risiko OSA dengan yang tidak memiliki risiko OSA dapat dilihat pada tabel 3. Gejala OSA Berdasarkan Kuesioner Berlin Pasien yang mempunyai risiko OSA, berdasarkan Kuesioner Berlin sebanyak 20 pasien dengan gejala mendengkur (100%), 16 pasien dengan kelelahan saat bangun tidur atau kelelahan pada siang hari (80%), empat pasien mengantuk atau tertidur di kendaraan (20%) dan satu pasien
275

Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma
Tabel 3. Perbandingan Nilai Rerata Berat Badan, Indeks Massa Tubuh, VEP1, Lingkar Leher dan Tekanan Darah Pasien dengan dan Tanpa OSA Nilai rerata Berat badan Indeks massa tubuh (IMT) VEP1/prediksi Lingkar leher Tekanan darah sistolik diastolik Ada OSA 67 kg 29,89 57% 37,9 124,25 77,25 Tidak ada OSA 53 kg 22,38 59% 33,6 118,52 75,80 Berat badan IMT VEP1 Lingkar leher Rinitis Hipertensi 67 (43-131) 28,54 (20,45-47,54) 57,2 (49-70) 37,9 (33-45) 18 (90%) 3 (15,0%) 53 (31-85) 21,48 (14,74-32,79) 59,5 (39-75) 33,6 (31-38) 3 (3,7%) 14 (17,3%) <0,05 <0,05 0,195 <0,05 <0,001 0,807 Tabel 5. Faktor-faktor Risiko OSA Dinilai Secara Statistik Faktor-faktor Risiko OSA Ada risiko OSA Tidak ada risiko OSA p

VEP1 = volume ekspirasi paksa detik pertama

terlihat berhenti bernapas saat tidur (5%). Pasien asma yang mendengur tetapi tidak mempunyai risiko OSA sebanyak delapan dari 81 pasien. Pada penelitian ini didapatkan bahwa gejala paling banyak yaitu keluhan mendengkur diikuti kelelahan saat bangun tidur atau siang hari, mengantuk atau tertidur di kendaraan dan seseorang melihat bahwa pasien berhenti bernapas saat tidur.
Tabel 4. Gejala OSA Berdasarkan Kuesioner Berlin pada Pasien Asma Gejala OSA Ya n (%) Tidak n (%) 0 (0%) 16 (80%) 4 (20%) 19 (95%)

Kelainan Telinga-Hidung-Tenggorok (THT) pada Pasien yang Mempunyai Risiko OSA Dari hasil pemeriksaan laringoskop yang dilakukan oleh dokter spesialis THT, pada pasien yang mempunyai risiko OSA didapatkan 18 pasien (90%) mempunyai rinitis dan 18 pasien (90%) juga dengan mempunyai kelainan anatomi. Beberapa kelainan anatomi yang paling sering didapatkan pada pemeriksaan laringoskop yaitu deviasi septum, adenoid, hipertrofi konka dan uvula yang panjang.
Tabel 6. Kelainan yang Didapat pada Pemeriksaan Laringoskop pada Pasien yang Mempunyai Risiko OSA Kelainan THT Rinitis Septum deviasi Sinusitis Adenoid Hipertrofi konka Uvula panjang Jumlah Pasien 18 13 4 3 3 2

Mendengkur 20 (100%) Mengantuk atau tertidur di kendaraan 4 (20%) Kelelahan saat bangun tidur atau 16 (80%) siang hari Seseorang melihat berhenti napas 1 (5%) saat tidur

