SKENARIO C BLOK 23
04111001072
I.
Analisis Masalah
Umur hamil dapat ditentukan dengan Rumus Naegle, Gerakan pertama fetus,
Palpasi abdomen, Perkiraan tinggi fundus uteri dan Ultrasonografi.
1. Rumus Naegle
Rumus Naegle untuk menentukan hari perkiraan lahir (HPL, EDC= Expected
Date of Confinement).
HPHT (+7) - bulan HT (-3) tahun HT (+1) ukur HPL
Taksiran kehamilan lihat HPHT +7 , artinya setiap tanggal itu, terhitung 1
bulan .
2. Gerakan Pertama Fetus
Teknik pemeriksaan pada perut ibu bayi untuk menentukan posisi dan letak janin.
4. Perkiraan Tinggi Fundus Uteri
bayi dari kehamilan trimester pertama sampai trimester ketiga dan memeriksa
kemungkinan terjadi kelainan pada rahim si ibu. Untuk efek negatifnya, selama ini
belum ditemukan adanya laporan keluhan akibat pemeriksaan kehamilan dengan
USG. Jadi, cara ini relatif aman bagi kondisi kesehatan wanita hamil
- Sebelum persalinan berlangsung, pada saat persiapan alat resusitasi, alat yang
akan dipakai untuk ventilasi tekanan positif dipasang dan dirangkai serta
dihubungkan dengan oksigen sehingga dapat memberikan kadar sampai 90100%. Siapkan sungkup dengan ukuran yang sesuai berdasarkan antisipasi dan
ukuran berat bayi. Ukuran sungkup yang tepat ialah yang menutupi hidung, mulut
dan dagu.
- Setelah alat dipilih dan dipasang, pastikan bahwa alat dan sungkup berfungsi
baik.
- Operator harus berdiri di sisi kepala atau samping bayi kemudian letakkan
sungkup diwajah bayi dengan posisi yang baik
- Dilakukan pemompaan balon resusitasi dengan tekanan awal >30 cmH2O dan
selanjutnya 15-20 cmH2O dengan frekuensi 40-60 kali/menit
- Ventilasi tekanan positif dilakukan selama 30 detik sebanyak 20-30 kali
dengan fase ekspirasi lebih lama dari inspirasi
- Setelah 30 detik ventilasi, dilakukan penilaian frekuensi jantung
- Bila frekuensi jantung <60 kali/menit, resusitasi dilakukan dengan kompresi
dada dan ventilasi tekanan positif tetap dilanjutkan secara terkoordinasi. Bila
frekuensi jantung >60kali/menit, hentikan kompresi dada dan ventilasi tekanan
positif dilanjutkan sampai frekuensi jantung mencapai 100 kali/menit atau lebih
dan bayi bernafas spontan.
b. Kompresi dada adalah penekanan teratur pada tulang dada kearah tulang
belakang sehingga meningkatkan tekanan intratoraks dan memperbaiki sirkulasi
darah keseluruh organ vital tubuh. Proses ini juga membantu aliran darah ke otak.
- Diperlukan dua orang. Yang satu untuk melakukan kompresi dada dan yang
satu diperlukan untuk melakukan ventilasi
- Lokasi kompresi dilakukan pada sepertiga bawah tulang dada. Tempatkan
kedua ibu jari atau kedua jari sedikit diatas superior xiphoid. Hindari penekanan
langsung pada xiphoid
- Dua cara yang dianjurkan:
a. Teknik ibu jari
b. Teknik dua jari
- Kompresi dada dan ventilasi harus dilakukan secara sinkron dengan rasio 3:1
yaitu 90 kompresi dan 30 inflasi untuk mencapai 120 kegiatan tiap satu menit.
