Anda di halaman 1dari 16

TROBOSAN ADVERTISING

Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi (?)


Edisi interaktif OPINI, 7 aPRIL 2014

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini - April 2014

Esensi Politik
Di tengah persiapan mahasiswa alAzhar (baca: mahasiswa Indonesia) dalam menjelang ujian termin akhir mulai memanas, persaingan partai politik pun turut ikut memanasi Masisir seiring mendekatnya pesta demokrasi pemilu 2014. Secara serempak semua partai gencar menarik simpatisan guna mencari suara dan popularitas. Berbagai kampanye dilakukan. Sayangnya, sebagian partai mengimplementasikan politiknya secara praktis, memperjualkan agama di hadapan simpatisan, beranggapan bahwa methode perpolitikan yang diterapkan sesuai pembenaran Islam. Namun, sikap apatis mereka muncul ketika diajak dialog terkait pembenaran politik secara Islami. Acuh tak acuh. Tak luput dari itu semua, Indonesia sebagai negara penduduk terbanyak mayoritasnya Muslim, budaya dan tradisi yang beragam, serta ribuan suku dan ras yang berbeda-beda. Tentunya Indonesia sangat memiliki peran penting di kancah dunia Islam, terutama dilihat dari sisi politiknya. Apakah implementasi perpolitikan yang selama ini terjadi di Bumi pertiwi sesuai dengan ajaran Rasulullah dan para Sahabatnya? Syekh Usamah Sayyid al-Azhari pernah berkata Allah SWT marah kepada orang yang mengambil agama sebagai mainan, sementara sebagian orang mengambil agama sebagai wasilah atau alat untuk kepentingan-kepentingan politik. Ungkapan diatas sudah menjadi barang realita bahwa politik selalunya mencakar segala cara untuk kemenangan partainya. Sehingga tak ayal intensitas partai mereka melambung tinggi, sementara status agama mereka sudah tercoreng dari nama baik Islam. Lantas, dengan demikian apakah mereka yang ngakunya partai Islamisasi yang tabu sebaiknya tidak diperuntunkan menguasai kursi-kursi pejabat, disamping cara pola pikir dan gaya implementasi perpolitikannya yang berbeda dan mengundang anarkisme masyarakat? Pada hakikatnya, semuanya sah-sah saja, terlebih ia yang nantinya menduduki kekuasaan harus melayani umat bukan hanya golongannya saja. Namun yang mesti digaris bawahi adalah merubah pola pikir fanatik yang mewabah dalam dirinya. Berangkat dari itu semua TROBOSAN di edisi sekarang cukup lumayan berbeda dari edisi sebelumnya, karena TROBOSAN di Edisi khusus sekarang menyajikan opini-opini terkait perpolitikan dan Masisir yang kini menjadi bahan sorotan nusantara. Menyaksikan aksi unjuk gigi semua partai ketika berkampanye, juga berdampak pada praktik poliitik. Lantas penerapan politik seperti apakah yang dinilai cara berpola pikirnya tidak selayaknya gambaran diatas? Kritik dan saran dari pembaca sangatlah kami nantikan. Karena dengan kritik dan saran andalah kami akan bangkit dan berdiri untuk mendongkrak semangat penulis dan khususnya para kru TROBOSAN. Terima kasih kami ucapkan dari lubuk hati kami yang paling dalam, atas saran dan kritik yang telah anda sampaikan pada kami selama ini. Selamat membaca! []

Sekapur Sirih, Esensi Politik Halaman 2 Sikap, Menyoal Kepekaan Masisir Halaman 3 Opini I, Masisir, Antara Apatisme dan Sikap Positif Halaman 4 Opini II, Masisir Berpolitik, Why Not? Halaman 5 Opini III, Masisir Berpolitik, Pentingkah? Halaman 6 Opini IV, Al-Quran Itu Pedoman, Bukan Mainan! Halaman 7 Opini V, Bagaimana Hubungan Ideal Mahasiswa Dengan Politik? Halaman 8,14 Opini VI, Politik Aktif Dua Arah Halaman 9 Opini VII, Masisir dan Politik Halaman 10 Opini VIII, Masisir, Antara Politik dan Ideologi Halaman 11, 14 Opini IX, Realitas Kita & Urgensi Politik Tingkat Tinggi Halaman 12, 15 Opini X, Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi? Halaman 13, 14
Terbit perdana pada 21 Oktober 1990. Pendiri: Syarifuddin Abdullah, Tabrani Sabirin. Pemimpin Umum: Heni Septianing Pemimpin Redaksi: Supriatna. Pemimpin Perusahaan: Ainun Mardiyah. Dewan Redaksi: Tsabit Qodami, M. Hadi Bakri. Reportase: Abdul Latif Harahap, Ahmad Ramdani, Fachry Ganiardi, Rijal W. Rizkillah, Thaiburrizqi Ananda Hafifuddin, Zammil Hidayat, Ahmad Bayhaqi, Ikmal Al Hudawi, Aulia Khairunnisa, Isti`anah, Difla Nabila, Maimunah Hamid, Ukhti Muthmainnah Hamid,. Editor: Fahmi Hasan Nugroho. Lay Outer: Abdul Malik Pembantu Umum: Keluarga TROBOSAN. Alamat Redaksi: Indonesian Hostel302 Floor 04, 08 el-Wahran St. Rabea el-Adawea, Nasr City Cairo-Egypt. Telepon: 22609228, E-mail: terobosanmasisir@yahoo.com. Facebook : Terobosan Masisir. Untuk pemasangan iklan, pengaduan atau berlangganan silakan menghubungi nomor telepon : 01158270269 (Heni), 01122217176 (Fahmi), 01110578138 (Ainun)

Doc. Google.com

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini April

Menyoal Kepekaan Masisir


esta demokrasi di negeri kita kembali digelar. Seperti pawai lima tahunan yang wajib diramaikan. Kampanye dengan segala atributnya telah digencarkan. Pun bisik-bisik tentang masa depan bangsa lebih dahulu menjadi topik hangat yang dimuat berbagai ragam media. Semarak itu sampai juga di Mesir yang mayoritas WNI-nya mahasiswa dan pelajar. Masisir. Pemilu Caleg DPR RI sudah di depan mata. Caleg dari beberapa partai juga sudah unjuk gigi dalam ragam cara kampanye-nya. Kalau mau sedikit kritis, ada yang patut dicurigai dari praktik kampanye yang melibatkan beberapa lembaga belajar al-quran di Kairo kemarin. Karenanya patut dipertanyakan, apakah lembaga yang mengkaji kitab suci itu layak diseret dalam arena perpolitikan? Tapi politik memang begitu. Partai beserta segenap anggotanya adalah agen politik yang memiliki tujuan bersama. Kekuasaan. Maka berbagai cara untuk mencari perhatian dan meraup suara dilakukan. Oleh karena itu, Masisir sebagai insan akademis seharusnya jeli dan kritis dalam menyikapi berbagai fenomena berbau politik disekitarnya. Di sisi lain, nampaknya sikap kritis dan kepekaan Masisir patut dipertanyakan juga. Hal ini dapat kita lihat dengan berkaca pada pemilu lima tahun lalu. Tepatnya pemilu tahun 2009. Antusiasme masisir terhadap pemilu tanah air saat itu dapat terlihat dari diselenggarakannya sosialisasi pemilu oleh PPLN pada tahun sebelumnya, tepatnya di akhir tahun 2008. Tidak tanggungtanggung, acara digelar dengan menyewa gedung ACC yang megah. Sementara tahun ini, meskipun diiming-imingi Lomba kolom dengan hadiah yang menggiurkan, sosialisasi pemilu di Limas pada 23 Maret lalu hanya mampu menarik minat 200 Masisir saja. Nampaknya sosialisasi lewat kalender PPLN yang kertasnya tebal dan mengkilap itu lebih luas jangkauannya di Masisir. Mungkin Masisir sekarang sudah mulai menutup mata dengan praktik politik para politisi tanah air. Lihat saja! Dalam kurun lima tahun belakangan, partai mana yang tidak terungkap korupsi dan kebusukan di dalamnya? Banyak jejak hitam eksponen politisi tanah air yang berujung pada kekecewaan rakyat akan carut marutnya politik di negeri sendiri. Mau tak mau, Masisir yang juga WNI di negeri orang ikut merasakannya. Barangkali itu pula yang menambah lesu antusiasme Masisir dalam pemilu 2014 ini. Fungsi pemangku kebijakan dalam tubuh PPMI (baca: MPA, BPA dan DPP) tak banyak yang tahu apalagi peduli, padahal saat Pemilu Raya digelar kursi PPMI selalu diperebutkan. Tidak dipungkiri, masingmasing kelompok saling sikut kanan-kiri agar orangnya bisa tampil di depan. Namun selepas itu kembali sepi. Seolah-olah PPMI hanyalah milik suatu kelompok yang pentolannya telah duduk di kursi Presiden. Pun tidak banyak yang peduli apakah jalannya 3 lembaga inti PPMI itu sesuai fungsinya atau tidak. Sungguh aneh, toh jika akhirnya kembali sepi, apa yang sebenarnya diperebutkan saat pemilu raya. Jika toh, PPMI tidak lagi menjadi tempat mengasah kemampuan Masisir untuk berorganisasi. Mengapa fenomena ketidakpedulian ini terus terjadi? Apakah SGS dalam PPMI telah ditinggalkan pegiat dan perumusnya, sehingga ia berjalan seperti anak ayam kehilangan induknya? Ataukah memang Masisir sudah benar-benar angkat tangan dengan induk organisasi mereka sendiri? Tentu tidak serta merta kita berharap bahwa pembenahan dalam induk organisasi Masisir ini dilakukan oleh generasi selanjutnya, tanpa peran dari generasi yang tengah menjabat saat ini. Mewarisi generasi baru dengan kecacatan generasi sebelumnya, dengan harapan agar mereka mampu melakukan pembenahan, ibarat memadamkan api dengan bensin. Jika saja kita masih menutup mata terhadap permasalahan yang nyata terjadi di sekitarnya, maka bukan hal yang tidak wajar, terhadap urusan nasional tanah air yang lebih besar juga kita tidak peduli. Acuh tak acuh. Jika terhadap permasalahan kecil saja tidak semua dapat bersikap peduli, apakah Masisir masih berhak untuk peduli dengan permasalahan yang lebih besar? []

Seharusnya wajah perpolitikan tanah air yang sudah tercoreng itu membuat Masisir lebih kritis. Idealnya, mahasiswa merupakan kaum cerdik pandai yang menjadi saluran penyambung antara penguasa (baca: pejabat pemerintahan) dengan masyarakat biasa. Menutup mata akan fenomena perpolitikan-yang nantinya mengesahkan pejabat pemerintahan- berarti menyumbat saluran antara pemerintah dan masyakarat. Mirisnya, fenomena itu mulai nampak batang hidungnya di Mesir. Lihat saja yang nampak sekarang, hubungan Masisir dengan KBRI misalnya, hanyalah sebatas birokrasi dan hubungan yang hanya tersambung dengan proposal dan dana. Jika kita lihat pada skala yang lebih kecil, dalam dinamika perpolitikan Masisir yang disetir oleh PPMI misalnya. Saat ini, siapakah yang masih peduli dengan induk organisasi Masisir tersebut? Banyaknya permasalahan dalam tubuh PPMI yang diekspos oleh media tak lebih menjadi angin lalu. DPP PPMI yang tiba-tiba berubah menjadi broker dadakan, carut marut Camaba yang selalu berulang dan tak kunjung terselesaikan. Perjalanan SGS yang semakin jauh dari relnya, dan semakin hari semakin nampak cacatnya. Namun siapa lagi yang mau peduli? Mau tak mau awak media gigit jari, berita yang seharusnya mencambuk kepekaan Masisir itu tidak mendapat feed back yang setimpal dengan harapan.