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko OSA Berdasarkan IMT, pasien yang mempunyai faktor risiko OSA paling banyak adalah kelompok berat badan lebih (overweight) sebanyak senbilan pasien (45,0%). Pasien yang tidak mempunyai faktor risiko OSA paling banyak pada kelompok berat badan normal (normoweight) yaitu 54 pasien (66,7%). Faktor risiko lain yang mempengaruhi OSA yaitu VEP1. Pasien yang mempunyai risiko OSA memiliki rerata 57,2% prediksi sedangkan pada penelitian yang tidak mempunyai OSA nilainya lebih tinggi yaitu 59,5% rerta. Lingkar leher pada pasien yang mempunyai risiko OSA adalah 37,9 cm sedangkan pada pasien yang tidak mempunyai OSA 33,6 cm. Penderita hipertensi berjumlah tiga (15,8%) pada pasien yang mempunyai risiko OSA sedangkan yang tidak mempunyai risiko OSA 14 (17,3%) pasien. Pada faktor risiko yang bermakna secara statistik, dilakukan uji lebih lanjut untuk melihat kemaknaan. Diantara berat badan, IMT, lingkar leher dan rinitis sebagai faktor komorbid maka lingkar leher (OR 2,8 CI 1,28-6,01) dan rinitis (OR 74,73 CI 8,72-642,5) yang secara signifikan dan konstan sebagai faktor risiko OSA.

Hubungan Antara Derajat Inflamasi dan Derajat OSA Pada pasien yang mempunyai risiko OSA dilakukan analisis untuk mencari hubungan antara derajat OSA dengan nilai VEP1 dan uji provokasi bronkus. Uji provokasi bronkus ini dianggap menggambarkan derajat inflamasi pada pasien asma yang mempunyai risiko OSA. Pada penelitian ini secara statistik tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara derajat OSA dengan derajat inflamasi (diwakili uji provokasi bronkus). Hubungan antara derajat OSA dengan nilai VEP1 pada pasien yang mempunyai risiko OSA secara statistik juga tidak bermakna. Diskusi Penelitian dilakukan terhadap 101 pasien asma yang berkunjung ke RS Persahabatan pada bulan Mei 2009 sampai dengan September 2010. Pasien diberikan Kuesioner Berlin yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sehingga mudah dipahami serta menggunakan istilah medis yang mudah dimengerti. Kuesioner ini mempunyai sensitivitas, spesifisitas dan positive predictive value yang baik. Penelitian di Amerika dan Eropa mendapatkan sen-

276

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma sitivitas 0,86; spesifisitas 0,77; positive predictive value 0,89 dan likelihood ratio 3,79.6 Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama terdapat pertanyaan apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai mengganggu orang lain. Pada bagian kedua ditanyakan tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasa lelah dan pernahkah tertidur di kendaraan. Bagian ketiga ditanyakan tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur dan jenis kelamin yang dikalkulasikan menjadi IMT. Dikatakan positif yaitu mempunyai risiko OSA bila mempunyai nilai 2 atau lebih. Prevalensi OSA Pada penelitian ini didapatkan prevalensi OSA berdasarkan Kuesioner Berlin sebesar 19,8% sedangkan berdasarkan polisomnografi yang merupakan standar emas pemeriksaan OSA (nilai AHI >5) adalah 9,9%. Berdasarkan kuesioner Berlin ditemukan prevalensi pasien asma perempuan yang mempunyai OSA 8,9% sedangkan berdasarkan polisomnonografi 4,0%. Prevalensi pasien asma laki-laki yang mempunyai OSA berdasarkan kuesioner Berlin 10,9% dan 5,9% berdasarkan polisomnografi. Prevalensi ini lebih tinggi dari populasi umum yang mempunyai prevalensi perempuan 2% dan laki-laki 4%.5 Pada penelitian ini jumlah subjek perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki tetapi ternyata laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi di-banding perempuan. Penelitian yang dilakukan Aucley et al.6 di klinik asma MetroHealth Medical Center di Cleveland menemukan prevalensi asma berdasarkan kuesioner Berlin yaitu 39,5%, lebih tinggi dibanding populasi umum.6 Penelitian yang dilakukan oleh Lucy et al dikutip dari Teodoreslu M et al.21 pada 516 anak laki-laki dan 458 anak perempuan yang terdiri dari pasien asma maupun bukan asma. Pada penelitian ini menndapatkan prevalensi mendengkur yang merupakan gejala OSA sebanyak 10,5% dan didapatkan hubungan yang signifikan antara mendengkur, batuk pada malam hari yang meningkat pada pasien asma dibanding bukan asma. Penelitian Mary et al.22,23 yang melibatkan Tucson Epidemiologic Study of Obstructive Airway Disease mendapatkan 41,4% gangguan tidur (mengantuk pada siang hari) dan gejala ini berhubungan serta merupakan bagian dari bronkitis kronik dan asma. Prevalensi ini bervariasi pada tiap penelitian dan negara karena tidak tersedia dan mahalnya biaya polisomnografi. Berbagai parameter seperti Kuesioner Berlin, Epsworth Sleepiness Scale (ESS) dipakai sebagai parameter diagnosis.24-28 Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Young et al.29 yang melibatkan Wisconsin Cohort Study dimana prevalensi OSA (index AHI >5) pada laki-laki 24% sedangkan pada perempuan lebih rendah yaitu 9%. Penelitian ini juga sesuai dengan kepustakaan bahwa laki-laki mempunyai kecenderungan mendengkur (yang merupakan gejala OSA) lebih tinggi dibanding perempuan karena faktor hormonal.30-32 Penelitian lain di Pennsylvania yang melibatkan
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

