Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu ciri bangsa yang maju/berkembang adalah bangsa yang
mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang
berkualitas. Indonesia merupakan salah satu negara yang berkembang tetapi di
Indonesia sendiri masih banyak penyakit yang menjadi masalah kesehatan, salah
satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini
dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan
kerugian serta mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan
di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan
penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini
(Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/V/ 2006:3).
Cacingan adalah suatu penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai cacing
yang berada dalam rongga usus yang menyebabkan terjadinya infeksi dalam
tubuh manusia. Cacing yang hidup dalam rongga usus adalah kelas nematoda
usus. Dari berbagai jenis nematoda usus terdapat sejumlah spesies nematoda
2
(cacing perut) yang secara alami memerlukan tanah untuk pertumbuhan telurnya
menjadi bentuk infektif dan penularannya terjadi dengan berbagai cara; ada yang
masuk secara aktif, ada pula yang tertelan atau dimasukan oleh vektor melalui
gigitan yang ditemukan di tanah, jadi tanah bertindak sebagai hospes perantara
sehingga disebut soil transmitted helminthes.
Soil Transmitted Helminths(STH) merupakan infeksi cacing usus yang
ditularkan melalui tanah atau dikenal sebagai penyakit cacingan. Spesies cacingan
STH antara lain Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing
cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing tambang)
(Srisasi Ganda Husada, 2006:8). Penyakit cacingan tersebar luas, baik di
pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi
(jumlah cacing dalam perut) berbeda (Departemen Kesehatan RI,2008).
Pada kasus ringan, cacingan memang tidak menimbulkan gejala nyata,
tetapi pada kasus-kasus infeksi berat bisa berakibat fatal. Ascaris dapat bermigrasi
ke organ lain yang menyebabkan peritonitis, akibat perforasi usus dan ileus
obstruksi akibat bolus yang dapat berakhir dengan kematian. Cacing usus dalam
tubuh manusia mempengaruhi proses pemasukan (intake), pencernaan (digestive),
penyerapan (absorbtion) dan metabolisme makanan. Selain itu cacingan juga
mengakibatkan menurunnya status gizi penderita yang menyebabkan daya tahan
tubuh menurun, sehingga memudahkan terjadinya infeksi penyakit lain termasuk
3
HIV/AIDS,Tuberkulosis dan Malaria(Prof Dr dr Teguh Wahju Sardjono,2008,
http://www.koranpakoles.com,diakses tanggal 8 Maret 2009).
Data WHO menyebutkan lebih dari satu miliar penduduk dunia menderita
cacingan. Di Indonesia, sekitar 40 hingga 60 persen penduduk Indonesia
menderita cacingan. Cacingan bukan hanya penyakit yang bisa terjangkit pada
anak-anak, tapi juga pada orang dewasa. Yang membedakan cacingan pada anak
dan pada dewasa adalah, anak-anak masih tumbuh dan berkembang, sementara
orang dewasa sudah tidak lagi tumbuh dan berkembang. Orang dewasa juga
masih bisa survive, bisa melawan sendiri cacing yang ada di dalam tubuhnya.
Menurut survei yang pernah dilakukan di Jakarta, terutama pada anak Sekolah
Dasar (SD) menyebutkan sekitar 49,5 persen dari 3.160 siswa di 13 SD ternyata
menderita cacingan. Siswa perempuan memiliki prevalensi lebih tinggi, yaitu 51,5
persen dibandingkan dengan siswa laki-laki yang hanya 48,5 persen. Biasanya
seorang siswa yang terinfeksi cacing akan mengalami kekurangan hemoglobin
(Hb) hingga 12 gr persen, dan akan berdampak terhadap kemampuan darah
membawa oksigen ke berbagai jaringan tubuh, termasuk ke otak. Akibatnya,
penderita cacingan mengalami penurunan daya tahan tubuh serta metabolisme
jaringan otak. Bahkan, dalam jangka panjang, penderita akan mengalami
kelemahan fisik dan intelektualitas. Kategori infeksi cacing ditentukan dari
jumlah cacing yang dikandungnya. Jika anak-anak itu sudah terinfeksi cacing,
4
biasanya akan menunjukkan gejala keterlambatan fisik, mental, dan seksual.