Rubrik Sikap adalah editorial buletin TROBOSAN. Ditulis oleh tim redaksi TROBOSAN dan mewakili suara resmi dari TROBOSAN terhadap suatu perkara. Tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab redaksi.

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini - April 2014

Masisir, Antara Apatisme dan Sikap Positif


Oleh: Kurniawan Saputra*
Masyarakat yang tidak memiliki harapan akan lumpuh, M Fethullah Gulen. Masisir panik. Pesta demokrasi yang sebentar lagi dihelat menjadi akar perkara. Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir tidak tahu harus berbuat apa dalam pemilu 5 April nanti. PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negri) telah mengadakan sosialisasi, tapi acara beranggaran besar itu sepertinya belum cukup mengusir kebingungan. 23 Maret lalu, di Aula Limas, PPLN punya hajatan besar, sosialisasi pemilu. Agenda dikemas dengan presentasi pemenang lomba kolom dan dilanjutkan dengan debat perwakilan parpol. Yang unik, di tengah presentasi, lampu mati. Menurut saya, kejadian itu menyuguhkan metafora yang tepat sekali: di tengah glamornya usaha pemerintah mempopulerkan pemilu, kelamnya apatisme Masisir tak dapat seluruhnya diterangi. Belum lama ini, saya baca komentar di facebook kerabat saya bahwa golput akan menang. Sebelumnya, seorang kawan yang lain menulis status yang membela prinsip prinsip golput. Teman sekamar saya juga bilang tidak akan memilih. Dia beralasan selain tidak mengenal caleg yang maju, kekecewaan terhadap wakil rakyat yang menjabat saat ini juga membuatnya memutuskan abstain. Apatisme ini sebenarnya tak jauh beda dengan wabah pesimisme yang melanda masyarakat Indonesia secara umum. Masisir hanya cermin kecil pemantul wajah asli dinamika politik nasional. Karim Raslan, penulis berkebangsaan Malaysia yang sangat memerhatikan dinamika kebangsaan Indonesia, mengatakan bahwa kampanye politik edisi kali ini adalah yang paling suram. Karim, yang punya proyek Ceritalah Indonesia, telah mengikuti perkembangan politik nasional sejak 1999. Karim meneliti antusiasme masyarakat di dua propinsi paling padat penduduk, Jabar dan Jatim. Di Sidoarjo, Karim menemukan Nugroho, 57 tahun, yang menyatakan akan golput karena muak dengan politik uang para caleg. Di Ponorogo, ia berjumpa dengan Arif, pemulung sampah usia 31 tahun yang bilang bahwa pemilu legislatif hanya sebuah kemubaziran. Tak akan ada yang berubah, ujar Arif. Akibat keadaan ini, Karim menyimpulkan bahwa masalah utama bangsa Indonesia saat ini bukan lagi perihal disintegrasi, tetapi kekecewaan masyarakat yang meningkat terhadap demokrasi nasional. Menurut saya, kekecewaan semacam ini wajar. Kita sama-sama muak dengan maraknya kasus korupsi, kelambanan dan tidak efektifnya pemerintah, perilaku buruk elit politik, juga seperti yang teman sekamar saya bilang, ketidaktersediaan calon legislatif yang ideal. Hal ihwal ini membuat orang banyak berpikir bahwa barangkali golput adalah solusi instan. Tetapi apakah benar golput akan menyelesaikan masalah? Secara tidak langsung, tidak menggunakan hak pilih adalah memberikan legitimasi bagi pemenang pemilu yang belum tentu menyuarakan aspirasi kita. Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, cendekiawan Muslim tanah air, menyuarakan retorika menohok untuk mereka yang berniat golput: Jika Anda tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah, atau anggota DPR, atau parpol Islam, itu hak Anda. Tetapi jika Anda dan jutaan orang lain tidak ikut pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis, akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik meski hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan. Lebih jauh, golput dapat menimbulkan gonjang-ganjing politik hingga mengancam persatuan nasional. Bayangkan jika kebanyakan orang, karena putus asa dengan keadaan saat ini, memutuskan untuk tidak ikut berpartisipasi. Akibatnya, pemerintah akan kehilangan legitimasi, kemudian tiap tiap kelompok komunis, radikal, anarkis, dll - merasa berkuasa atas negri ini. Perang saudara bisa jadi akan menjadi masa depan buruk bangsa ini. Bahwa demokrasi nasional saat ini berjalan buruk, kita sama -sama mengetahui. Namun kita juga tak boleh menutup mata bahwa masih banyak hal positif dalam dinamika kenegaraan kita. Indonesia adalah negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Anis Baswedan, rektor Universitas Paramadina, menyebutkan bahwa salah satu sisi positif negara ini adalah kedewasaan politik. Peserta konvensi capres partai Demokrat ini menjelaskan lebih jauh bahwa sebenarnya ada banyak sekali kasus dalam pilkada. Tetapi semua kasus itu selesai di meja peradilan lalu masing-masing pihak berbesar hati menerima putusan hakim. Yang jadi masalah jika setiap pihak yang tak puas turun ke jalan lalu bakar-bakaran semua -seperti di Timur Tengah-, ujar Anis. Sikap bangsa Indonesia yang legowo itu, kata Anis, adalah tanda bangsa beradab. Perlu diperhatikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang masih muda dalam pencarian sistem pemerintahan ideal. Sepatutnya kita menyadari bahwa dalam proses pencarian itu akan ada trial and error. Amerika Serikat saja pernah mengalami perang saudara sebelum menjadi negara super power. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah solusi berwujud peran aktif, bukan sikap apatis. Kita harus optimis masalah demi masalah dapat diselesaikan dengan sikap politik yang aktif, cerdas dan tepat. Bukankah korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku elit, dapat ditanggulangi dengan memilih wakil dengan integritas baik. Pula, bila masalahnya adalah ketidaktersediaan calon yang dibutuhkan masyarakat, mengapa tidak memantaskan diri menjadi wakil rakyat? Tidak menggunakan hak suara, seperti menggunakannya, adalah opsi. Tetapi setiap pilihan memiliki konsekuensi, dan golput dapat membawa akibat yang amat buruk. Dalam khazanah keislaman, para salaf menggunakan istilah setan bisu untuk mereka yang diam dari kebenaran. Bagi saya, golput termasuk golongan itu. Bukankah dalam demokrasi, setiap individu dijamin kebebasan menyuarakan kebenaran? Bahkan kebenaran versi apa saja. Maka, Masisir sebagai komunitas akademis, menurut saya perlu mempertimbangkan lebih jauh sikap politiknya. Kita bukanlah masyarakat tak berpendidikan yang mendasari setiap pilihan tanpa pertimbangan nalar berpikir dan landasan ilmiah. Kita adalah komunitas terdidik yang tindak tanduknya jadi teladan. Terutama karena kita adalah entitas pelajar yang mayoritasberkecimpung dengan khazanah keilmuan Islam. Tugas kita adalah menjadi pionir yang mendorong perspektif optimis dan harapan atas masa depan bangsa ini. Karena masyarakat yang tak punya harapan, kata Gulen, akan lumpuh. *Penulis adalah Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Aqidah Wa Falsafah.

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini April

Masisir Berpolitik, Why Not?


Oleh: Salman Arif*
Akhirnya rakyat Indonesia masuk pada tahun yang mana para pengamat politik menyebutnya dengan "Tahun Politik". Tahun ini adalah moment dimana calon wakil rakyat unjung gigi, bursa calon presiden tumpah ruah. Suhu demokrasi kembali memanas, bahkan hawanya menerobos garis teritorial hingga menyapa para Masisir di Negeri Firaun. Kalau kita perhatikan, ada segmen baru dalam roda aktivitas Masisir. Biasanya Masisir sibuk dengan aktivitas kuliah, bisnis, organisasi (politik non-praktis) dan berbagai macam aktivitas lain, maka saat ini ada segmen dimana Masisir lebih intens berbicara tentang kepemimpinan, cita-cita dan masa depan bangsa. Tiba-tiba banyak yang "keranjingan" berbicara politik bahkan ikut "latah" perpartisipasi dalam politik praktis. Terkait pesta rakyat yang sedang berlangsung, fakta membuktikan bahwa Masisir terbagi dalam 3 golongan. Golongan pertama adalah mereka yang simpati dengan partai politik. Partai politik masih dipercayai menjadi penampung aspirasi publik dan masih dipandang sebagai salah satu instrument menuju bangsa yang berperadaban. Indonesia masih punya wajah. Generasi dengan background religius seperti Masisir akan bisa mengubah atsmosfir politik yang penuh intrik dan aroma busuk menuju arena yang asyik dan menyenangkan. Bukti kongkritnya, biasanya hanya PKS yang hadir di tengah-tengah Masisir, akhirnya PKB, Nasdem dan beberapa parpol ikut menemani. Walaupun dalam tatanan praktis, ada yang perlu diperbaiki. Sebagai contoh kecil tentang pengelolaan sosial media resmi perwakilan partai yang seharusnya merupakan white account, dilain kesempatan kadang berubah menjadi grey account yang digunakan untuk demarketing rival politik. Semoga jaran menuju aktor politik yang lebih dewasa Yusuf Mansur dan Habib Rizieq semakin dan profesional. membantah mitos bahwa agama berseberPenulis sangat mengapresiasi sikap poli- angan dengan politik. Kiyai dan santri/ tik seperti ini karena masih ada Masisir yang jebolan pesantren harus care terkait hubvokal berjuang dalam jalur ini. Karena me- ungan politik dengan isu keumatan. mang, laju politik harus dikawal oleh orangGolongan ketiga adalah-- golongan yang orang berlatar belakang agama yang paham melek politik tapi tidak terjun dalam politik timbangan baik dan buruk sehingga kursi praktis. Alasannya beragam, ada yang kelak wakil rakyat tidak didominasi oleh para ingin berdakwah secara normal dan mempelacur politik. Dan kita patut berbangga bina generasi penerus. Ini masuk akal dan dengan banyaknya caleg dari rahim Masisir layak diapresiasi karena semua kita harus yang berkiprah di dunia politik dengan latar masuk dalam ruang lingkup keindonesiaan belakang parpol yang beragam. yang konperhensif menuju Indonesia yang Golongan kedua adalah golongan yang lebih maju. antipati dengan politik. Dalam perspektif Sebenarnya politik itu sangat urgent dan kelompok ini mengatakan bahwa politik itu tidak ada sekat antara politik dengan tujuan kotor. Tak ada kawan atau lawan abadi da- Masisir menuntut ilmu ke Mesir ini. Apabila lam kamus politik, yang abadi hanya satu keduanya bergabung dan berakumulasi dayaitu kepentingan. Seseorang bisa menjadi lam satu bentuk maka itu akan menciptakan sangat jahat dan baik dan sulit mengklasifi- percepatan kematangan diri saat terjun ke kasikan tokoh baik dan tokoh jahat tersebut. masyarakat saat pulang ke tanah air. Masisir Belum lagi kasus-kasus yang menerpa partai akan mudah beradaptasi dan cepat berbaur politik. Semuanya menjadi abu-abu. Hingga saat bergabung dengan parpol atau LSM termereka cendrung apolitik yang berujung tentu. Politik juga tidak mempengaruhi presFoto PPMI pada golput saat pemilu. Mereka Doc. terbelenggu tasi akademik. Tanpa menyebutkan parpol, dengan jargon yang mereka gaung-gaungkan banyak kader partai tertentu meraih mumtaz yaitu independent. Mereka selalu mengkritik dan melanjutkan study ke jenjang magister namun mereka tidak mampu memberikan dan doktoral. Politik dan akademik keduanya solusi yang relevan atas problematika bang- berjalan seiringan tanpa mendahului satu sa. Satu lagi sikap para barisan anti politik sama lain. Walaupun sebenarnya semua yaitu adanya usaha mendepolitisasi kegiatan kembali pada individu masing-masing. politik walaupun kegiatan itu diperuntukkan Disisi lain memang terbentuk banyak untuk konstituen politik. friksi di tubuh Masisir. Dalam politik, Sebenarnya masih banyak orang-orang gesekan dan ketegangan yang sering terjadi baik yang duduk dikursi parlemen walaupun di sosial media merupakan suatu yang wajar. jumlahnya minoritas, hanya saja mereka Walapupun kelemahan ini menjadi sasaran kalah voting dalam hak angket yang mem- bully dan adu bomba para barisan anti poliihak pada rakyat. Kalau yang terjadi seperti tik namun hal ini akan menjadi pembelajaran ini maka logikanya pelaku golput tidak etis menuju Masisir politik yang matang. dan tak berhak mengkritisi kinerja Terakhir, apapun sikap politik anda, janpemerintah karena mereka tak ikut ber- gan sampai merusak hubungan horizontal partisipasi dalam euforia pesta demokrasi. sesama Masisir. Perbedaan itu wajar, keragaYang paling menarik adalah apa yang man itu indah. Kolaborasi golongan dengan dikatakan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA., misi keindonesian bersama golongan dengan M.Phil (Ketua MIUMI), "Jika anda tidak mau misi keumatan itu yang barangkali akan ikut pemilu karena kecewa dengan menjadikan bangsa kita hebat dan kuat.[] pemerintah dan anggota DPR, atau parpol Islam, itu hak anda. Tapi ingat jika anda dan *Penulis adalah mahasiswa Universijutaan yang lain tidak ikut pemilu maka tas Al-Azhar, Fakultas Syariah wal Qanun, jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis Jurusan Syari'ah Islamiyah akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik meskipun hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan." Belum lagi statement Aa Gym, Ust.