1745 subjek dengan melakukan pemeriksaan polisomnografi didapatkan prevalensi OSA pada laki-laki lebih tinggi yaitu 17% sedangkan pada perempuan hanya 7%.6 Penelitian kohort dengan pemeriksaan polisomnografi oleh Duran et al. dalam Pack AI.24 di Spanyol pada 400 orang dengan AHI <15 ditemukan prevalensi OSA pada laki-laki 14% sedangkan perempuan juga lebih rendah yaitu 7%, Walaupun jumlah awal subjek lebih banyak perempuan. Gejala OSA Penelitian Aucley et al.6 di Poliklinik Asma dan Poliklinik Penyakit Dalam MetroHealth Medical Center dengan kuesioner Berlin mendapatkan pada pasien asma ditemukan gejala mendengkur 18,5%, gejala kelelahan dan mengantuk pada siang hari yang digabung menjadi satu 46,1%, dan terlihat tidak bernapas pada saat tidur 11,8%. Penelitian yang dilakukan oleh Hoffstein pada 625 pasien yang dilakukan polisomnografi menyimpulkan bahwa mendengkur berhubungan dengan OSA karena mendengkur berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen pada malam hari yang diperlihatkan pada pemeriksaan polisomnografi.22 Pasien asma sering mengeluhkan gejala mengantuk pada siang hari yang merupakan akibat langsung dari asma pada kualitas tidur malam hari. Gejala ini juga merupakan gejala OSA.24 Hal tersebut sesuai dengan hasil yang didapat pada penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Teodorescu dkk.21 pada 115 pasien asma dengan kuesioner ESS dan Sleep Apnea scale score within Sleep Disorders Questionnaire (SA-SDQ) mendapatkan gejala mengantuk pada siang hari 55% yang berhubungan dengan SA-SDQ (p<0,0001) dan hampir semua pasien 86% mengeluhkan gejala mendengkur. Penelitian yang dilakukan oleh Janson et al.dikutip dari Ciftsi27 di Eropa pada 2202 pasien mendapatkan 459 pasien asma dan gejala mengantuk pada siang hari didapatkan lebih banyak pada pasien asma (50%). Gejala OSA yang lain yaitu gangguan seksual pada pasien asma mempunyai risiko OSA 2 (10%). Sesuai kepustakaan, gangguan seksual sering terjadi pada pasien OSA dengan gangguan tidur sehingga menyebabkan rasa kantuk, gangguan konsentrasi dan penampilan di siang hari, iritabilitas, depresi dan gangguan seksual.32-35 Faktor-faktor Risiko OSA Secara statistik pada penelitian ini berat badan dan IMT merupakan faktor risiko OSA. Faktor risiko yang ditemukan bermakna pada penelitian ini yaitu lingkar leher. Faktor lain sebagai komorbid pada asma yaitu rinitis, pada penelitian ini didapatkan pasien asma yang mempunyai risiko OSA mempunyai rinitis 18 (90%) pasien sedangkan yang tidak mempunyai risiko OSA didapatkan rinitis pada tiga (3,7%) pasien dengan nilai p<0,001 dan OR 74,9 (CI 95% 8,7-642,5). Pada penelitian ini pasien yang mempunyai risiko OSA diperiksa dengan laringoskop sehingga diketahui terdapat rinitis dalam pemeriksaan sedangkan pasien yang tidak
277

Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma mempunyai risiko OSA tidak diperiksa laringoskop dan diagnosis rinitis hanya berdasarkan rekam medis sehingga penelitian ini mempunyai OR yang tinggi untuk rinitis. Berdasarkan kepustakaan, berat badan yang berlebih akan berakibat pada proses bernapas melalui perubahan secara geometri pada struktur saluran napas atas, penurunan fungsi (meningkatkan risiko kolaps), gangguan hubungan respiratory drive dan load compensation dan obesitas akan relatif menurunkan residual kapasitas dan meningkatkan kebutuhan oksigen tubuh.35-37 Penelitian oleh Smith et al. yang dikutip dari Flamol KM et al.37 pada pasien obesitas selama 5 bulan, didapatkan penurunan berat badan 9% akan menurunkan periode apnea sebesar 47% (dari 55 menjadi 29 kejadian/jam). Penelitian secara cross sectional dari Wisconsin Sleep Cohort Study pada 690 pasien laki-laki dan perempuan selama 4 tahun yang dianalisis secara regresi logistik mendapatkan bahwa pada pasien yang awalnya mempunyai AHI <15 kenaikan 10% berat badan akan meningkatkan AHI sampai 6 (CI 95% 2-17).38 Lingkar leher meningkatkan risiko OSA karena terjadi deposit lemak pada anterolateral saluran napas yang menyebabkan lumen saluran napas menyempit.25,37 Pada penelitian ini VEP1 tidak ditemukan berbeda bermakna secara statistik antara kelompok yang mempunyai risiko OSA dengan yang tidak. Penelitian Auckley et al.6 pada pasien asma dengan kuesioner Berlin juga melihat VEP1 dengan spirometri. Didapatkan bahwa tidak ada hubungan VEP1 secara statistik antara yang mempunyai risiko OSA dan tidak. Penelitian Lafond et al.13 menyatakan tidak ada hubungan tidak didapatkan hubungan antara nilai VEP1 dengan hipereaktivitas bronkus pada asma persisten ringan dan asma persisten sedang. Penelitian Linn et al.dikutip dari Bonekat HW et al.40 mendapatkan bahwa OSA berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus dan nilai VEP1 pada asma persisten berat dan difficult asthma. Penelitian Wisconsin Cohort Study mendapatkan bahwa nilai AHI >15 berkorelasi positif dengan hipertensi (OR 2,9 CI 95% 1,46-5,64). Pada penelitian ini hanya terdapat 2 pasien yang mempunyai nilai AHI di atas 15 sehingga tidak terdapat hubungan antara OSA dengan hipertensi.33-35 Pada penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan laringoskop untuk melihat kelainan anatomi pada pasien yang mempunyai risiko OSA. Kelainan anatomi paling banyak yaitu deviasi septum diikuti sinusitis, adenoid, hipertrofi konka dan uvula yang panjang. Hal tersebut sesuai kepustakaan bahwa kelainan anatomi saluran napas atas seperti nasal congestion, polip hidung, deviasi septum, adenoid, hipertrofi konka dan hipertofi tonsil.38-40 Kesimpulan Pasien asma mempunyai prevalensi OSA lebih tinggi dibanding populasi umum, baik dengan kuesioner Berlin maupun polisomnografi. Pasien asma laki-laki mempunyai prevalensi OSA lebih tinggi dibanding perempuan. Faktor risiko yang mempengaruhi OSA adalah berat badan, IMT,
278