c. Intubasi endotrakeal
- Persiapan sebelum melakukan intubasi
- Memposisikan bayi agar memudahkan intubasi
- Memvisualisasi glotis dan memasukkan pipa endotrakeal
- Medikasi yang diberikan adalah
a. Epinephrine
Dosis : 0.1-0.3 mL/kg of a 1:10.000 sol (UV) umbilical vein
0.3-1.0 mL/kg of a 1:10.000 sol (ET) endotracheal tube
Diulangi setiap 3-5 menit
Indikasi : HR<60 bpm after 30 sec of PPV and mother 30 sec 0f PPV + chest
compression.
b. IV normal saline/ ringer lactate 10 mL /kgBB
c. Naloxone hydrochloride
Dosis : 0.1 mg/kg via ET
Indikasi : respiratory depression caused by maternal narcotics.
- BB 1400 gr bayi ini termasuk very low birth weightatau BBSLR karena
berat badannya < 1500 gr. Dan berdasarkan ukuran untuk usia gestasinya, bayi ini
termasuk Appropriete Gestational Age (AGA) karena berat badan masih termasuk
antara 90th & 10th centile untuk kehamilan.
- Body length 40 cm
- Lingkar kepala 30 cm
- Penurunan tonus otot dan Poorly flexed at the limbs kelahiran preterm
surfaktan belum berkembang alveoli collapse oksigenasi ke jaringan
berkurang tonus otot menurun. Selain itu kelahiran preterm juga menyebabkan
immature neuromuscular system Penurunan tonus otot dan Poorly flexed at the
limbs.
- Thin skin
- Masih ada lanugo di seluruh tubuh normal untuk usia gestasi janin yang
dilahirkan pada bulan ke-8 menandakan bahwa bayi tersebut lahir prematur.
- Plantar creased at 1/3 anteriornormal untuk usia gestasi janin yang
dilahirkan pada bulan ke-8 menandakan bahwa bayi tersebut lahir prematur.
- Grunting Defisiensi surfactant alveoli kolaps saat ekspirasi ada usaha
untuk meningkatkan pernafasan penutupan glottis sebagian di akhir ekspirasi
merintih / grunting.
- Cyanosis Hipoventilasi Pa O2 di alveolus resistensi pulmonal tetap
tinggi foramen ovale dan duktus arteriosus tidak menutup terdapat shunting
(dari kanan ke kiri) darah bercampur dengan CO2 Hb terduksi banyak
terbentuk cyanosis
- RR 70x/ minutes takipnea karena >60x/minutes kelahiran prematur
surfaktan blm terbentuk sempurna alveoli collapse kurang oksigenasi
kompensasi dengan peningkatan RR.
- Heart rate was 150 bpm
- Temperature 36C
- Retraksi dinding thorax Defisiensi surfactant alveoli kolaps saat
ekspirasi hipoksemia PaO2 dan Pa CO2 peningkatan usaha kecepatan
dan usaha kedalaman pernafasan kontraksi otot m.sternocleidomastoideus dan
m.suprasternal retraksi dinding dada.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai gejala klinik gangguan napas seperti:
Merintih atau grunting tetapi warna kulit masih kemerahan, merupakan gejala
menonjol.
Sianosis
Retraksi
Tanda obstruksi saluran napas mulai dari hidung: atresia koana, ditandai
kesulitan memasukkan pipa nasogastrik melalui hidung.
Air ketuban bercampur mekonium atau pewarnaan hijau-kekuningan pada tali
pusat.
Abdomen mengempis (scaphoid abdomen).
Pemeriksaan penunjang
1.
Pemeriksaan laboratorium
a.
Analisis gas darah (AGD):
Dilakukan untuk untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai
dengan: PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 60mmHg, atau saturasi oksigen arterial <
90%.
Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih dari 20
menit. darah arterial lebih dianjurkan.
Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah dari
arteri umbilikalis atau pungsi arteri.
Menggambarkan gambaran asidosis metabolic atau asidosi respiratorik dan
keadaan hipoksia.
Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau overdistensi
saluran napas bawah.
Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer, yang
merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme
anaerobic.hipoksi terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh darah
pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale.