ini jadi

Doc. Google.com

hal menpembela-

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini - April 2014

Masisir Berpolitik, Pentingkah?


Oleh: Ahmad Hujaj Nurrohim*
Ada banyak definisi tentang politik. Sementara pakar mengatakan bahwa politik adalah seni untuk mencapai kekuasaan, dan kekuasaan adalah alat untuk mengatur negara dan memakmurkan rakyat. Menurut mantan Mufti Mesir, Syekh Ali Jumah, politik adalah riyat syun al-ummah fi al-dakhl wa alkhrij (menjaga urusan umat dari luar dan dalam). Barangkali definisi beliau itu merujuk kepada Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa politik adalah alat untuk mengatur manusia demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Melihat definisi politik yang telah dikatakan oleh para tokoh itu, kita bisa memahami bahwa politik adalah hal yang mulia, dan aktifitasnya merupakan suatu ibadah. Namun tak bisa dipungkiri, pada kenyataanya politik tidak lepas dari trik-trik yang licik dan menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Semua warga negara Indonesia di luar negeri mempunyai hak suara yang sama. Meskipun jumlah WNI yang berada di Mesir hanya berjumlah sekitar empat ribu jiwadan mayoritas adalah mahasiswa, tapi geliat politiknya cukup hangat. Banyak yang mengatakan bahwa Masisir adalah fotokopiannya Indonesia. Di Masisir hampir semua lembaga afiliatif tersedia, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan yang lainnya. Pun begitu ketika menjelang pemilu, beberapa wakil partai politik unjuk gigi untuk berebut suara. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah penting bagi Masisir untuk terlibat langsung dalam politik praktis? Dalam kata lain, apakah penting dan pantas mahasiswa menjadi pengurus parpol tertentu? Belum atau tidak ada kata sepakat tentang jawabannya. Namun di sini penulis akan mencoba mengemukakan beberapa pendapat yang beredar di Masisir terkait hal itu. Ada yang mengatakan penting, adapula yang mengatakan tidak penting. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwasanya tidak penting bagi Masisir untuk terjun langsung ke dunia politik praktis. Alasannya, kedatangan Masisir ke bumi Mesir ini adalah untuk belajar, bukan untuk berpolitik. Politik memang tidak selalunya kotor, tapi masuk ke dunia politik juga sulit untuk tetap bersih. Tujuan belajar adalah mencari kebenaran, dan mencari kebenaran dalam politik itu bukan ikut-ikutan terjerumus ke dalam kepentingan sesaat. Kuliah lancar, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, menjalin hubungan baik dengan KBRI dan berinteraksi dengan sesama warga Indonesia atau non Indonesia adalah hal-hal yang seharusnya menjadi topik politik Masisir. Masih menurut pendapat yang pertama ini, kalau ingin belajar berpolitik lebih dalam, bukankah sudah ada PPMI dan kekeluargaan? di sana terdapat pembelajaran berpolitik, terutama di PPMI yang menganut sistem Trias Politika. Warna politik di PPMI sudah mirip dengan politik di Indonesia, ada Pemilu Raya dengan segala atributnya; kampanye, debat kandidat dan lain sebagainya. Demikian juga di kekeluargaan yang kurang lebih sama. Jika tujuan politik adalah untuk mensejahterakan rakyat, maka belajar politik di organisasi Masisir adalah pilihan tepat. Sebelum mengurus rakyat banyak, belajar dulu mengurus kawan-kawan yang notabene adalah sesama mahasiswa, bukan ikut berkecimpung di politik praktis. Lagi pula, pemilu hanya berjalan lima tahun sekali. Jika standar masa belajar di alAzhar adalah empat tahun, maka tidak semua orang bisa belajar berpolitik lewat partai. Tentu tidak cukup belajar satu kali dalam lima tahun, karena sesunggunya belajar politik itu perlu waktu yang lama. Mahasiswa berpolitik praktis justru merobohkan citra mahasiswa itu sendiri yang sejatinya adalah insan intelektual. Hal itu terkait sebagian Masisir yang terjun dadakan menjelang pemilu. Adapun bagi mereka yang sepanjang tahun bergelut di dunia politik, karena memang mereka adalah kader partai politik tertentu yang selalu aktif di Masisir, mereka terkesan telah lompat dari tujuan asli sebagai pelajar atau mahasiswa dan memilih jalur yang sebenarnya bukan jalurnya. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Masisir perlu berpolitik praktis. Alasannya adalah bahwa mahasiswa yang berada di Mesir adalah WNI juga. Jika di Masisir terdapat berbagai organisasi afiliatif, kenapa parpol tidak? Asal bisa tertib dan rapi, tidak menjadi masalah jika mahasiswa berpolitik. Toh itu merupakan sebuah pembelajaran dalam dunia perpolitikan. Masih menurut pendapat ini, di lingkungan mahasiswa Indonesia di Tanah Air terdapat BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang membawahi kegiatan mahasiswa yang bersifat ekstra. Dari sanalah kawan-kawan mahasiswa Indonesia belajar berorganisasi, sekaligus belajar berpolitik. Dalam hal ini, PPMI dan kekeluargaan di Masisir--meskipun sudah menganut sistem Trias Politika, belum bisa disamakan dengan BEM, karena aktifitas PPMI masih dalam lingkup mahasiswa saja, tidak melebar ke warga Indonesia yang non mahasiswa. PPMI seperti OSIS di SMP atau SMA yang ruang lingkupnya adalah sekolahan. Jadi belum cukup untuk menjadi tempat belajar berpolitik. Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah masalah kesempatan. Banyak yang mengatakan bahwa mahasiswa yang kuliah di Indonesia lebih banyak kesempatannya untuk menjadi politisi, karena mereka berada di Tanah Air. Sementara Masisir yang jauh di luar negeri sulit untuk menggapai kesempatan itu. Sebuah proses politik bukanlah abra kadabra seperti tukang sulap yang satu kali jadi. Karier politik memerlukan proses panjang. Masisir juga berhak untuk menjadi seorang politisi, supaya dengan keilmuan dan kesalehannya bisa mewarnai perpolitikan di Indonesia. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau tidak di Mesir, lalu di mana lagi? Memang benar bahwa politik tidak bisa lepas dari uang. Tapi justru itulah yang menjadi tantangan Masisir; bagaimana menghindari praktek politik uang yang kotor itu. Masisir yang berpolitik bisa menjadi percontohan untuk Indonesia, bahwa politik ala mahasiswa adalah bersih. Dari dua pendapat di atas, penulis ingin menyimpulkan bahwasanya Masisir berpolitik itu penting. Selain untuk belajar, Masisir yang berpolitik secara bersih juga bisa menjadi percontohan bahwa mahasiswa al-Azhar mampu berpolitik secara bersih. Namun ada yang lebih penting dari sekedar berpolitik, yaitu belajar di alAzhar dengan sungguh-sungguh, karena alAzhar lah yang membuat sebagian besar Masisir datang ke bumi Mesir ini. Kata orang bijak, jangan sampai mencari jarum melupakan kapak, mengejar hal yang tidak begitu penting tapi meninggalkan hal yang sangat penting. Jangan karena niat belajar berpolitik, belajar di al-Azhar terlupakan. *Penulis adalah Mahasiswa tingkat III jurusan Syariah Islamiyah.

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini April

Al-Quran Itu Pedoman, Bukan Mainan!


Oleh: Hilmy Mubarok*
Setelah munculnya mufasir kesasar, Abu Marlo dan penafsiran keliru tentang musibah Gunung Kelud, baru -baru ini kita kembali dikagetkan dengan adanya penafsiran al-Quran yang dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan mereka dalam meraup kekuasaan dalam kancah politik. Tidak tau apa alasan atau argumen mereka, yang jelas mereka telah menyalahgunakan al-Quran demi sebuah kepentingan sesaat. Padahal al-Quran sebagai kitab suci, terlalu mulia jika digunakan untuk kepentingan Penafsiran seperti ini benar-benar harus ditiadakan, karena bisa mengotori pemahaman orang awam khususnya terhadap al Quran. Di sisi lain apa yang telah dilakukan ini sesuai dengan larangan Allah bahwa kita dilarang untuk menjual ayat-ayat Allah dengan hal-hal yang tidak berharga. Allah berfirman, ... dan janganlah kamu jual ayatayat-Ku dengan harga murah ... (QS. AlMaidah: 44). Memang benar dewasa ini telah muncul metode penafsiran al-Quran perspektif politik, namun tidak seperti di atas caranya. Satu hal yang penting dalam metode ini adalah menjaga kefanatikan terhadap sebuah paham, seorang individu atau kelompok. Artinya, ketika menafsirkan ayat, khususnya yang berkaitan dengan hukum bermasyarakat, maka seyogianya untuk menjauhkan sifat kefanatikan. Karena jika tidak, maka penafsiran tersebut secara langsung akan cenderung mengikuti hawa nafsu. Saya di sini tidak membenci mereka secara individu atau kelompok, namun membenci cara mereka dalam menarik simpati masyarakat yang sangat keliru, apalagi menggunakan al-Quran. Al-Quran itu pedoman, bukan mainan! Di sisi lain, yang perlu dicatat adalah salah satu kesimpulan yang kurang benar bahwa al-Quran (red: agama) tidak bisa dibawa-bawa ke dalam ranah politik karena bisa menodai kefitrahan agama. Sebagaimana yang dituliskan Syeikh Ghadlban dalam mukadimah bukunya, Al-Manhaj Al-Siyasi li Sirah Nabawiah, bahwa politik itu cenderung dengan hal-hal busuk, najis dan jauh dari kebaikan, sedangkan agama itu suci, bersih, sesuai dengan norma dan nilai -nilai kebaikan. Sehingga keduanya tidak bisa disatukan, seperti minyak dan air. Hal di atas tentu keliru, karena jika benar maka apa bedanya saya dengan orang -orang liberal yang berusaha menyebarkan pemahaman bahwa agama hanya ada di masjid saja sedangkan hal-hal di luar masjid yang berhubungan dengan sosial, agama tidak berkepentingan. Apa yang dipahami orang-orang liberal sebetulnya merendahkan agama Islam karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa Islam dengan al-Quran dan sunnah Rasulullah Saw. sebagai pedoman, mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu pun perkara di dalam kehidupan, kecuali sudah ada pen-