dan lingkar leher sedangkan rinitis me-rupakan komorbid. Nilai VEP1 bukan faktor risiko OSA pada asma. Gejala OSA yang didapat berdasarkan kuesioner Berlin paling tinggi yaitu keluhan mendengkur, diikuti kelelahan pada saat bangun tidur atau siang hari, mengantuk atau tertidur di kendaraan dan seseorang melihat tidak bernapas saat tidur. Kelainan THT pada pasien yang mempunyai risiko OSA adalah rinitis, sinusitis, deviasi septum, adenoid, hipertrofi konka dan uvula yang panjang. Daftar Pustaka
1. DeMeo DL, Weiss ST. Epidemiology. In: Baenes PJ, Drazen JM, Rennard S, Thomson NC, editors. Asthma and COPD basic mechanisms and clinical management. 1st ed. Amsterdam: Academic Press; 2002. p. 7-18. Mangunnegoro H, Widjaja A, Dianiati KS, Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto E. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia. In: Mangunnegoro H, Widjaja A, Dianiati KS, Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto E, editors. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 1-10. National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute. Definition. In: Global Initiative for Asthma. Bethesda: National Institutes of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute; 2002. p. 1-9. Janson C, De Backer W, Gislason T, Plaschke P, Bjornsson E, Hetta J, et al. Increased prevalence of sleep disturbances and daytime sleepiness in subjects with bronchial asthma. Eur Respir J. 1996;9:2132-8. Hiestand DM, Britz P, Goldman M, Phillips B. Prevalence of sleep apnea in the US population. Chest. 2006;130:780-6. Auckley D, Moallem M, Shaman Z, Mustafa M. Finding of a Berlin questionnaire survey: comparison between patients seen in asthma clinic versus internal medicine clinic. Sleep Med. 2007;30:1-6. Ekici A, Ekici M, Kurtipek E, Keles H, Kara T, Tunckol E, et al. Association of asthma-related symptoms with snoring and apnea and effect on health-related quality of life. Chest. 2005;128:335863. Bender BG, Leung DYM. Sleep disorder in patients with asthma, atopic dermatitis, and allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol. 2005;116:1200-1. Lu LR, Peat JK, Sullivan CE. Snoring in preschool children, prevalence and association with nocturnal cough and asthma. Chest. 2003;124:587-93. Sutherland ER. Nocturnal asthma. J Allergy Clin Immunol. 2005;116:1179-85. Klink M, Quan SF. Prevalence of reported sleep disturbances in a general adult population and their relationship to obstructive airways diseases. Chest. 1987;91:540-6. White DP. Pathogenesis of obstructive and central sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med. 2005;172:1363-70. Lafond C, Series F, Lemiere C. Impact of CPAP on asthmatic patients with obstructive sleep apnea. Eur Respir J. 2007;29:30711. Omidvari K. Sleep disorder. In: Juzar A, Warren S, Michael L, editors. Pulmonary pathophysiology. New York: McGraw-Hill; 2000. p. 283-90. Schwab RJ, Pasirstein M, Pierson R, Mackley A, Hachadoorian R, Arens R, et al. Identification of upper airway anatomic risk factors for obstructive sleep apnea with volumetric magnetic resonance imaging. Am J Respir Cri Care Med. 2003;168:52230. Young T, Finn L, Austin D, Peterson A. Menopausal status and sleep disordered breathing in Wisconsin sleep cohort study. Am J

2.

3.

4.

5. 6.

7.

8.

9.

10. 11.

12. 13.

14.

15.

16.