Pulse oxymeter digunakan sebagai cara non invasif untuk memantau saturasi
oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.
b.
Elektrolit:
Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi metabolic
untuk hiperkapnea kronik.
Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia.
Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh karena kondisi kelemahan
tubuh; hipokalemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan gangguan
kontraksi otot.
c.
Pemeriksaan jumlah sel darah: polisitemia mungkin karena hipoksemia
kronik.
2.
Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologi toraks pada bayi dengan PMH, menunjukkan gambaran
retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran bronkogram udara (air
bronchogram) dan paru tidak berkembang.
Gambaran air bronchogram yang menonjol menunjukkan bronkious yang
menutup latar belakang alveoli yang kolaps.
Berat/ringan
Ringan
II
Ringan-Sedang
III
Sedang-Berat
IV
Berat
b. DD dan WD
Kondisi yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial dari penyakit
membran hialin adalah sebagai berikut:
Kelainan metabolik
Kelainan hematologik
Kebocoran udara paru
Anomali kongenital dari paru-paru
Antara diagnosis differensial penyakit membran hialin adalah:
Anemia, akut
Sindrom Aspirasi
Reflux gastroesofageal
Hipoglikemia
Pneumomediastinum
Pneumonia
Pneumotoraks
Polisitemia
Sindrom Kematian Bayi Mendadak
Takipnea Transien dari Bayi
c. Etiologi
e. Epidemiologi
Kejadian PMH ini berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat lahir.
Di Amerika Serikat, PMH telah diperkirakan terjadi pada 20,000-30,000 bayi
baru lahir setiap tahun dan merupakan komplikasi pada sekitar 1% kehamilan.
Sekitar 50% dari neonatus yang lahir pada usia kehamilan 26-28 minggu terjadi
PMH, sedangkan kurang dari 30% dari neonatus prematur lahir pada usia
kehamilan 30-31 minggu terjadi kondisi tersebut.
Dalam satu laporan, tingkat kejadian PMH adalah 42% pada bayi dengan berat
501-1500 g, dengan 71% dilaporkan pada bayi dengan berat 501-750 g, 54%
dilaporkan pada bayi dengan berat 751-1000 g, 36% dilaporkan pada bayi
dengan berat 1001 - 1250g, dan 22% dilaporkan pada bayi dengan berat 12511500g, di antara 12 rumah sakit universitas yang berpartisipasi dalam National
Institute of Child Health and Human Development (NICHD) Neonatal Research
Network. PMH terjadi pada ~ 50% dari bayi dengan berat lahir antara 501 dan
1500 g (Lemon et al, 2001).
Penyakit membrane hialin kurang ditemukan di negara berkembang
dibandingkan di tempat lain, terutama karena sebagian besar bayi prematur yang
kecil untuk usia kehamilan mereka telah mengalami stres di dalam rahim karena
kekurangan gizi atau hipertensi yang diinduksi kehamilan. Selain itu, karena
sebagian besar persalinan di negara berkembang terjadi di rumah, catatan yang
akurat di wilayah ini tidak tersedia untuk menentukan frekuensi PMH. PMH
telah dilaporkan dalam semua ras, terjadi paling sering pada bayi prematur
berkulit putih.
Resiko terjadi PMH meningkat pada ibu dengan diabetes, kelahiran kembar,
persalinan secara sectio caesar , persalinan terjal, asfiksia, stres dingin, dan
riwayat bayi prematur sebelumnya. Di sisi lain, risiko PMH berkurang pada ibu
dengan hipertensi kronis atau terkait-kehamilan dan rupture membran yang
berkepanjangan, dan profilaksis kortikosteroid antenatal. Kelangsungan hidup
telah meningkat secara signifikan, terutama setelah adanya surfaktan eksogen
(Malloy & Freeman, 2000) dan sekarang angka kelangsungan hidup menjadi >
90%. Saat ini, PMH menyumbang <6% dari semua kematian neonatus.