Salah satu penafsiran yang muncul adalah pengkaitan nomer urut surat di dalam al -Quran dengan nomor urut sebuah partai. Mereka dengan sengaja tanpa memperhatikan beberapa syarat dan ketentuan kaidah penafsiran, mencoba -lebih tepatnya memaksakan untuk mengambil kesimpulan antara makna surat tersebut dengan partai yang dimaksud. Hal ini tentunya tidak dibenarkan, karena semua kesimpulannya benar-benar tidak rasional. Semua penafsiran tersebut secara langsung untuk meraup simpati masyarakat, karena mungkin jika dikaitkan dengan al Quran maka akan memunculkan nilai atau kesan lebih baik. Contohnya ketika ada salah satu partai yang bernomer urut 24, maka sebagian mereka (red: oknum) mengaitkan nomer tersebut dengan surat yang ada di dalam al-Quran yang di mana surat ke-24 adalah surat al-Nur. Sehingga mereka pun mengambil kesimpulan bahwa partai tersebut dalam segala hal seperti cahaya. Jika memang seperti itu, berarti partaipartai lain selain partai tersebut adalah kegelapan? Apakah ada syarat atau tahapan -tahapan di mana sebuah partai bisa dikatakan partai yang bercahaya? Sungguh tidak masuk akal. Bisa jadi ada partai lain yang sepak terjangnya sebaik partai tersebut atau mungkin lebih baik sehingga lebih pantas disebut partai yang bercahaya. Ada lagi sebagian simpatisan (red: oknum) partai PAN yang mengajak masyarakat untuk mendukung mereka karena di dalam al-Quran hanya partai tersebut yang disebut, Kullu man alaihaa faan.

jelasannya di dalam agama Islam. Bahkan salah satu sabda Rasulullah Saw. ada yang mengandung kata siyasah atau politik. Kaanat banu Israil tasuusuhum al-Anbiya (HR. Bukhari). Pada akihirnya kita bisa mengambil beberapa poin penting. Pertama, agama dan politik benar-benar tidak bisa dipisahkan seperti halnya yang dipahami orang-orang liberal. Namun sebaliknya, karena sifat agama Islam yang universal, maka politik pun termasuk cakupannya, sebagaimana yang dikatakan Syeikh Ghadlban bahwa politik dengan segala apa yang terkait dengannya harus dikontrol atau di bawah naungan hukum syari. Kedua, sebagai insan akademis, kita secara tidak langsung bertanggungjawab dengan hal-hal yang terjadi di Indonesia, khususnya pesta demokrasi. Jika ada hal yang mengganjal atau bertentangan dengan agama, maka seyogyanya kita meluruskannya meski melalui tulisan yang mungkin tidak dibaca banyak orang, tapi kita minimal sudah memberikan kontribusi positif untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik. Ketiga, bagi partai yang merasa menjadi representasi dari agama, maka perlu hatihati dalam melangkah. Karena menurut saya, dewasa ini agama bukan lagi menjadi pedoman untuk berpolitik, tapi sebagai alat berpolitik. Hal inilah yang ditakutkan, karena jika ada kebijakan-kebijakan yang jauh dari nilai dan norma agama, maka masyarakat pun akan memandang negatif, bukan kepada partai saja tetapi juga pada agama itu sendiri. *Penulis adalah Mahasiswa tingkat akhir jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin.

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini - April 2014

Bagaimana Hubungan Ideal Mahasiswa Dengan Politik?


Oleh: Ahmad Satriawan Hariadi*
Ada beberapa hal dari dinamika politik mahasiswa yang banyak mengundang tanya. Apakah itu latar belakang yang menyebabkan para mahasiswa pegiat politik ini begitu ngotot dan fanatik terhadap partai tertentu, ataukah semangat berpolitik yang jarang sekali kita temui tandingannya di dalam aktivitas-aktivitas mereka yang lain. Kemudian dalam berbagai kesempatan, kita seringkali terheran-heran dengan eksistensi sikap politis mereka yang kian menjadi jadi seiring dekatnya pemilu. Bahkan beberapa kawan mahasiswa ataupun mahasiswi yang selama ini kita kenal sebagai sosok pendiam dan pemalu, kini begitu lantang mengkampanyekan partai mereka, dan tidak segan-segan lagi untuk memamerkan momenmomen politis mereka bersama teman separtai. Lalu di dalam ranah dunia maya, artikel artikel politis mereka akhir-akhir ini semakin banyak menghiasi timeline kita. Bahkan tidak jarang kita temui argumen-argumen tendensius mereka, agar kita memilih partai tertentu. Sehingga, semua hal yang berkaitan dengan suksesnya propaganda politis ini, tidak akan luput dari perhatian mereka. Kita pun bertanya-tanya, bagaimana partai politik ini masuk ke dalam kehidupan mereka, hingga layaknya sebuah mazhab? Mengapa mahasiswa politik ini begitu intens melakukan aktivitas politiknya? Apa motif yang melatarbelakangi mereka melakukan hal demikian? Lalu seperti apa hubungan ideal mahasiswa dengan politik? Pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu sangat sulit untuk penulis jawab, mengingat penulis --dan harus diakui-- termasuk golongan mahasiswa yang antipati dengan politik praktis ala mahasiswa. Namun penulis berani menjamin adanya relasi yang dipaksakan saat mereka mengaitkan kepentingan politis mereka dengan agama maupun masyarakat. Jika anda tidak percaya, lihatlah editorial media partai politik masisir yang berjudul "Anak -Anak Cinta". Dalam artikel ini anda akan mendapati bagaimana berbagai macam kegiatan sebuah partai politik, yang nyata-nyata dibelakangnya ada kepentingan politis -terlepas dari nilai positif dan negatifnya -dikait-kaitkan dengan mauqif-mauqif Nabi yang semuanya bersumber dari wahyu. hawatiran anda yang berlebihan, ketika Islam Sungguh jauh antara kepentingan politis tidak didakwahkan lewat kekuasaan. kekinian dan wahyu. Sungguh jauh antara Oleh karena itu, meskipun penulis tidak cinta Nabi dengan cinta yang di belakangnya ikut-ikutan nimbrung ke dalam sebuah partai politik, paling tidak apa yang ditampakkan oleh para mahasiswa pegiat politik --secara verbal maupun literer-- bisa menjadi acuan untuk mengetahui nafsiyah dan aqliyah mereka, terkait dunia politik yang mereka geluti. Sehingga kita, sedikit tidak bisa meraba -raba jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan mental untuk menjawab tiga pertanyaan Doc. Google.com pertama. Sedangkan untuk pertanyaan teraada kepentingan politis. Sungguh jauh antara khir, penulis menjawabnya dengan rahmatan lil alamin dan cinta yang diobaral- menggunakan pendekatan nalar. obral untuk sebuah suara di parlemen dan Mari kita jawab tiga pertanyaan pertama beberapa kursi di kementerian. tersebut! Jika kita ingin mengetahui bagaimaPenulis juga berani menjamin adanya na partai politik ini masuk ke dalam keanalisis tendensius, saat membaca media hidupan mahasiswa, lalu menjelma layaknya partai politik dan tulisan-tulisan lepas mereka sebuah mazhab, maka setidaknya kita harus di media sosial. Jika ada ragu, simaklah tahu sebuah titik yang mempertemukan tabibagaimana tendensiusnya analisis seorang at mahasiswa dan partai politik tersebut. mahasiswa yang merupakan kader partai Sudah maklum jika mahasiswa selalu tertentu di Mesir. Lihatlah bagaimana ia terpukau dengan hal-hal yang membakar dengan yakinnya menegaskan bahwa jika idealisme mereka. Sudah maklum juga jika Islam tidak didakwahkan lewat kekuasaan, darah muda mereka selalu condong kepada maka Islam hanya akan ada di buku-buku dan hal-hal yang bersifat revolusioner, baik dalam masjid-masjid. Tidak hanya itu, ia menam- agama maupun negara. Begitu juga dengan bahkan, "Bahkan bisa saja jika buku-buku dan hal-hal lain yang menjadi ciri khas gaya pikir surau-suraunya pun tidak akan dibiarkan dan tabiat mahasiswa. ada." Di sisi lain, ada semacam kecocokan antaPenulis tidak menafikan pentingnya ra idealisme yang diusung partai politik terdakwah lewat kekuasaan. Namun anda tidak tentu dengan tabiat mahasiswa yang berbisa mendiskreditkan begitu saja peranan sangkutan. Sehingga tak ayal, terjadilah permasjid sebagai sekolah sosial dan buku se- temuan, lalu kekaguman, hingga diakhiri bagai realisasi intelektual. Jika masih ragu dengan fusi. Di samping itu, ada semacam juga, lihatlah al-Azhar pada Revolusi 1919, ke asupan mental dari pegiat partai yang senan-Sunni-an rakyat Mesir pada zaman Dinasti tiasa menjaga keberlangsungan fusi tersebut. Fatimiyah, Muhammadiyah dan pendidikan Fusi inilah yang menjadikan partai yang Indonesia, Hizmet dan Fethullah Gulen, Islam didukung oleh mahasiswa layaknya sebuah dan proses penyebarannya di nusantara, dan mazhab, yang secara tidak langsung lain-lain. menuntut penganutnya untuk fanatik dan Semuanya membuktikan bahwa tidak selalu berbaik sangka terhadap petinggi maselamanya Islam harus didakwahkan lewat zhabnya. kekuasaan. Begitu juga tidak selamanya Selanjutnya jika kita ingin tahu mengapa penggunaan kekuasaan selalu berhasil dalam mahasiswa pegiat politik itu begitu intens menyebarkan dakwah. Bahkan, tidak jarang berkampanye berikut motifnya, maka kita jika masjid --yang notabene adalah sekolah harus kembalikan itu semua kepada petinggi sosial-- menjadi hulu revolusi melawan tirani. partainya. Iya, para petinggi partai itulah otak Jadi, tidak salah jika penulis menegaskan bah- dari semua aktivitas mahasiswa dalam wa anda terlalu overaktif dengan kek- kegiatan politisnya. Dengan begitu, anda tidak

Lanjut ke hal. 14...

