Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Lahan gambut merupakan bagian dari daerah rawa, yang mempunyai peran penting dalam menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan kehidupan baik sebagai reservoir air, carbon storage, dan perubahan iklim serta keanekaragaman hayati yang saat ini eksistensinya semakin terancam. Oleh karena itu, pengelolaan secara bijaksana harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan budaya maupun fungsi ekologi sehingga kelestarian hutan rawa gambut dapat terjamin. Lahan gambut mempunyai karakteristik yang spesifik seperti adanya subsidensi, sifat irreversible drying (kering tak balik), hara mineral yang sangat miskin serta sifat keasaman yang tinggi dan mudah terbakar apabila dalam keadaan kering kekurangan air pada lahan gambut tersebut, sehingga peran hidrologi/ tata air di lahan gambut sangatlah penting. Lahan gambut sangat rentan terhadap kerusakan. Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Dampak dari rusaknya ekosistem adalah Kejadian banjir di hilir DAS, selain itu Deforestasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi. Untuk itu perlunya adanya konservasi lahan gambut agar kelestarian ekosistem lahan gambut dapat terjaga dengan baik. 1.2 Tujuan 1. Untuk mengetahui karakteristik dan potensi lahan gambut 2. Untuk mengetahui bagaimana konservasi ekosistem lahan gambut di Kalimantan

BAB II ISI 2.1 Pengertian Lahan Gambut Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, mencapai 20,6 juta ha atau 10,8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat di empat pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3%, dan Papua 30%.1 Lahan rawa adalah lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan lautan.2 Lahan gambut adalah bagian dari rawa, lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang didominasi oleh tanah gambut. Lahan ini mempunyai fungsi hidrologi dan lingkungan bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta makhluk hidup lainnya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan. Tanah gambut disebut juga organosol (tanah yang tersusun dari bahan organik) tanah yang terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Bahan organik tidak melapuk sempurna, karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Tanah gambut terbentuk pada tempat yang kondisinya selalu jenuh air atau tergenang, seperti pada cekungan-cekungan daerah pelembahan, rawa bekas danau, atau daerah depresi pada dataran pantai di antara dua sungai besar, dengan bahan organik dalam jumlah banyak yang dihasilkan tumbuhan alami yang telah beradaptasi dengan lingkungan jenuh air. Penumpukan bahan organik secara terus-menerus menyebabkan lahan gambut membentuk kubah (peat dome). Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan. 2.2 Karakteristik Lahan Gambut di Kalimantan Lahan gambut di Kalimantan terletak antara zona lahan rawa air tawar, dan sebagian pada zona lahan rawa pasang surut. Lahan gambut mempunyai sifat karakteristik fisik dan kimia. Berdasarkan tingkat dekomposisinya, tanah gambut dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. gambut fibrik, yaitu tingkat dekomposisinya baru dimulai atau masih awal, dengan jaringan tumbuhan masih tampak jelas (mudah dikenali) 2. gambut hemik, yaitu tingkat dekomposisiya sekitar separuh bahan organic 3. gambut saprik, yaitu sebagian besar gambut telah mengalami dekomposisi (matang).3
1 2 3
Tim sintesis Kebijakan dalam: Balai besar penelitian dan pengembangan sumber daya lahan pertanian, pemanfaatan dan konservasi ekosistem lahan rawa gambut di Kalimantan, Pengembangan Inovasi pertanian, (Bogor: 2008), h.149 Ibid, hal 150. Ibid, hal 151.