f. Patofisiologi
Kegagalan untuk mencapai kapasitas residu fungsional (Fungsional Residual
Capacity [FRC]) yang memadai dan kecenderungan paru-paru yang terkena
untuk menjadi atelektatik berkorelasi dengan tegangan permukaan yang tinggi
dan tidak adanya surfaktan paru. Atelektasis alveolar, pembentukan membran
hialin, dan edema interstisial membuat paru-paru kurang komplians, sehingga
tekanan lebih besar diperlukan untuk mengembangkan alveoli dan saluransaluran napas yang kecil. Pada bayi yang sudah terkena PMH, bagian bawah
dinding dada ditarik ke dalam apabila diafragma menurun, dan tekanan
intratoraks menjadi negatif, sehingga membatasi jumlah tekanan intratoraks
yang dapat diproduksi, hasilnya akan terjadi atelektasis. Dinding dada yang
sangat komplians pada bayi prematur memberikan ketahanan lebih rendah dari
bayi yang matur dengan kecenderungan paru-paru untuk kolaps. Dengan
demikian, pada akhir ekspirasi, volume toraks dan paru-paru cenderung untuk
mendekati
volume
residu,
dan
atelektasis
dapat
terjadi.1,2,4,8
Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan, bersama-sama dengan unit
pernapasan kecil dan dinding dada yang komplians, menghasilkan atelektasis
dan menghasilkan alveoli yang diperfusi tetapi tidak berventilasi, yang
g. Manifestasi klinis
Temuan fisik konsisten dengan maturitas bayi yang dinilai dengan
menggunakan pemeriksaan Dubowitz atau modifikasi dengan Ballard. Tandatanda gangguan pernafasan progresif dicatat segera setelah lahir dan termasuk
yang berikut:
Takipnea
Ekspirasi merintih (dari penutupan sebagian glotis)
Retraksi subcostal dan interkostal
Sianosis
Napas cuping hidung
Pada neonatus yang sangat immatur dapat terjadi apnea dan/atau hipotermia.
Tanda-tanda PMH biasanya muncul dalam beberapa menit selepas lahir,
meskipun mereka mungkin tidak disadari untuk beberapa jam pada bayi
prematur lebih besar sampai pernapasan yang cepat dan dangkal telah
meningkat menjadi 60 kali/menit atau lebih. Sebuah onset terlambat dari
takipnea harus menunjukkan kondisi lain. Beberapa pasien membutuhkan
resusitasi pada saat lahir karena asfiksia intrapartum atau gangguan pernapasan
yang parah terdahulu(terutama dengan berat lahir 1.000 g <). Secara
karakteristik, takipnea, menonjol (sering terdengar) merintih, retraksi
interkostalis dan subcostal, napas cuping hidung, dan kepucatan dicatat.
Sianosis meningkat dan relatif sering tidak responsif terhadap pemberian
oksigen. Bunyi nafas mungkin normal atau berkurang dengan kualitas tubular
yang keras dan, pada inspirasi dalam, ronki halus dapat didengar, terutama pada
bagian posterior basal paru-paru.
Perjalanan alami PMH yang tidak diobati ditandai dengan memburuknya
sianosis secara progresif dan dyspnea. Jika kondisi ini tidak diobati, tekanan
darah bisa turun, kelelahan, sianosis, dan kepucatan meningkat, dan rintihan
berkurang atau hilang seiring dengan kondisi yang memburuk. Apnea dan
respirasi tidak teratur terjadi karena bayi kelelahan dan merupakan tanda buruk
yang memerlukan intervensi segera. Pasien juga mungkin memiliki asidosis
metabolik-respiratorik campuran, edema, ileus, dan oliguria. Kegagalan
pernapasan dapat terjadi pada bayi dengan perkembangan penyakit yang cepat.