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini April

Politik Aktif Dua Arah


Oleh: Fatimah Insani Zikra*
Pemilu bukan acara satu-satunya dalam kehidupan bernegara. Bukan berarti mengecilkan arti dari pemilu. Adalah benar bahwa pesta ini merupakan rangkaian acara terbesar dalam demokrasi, tapi bukan segala -galanya. Layaknya mengadakan sebuah acara, keberhasilan dari acara tersebut tidak hanya sekedar keberhasilan secara teknis, tapi keberhasilan yang sesuai dengan target target jangka panjangnya. Sebagai mana sebuah pesta apapun, ia membutuhkan persiapan yang dalam dan matang dari jauh jauh hari. Euforia pesta pemilihan wakil-wakil baru rentan kehilangan makna. Apa maksud kehilangan makna? Maksudnya bisa jadi acara ramai, orang banyak, media ribut, tapi yang lebih besar dari pada itu adalah bahwa kontrak-kontrak politik perjanjian antara si pemilih dan si calon wakil harus tetap dikawal. Komunikasi rakyat dengan calon wakil tidak boleh hanya terjadi secara instan beberapa saat jelang pemilu. Selanjutnya akses rakyat untuk mengetahui kinerja para wakilnya harus semakin diperluas dan berkelanjutan hingga berakhirnya masa kerja. Pada saat yang sama dengan pemilu juga diadakan pertanggung jawaban dalam sidang MPR. Tanpa memberikan porsi yang memadai untuk pertanggung jawaban ini, seolah-olah pemilihan umum hanya seperti lingkaran dengan jalur berputar -putar disitu saja. Memilih lagi dan lagi tanpa evaluasi. Parameter paling akurat dalam mengevaluasi para wakil adalah cita-cita bangsa sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 berupa negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Wakilwakil mana yang mampu membawa rakyat menuju negara yang telah dicanangkan dalam cita-cita bangsa. Pertanyaannya adalah apa wadah bagi rakyat untuk melakukan evaluasi dan pengukuran itu? Biasanya cita-cita negara secara simbolis menjadi pusat perhatian hanya pada saaat dirgahayu kemerdekaan. Anehnya selama masa pemilu menyinggung hal ini seolah tabu. Persaingan para kompetitor untuk mendapat suara rakyat murni berisi intrikintrik perebutan kursi. Mengapa kita sebagai konstituen tidak sepakat untuk menilai parpol atau calon anggota DPR dan DPD secara personal berdasarkan kriteria implementasi dari cita-cita negara yang dirumuskan oleh pendiri bangsa. Setidaknya harus ada mobilisasi opini secara besar rakyat menginginkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Yang diinginkan dalam negara yang kuat dan berpotensi besar adalah peran serius tidak hanya dari wakil tapi juga dari yang terwakilkan. Berakhirnya pesta pemilu raya adalah titik awal dimulainya peran pengawalan oleh konstituen sebagaimana menjadi titik awal pekerjaan wakil terpilih. Sebagaimana wakil yang duduk di kursi basah penuh fasilitas terobsesi mempergunakan berbagai haknya, konstituen juga tidak boleh lengah dan malas mengawasi. Agar periode pemilu mendatang tidak menjadi ajang caci maki ketidakpuasan sepihak. Arah kebijakan negara diharapkan terlaksana secara berkesinambungan di jalurnya menuju citacita. Pada akhirnya, setiap pemilu adalah hasil persiapan luar biasa besar, rumit dan panjang beberapa tahun sebelumnya. Berdasarkan model politik aktif dua arah ini kita anggap penting dan kita inginkan anak-anak semenjak kecil diajarkan secara netral bagaimana itu negara. Negara sebenarnya adalah kesepakatan. Setiap anggota negara berjuang menyatukan persepsi dan langkah secara jujur untuk tetap berada di garis kesepakatan itu. Barangkali kondisi negara tempat kita tinggal saat ini dapat menjadi pelajaran. Perjanjian atau kesepakatan bernegara tidak kuat. Akhirnya tidak ada imun agar tidak tumbang. Negara bisa tidak memiliki MPR dan DPR dalam waktu lama. Suatu waktu bahkan tanpa kabinet. Kita berharap dapat membangun negara yang dewasa, mandiri, dan komitmen dengan cita-cita bersama. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh penyelenggara yang netral dan atau orang-orang yang secara praktis tidak berkepentingan seperti ormas dan elit pelajar dan mahasiswa. Nalar kritis yang menjadi ciri mahasiwa belumlah cukup jika tidak dibarengi dengan antusias keterlibatan dalam agenda para penyelenggara negara. Jika poin terakhir diabaikan, mahasiswa menjadi kelompok kuat yang tidak menyadari potensinya. Di dalam tataran teori, sebagai contoh, mahasiswa dapat saja fasih mengkritik sistem demokrasi. Sesungguhnya di saat yang sama, tuntutan realita nan mendesak mengharuskannya untuk terjun langsung dalam mekanisme sumbang peran yang ada. Mahasiswa tidak boleh malas untuk bersinggungan secara langsung dengan wakilnya sebagai konstituen aktif. Berbagai kesempatan audiensi, ambil bagian dalam juridical review terhadap wakil rakyat, optimalisasi kesempatan dengar aspirasi dalam tugas reses anggota dewan, dan sebagainya, idealnya menjadi fokus peran politik mahasiswa. Dengan iklim politik seperti ini masalah-masalah mendasar akibat sistem demokrasi yang dianut negara dapat diurai. Sebagai contoh kasus, permasalahan mendasar demokrasi bahkan di negara kampiunnya adalah campur tangan kuat pemilik modal besar bahkan hingga mendikte kebijakan penyelenggara negara. Dengan pengawasan dan peran aktif konstituen -utamanya dari kalangan elit yang teredukasi dengan baik-, hal ini dapat ditekan. Adapun sikap masa bodoh, maka hanya akan membuat kalangan tertentu semakin menancapkan cakarnya dalam kebijakan-kebijakan umum secara tidak adil. Selamat memilih representasi bangsa! Bersiap untuk mengawasi wakil-wakil terpilih! *Penulis adalah Mahasiswi tingkat akhir jurusan Tafsir.

Express Copy
Menerima segala jenis fotokopi Mahatthah Mutsallas, Hay `Asyir Building 102 Sweesry. Hp: 01001726484

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini - April 2014

Masisir dan Politik


Oleh: Abdul baits Subhi*
Berkaca pada sebuah era di Indonesia, disaat reformasi 1998 telah memberikan kekecewaan yang mendalam bagi sebagian kalangan, namun kondisi tersebut dimaknai oleh sebagian mahasiswa sebagai jalan menuju perbaikan, karena mereka yakin pada kesempatan itulah mereka dapat merumuskan jalan menuju perubahan ke arah yang lebih baik lagi. Berhasil atau tidak, yang jelas pada saat itu mahasiswa berhasil mengidentifikasikan diri sebagai anggota masyarakat yang sudah bosan dan kecewa terhadap kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan yang ada. Belakangan ini hiruk pikuk dinamika organisasi Masisir mulai ramai digandrungi oleh para politisi dadakan, ratusan politisi hasil dari rekruitmen politik partai politik ini telah dan sedang melakukan akrobat politik guna mendapatkan simpati di sanubari hati Masisir dan bersuara lantang seolah sedang merepresentasikan diri atas nama rakyat dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan pada Pemilu Legislatif atas calon legislatif yang mereka usung. Terlepas dari nilai-nilai yang terkesan pragmatis itu, hal yang harus kita pahami bersama adalah; untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat (dalam hal ini Masisir khususnya) sudah barang tentu tidak semudah membalikkan tangan, namun dibutuhkan komitmen, keselarasan antara ucapan dan perbuatan. Sebab kepercayaan hanya bisa didapat melalui sebuah manifestasi keyakinan kolektif. Keyakinan Masisir tidak akan tumbuh begitu saja, hanya dengan bualan manis, seabreg event, bagi-bagi angpao atau umpan silang atau apalah dengan seabreg istilah sinonim lainnya. Kepercayaan pun tidak datang begitu saja ketika rasa kagum kian membuncah, ketika bahasa lisan mulai memanah, namun kepercayaan akan timbul dari sebuah bukti konkrit atas segala sikap, perbuatan, tutur kata maupun sapa yang selama ini dilakukan oleh calon maupun para politisi dadakan tersebut. Maka jangan harap jika Masisir akan mengintegrasikan ucapan dan perbuatannya jika para calon dan politisi dadakan tersebut belum memulainya. Masisir sudah terlalu pintar jika akrobat yang dilakukan masih saja berupa tipu-tipu dalam hal yang bersifat material, mereka sudah sangat paham, calon mana yang ikhlas berbuat dan calon mana yang giat melumat. Namun terlepas dari pada itu, Masisir sebagai kaum intelektual yang agamis, cendekiawan yang paham Quran dan Hadist harus turut berperan dalam kegiatan politik. Masisir harus mampu memberikan citra positif di mata masyarakat Indonesia. Harus kita sadari bersama, bahwa partai politik adalah kendaraan untuk menuju kekuasaan formal. Hal ini berarti gerakan menuju gerbang perubahan setidaknya harus juga dimulai dalam wadah yang bernama partai politik. Sistem demokrasi telah termateraikan, kita semua harus merasa terpanggil untuk mewujudkan demokrasi yang adil dan semua diharapkan membawa harapan dan mata air baru di tengah kegersangan dan kesemerawutan Bangsa Indonesia saat ini. Ketika manusia-manusia jahat bersatu, maka sudah seharusnya manusia -manusia baik bersekutu dan bergotong-royong, agar manusia-manusia baik itu tidak jatuh satu persatu. Adalah tulisan seorang Negarawan asal Irlandia, Edmund Burke itulah yang sampai saat ini penulis yakini bahwa masih ada harapan untuk menuju sebuah perbaikan bagi Indonesia yang satu. Indonesia yang harmonis dalam kemajemukan, toleransi dalam perbedaan. Dengan melihat antusiasme mahasiswa Indonesia di Mesir, yang setiap lima tahunnya turut memeriahkan pesta demokrasi melalui pendirian perwakilan luar negeri dari masing -masing partai, penulis optimis kedepan akan banyak corak baru yang turut mewarnai dinamika ideologi fundamental partai. Karena kita harus pahami bersama bahwa nilai-nilai kebaikan yang diajarkan al-Azhar tak mesti harus berkumpul dalam satu wadah partai yang bernafaskan islami, melainkan juga nilai-nilai tersebut harus kita tiupkan kedalam partai-partai nasionalis. Agar manusia-manusia baik yang terdidik dapat terus bersinergi membentuk kumparan energi untuk Indonesia yang lebih baik lagi. Dengan turut aktifnya masyarakat Indonesia di Mesir (mahasiswa khususnya) dalam geliat perpolitikan menjelang Pemilu Legislatif nanti, hal ini tentu akan memberikan efek pula bagi warga negara Indonesia di belahan dunia lain, bahwa Islam juga mengajarkan seperangkat tata nilai politik dan etika dalam kehidupan bernegara. Dan terakhir yang perlu kita garis bawahi bersama adalah, kita merupakan aset bangsa dan generasi cendekiawan Indonesia yang dipastikan kelak akan mewarnai dinamika sosio politik di Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin, jika diantara kitalah nanti yang akan menjadi pemimpin -pemimpin bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Amin Ya Rabbal Alamin! *Penulis adalah Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Syariah Islamiyah.