(www.depkes.go.id, diakses tanggal 10 Maret 2009).
Hasil survey cacingan di Sekolah Dasar di beberapa Provinsi pada tahun
1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua
umur berkisar antara 40%-60%. Dari hasil pemeriksaan tinja pada anak Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang dilakukan oleh Sub Dit Diare, kecacingan dan
infeksi saluran pencernaan lain pada tahun 2002-2006 di 230 SD/MI yang
tersebar di 27 Kabupaten/Provinsi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi
cacingan adalah 35,3% dengan kisaran antara 0,4% - 83,6% dengan prevalensi
masing-masing cacing adalah sebagai berikut: cacing gelang 17,3%, cacing
cambuk 20,5% dan cacing tambang 2,3%. Menurut data dari Penanggulangan
Penyakit dan Promosi Kesehatan Kota Yogyakarta, kasus penyakit cacingan pada
anak usia sekolah (6-12 tahun) pada tahun 2007 sebanyak 6,85%. (Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/V/2006:7).
Guru Besar Bidang Ilmu Parasitologi Klinik Universitas Brawijaya
(Unibraw) Malang, Prof Dr dr Teguh Wahju Sardjono menyatakan, sekitar 60%
dari 220 juta penduduk Indonesia cacingan dengan kerugian lebih dari Rp 500
miliar atau setara dengan 20 juta liter darah per tahun. Angka prevalensi 60
persen itu, 21 persen di antaranya menyerang anak usia Sekolah Dasar (SD),
rata-rata kandungan cacing per orang enam ekor yang berpengaruh terhadap
asupan karbohidrat dan gizi penderita, kata Prof Teguh di Malang, Jumat (7/11).
5
Menurut Prof Teguh, data tersebut diperoleh melalui survei dan penelitian yang
dilakukan di beberapa provinsi pada tahun 2006. Namun hasil penelitian
sebelumnya (2002-2003), pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi
2,2% sampai 96,3%. Hanya saja, jelas dosen Fakultas Kedokteran Unibraw itu,
penyakit yang masuk kategori parasit, tidak mendapatkan perhatian serius dari
pemerintah. Padahal, kerugian akibat infeksi cacing cukup tinggi. apalagi melihat
kondisi masyarakat Indonesia yang lebih dari 30 juta jiwa berada di bawah garis
kemiskinan. (http://www.koranpakoles.com, 2008, diakses tanggal 8 Maret 2009).
Menurut Dr Sugiani SpAk, secara nasional penyakit cacingan berada di
urutan nomor dua paling tinggi diderita anak-anak, setelah penyakit gizi buruk.
Biasanya dialami anak-anak yang berdomisili di kawasan kumuh (sanitasi yang
tidak baik, seperti tidak ada jamban/WC umum) dan lingkungan yang lembab.
Sehingga penyakit cacingan ini cenderung menjadi problem bagi anak-anak. Dari
penelitian Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2008 lalu, dari 81 orang penderita
gizi buruk, 56% di antaranya bermula dari penyakit cacingan
(http://www.harianglobal.com, 2009, diakses tanggal 13 Maret 2009)
Kepala puskesmas Krukut Kecamatan Limo Depok dr. Mutmainah
Indriyati, pada tanggal 21 April 2009 mengatakan, dilihat dari keadaan
geografisnya, dimana wilayah Krukut masih banyak terdapat pohon-pohon lebat,
halaman rumah yang belum diplester, saluran air yang masih menggenang, dan di
sekitar rumah penduduk masih terdapat empang. Keadaan ini beresiko
6
mengakibatkan terjadinya cacingan terutama pada anak-anak yang sangat suka
bermain di tanah ataupun lingkungan sekitar rumahnya. Pernyataan tersebut
diperkuat dengan data dari laporan bulanan puskesmas Krukut Kecamatan Limo
depok tahun 2008 menunjukkan bahwa angka kejadian cacingan yang tercatat
sebanyak 4 orang, diantaranya umur 1-4 tahun sebanyak 1 orang, umur 5-14
tahun sebanyak 1 orang dan 15-44 tahun sebanyak 2 orang. Menurut beliau
sedikitnya data kejadian cacingan yang tercatat di puskesmas disebabkan karena
keengganan keluarga membawa anggota keluarganya untuk berobat ke
puskesmas. Dari data laporan bulanan itu dapat disimpulkan bahwa ada anak usia
sekolah di wilayah Krukut yang menderita cacingan.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan di suatu
daerah, salah satu diantaranya adalah sanitasi lingkungan yang tidak baik, pengetahuan
yang kurang maupun perilaku yang tidak higienitas sehingga mudah terinfeksi telur
cacing yang infektif. Dari berbagai riset yang telah dilakukan, resiko penularan penyakit
dapat berkurang dengan adanya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, Perilaku
hygiene, seperti cuci tangan pakai sabun sebelum makan dan sehabis buang air besar.
Perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan intervensi kesehatan yang paling murah dan
efektif dibandingkan dengan hasil intervensi kesehatan dengan cara lainnya dalam
mengurangi risiko penularan berbagai penyakit termasuk flu burung, kecacingan dan
diare terutama pada bayi dan anak sekolah. (Fewtrell l, Kaufmann RB, et al,2005,
http://www.bluefame.com, diakses tanggal 13 Maret 2009).
7
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ibnu Haji (2004) mengatakan bahwa
untuk dapat berperilaku hidup yang bersih dan sehat, harus didasari dengan
pengetahuan yang cukup tentang penyakit tersebut. Karena pengetahuan sebagai
dasar seseorang untuk bersikap dan berperilaku. Pengetahuan yang rendah
terhadap suatu penyakit mengakibatkan seseorang mudah terpajan faktor resiko
penyakit tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Imam Putra (2005)
diperoleh jumlah responden siswa sekolah dasar yang berpengetahuan rendah
tentang penyakit cacingan sebanyak 48,1% dan siswa yang berpengetahuan tinggi
sebesar 51,9%. Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Juanda
(2005) diperoleh dari 125 responden, 84 orang (67,2%) yang berpengetahuan
rendah tentang penyakit cacingan dan 41 orang (32,8%) memiliki pengetahuan
tinggi tentang cacingan. Dari penelitian diatas menunjukkan bahwa pengetahuan
anak sekolah dasar tentang penyakit cacingan relative masih rendah serta
pentingnya seorang siswa sekolah dasar untuk memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai penyakit cacingan supaya dapat terhindar dari penyakit tersebut.
Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang hubungan pengetahuan tentang cacingan dengan perilaku
pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan V di SD Negeri 01 Krukut
Kecamatan Limo Depok.
8
B. Rumusan masalah
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dipersiapkan dengan
matang, baik dalam bidang pendidikan, sosial, budaya maupun dalam bidang
kesehatan. Untuk itu membina kesehatan anak sejak dini berarti mempersiapkan
terbentuknya generasi yang sehat, yang nantinya akan memperkuat ketahanan
suatu bangsa. Di Indonesia masih banyak penyakit yang menjadi masalah
kesehatan pada anak, salah satu diantaranya yaitu penyakit cacingan.
Data WHO menyebutkan lebih dari satu miliar penduduk dunia menderita
cacingan. Menurut Dr Sugiani SpAk secara nasional, penyakit cacingan berada di
urutan nomor dua paling tinggi diderita anak-anak, setelah penyakit gizi buruk. Di
Indonesia, sekitar 40 hingga 60 persen penduduk Indonesia menderita cacingan.
Angka prevalensi 60 persen itu, 21 persen di antaranya menyerang anak usia
Sekolah Dasar (SD). Di wilayah Krukut ditemukan satu orang anak usia sekolah
yang menderita cacingan.
Apabila seorang anak telah terinfeksi cacing, maka anak tersebut akan
mengalami kekurangan hemoglobin (Hb) hingga 12 gr persen, dan akan
berdampak terhadap kemampuan darah membawa oksigen ke berbagai jaringan
tubuh, termasuk ke otak. Akibatnya, penderita cacingan mengalami penurunan
daya tahan tubuh serta metabolisme jaringan otak. Bahkan, dalam jangka panjang,
9
penderita akan mengalami kelemahan fisik dan intelektualitas
(www.depkes.go.id).