Dalam kebanyakan kasus, gejala dan tanda-tanda mencapai puncaknya dalam
waktu 3 hari, setelah itu membaik secara bertahap. Perbaikan sering dikatakan
oleh diuresis spontan dan kemampuan untuk mengoksigenisasi bayi pada kadar
oksigen inspirasi yang rendah atau ventilator dengan tekanan rendah. Kematian
jarang pada hari pertama penyakit, biasanya terjadi antara hari ke 2 dan 7, dan
berhubungan dengan kebocoran udara alveolar (emfisema interstisial,
pneumotoraks), perdarahan paru, atau intraventricular hemorrhage (IVH).
Kematian mungkin tertunda beberapa minggu atau bulan jika BPD berkembang
pada bayi dengan PMH yang parah yang dipasang ventilasi mekanik.
h. Tata laksana
Terapi Pengganti Surfaktan
Terapi pengganti surfaktan sekarang dianggap sebagai standar perawatan pada
pengobatan bayi diintubasi dengan PMH. Sejak akhir 1980-an, lebih dari 30
percobaan klinis telah dilakukan secara acak yang melibatkan >6000 bayi telah
dilakukan. Tinjauan sistematis terhadap uji coba ini (Soll & Andruscavage,
1999) menunjukkan surfaktan ini, apakah digunakan secara profilaksis dalam
ruang persalinan untuk mencegah PMH atau dalam pengobatan penyakit yang
telah terjadi, menyebabkan penurunan yang signifikan dalam risiko
pneumotoraks dan risiko kematian. Manfaat ini diamati baik di uji coba
surfaktan ekstrak alami atau surfaktan sintetik. Surfaktan pengganti, meskipun
terbukti
segera efektif dalam mengurangi keparahan PMH, tiada bukti jelas ia dapat
menurunkan
kebutuhan oksigen jangka panjang atau perkembangan perubahan kronis paruparu.
Saat ini, penelitian tindak lanjut jangka panjang tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara pasien yang diobati surfaktan dan kelompok kontrol yang
tidak diobati sehubungan dengan PDA, IVH, RBP, NEC, dan BPD. Ada bukti
menunjukkan bahwa lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan ventilator
total telah berkurang dengan penggunaan surfaktan pada semua tingkat usia
kehamilan, walaupun dengan peningkatan bayi berat badan lahir sangat rendah.
Sebuah kejatuhan dramatis pada kematian akibat PMH dimulai pada tahun
1991. Ini mungkin mencerminkan pengenalan terapi surfaktan pengganti di
negara-negara tentang. Dalam tindak lanjut studi jangka panjang, tidak ada efek
samping disebabkan terapi surfaktan telah diidentifikasi.
Dukungan Pernapasan
1.
Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk
bayi dengan PMH yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan
asidosis respiratorik yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai
dengan kadar 30-60 napas/menit dan rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Sebuah PIP
awal 18-30 cm H2O digunakan, tergantung pada ukuran bayi dan keparahan
penyakit. Sebuah PEEP dengan 4-5 cm H2O menunjukkan hasil oksigenasi
yang meningkat, mungkin karena membantu dalam pemeliharaan dari FRC
yang efektif. Tekanan terendah yang memungkinkan dan konsentrasi oksigen
inspirasi diselenggarakan dalam upaya untuk meminimalkan kerusakan pada
jaringan parenkim. Ventilator dengan kapasitas untuk menyinkronkan upaya
pernafasan dapat mengurangi barotrauma. Penggunaan awal HFOV telah
menjadi semakin populer dan merupakan modus ventilator yang sering
digunakan untuk bayi berat badan lahir rendah (Gerstmann et al, 1996; Plavka et
al, 1999).