Tanah-tanah gambut di daerah peralihan ke zona rawa pasang surut, termasuk di Kalimantan diklasifikasikan sebagai Sulfihemists atau Sulfisaprists. 2.2.1 Karakteristik Fisik Lahan Gambut Karakteristik fisik lahan gambut yang penting dalam pemanfaatannya meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Beberapa sifat fisik yang perlu diperhatikan kaitannya dengan konservasi tanah gambut adalah kadar air dan berat isi. Berat isi terkait dengan tingkat kematangan dan kandungan bahan mineral, dimana semakin matang dan semakin tinggi kandungan bahan mineral maka berat isi akan semakin besar dan tanah gambut semakin stabil sehingga tidak mudah mengalami kerusakan. Kerapatan lindak atau bobot isi (bulk density) gambut berkisar antara 0,050,30 g/cm3. Tanah gambut dengan kandungan bahan organik (> 38% C-organik) lebih dari 65% mempunyai kerapatan lindak untuk gambut fibrik 0,11-0,12 g/cm3, untuk hemik 0,14-0,16 g/cm3, dan untuk saprik 0,18-0,21 g/cm3. Bila kandungan bahan organik antara 30-60%, kerapatan lindak untuk hemik adalah 0,21-0,29 g/cm3 dan saprik 0,30-0,37 g/cm3. Nilai kerapatan lindak sangat ditentukan oleh tingkat pelapukan/dekomposisi bahan organik dan kandungan mineral. Porositas gambut yang dihitung berdasarkan kerapatan lindak dan bobot jenis berkisar antara 75-95%.4 Sifat fisik berikutnya adalah kering tak balik (irreversible drying). Apabila tanah gambut dibuka dan mengalami pengeringan karena drainase maka gambut akan mengalami subsidence sehingga terjadi penurunan permukaan tanah. Bila tanah gambut mengalami pengeringan yang berlebihan, koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying), gambut yang telah mengering dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bias menyerap air lagi kalau dibasahi, dengan itu mengakibatkan gambut berubah seperti arang dan tidak mampu lagi menyerap hara maupun menahan air, sehingga pertumbuhan tanaman dan vegetasi menjadi terganggu. 2.2.2 Sifat Kimia Lahan Gambut Karakteristik kimia lahan gambut sangat ditentukan oleh kandungan, ketebalan, jenis mineral pada dasar gambut, dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10

BB Litbang sumber daya lahan pertanian, pemanfaatan dan konservasi ekosistem lahan rawa gambut di Kalimantan, Pengembangan Inovasi pertanian, (Bogor: 2008), h.152

hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya.5 Secara kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi pada pH 3,0-4,5. Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH 3,13,9). Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH tanah. Pada lahan gambut kandungan unsur mikro sangat rendah, namun kaya kandungan besi. Ketebalan gambut menentukan tingkat kesuburan tanah. Gambut dangkal lebih subur daripada gambut dalam, karena pembentukannya dipengaruhi oleh luapan banjir sungai. Makin tebal gambut, maka kandungan unsur kalsium dan magnesium menurun dan reaksi tanahnya lebih masam, dan mengakibatkan oksidasi pirit karena bereaksi dengan besi. 2.3 Potensi Lahan Gambut untuk Pertanian Pengembangan lahan gambut untuk pertanian sering mengalami kendala, dikarenakan sifat fisik dan kimia gambut tersebut, misalnya mengering tidak balik (irriversible drying) dan kahat unsur mikro, sehingga pemanfaatan lahan gambut sering memerlukan biaya investasi yang besar untuk pembuatan saluran drainase, perkembangannya, pengelolaan air, serta peningkatan kesuburan dan produktivitas. Lahan rawa gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah tanah bergambut (tebal lapisan gambut 20-50 cm) dan gambut dangkal (0,5-1,0 m). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1-2 m). Lahan rawa gambut dengan ketebalan lebih dari 2 m tidak sesuai untuk padi; tanaman tidak dapat membentuk gabah karena kahat unsur mikro, khususnya Cu. Lahan rawa gambut yang sesuai untuk tanaman pangan semusim adalah gambut dangkal dan gambut sedang (ketebalan gambut 1-2 m). Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terlalu dalam dan turun secara drastis, serta mencegah terjadinya gejala kering tak balik, penurunan permukaan gambut yang berlebihan dan oksidasi lapisan yang mengandung bahan sulfidik (pirit). Gambut yang potensial untuk pertanian biasanya terletak di pinggir kubah gambut, wilayah ini umumnya masih merupakan gambut topogen yang banyak bercampur dengan bahan tanah mineral. Semakin tebal gambut, semakin kurang berpotensi untuk pertanian, misalnya pada gambut dalam <3 m umumnya kahat hara, dan apabila dimanfaatkan akan mengalami masalah yang berat.

Sri Ratmini, Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian, Jurnal Lahan Suboptimal, jilid 1 (Palembang: 2012), h. 199

Pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian, didahului dengan tindakan reklamasi, dilakukan dengan pembuatan saluran drainase untuk membuang air berlebih sehingga tercipta lingkungan tanah yang cocok untuk tanaman tertentu. 2.4 Aspek Lingkungan Lahan Gambut Beberapa aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut adalah: 1. Lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, 2. Lahan gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca, 3. Kebakaran lahan gambut, 4. Aspek hidrologi dan subsiden.6 Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia.4 Lahan gambut menyimpan karbon jauh lebih tinggi dari tanah mineral, lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase dan pembakaran, dapat mengubah fungsi lahan gambut dari penyimpan karbon menjadi sumber emisi gas rumah kaca. Gas rumah kaca (GRK) utama yang keluar dari lahan gambut adalah CO2, CH4 dan N2O. Kebakaran lahan gambut terjadi apabila biomassa tanaman hutan gambut terbakar maka tidak hanya biomassa tanaman saja yang akan terbakar, tetapi juga beberapa centimeter lapisan gambut bagian atas yang berada dalam keadaan kering. Lapisan gambut ini akan rentan kebakaran apabila muka air tanah lebih dalam dari 30 cm. Penurunan permukaan lahan gambut (subsiden) terjadi segera sesudah lahan gambut didrainase. Pada umumnya subsiden yang berlebihan bersifat tidak dapat balik. Hanya melalui penjenuhan yang sempurna dan dalam waktu yang lama masalah subsiden dapat diatasi secara perlahan. Proses subsiden gambut dapat dibagi menjadi empat komponen, pertama Konsolidasi yaitu pemadatan gambut karena pengaruh drainase. Dengan menurunnya muka air tanah, maka terjadi peningkatan tekanan dari lapisan gambut di atas permukaan air tanah terhadap gambut yang berada di bawah muka air tanah sehingga
6
Fahmuddin Agus dan I.G. Made Subiksa, Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan Aspek Lingkungan Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), (Bogor: 2008), h.17.

Diakses pada tanggal 9 desember 2013

gambut terkonsolidasi (menjadi padat). Kedua pengkerutan, yaitu pengurangan volume gambut di atas muka air tanah karena proses drainase/pengeringan. Ketiga Dekomposisi/oksidasi, yaitu menyusutnya massa gambut akibat terjadinya dekomposisi gambut yang berada dalam keadaan aerobik. Terakhir Kebakaran, yang menyebabkan menurunnya volume gambut. 2.5 Konservasi Ekosistem di lahan Gambut Kalimantan Pengelolaan lahan rawa gambut perlu menerapkan pendekatan konservasi. Pendekatan konservasi meliputi perlindungan, pengawetan, dan peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya wilayah rawa dibedakan ke dalam kawasan lindung, kawasan pengawetan, dan kawasan reklamasi untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan nonbudi daya, sedangkan kawasan reklamasi disebut kawasan budi daya. Kawasan lahan rawa gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat pada bagian hulu sungai dan rawa, ditetapkan sebagai kawasan lindung bergambut, dan ditujuan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, sebagai penambat air dan pencegah banjir.7 Wilayah rawa yang termasuk sebagai kawasan lindung adalah kawasan gambut sangat dalam, lebih dari 3 m, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau rawa, kawasan pantai berhutan bakau. Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna dan/atau flora tertentu yang langka serta untuk melindungi keanekaragaman hayati. Konservasi kawasan gambut sangat penting karena penyusutan luasan gambut di beberapa tempat di Indonesia. Misalnya, kerusakan ekosistem hutan rawa gambut membutuhkan usaha dalam restorasi. Restorasi bertujuan mengembalikan ekosistem yang telah rusak, sehingga ekosistem dapat menyediakan kembali fungsi-fungsi utamanya.8 Untuk kawasan yang memenuhi syarat tersebut, dalam pemanfaatannya juga harus tetap berdasarkan pendekatan konservasi. Kawasan konservasi misalnya kawasan areal tampung hujan, di bagian kubah gambut (peat dome). Kubah gambut berfungsi sebagai penyimpan air (resevoir) yang bisa menyuplai air terutama pada musim kemarau, baik untuk air minum maupun usaha tani. Pada musim hujan kawasan ini berfungsi sebagai penampung air yang berlebihan sehingga mengurangi risiko banjir bagi wilayah di sekitarnya.

7 8

Keppres No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Haris Gunawan, dkk, konservasi Indigenous Species Ekosistem Hutan Rawa Gambut Riau, Dalam: Prociding Semirata FMIPA Universitas Lampung, (Lampung: 2013), h.334