Doc. Google.com

sejahtera, tanggung jawab tersebut telah kita lakukan dalam bentuk partisipasi aktif dalam Pemilihan Umum Legislatif pada 5 April kemarin. Pada hari itulah tonggak perjuangan dan penentuan nasib Indonesia selama lima tahun kedepan ditentukan. Dalam diri para politisi itulah amanat rakyat dititipkan. Mahasiswa yang notabene sebagai agen perubahan harus turut ambil bagian dalam mengembalikan cita -cita Indonesia sebagaimana yang dahulu diharapakan oleh para pendiri Bangsa yaitu; menjadikan pancasila sebagai jati diri bangsa dan dasar kehidupan bersama. Kita harus bergandeng tangan bersama dalam merekonstruksi pola pikir masyarakat Indonesia dari kepura puraan menjadi keterusterangan. Konsistensi gerakan perubahan dalam merekonstruksi pola pikir masyarakat di Indonesia inilah yang harus kita mulai dari sekarang. Tak hanya bermodal keluasan ilmu pengetahuan, idealisme yang bercokol dalam pikiran, melainkan partisipasi dan terjun ke dalam arena politik praktis pun kelak bisa jadi akan menelurkan gagasan-gagasan baru bagi pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Bukan akan menghancurkan kesakralan nama besar al-Azhar, melainkan kita

Masisir, Antara Politik dan Ideologi


Oleh: Yahya Ibrahim*
Kali pertama saya bersentuhan dengan perpolitikan Masisir adalah ketika menjadi anggota panitia sidang MPA PPMI 2011. Gambaran pertama yang saya tangkap dari organisasi ini sedikit negatif. PPMI bagaikan sebuah kue yang hanya diperebutkan oleh dua kelompok besar, dalam hal ini kelompok kader suatu partai bersama simpatisannya dan kelompok yang anti partai tersebut. Keduanya memiliki massa yang kuat dengan fanatisme yang tinggi. Persaingan dua kubu ini menghasilkan iklim politik yang tidak sehat di tubuh Masisir. Mahasiswa bagai kehilangan jati diri. Mereka tidak lagi memiliki objektivitas dalam menilai segala sesuatu. Mereka seperti kehilangan kebebasan dan idealisme. Dalam menilai dan menentukan sikap mereka bagaikan kerbau yang ditusuk hidungnya oleh masing-masing kelompok. Persaingan saling menjatuhkan tanpa melihat baik buruk atau benar salah. Contoh yang bisa disebutkan untuk masalah ini sangat banyak. Misalnya dalam pemilihan presiden PPMI, para pemilih hanya memandang kelompok asal dari masingmasing calon. Mereka merasa tidak perlu mempelajari kepribadian dan visi misi sang calon, apalagi menganalisa programprogram yang ditawarkan. Bahan kampanye hanya si anu dari kelompok ini dan si anu dari kelompok itu. Keadaan ini diperparah dengan pembunuhan karakter di media sosial bahkan sms gelap. Mahasiswa tidak dibiarkan berpikir selayaknya mahasiswa. Begitu juga ketika nanti presiden menggulirkan program-programnya. Acara hanya diramaikan oleh kelompok pengusungnya, sedangkan yang lain seolah-olah boikot atau tidak mau tahu. Di akhir pemerintahan setiap tahun juga seperti itu, maksud saya ketika sidang MPA dan LPJ pengurus PPMI. Masing-masing beretorika untuk menyudutkan lawannya sehingga seakan-akan masukan dan kritikan untuk PPMI yang lebih baik terabaikan. Hal yang sama ketika para mahasiswa dituntut untuk menilai segala apa yang terjadi di lingkungan sekitar Masisir. Sangat tidak masuk akal ketika ada pula yang mendukung kudeta dan segala kezaliman yang terjadi hanya dengan alasan partai yang menjadi lawan politiknya mendukung Ikhwan Muslimin. Kebencian kepada partai tersebut lebih dulu menguasai daripada analisa dan berpikir objektif. Dari sisi kader partai tadi sendiri juga saya rasakan hal demikian. Terlihat pada awalnya ada yang mendukung IM hanya karena partainya mendukung, bukan dengan analisa siapa mereka dan kenapa harus mendukung. Terbukti ketika diskusi banyak juga yang kehilangan arah. Sikap Presiden PPMI juga tidak lepas dari hal ini. Setiap ucapan atau postingan tidak lepas dari sindiran kepada kelompok lawannya. Sebagai pengayom setiap golongan tentu sikap seperti ini menyebabkan keretakan yang semakin melebar di tengah Masisir. Lalu secara mengejutkan muncul pengumuman bahwa presiden ternyata juga kader partai yang lain. Setiap informasi tentang partai itu silahkan ditanyakan kepada beliau. Maka bisa saja setiap tindakan diambil dibawah kontrol partai yang bersangkutan. Hal mana yang juga selalu dituduhkan apabila presiden PPMI berasal dari kader partai yang berbeda. Mereka menyebutnya di Indonesia sebagai kontrak politik. Artinya alasan-alasan seperti demi al-Azhar dan demi Masisir bisa saja hanya hiasan bibir. Dari contoh-contoh di atas, inti yang ingin saya sampaikan adalah bahwa politik di Masisir telah menumpulkan ciri khas dari seorang mahasiswa, yaitu cara berfikir yang sarat dengan idealisme, objektivitas dan rasionalitas. Padahal dengan tiga modal inilah maka mahasiswa mampu memiliki peran sebagai agen perubahan. Mahasiswa yang sebenarnya lebih dari yang dijelaskan oleh defininya seperti yang termaktub di KBBI, yaitu orang yang belajar di perguruan tinggi dan terdaftar secara administrasi. Mahasiswa tidak hanya duduk di belakang meja, mendengarkan dosen berbicara, kemudian berharap mendapatkan pekerjaan yang bagus. Akan tetapi mahasiswa mempunyai peran dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa. Mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang besar, mulai dari tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Allah Swt maupun sebagai warga Negara dan bangsa. Kondisi kebanyakan mahasiswa yang seperti inilah yang membuat saya sedikit apatis terhadap dinamika perpolitikan Masisir. Hal mana yang juga menyebabkan saya menarik diri, tidak peduli, bahkan pernah dua kali tidak ikut pemilihan presiden PPMI. Namun seiring bertambahnya waktu, saya semakin paham bahwa dinamika politik Masisir tidaklah sesederhana itu. Ternyata di balik semuanya bukanlah hal remeh temeh seperti pertarungan antar partai politik yang ingin berkuasa. Melainkan ada semacam persaingan antar dua ideologi, atau antar beberapa ideologi dengan sebuah ideologi yang menjadi musuh bersama. Ini sebuah kenyataan yang luar biasa yang mungkin jarang ditemukan lagi ketika kuliah di Indonesia, kecuali mungkin pada masa-masa peletakan dasar ideologi kebangsaan yang digagas mahasiswa 19101930-an, atau ketika mahasiswa tampil sebagai sumber kepemimpinan bangsa yang dominan hingga 1950-an, dan ketika munculnya angin perubahan dalam diri mahaiswa yang menjelma menjadi generasi reformasi pada trahun 1990-an akhir. Misalnya, di Indonesia dalam persaingan menjadi presiden BEM tidak akan terasa persaingan ideologi. Hanya persaingan ketokohan, ketenaran atau prestasi. Sedangkan setiap ideologi sudah memiliki wadah tersendiri pada organisasiorganisasi mahasiswa yang ada untuk masing-masingnya. Hal yang berbeda dengan PPMI ketika ideologi mempunyai pengaruh signifikan kepada organisasi pemersatu ini. Hal ini mungkin akibat beragamnya ideologi yang ada dengan jumlah mahasiswa yang terbatas, sedangkan interaksi keluar lingkungan mahasiswa tidak memungkinkan. Jadi semacam persaingan pengaruh. Kemudian ditambah lagi jumlah mahasiswa yang sangat banyak hingga mengurangi interaksi antar kalangan untuk mempererat hubungan. Hal ini cukup tergambar dengan jelas dari sikap dan program-program yang ditelurkan oleh PPMI. Setiap pemerintahan mempunyai corak tersendiri sesuai dengan kelompoknya. Dorongan kepentingan terpapar dengan jelas. Bahkan setiap kelompok ternyata memiliki tim ahli yang akan mengkaji siapa calon yang akan diusung dan bagaimana suksesi pemilihannya, wa-

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini April

Lanjut ke hal. 14...

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini - April 2014

Realitas Kita dan Urgensi Politik Tingkat Tinggi


Oleh: Muhammad Amrullah*
Shaid bin Ahmad (w. 419 H) dalam buku Thabaqt al-Umam-nya, Al-Syahrastani (w. 548 H) dalam al-Milal wa al-Nihal-nya berpandangan hampir senada bahwa orang Arab tak memiliki pengetahuan filsafat kecuali sedikit di antara mereka. Saya tak tau seorang pun dari kalangan Arab yang masyhur pengetahuan filsafatnya kecuali Al Kindi dan Al-Hasan Hl-hamadani ungkap Shaid dalam Thabaqt al-Umam. Hanya saja, kurang dijelaskan oleh mereka faktor apa saja dibalik fenomena demikian. Berikutnya datang Ibnu Khaldun (w. 808 H.), sosiolog, filosof dan sejarawan Islam terkemuka. Dalam buku Muqaddimah-nya ia berpandangan bahwa kebanyakan pembawa ilmu pengetahuan dalam Islam adalah ajam (non Arab), disertai analisa faktor apa saja penyebab orang Arabbaik pra maupun pasca Islam--tak memperhatikan ilmu pengetahuan dan filsafat. Faktor -faktor inilah yang menjadi poin inti dimana harus menjadi perhatian bersama. Lantas, apa saja faktornya? Di antaranya: disibukkan oleh politik! Ibnu Kholdun membagi orang Arab kedalam dua kelompok: Arab primitif pedalaman, jauh dari buku, dari praktik dan sumber keilmuan serta perangkat-perangkatnyaini menjadi faktor lain selain politik. Sementara mereka yang hidup di kota, di mana buku mudah didapat, ulama mudah ditemu, praktik keilmuan, forum-forum diskusi dan perangkat-perangkatnya lengkap tersedia namun, justru disibukkan oleh kekuasaan. Politik praktis, bersiasat melindungi kekuasaannya dari rong-rongan kelompok lain dst. membuat mereka tak sempat memikirkan ilmu pengetahuan. Hasil analisa beberapa ilmuwan kita di atas setidaknya mengajarkan pada kita, Mahasiswa Indonesia Mesir (Masisir), bahwa politik mampu menjadi dinding penghalang ilmu pengetahuan. Agaknya, kita perlu sabar dan sadar bahwa masing-masing memiliki masa dimana di dalamnya terdapat tanggungjawab dan pekerjaan yang sesuai dengan masanya itu: masa menjadi pelajar tanggung jawab dan pekerjaannya adalah belajar: membaca, menulis, dan berbicara keilmuan. Sementara berpolitik adalah tanggungjawab dan pekerjaan para politikus dimana ia memiliki masa tersendiri pula. Kita dan Politik Lantas, bagaimana realitas kita sampai saat ini? Apakah kita hidup di tengah samudera di mana sumber pengetahuan melimpah namun justru sedang tersibukkan oleh politik praktis, pikiran terperas habis demi membela partainya dari rong-rongan, sementara beberapa yang lain memprimitifkan diri (terjebak di gua-gua dan pedalaman ruang maya) seperti orang Arab di atas? Di Mesir, kita jumlahnya ribuan, namun seberapa banyak karya ilmiah yang telah kita lahirkan dari rahim kita? Atau kita hanya masih sebatas mampu menelurkan buku hiburan pengobat penat? Atau barangkali malah sedang mandul sama sekali? Realitasnya, Masisir sedang hidup bersama para partaibaik yang musiman, maupun yang selalu eksis. Tak jarang terjadi gesekan dan saling sikut antara partai satu dengan partai/pihak lain. Diantara yang sengit adalah sejak bulan Juni 2013 tatkala Presiden Mesir dari Ikhwanul Muslimun digulingkan. Mesir terbakar. Percikan apinya lalu mampu membakar sebagian Masisir. Ketika yang lain ikut tersulut perang maya pun berkecamuk. Masing-masing dibuat sibuk saling serang dan menjatuhkan. Yang sangat disayangkan, perang yang sempat membikin gaduh Facebook (FB) dan Twitter itu tak jarang berujung debat kusir, bahkan cacian dan makian. Kita harus mengakui itu. Fenomena lain yang berbarengan dengan itu, ketika status FB tentang konflik politik maka yang nge -like banyak dan nampak antusias. Ketika statusnya keilmuan, seperti tak laku (cat. status ditulis oleh satu orang yang sama). Ini bisa diartikan, daya responsif dan perhatian kita terhadap konflik dan politik masih lebih tinggi daripada kepada keilmuan!. Yang perlu diperhatikan adalah dampak negatifnya terhadap relasi sosial dan kehidupan keilmuannya kita. Terkait dampak negatif terhadap relasi sosial penulis kira kita sama-sama sudah tau, sebab sudah nampak begitu jelas. Yang -barangkali-jarang terfikirkan adalah dampak terhadap kehidupan keilmuannya, yakni semakin meredupkan -kalau malah bukan mematikan--dialektika keilmuan Masisir (penulis katakan semakin karena sebelum polemik politik meledak dialektika keilmuan Masisir sedang lemah, kalau sekira tak boleh disebut sedang mati). Padahal, dialektika, sebagaimana dalam filsafatnya Hegel, adalah sumber kehidupan, gerak dinamis dan perkembangandalam hal ini: kehidupan, gerak-dinamis dan perkembangan pemikiran. Tanpa dialektika dalam keilmuan dan pemikiran maka dunia keilmuan dan pemikiran akan mati dengan sendirinya. Ketika penulis ditanya; kenapa dunia keilmuan dan pemikiran Masisir seperti melemah ya, mas? saya jawab dengan tegas: karena sedang takada dialektika. Yang sedang berdialektika kuat adalah politik. Bukti bahwa dialektika adalah sumber hidup, gerak dinamis dan pekermbangan pemikiran adalah realitas di sekitar kita. Lihat, ke toko-toko buku, International Book Fair beberapa bulan yang lalu, bagaiamana Arab Spring mampu memproduksi bukubuku baru bertemakan politik. Lihat, ke media-media Masisir, FB, twitter bagaimana di sana setiap harinya politik memproduksi tulisan-tulisan, status-status dan komentarkamentaryang kadang sangat panjang yang jika dihimpun, setiap harinya, tak kurang menjadi satu buku. Dialog politik menjadi begitu aktif--walau tak jarang berujung dialog tanpa makna--dan semakin menyedot perhatian teman-teman yang lain. Sampaisampai seorang teman yang konsen di dunia kajian dan talaqqi pun ikut tersedot. Bayangkan, seumpama dialektika ini terjadi dalam dunia keilmuan, berapa buku ilmiah yang sudah terlahir? Ketika isu politik praktis terus menjadi perbincangan, terus bergulir dan berpusar maka kemudian akan membentuk suatu lingkaran magnetis dimana apa yang ada di sekitarnya akan ikut tersedot masuk kedalam. Kemudian lambat laun akan menjadi bulatan besar magnetis yang daya tariknya sulit terbendung. Di sini politik kemudian benar benar telah menjadi poros dan pusat perhatian. Jika sudah demikian maka, keilmuan dan pemikiran dengan sendirinya akan ditinggalkan atau paling tidak redup. Politik Tingkat Tinggi Lantas, apa berarti kita tinggalkan saja politik secara total, masa bodoh lalu benar benar menjadi bodoh politik? Tidak! Sebab, disamping tak ada di antara kita yang sepenuhnya terbebas dari politik serta menjadi mudah dipolitisir, juga, jika kita cermati, kekacauan dan saling tuduh antara kita (di samping agaknya ada kesalahan dalam world view kita terhadap politik) adalah juga akibat kekurangpahaman terhadap politik itu sendiri. Misalkan, sebagian menuduh secara serampangan bahwa partai tententu menjual agama, ini bisa saja akibat kurang memahami