CPAP dan nasal synchronized intermittent mandatory ventilation
(SIMV). Nasal CPAP (NCPAP) atau nasopharyngeal CPAP (NPCPAP) dapat
digunakan dini untuk menunda atau mencegah kebutuhan untuk intubasi
endotrakeal. Untuk meminimalkan cedera paru-paru berhubungan dengan
intubasi dan ventilasi mekanis, telah ada minat baru dalam menggunakan CPAP
sebagai strategi pengobatan awal untuk mengobati PMH bahkan pada bayi berat
badan lahir sangat rendah. Di beberapa pusat, praktik ini telah telah digunakan
dengan sukses dan menghasilkan penurunan insiden BPD (Aly, 2001; De Klerk
& De Klerk, 2001; Van Marter et al, 2000). Selain itu, pengobatan dini dengan
surfaktan, yang dikelola selama periode singkat intubasi diikuti oleh ekstubasi
dan penerapan NCPAP semakin sedang digunakan di Eropa. Pendekatan ini
telah digunakan pada bayi prematur usia kehamilan <30 minggu kehamilan dan
secara signifikan mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik selanjutnya
(Kamper, 1999; Verder et al, 1999). NCPAP dan NPCPAP dapat digunakan
pada ekstubasi dan dapat mengurangi kemungkinan diintubasi lagi.
2.
PDA.
Perdarahan paru
Kejadian perdarahan paru meningkat pada bayi prematur kecil, terutama setelah
terapi surfaktan. Tingkatkan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) pada
ventilator dan berikan epinefrin intratrakeal untuk mengelola perdarahan paru.
Pada beberapa pasien, perdarahan paru mungkin terkait dengan PDA;
perdarahan paru pada individu tersebut harus segera mengobati.
Necrotizing enterocolitis dan / atau perforasi GI
Pada setiap bayi dengan temuan abdominal abnormal pada pemeriksaan fisik
dicurigai menderita NEC dan / atau perforasi gastrointestinal. Radiografi perut
membantu dalam mengkonfirmasikan adanya penyakit tersebut. Perforasi
spontan (tidak harus sebagai bagian dari NEC) kadang terjadi pada bayi
prematur yang sakit kritis dan telah dikaitkan dengan penggunaan steroid dan /
atau indometasin.
Apnea prematuritas
Apnea prematuritas adalah umum pada bayi belum matang, dan insiden telah
meningkat dengan terapi surfaktan, mungkin karena ekstubasi dini. Tatalaksana
apnea prematuritas dengan metilxantin (kafein) dan / atau tekanan aliran udara
yang positif melalui nasal (CPAP) atau dengan ventilasi yang dibantu pada
insiden yang refraktori. Septikemia, kejang, refluks gastroesophageal, dan
penyebab metabolik dan lainnya harus disingkirkan pada bayi prematur dengan
apnea.
Bronkopulmonary displasia
BPD adalah penyakit paru-paru kronis yang didefinisikan sebagai kebutuhan
oksigen pada usia kehamilan 36 minggu yang sudah dikoreksi. BPD terkait
langsung dengan volume tinggi dan / atau tekanan yang digunakan untuk
ventilasi mekanis atau untuk mengelola infeksi, peradangan, dan kekurangan
vitamin A. Insiden BPD meningkat pada usia kehamilan yang semakin rendah.
Penggunaan terapi surfaktan postnatal, ventilasi yang tidak berlebihan, vitamin
A, steroid dosis rendah, dan inhalasi oksida nitrat dapat mengurangi keparahan
BPD.
Retinopati pada bayi prematur (RBP)
Bayi dengan penyakit membran hialin yang memiliki nilai tekanan parsial
oksigen (PaO2) lebih dari 100mm Hg mempunyai resiko tinggi untuk menderita
RBP. Oleh karena itu, harus dipantau ketat PaO2 dan dijaga agar nilai PaO2
tetap pada 50-70mm Hg. Meskipun oksimetri nadi digunakan pada semua bayi
prematur, ia tidak membantu dalam mencegah RBP.