Dengan mempertahankan kawasan lindung gambut, petani mampu bertahan hidup dari usaha tani di lahan gambut sejak puluhan tahun. Namun ketika pembukaan lahan gambut secara berlebihan akhirnya mengancam kehidupan. Ada beberapa pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka konservasi lahan gambut: 1. Menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut, 2. Penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon tinggi (tanaman pohonpohonan), 3. Pengaturan tinggi muka air tanah, 4. Memanfaatkan lahan semak belukar yang terlantar, 5. Penguatan peraturan perundang-undangan dan pengawasan penggunaan dan pengelolaan lahan gambut, dan 6. Pemberian insentif dalam konservasi gambut.9 Kerusakan lahan gambut diakibatkan keracunan terjadi bila lapisan gambut telah menipis, baik karena kesalahan dalam pembukaan maupun karena terjadinya subsidence, sehingga senyawa pirit teroksidasi dan menghasilkan asam sulfat dan besi. Tanah gambut yang terletak di atas lapisan tanah mineral relatif lebih subur, karena lapisan tanah mineral berasal dari lingkungan endapan sungai. 2.5.1 Menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut Lahan gambut dapat terbakar akibat faktor lingkungan atau faktor manusia. Faktor pemicu parahnya kebakaran hutan dan lahan gambut adalah kemarau yang ekstrim atau penggalian drainase lahan gambut secara berlebihan untuk lahan pertanian. Kebakaran dapat dicegah melalui perbaikan sistem pengelolaan air (meninggikan muka air tanah), peningkatan kewaspadaan terhadap api serta pengendalian api apabila terjadi kebakaran. Salah satu bentuk pengendalian kebakaran adalah dengan cara memblok saluran drainase yang sudah terlanjur digali, terutama pada lahan terlantar seperti di daerah bekas pengelolaan lahan gambut, sehingga muka air tanah lebih dangkal. 2.5.2 Penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon Tanaman pohon-pohonan menyumbangkan karbon lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman semusim. Penambatan karbon mendekati nol pada sistem padi dan sekitar 9 t CO2 ha-1/tahun untuk tanaman sagu, karet atau sawit. Namun karena sawit memerlukan drainase yang relatif dalam, maka penambatan karbon oleh tanaman sawit jauh lebih rendah dibandingkan dengan emisi karena terdekomposisinya gambut. Dengan demikian, gabungan dari tanaman yang menambat CO2 dalam jumlah banyak serta yang toleransi dengan drainase dangkal atau tanpa drainase, seperti sagu dan karet, merupakan salah satu cara dalam konservasi lahan gambut.

Fahmuddin Agus dan I.G. Made Subiksa, Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan Aspek Lingkungan Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), (Bogor: 2008), h.27. Diakses pada tanggal 9 desember 2013

2.5.3 Pengaturan tinggi muka air tanah gambut Dalam konservasi air tanah gambut, pengaturan tingggi muka air tanah sangatlah penting. Penggunaan lahan yang memerlukan drainase dangkal seperti perkebunan karet, sagu, atau sawah dapat mengurangi jumlah emisi dibandingkan dengan sistem yang memerlukan drainase dalam. Selain itu lahan yang sudah terlanjur di drainase, apalagi lahan gambut yang terlantar, perlu dinaikkan kembali muka air tanahnya, misalnya dengan membuat pintu air sehingga proses dekomposisi aerob dapat dikurangi. Melihat dari sifat dan watak tanah, apabila di lapisan bawah terdapat senyawa pirit, maka upaya untuk mempertahankan muka air pada batas di atas lapisan pirit merupakan kunci keberhasilan karena pirit yang apabila teroksidasi karena misalnya kekeringan atau pengatusan yang berlebih (over drainage) maka pirit bersifat labil dan akan membebaskan sejumlah ion hydrogen dan sulfat. Pada kondisi ini tanah menjadi sangat masam (pH 2-3) dan kelarutan Al, Mn, dan Fe meningkat10. Petani lahan gambut di Kalimantan Barat dan lahan lebak Kalimantan Selatan mempunyai cara mengkonservasi air dengan tabat bertingkat. Pada sepanjang saluran tersier dibuat beberapa tabat dengan jarak menurut elevasi sehingga air di bagian yang tinggi tertahan bertingkat hingga ke wilayah yang lebih rendah sampai masuk ke saluran primer atau sekunder. Cara ini membuat petani petani lebih efisien untuk melakukan budidaya tanaman sesuai dengan ketersediaan air. Penahanan air sepanjang saluran tersier ini (long strorage) memungkinkan juga pencegahan terhadap kebakaran lahan karena lahan selalu basah atau lembab.11 2.5.4 Memanfaatkan lahan semak belukar yang terlantar Pemanfaatan lahan semak belukar untuk pertanian dapat mengurangi peningkatan emisi karbon, karena semak belukar yang mempunyai cadangan karbon sedikit. Selain itu karena rendahnya jumlah biomassa yang dapat terbakar, maka ketebalan gambut yang terbakar sewaktu pembukaan lahan semak belukar dapat berkurang. 2.5.5 Pemberian intensif dalam konservasi gambut Perubahan cara pengelolaan atau sistem penggunaan lahan kemungkinan memerlukan tambahan biaya atau menurunkan tingkat keuntungan finansial. Pembukaan secara besar-besaran terhadap hutan rawa gambut dapat mengakibatkan kebakaran dan banjir. Untuk itu diperlukan insentif di tingkat lokal untuk merubah sistem pertanian tersebut. Misalnya, petani lebih memilih bertanam karet yang lebih rendah tingkat emisinya dibandingkan dengan bertanam kelapa sawit. 2.6 Teknologi Olah Tanah pada Lahan Konservasi Sistem olah tanah pada lahan konservasi bertujuan untuk mengatasi degradasi kesuburan tanah pada tanah gambut.
10
11

M. Noor, 2004 dalam Muhammad Noor, dkk, Kearifan Lokal dalam Kesuburan Tanah dan Konversi Air di Lahan Gambut , Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, (Bogor: 2004), h.64-65 Muhammad Noor, dkk, loc.it.