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma
Respir Cri Care Med. 2003;167:1181-5. 17. Tobin MJ. Sleep disordered breathing, control of breathing, respiratory muscles, pulmonary function testing in AJRCCM 2003. Am J Respir Crit Care Med. 2004;169:254-7. 18. Benbadis SR, Mascha E, Perry MC, Wolgamuth BR, Smolley LA, Dinner DS. Association between the Epworth sleepiness scale and the multiple sleep latency test in clinical population. Ann Intern Med. 1999;130:289-92. 19. Meer GD, Mark GD, Jongste JC, Brunekreef B. Airway responsiveness to hypertonic saline: dose - response slope or PD15? Eur Respir J. 2005;25(1):153-8. 20. Qureshi A, Ballard RD. Obstructive sleep apnea. J Allergy Clin Immunol. 2003;10:643-51. 21. Teodorescu M, Consens F, Bria WF, Coffey MJ, McMorris MS, Weatherwax KJ, et al. Correlates of daytime sleepiness in patients with asthma. Sleep Medicine. 2006;7:607-13. 22. Hoffstein V. Snoring and nocturnal oxygenation: is there a relationship? Chest. 2000;108:370-4. 23. Kasasbeh A, Kasasbeh E, Krishnaswamy G. Potential mechanisms connecting asthma, esophageal reflux, and obesity/sleep apnea complex: a hypothetical review. Sleep Med. 2007;11:4758. 24. Pack AI. Advances in sleep-disordered breathing. Am J Respir Crit Care Med. 2006;173:7-15. 25. Lettieri CJ. An update on nocturnal asthma and the association with sleep disordered breathing. Chest. 2001;99:40-8. 26. Fletcer EC, Stich J, Yang KL. Unattended home diagnosis and treatment of obstructive sleep apnea without polysomnography. Arch Fam Med. 2000;9:168-74. 27. Ciftci TU, Ciftci B, Guven SF, Kokturk O, Turktas H. Effect of nasal continous positive airway pressure in uncontrolled nocturnal asthmatic patients with obstructive sleep apnea syndrome. Respir Med. 2005;99:529-34. 28. Magliocca KR, Helman JI. Obstructive sleep apnea. JADA. 2005;136:1121-9. 29. Young T, Peppard PE, Gottlieb D. Epidemiology of obstructive sleep apnea: a population health perspective. Am J Respir Crit Care Med. 2002;165:1217-39. 30. Strohl K, Redline S. Recognition of obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med. 1996;154:274-89. 31. Lindberg E, Gislason T. Epidemiology of sleep-related obstructive breathing. Sleep Med Rev. 2000; 4:411-33. 32. Wright J, Sheldon T. Sleep apnoea and its impact on public health. Thorax. 2000;53:410-3. 33. Leung RST, Bradley TD. Sleep apnea and cardiovascular disease. Sleep apnea and cardiovascular disease. Am J Respir Crit Care Med. 2001;164:2147-65. 34. McArdle N, Hillman D, Beilin L, Watts G. Metabolic risk factors for vascular disease in obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med. 2007;175:190-5. 35. Urschiltz M, Guenther A, Eitner S, Puprat PMU, Schlaud M, Ipsiroglu OS, et al. Risk factors and natural history of habitual snoring. Chest. 2004;126:790-800. 36. Namen AM, Dunagen DP, Fleischer A. Increased physician-reported sleep apnea. Chest. 2002;121:1741-7. 37. Flegal KM, Carroll MD, Ogden CL. Prevalence and trends in obesity among US adults. JAMA. 2002;288:1723-7. 38. Yigla M, Tov N, Solomonov A. Difficult-to-control asthma and obstructive sleep apnea. J Asthma. 2003;40:865-71. 39. Hatipoglu U. Inflamation and obstructive sleep apnea syndrome. Chest. 2004;126:1-2. 40. Bonekat HW, Hardin KA. Severe upper airway obstruction during sleep. Clin Rev Allergy Immunol. 2003;25:191-210. IAKM

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

279

Anda mungkin juga menyukai