Gangguan neurologis
Gangguan neurologis terjadi pada sekitar 10-70% dari bayi dan berhubungan
dengan usia kehamilan bayi, tingkat dan jenis patologi intrakranial, dan apa
adanya hipoksia dan infeksi. Cacat pendengaran dan penglihatan dapat
menganggu perkembangan pada bayi yang menderita penyakit tersebut. Pasien
dapat mengembangkan ketidakmampuan belajar yang spesifik dan perilaku
yang menyimpang. Oleh karena itu, bayi ini harus ditindaklanjuti secara berkala
k. Pencegahan
1.
Kortikosteroid antenatal. National Institutes of Health Consensus
Development Conference pada tahun 1994 tentang efek kortikosteroid untuk
pematangan janin pada hasil perinatal menyimpulkan bahwa kortikosteroid
antenatal mengurangi risiko kematian, PMH, dan intraventricular hemorrhage
k. SKDI
RDS 3B, yaitu: mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:
pemeriksaan laboratorium sederhana atau Xray). Dokter dapat memtuskan dan
member terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat
darurat).
II.
Learning Issue
1. BBLSR
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ialah bayi baru lahir yang berat badannya
saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499 gram) (Prawiroharjo,
2010). Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah prematurits dengan Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR). Hal ini dilakukan karena tidak semua bayi yang
berat kurang dari 2500 gram pada waktu lahir bayi prematur (Rustam 1998).
Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya, bayi berat lahir rendah
dibedakan dalam:
(1) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), berat lahir 1500 2500
gram;
(2) Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR), berat lahir < 1500 gram ;
(3) Bayi Berat Lahir Ekstrim Rendah (BBLER) berat lahir < 1000 gram.
2) Bayi prematur kecil untuk masa kehamilan (KMK) terdapat banyak istilah
untuk menunjukkan bahwa bayi KMK dapat menderita gangguan pertumbuhan di
dalam uterus (intra uterine growth retardation / IUG)seperti pseudo premature,
small for dates, dysmature, fetal malnutrition syndrome, chronis fetal distress,
IUGR dan small for gestasionalage ( SGA ).
Ada dua bentuk IUGR yaitu : (Rustam, 1998)
a. Propornitinate IUGR: janin menderita distress yang lama, gangguan
pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi
lahir. Sehingga berat, panjang dan lingkaran kepala dalam proporsi yang
seimbang, akan tetapi keseluruhannya masih di bawah masa gestasi yang
sebenarnya.
b. Disproportinate IUGR : terjadi akibat distress sub akut. Gangguan terjadi
beberapa Minggu dan beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang
dan lingkaran kepala normal, akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi.
Tanda-tanda sedikitnya jaringan lemak dibawah kulit, kulit kering, keriput dan
mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang.
Manifestasi Klinis
Menurut Maryunani dkk, (2009) adapun tanda dan gejala yang terdapat pada bayi
dengan bayi berat lahir rendah (BBLR ) adalah :
a. Berat badan < 2500 gram
b. Letak kuping menurun
c. Pembesaran dari satu atau dua ginjal
d. Ukuran kepala kecil
3. Sistem Kardiovaskuler
Bayi dengan BBLR paling sering mengalami gangguan/ kelainan janin, yaitu
paten ductus arteriosus, yang merupakan akibat intra uterine ke kehidupan ekstra
uterine berupa keterlambatan penutupan ductus arteriosus.
4. Sistem Gastrointestinal
Bayi dengan BBLR saluran pencernaannya belum berfungsi seperti bayi yang
cukup bulan, hal ini disebabkan antara lain karena tidak adanya koordinasi
mengisap dan menelan sampai usia gestasi 3334 minggu sehingga kurangnya
cadangan nutrisi seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna protein
5. Sistem Termoregulasi
Bayi dengan BBLR sering mengalami temperatur yang tidak stabil, yang
disebabkan antara lain:
a. Kehilangan panas karena perbandingan luas permukaan kulit dengan berat
badan lebih besar (permukaan tubuh bayi relatife luas )
b. Kurangnya lemak subkutan (brown fat / lemak cokelat )
c. Jaringan lemak dibawah kulit lebih sedikit.
d. Tidak adanya refleks kontrol dari pembuluh darah kapiler kulit.