Lanjut ke hal. 15...

Politik Untuk Mahasiswa, Edukasi atau Indoktrinasi?


Oleh: Ahwazy Anhar*
Mahasiswa adalah elemen masyarakat yang paling berpengaruh terhadap kemajuan suatu negara. Jika ingin menghancurkan suatu negara, maka cukup hanya dengan meracuni golongan mahasiswa, lalu beberapa tahun yang akan datang negara ini akan mengalami gejala kejang-kejang, lemas dan pada akhirnya akan tewas. Sebaliknya, jika ingin membangun suatu negara maka berikanlah makanan yang sehat dan bergizi kepada mahasiswa. Untuk menganalisa apa yang terjadi dengan negara kita, maka penulis akan menjelaskan secara panjang lebar dua golongan mahasiswa jika dilihat dari keikutsertaannya dalam sebuah partai politik, berikut dengan plus minus tiap golongan mahasiswa tersebut. Dalam hal ini, ada dua golongan mahasiswa. Pertama, mereka adalah orangorang yang tidak berpastisipasi dalam partai politik. Artinya mereka tidak ikut bersentuhan langsung dengan partai politik apapun baik menjadi partisan ataupun simpatisan. Kelompok ini juga bisa dibagi menjadi bagian. Bagian pertama adalah mereka yang apatis terhadap setiap peritiwa politik. Mahasiswa yang berpandangan seperti ini merasa nihil terhadap politik. Mereka beranggapan bahwa siapapun yang akan terpilih nantinya, tidak akan memberikan perubahan bagi negara. Semuanya akan sama saja. Kelompok ini muncul akibat melihat carut-marut yang mereka saksikan di panggung politik. Mereka menganggap bahwa segala usaha yang dilakukan partai apapun untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik adalah omong doang. Dengan cara berpikir pragmatis seperti ini, mereka tidak mau ikut berpikir untuk memberikan solusi terhadap masalah bangsa. Kelompok ini lebih mementingkan diri pribadi atau lingkungan terdekatnya. Sikap apatis tersebut juga muncul karena kurangnya sosialisasi baik dari lembaga penyelenggara pemilu maupun kampanye dari partai politik yang ada. Penyebab tersebut sangat berpengaruh terutama bagi pemilih yang berdomisili di luar negeri. Bagian kedua adalah mahasiswa yang memang tidak mau bersentuhan langsung dalam dunia politik namun mereka memikirkan solusi terhadap masalah bangsa dan negara. Mahasiswa seperti ini adalah mereka yang memegang teguh idealisme sebagai seorang pelajar. Idealisme yang dilandaskan atas dasar logika objektif, kritis, merdeka, tidak mau diperbudak dan berpikir maju tanpa mau terseret oleh kepentingan politik yang cenderung sempit. Mahasiswa seperti ini menyibukkan dirinya dengan hal yang bersifat edukatif, membangun karakter diri hingga nantinya siap menjadi seseorang yang mempunyai spesialisasi di suatu bidang dan ikut berkontribusi kepada negaranya. Untuk kelompok mahasiswa yang ikut dalam sebuah partai, baik partisan ataupun simpatisan juga bisa dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, politikus mahasiswa yang profesional. Mahasiswa seperti ini bisa menyeimbangkan mana yang kepentingan politik dan mana yang kepentingan pendidikan. Jika ada satu kegiatan dalam ruang lingkup kampus yang akan memancing permasalahan karena berbau politis, maka dia meninggalkan kegiatan tersebut. Jika dia diharuskan untuk memilih kepentingan bersama atau kepentingan politik, maka dia lebih mendahulukan maslahat bersama. Misalkan di organisasi mahasiswa seperti PPMI, kekeluargaan atau bahkan lembaga penyelenggara pemilu. Mahasiswa kelompok ini, meski dia aktif di sebuah partai politik, dia bisa membedakan antara kepentingan politik dengan kepentingan bersama. Mereka hanya akan menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan umum. Misalkan, mereka tidak menggunakan media sosial seperti Facebook untuk melakukan kampanye ataupun hal-hal yang menjurus kepada kepentingan politik lainnya. Kelompok ini tidak mau menutup mata terhadap kesalahan-kesalahan yang ada dalam partainya. Mereka tidak akan ikut mengamini suatu hal yang bertentangan dengan idealismenya sebagai mahasiswa jika melihat sesuatu yang tidak benar dilakukan oleh partainya. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki cacat partainya dan berani menanggung resiko jika nanti harus mengambil keputusan berbeda dengan partainya. Mahasiswa seperti ini muncul akibat dari ajaran yang diberikan oleh para tokoh dalam partai tersebut. Maksudnya, para tokoh dalam partai tersebut berusaha untuk memberi pemahaman yang benar tanpa mengikis identitas mahasiswa para kadernya. Partai ini memberikan atmosfer yang lebih hidup dan mendukung agar para kadernya bisa berpikir dan menganalisa segala peristiwa tanpa harus didikte dari pimpinan partai. Kelompok yang kedua adalah mereka yang fanatik terhadap partai politiknya. Ini adalah kelompok yang sangat berbahaya. Tidak mau diajak dialog dan selalu mengklaim dirinya dan apapun yang dilakukan partainya adalah kebenaran mutlak. Pada kelanjutannya, kelompok ini menjadikan partainya layaknya sebuah agama yang selalu benar, lepas dari cacat dan kesalahan. Dua kelompok mahasiswa terakhir muncul dari satu permasalahan yang sangat mendasar: apakah politik merupakan produk edukasi atau indoktrinasi? Jika para politikus senior, atau petinggi sebuah partai politik mengajarkan sikap objektif, terbuka, mengajarkan cara berpikir yang benar, maka politikus mahasiswa akan menjadi sosok yang sangat berwibawa, bijak dan sangat dinantikan oleh Indonesia. Sebaliknya, jika politik hanya dijadikan sarana untuk meraup suara sehingga partai memaksa untuk melepas baju objektivitas mahasiswa, mengikis jiwa kritis mahasiswa sehingga mau fanatik terhadap partainya, maka Indonesia hingga puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun yang akan datang tidak pernah berubah ke arah yang lebih baik. Kelompok ini akan melakukan hal apapun demi menyebarluaskan dan memasyhurkan partainya tanpa melihat kondisi di sekitarnya. Terlebih lagi bagi partai yang mengaku berlandaskan Islam. Politikus mahasiswa yang ada dalam partai ini akan menyetir ayat al-Quran dan segala hal yang berkaitan dengan agama untuk kepentingan politiknya tanpa menyadari bahwa prilakunya adalah bentuk menginjak dan menodai agama Islam. Meski pada akhirnya para mahasiswa

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini April

Lanjut ke hal. 14...