Upaya pencegahan penyakit cacingan dapat dilakukan dengan perilaku
hidup sehat dan bersih. Untuk dapat berperilaku hidup sehat dan bersih harus
didasari oleh pengetahuan yang cukup tentang penyakit tersebut, karena
pengetahuan sebagai dasar seseorang untuk berperilaku. Pengetahuan yang
rendah tentang suatu penyakit mengakibatkan seseorang mudah terpajan faktor
resiko penyakit tersebut. Dari hasil penelitian Imam Putra (2005) diperoleh siswa
sekolah dasar yang berpengetahuan rendah tentang penyakit cacingan sebesar
48,1% dan siswa sekolah dasar yang berpengetahuan tinggi sebesar 51,9%. Dari
penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya seorang siswa sekolah dasar untuk
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai penyakit cacingan supaya dapat
terhindar dari penyakit tersebut
Dari rumusan masalah di atas maka muncul pertanyaan yang menjadi
pokok penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran karakteristik responden yang meliputi usia, jenis
kelamin, dan agama?
2. Bagaimanakah gambaran pengetahuan siswa kelas IV dan V tentang penyakit
cacingan?
10
3. Bagaimanakah gambaran perilaku siswa kelas IV dan V terhadap pencegahan
cacingan?
4. Adakah hubungan pengetahuan siswa kelas IV dan V tentang cacingan dengan
perilaku pencegahan cacingan?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan tentang cacingan dengan perilaku
pencegahan cacingan pada siswa kelas IV dan V di SD Negeri 01 Krukut
Kecamatan Limo Depok.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui gambaran karakteristik responden yang meliputi usia, jenis
kelamin, dan agama.
b. Mengetahui gambaran mengenai pengetahuan siswa kelas IV dan V
tentang penyakit cacingan.
c. Mengetahui gambaran mengenai perilaku siswa kelas IV dan V terhadap
pencegahan cacingan.
11
d. Mengetahui hubungan antara pengetahuan siswa kelas IV dan V tentang
penyakit cacingan dengan perilaku pencegahan cacingan.
D. Manfaat penelitian
1. Bagi Pemerintah
a. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam upaya pencegahan
masalah kesehatan khususnya penyakit cacingan.
b. Dapat memberikan gambaran tentang masalah kesehatan yang terjadi pada
anak usia sekolah khususnya tentang penyakit cacingan, sehingga
pemerintah lebih tepat dalam mengambil kebijakan kebijakan guna
mengatasi permasalahan tersebut.
2. Bagi Keperawatan
a. Penelitian ini merupakan salah satu upaya dalam tindakan keperawatan
yang bergerak dalam bidang preventif dan promotif.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam memberikan
asuhan keperawatan khususnya pada anak usia sekolah.
3. Bagi Institusi sekolah
12
a. Bagi pihak guru penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi
tentang pentingnya pendidikan kesehatan diajarkan sejak dini pada anak
usia sekolah.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada pihak sekolah
maupun staf-staf pengajar di SD Negeri 01 Krukut dalam pelaksanaan
program UKS yang berkaitan dengan perilaku anak yang beresiko untuk
terpajan faktor penyebab penyakit terutama penyakit cacingan.
c. Penelitian ini nantinya akan memperkuat bukti bahwa pendidikan
kesehatan yang diberikan sejak dini pada anak-anak dapat mencegah
terjadinya penyakit terutama penyakit cacingan.
4. Bagi Siswa Sekolah Dasar
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan kepada
siswa-siswi sekolah dasar tentang penyakit cacingan dan cara pencegahannya
sehingga dapat terhindar dari faktor resiko penyebab penyakit cacingan.
5. Bagi peneliti
Penelitian ini dapat juga sebagai bahan penelitian selanjutnya, serta
merupakan proses yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
13
E. Ruang lingkup
Pada penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup pembahasan yaitu
hubungan pengetahuan tentang cacingan dengan perilaku pencegahan cacingan
pada siswa kelas IV dan V di SD Negeri 01 Krukut Kecamatan Limo Depok.

Anda mungkin juga menyukai