Dengan teknik ini produktivitas lahan dapat dipertahankan. Teknologi olah tanah konservasi terdiri atas: 1. Teknologi tanpa olah tanah 2. Olah tanah minimum 3. Olah tanah bermulsa12. Tanpa olah tanah adalah salah satu cara penyiapan lahan system olah tanah konservasi yang dapat dikembangkan pada budidaya padi, teknologi ini erat kaitannya dengan pengelolaan gulma, dan dalam penerapannya dengan menggunakan herbisida yang bertujuan untuk membasmi gulma sekaligus mengendalikan gulma di areal pertanaman. Herbisida yang digunakan pada lahan tanpa olah tanah adalah herbisida purna tumbuh. Hasil penelitian Simatupang 2007, penyiapan lahan tanpa olah tanah baik di lahan rawa pasang surut maupun di lahan gambut, menunjukkan kinerja yang baik dibandingkan dengan cara tradisional. Teknologi ini dapat mengkonservasi dan mengendalikan keracunan pada tanaman padi disebabkan oleh besi (Fe). Penyiapan lahan ini tidak mengganggu lapisan tanah, pirit tetap stabil dan tidak terekspose ke permukaan tanah sehingga tidak mengalami oksidasi, sehingga dapat mengendalikan keracunan besi dan tanaman padi dapat tumbuh lebih baik.

12

Simatupang dan Nurita, Teknologi Olah Tanah Konservasi dan Implementasinya dalam peningkatan produksi padi di lahan rawa pasang surut, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa dalam: Seminar Nasional Padi, (Banjarbaru: 2009), h.867-868

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Lahan rawa gambut merupakan lahan yang terbentuk dari tanah organosol (tanah yang tersusun dari bahan organik) yang berasal dari pelapukan sisa tumbuhan dan benda lainnya. 2. Lahan rawa gambut mempunyai karakteristik fisik dan kimiawi, yang dapat mempengaruhi sistem pengelolaan lahan tersebut. 3. Aspek lingkungan yang berhubungan dengan lahan gambut adalah lahan gambut sebagai penambat dan penyimpan karbon, ahan gambut sebagai sumber emisi gas rumah kaca, kebakaran lahan gambut, aspek hidrologi dan subsiden. 4. Konservasi lahan gambut bertujuan untuk perlindungan, pengawetan, dan peningkatan fungsi dan manfaat. 5. Macam-macam konservasi lahan gambut adalah penanaman kembali dengan tanaman penambat karbon, pengaturan tinggi muka air tanah, pemanfaatan lahan semak belukar, pengawasan, dan pemberian intensif local. 6. Salah satu teknologi konservasi lahan gambut adalah teknologi olah tanah konservasi. 3.2 Saran Tulisan ini perlu disempurnakan kembali, agar dapat lebih memberi informasi yang lebih akurat. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

10

DAFTAR PUSTAKA Asmani, Najib. 2012. Pengelolaan Lahan Rawa Gambut Terdegradasi Melalui Pengayaan Karbon Mendukung Ketahanan Pangan Beras. Jurnal Lahan Suboptimal. Palembang. p. 88 Agus, Fahmuddin,dan Subiksa, M.I.G. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. hal. 27. Diakses pada tanggal 9 desember 2013 Gunawan, Haris, dkk. 2013. Konservasi Indigenous Species Ekosistem Huta Rawa Gambut Riau. Dalam: Prociding Semirata FMIPA Universitas Lampung. Lampung. p. 334 Noor, Muhammad, dkk. 2004. Kearifan Lokal dalam Persfektif Kesuburan Tanah dan Konversi Air di Lahan Gambut. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Bogor. p. 64-65 Ratmini, Sri. 2012. Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian. Jurnal Lahan Suboptimal. Palembang. p. 198-200. Simatupang, R.S, Nurita. 2009. Teknologi Olah Tanah Konservasi dan Impelementasinya dalam Peningkatam Produksi Padi di Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam: Seminar Nasional Padi. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. p. 867-868. Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa Gambut di Kalimantan. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

11

Anda mungkin juga menyukai