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini - April 2014

Lanjutan dari hal. 8...


perlu heran saat melihat kebanyakan para mahasiswa pegiat partai politik, terkait jargon, slogan, dan ekspresi fisik hasil kreativitas petinggi partai; anda saksikan seperti anak-anak yang mengimitasi prilaku orang dewasa. Intensitas mereka yang begitu tinggi dalam berkampanye, bisa juga kita kembalikan pada faktor asupan mental petinggi partai terhadap mereka, terlebih jika kegiatan politis ini dikait-kaitkan dengan agama. Sehingga dalam hal ini, secara tidak sadar, kita akan dibuat ternganga oleh jerih payah tanpa batas dan determinasi para mahasiswa pegiat partai politik ini. Anda bisa bayangkan bagaimana kuatnya sebuah fisik dan mental, jika idealisme, darah muda, dan agama; bersatu padu dalam diri seseorang. Lalu apakah kehidupan politik semacam ini baik untuk mahasiswa? Secara nalar, kita tidak bisa begitu saja menggeneralisir baik atau tidaknya sesuatu. Karena hal tersebut hanya akan membuat kita terkucilkan, baik dalam kehidupan ilmiah maupun sosial. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya sikap moderat ketika kita dihadapkan pada sebuah permasalahan. Konsep keterbukaan --yang merupakan ciri utama dari kemoderatan -adalah langkah awal untuk mengetahui baik atau tidaknya kehidupan politik tersebut bagi mahasiswa. Jika kehidupan politik yang demikian membuat mahasiswa menjadi tidak peka terhadap komunitasnya, dan berpikiran sempit kerena terbatasnya regional 'kebenaran' pada partai politiknya; maka iklim politik seperti ini jelas tidak baik untuk mahasiswa. Jika partai politik tersebut membuat mahasiswa menjadi overaktif dalam kehidupan politik, lalu mengaitkan hal -hal politis dengan hal-hal tabu dalam agama, sehingga memancing kemarahan saudara seiman; jelas tidak baik juga. Akan tetapi jika kehidupan politik membuat mahasiswa menjadi semangat meraih prestasi dan menuntutnya menjadi orang terdepan dalam segala hal; maka tentu sangat dianjurkan. Jika kehidupan politik berhasil menghapus jejak hitam kegagalan mahasiswa dalam merealisasikan idealisme, sehingga tak ada lagi "Gede idealisme nol perbuatan"; maka kenapa tidak. Dengan penjelasan di atas, setidaknya terbayang di hadapan kita bagaimana hubungan ideal mahasiswa dengan politik. *Penulis adalah Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Dirasat Islamiyah

Lanjutan dari hal. 13...


ini diingatkan oleh segala pihak, baik guru ataupun temannya, mereka tidak akan mampu berpikir logis untuk mengakui kesalahan yang mereka perbuat. Parahnya, kelompok ini pada kelanjutannya akan enggan diajak berdialog untuk mencari kebenaran. Kenapa hal ini bisa terjadi? Ada dua kemungkinan, bisa jadi karena mereka takut dikucilkan dalam komunitas partainya dan diberi sangsi sosial sehingga tetap melakukan hal-hal yang melanggar idealisme sebagai mahasiswa, atau karena mereka menganggap bahwa partainya memiliki kebenaran mutlak sehingga otak mereka menjadi tumpul dan tidak bisa berlaku kritis terhadap kesalahan yang dilakukan partainya. Dia akan selalu mencari pembenaran terhadap kesalahan yang dilakukan partainya, bukan mencari kebenaran. Prilaku seperti ini akan merusak rasa cinta dan keharmonisan antar mahasiswa dalam lingkungan kampus. Kelompok ini muncul sebagai akibat dari indoktrinasi yang dilakukan oleh partainya. Kelompok ini diberikan ajaran secara mendalam mengenai suatu pemahaman atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja dengan sistem berpikir tanpa adanya kriktik. Pada akhirnya, partai seperti ini sedang melakukan proses cuci otak terhadap para kadernya dan mempersiapkan bom waktu bagi negaranya sebagaimana yang terjadi di Mesir saat ini. Sebenarnya kelompok yang ikut ataupun tidak ikut dalam sebuah partai, keduanya sah-sah saja selama mereka mampu mempersiapkan dirinya untuk memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara. Meski politikus mempunyai kelebihan dalam mengatur negara secara langsung jika menang, namun tetap saja tidak bisa bekerja tanpa bantuan kalangan profesional. Begitu juga dengan kalangan profesional, pasti juga membutuhkan kalangan politikus untuk membangun bangsa dan negara. Jadi semuanya akan baik jika dilakukan dengan cara yang baik. Sekarang terserah kita, politik mau dijadikan produk edukasi atau indoktrinasi? *Penulis adalah Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Syariah Islamiyah.

Lanjutan dari hal. 11...


laupun sang calon sendiri terkadang tidak menyadari hal itu. Lalu tim inilah yang nanti menjadi pengarah dan penasehat ketika calon tersebut terpilih. Kondisi ini serasa hampir mampu menghadirkan miniatur kondisi Indonesia secara utuh walaupun kita jauh di luar negri. Pergolakan dan persaingan ideologi di ranah politik terasa sangat kental. Bagi saya pribadi ini suatu hal yang luar biasa. Karena ketika mahasiswa mempunyai cita-cita, ideologi dan idealisme, maka ketika itulah mahasiswa tadi benar-benar mampu berbuat dan menjadi agen perubahan dimana dia akan berada nanti. Semoga semakin banyak mahasiswa yang menyadari bahwa PPMI layak untuk diperhatikan dan bukanlah hal sepele. Sebagai kesimpulan sebatas pemahaman saya, tidak selayaknya seorang mahasiswa itu menjadi pion-pion dari sebuah ideologi apapun, bergerak tanpa sadar bahwa dia sedang dikendalikan. Kemudian tidak selayaknya pula mahasiswa itu seperti orang buta yang tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya, tidak tanggap dan tidak peduli dengan apa yang sedang berlaku di dunia ini. Tidak seharusnya juga Masisir yang notabene sama-sama orang rantau, berasal dari satu tanah air, kemudian berpecah belah saling menjatuhkan hanya karena perbedaan ideologi. Mari kita budayakan mahasiswa reflektif yang berwawasan luas, efektif yang bertindak dalam arti nyata, produktif dalam berperan, namun tetap lapang dada dalam menerima perbedaan. Wallahu Alam bi alShawab. *Penulis adalah Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Tafsir.

Lanjutan dari hal. 12...


watak Islam Politik juga pemikiran fikih politik. Sementara pihak lain menuduh--karena berseberangan dengan (partai/sikap politik) merakabahwa pihak tertentu anti syariah, dengan demikian berarti anti Islam. Ini juga akibat kekurangpahamanan terhadap watak politik Islam itu sendiri yang sebenarnya bersifat furuiyyah-ijtihadiyyah yang corak dan kebenarannya tidak tunggal. Lantas, jalan seperti apa yang harus kita tempuh? Menempuh politik jalan tengah: bukan politik praktis, namun juga tak bodoh akan politik. Meminjam bahasanya Hasan Hanafi: politik dalam tataran pemikiran, di mana politik (dalam tataran) praktis dibangun di atasnya. Sehingga akan jelas dan kuat dasar -dasar dan prinsip-prinsipnya. Tak semrawut dan acak-acakan seperti sekarang ini. Ide dasarnya adalah: tak ada reformasi, revolusi, kebangkitan dan peradaban yang tak di bangun di atas pemikiran. Peradaban kapitalis dibangun di atas filsafat kapitalisme, peradaman komunissosialis didasarkan pada pemikirannya Karl Marx, peradaban Islam dibagung di atas buku Al-Quran dan pemikiran Nabi Muhammad saw., kebangkitan Islam modern dibangun di atas pemikiran progresifnya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh dll, Islam politik modern dibangun di atas pemikiran pemikiran tokoh semisal Abdurrahman Al Kawakibi, Al-Maududi, dll. Dengan bergelut dalam politik jalan tengah ini kita akan mampu menjadi penentu kemana arah politik hendak kita tuntun. Jika dikaji, revolusi Arab saat ini atau Arab Spring juga berdiri di atas pemikiran. Di antaranya, pemikiran tentang kebebasan, kesetaran, demokrasi, dst. Arab Spring disemai dengan revolusi dalam tataran pemikiran dan mental terlebih dahulu kemudian turun menjadi revolusi dalam tataran praktis. Kita menjadi seperti Al-Afghani yang mereinterpretasi teologi untuk melawan penindasankonteks Indonesia-sekarang: melawan korupsi dll, misalkan--, me-reinterpretasi konsep qodh dan al-qodar dengan makna keberanian, rela mati, dst untuk melawan kolonialisme dan kebobrokan internal. Mengkaji kembali teologi publik menjadi lebih mapan dan relevan untuk konteksnya. Mempertanyakan dan mengkaji lebih dalam kenapa iman kita, Bangsa Indonesia, seperti tak ngefek, mati di ruang publik, tak berkutik mengatasi sengkarut probletika kita, khususnya terkait bobroknya perpolitikan kita, apakah ada yang salah dengan cara beriman kita? lalu kita coba rumuskan jawaban jawaban solutif atasnya. Kita gagas teologi politik, dimana probem-problem akut dalam politik kita bawa ke ranah teologi, untuk mencari sejauh mana teologi kita mampu dipertemukan dengan problem-problem tersebut dst. Kita galakkan juga tasawuf dan tafsir anti korupsi, dst. Kita memposisikan diri seperti Muhammad Abduh, Khairuddin At-Tunisiy, Allal Al Fasi, Yusuf Al -Qaradawi, Karl Mark, kemudian Russo, Montesquieu, Folter, Dalambert, Diderot yang menyemai Revolusi Peracis dengan pemikiran mereka seputar: kebebasan, keadilan sosial, egaliter, persaudaraan, hak asasi manusia, dst. Mereka adalah tokoh -tokoh yang berperan merekayasa atau merubah akal -pikiran dan kesadaran manusianya sebelum berubah menjadi gelombang revolusi rill di lapangan. Posisi istimewa yang demikian adalah kerana kita relatif mampu memberi pengaruh positif kedalam politik langsung ke akarnnya: hati dan pikiran. Tugas kita lebih sebagai melahirkan gagasan-gagasn, pemikiranpemikiran yang akan menjadi pondasi politik dalam tataran praktis menjadi lebih baik. Kita menciptakan pemikiran, pemikiran itu menjelma menjadi laku-gerak dinamis yang indah dan saleh dalam politik praktis, lalu dari lakugerak itu kita produksi ulang menjadi pemikiran kembali yang berikutnya akan turun kembali menjadi laku -gerak yang lebih indah dan lebih saleh. Dan seterusnya. Selain itu, posisi tengah-tengah tersebut adalah zona amanmenurut Hasan Hanafi. Kita berada diantara dua garis merah yang seumpama dilanggar memiliki konsekuensi yang sama-sama berat: garis merah pengusa dan rakyat jelata. Melanggar yang pertama nyawa taruhannya, melanggar yang kedua acap membawa kutukan dari rakyat jelata. Kita tetap di tengah-tengah, zona aman, namun justru mampu meberikan perubahan lebih besar. Siapa bilang Arab Spring tak ada peran dari intektual semisal: Abid Al Jabiri, Hasan Hanafi, Muhammad Imarah dan sederet pemikir lainnya? Justru merekalah yang paling bertanggungjawab, karena merekalah yang telah merubah nalar Arab agar terus memperjuangkan kebebasannya, hak -hak asasinya dst. Namun, mereka aman, penguasa terguling tak menyalahkan mereka, rakyat tak mengutuk mereka. Sebab mereka mengamalkan apa yang penulis sebut sebagai politik tingkat tinggi. Terakhir, sebagaimana mengkaji tasawauf tak mesti menjadi sufi, mengkaji filsafat tak mesti menjadi filsuf, begitu pun mempelajari politik tak mesti menjadi politikus praktis. Selamat memilih pemimpin yang lebih baik. *Penulis adalah Mahasiswa tingkat IV Jurusan Dakwah.

TROBOSAN - edisi Interaktif Opini April

-To dan IngSelepas mencoblos di KBRI, To bertemu Ing lalu mengobrol santai. To : (menoleh kanan-kiri, lalu berbisik)Eh, ngomong-ngomong tadi lu nyoblos siapa? Ing : (dengan suara rendah) ssstt! Gue coblos pake istikhoroh lho. To : Jadi, lu coblos siapa? Ing : Itu jelas... Orang yang muncul di mimpi gue semalem! To : Subhanallah... emang lu mimpi ketemu siapa? Ing : (tersenyum mantap) Michael Jakson! To : (menjitak kepala Ing)Gubrak! Lu harusnya milih pake hati. Kayak gue! Ing : Gimana caranya tuh? To : Yah, sekarang kan banyak orang tertipu sama pencitraan, penampilan luar, cuma liat pake mata! Gue kan mahasiswa yang berhati mulia. Jadi nyoblos gak pake mata, tapi pake hati, bro! Ing : Wah, sumpah, lu keren! Terus lu coblos yang mana? To : Meneketehe! Kan gue nyoblos pake hati, gak pake mata. Ya gue nyoblos sambil merem! []

Email/YM: transferindo.mesir@yahoo.com FB: Tranferindo Mesir

Anda mungkin juga menyukai