6. Sistem Hematologi
Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah hematologi bila
dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan. Penyebabnya antara lain adalah:
a. Usia sel darah merahnya lebih pendek
b. Pembuluh darah kapilernya mudah rapuh
c. Hemolisis dan berkurangnya darah akibat dari pemeriksaan laboratorium
yang sering.
7. Sistem Imunologi
Bayi dengan BBLR mempunyai sistem kekebalan tubuh yang terbatas, sering
kali memungkinkan bayi tersebut lebih rentan terhadap infeksi.
8. Sistem Perkemihan
Bayi dengan BBLR mempunyai masalah pada sistem perkemihannya, di mana
ginjal bayi tersebut karena belum matang maka tidak mampu untuk menggelola
air,
elektrolit, asam basa, tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme dan obat
obatan dengan memadai serta tidak mampu memekatkan urin.
9. Sistem Integument
Bayi dengan BBLR mempunyai struktur kulit yang sangat tipis dan transparan
sehingga mudah terjadi gangguan integritas kulit.
10. Sistem Pengelihatan
Bayi dengan BBLR dapat mengalami retinopathy of prematurity (RoP) yang
disebabkan karena ketidakmatangan retina.
a. Umur Ibu
Penelitian Suriani (2010) menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara
umur ibu dengan kejadian BBLR dengan p = 0,01 di mana OR = 1,36 (95% CI:
1,08 1,73), artinya bahwa risiko responden berumur < 20 tahun atau >35 tahun
kemungkinan melahirkan BBLR 1,36 kali lebih besar dibandingkan dengan
responden umur 20-35 tahun (95% CI = 1,08-1,73). Kondisi usia ibu yang
masih muda sangat membutuhkan zat-zat gizi untuk pertumbuhan biologiknya.
Kebutuhan untuk pertumbuhan biologik ibu dan kebutuhan untuk janin dalam
kandungannya merupakan dua hal yang pemenuhannya berlangsung melalui
mekanisme yang kompetitif, di mana keadaan janin berada di pihak yang lemah.
Hal inilah yang menyebabkan bayi lahir dengan kondisi berat badan yang
rendah. Berdasarkan hasil penelitian Sistiarni (2008), menunjukkan bahwa
variabel yang berhubungan dengan kejadian BBLR adalah umur < 20 tahun
nilai p = 0,009 (OR=4,28; 1,48 -12,4) dan kualitas pelayanan antenatal nilai p =
0,001 (OR= 5,85 ; 95%Cl= 1,9 17,88).
b. Pendidikan Ibu
Penelitian Suriani (2010) menyimpulkan bahwa ada pengaruh pendidikan
dengan kejadian berat bayi lahir rendah dengan nilai p = 0,000 ( OR = 1,80;
95%CI= 1,43 2,26). Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mendasari
pengambilan keputusan. Pendidikan menentukan kemampuan menerima dan
mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikan ibu
akan semakin mampu mengambil keputusan bahwa pelayanan kesehatan
selama hamil dapat mencegah gangguan sedini mungkin bagi ibu dan janinnya.
Pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang
perawatan kehamilan.
c. Penghasilan
Secara tidak langsung penghasilan ibu hamil akan memengaruhi kejadian
BBLR, karena umumnya ibu-ibu dengan penghasilan keluarga rendah akan
mempunyai intake makanan yang lebih rendah baik secara kualitas maupun
secara kuantitas, yang akan berakibat terhadap rendahnya status gizi ibu hamil
tersebut. Keadaan status gizi ibu yang buruk berisiko melahirkan bayi dengan
BBLR dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan ibu dengan status gizi baik.
Hal senada juga diungkapkan oleh Kardjati (1985) dalam Suriani 2010 bahwa
faktor penghasilan berperan dalam meningkatkan risiko kejadian BBLR.
Beberapa alasan diantaranya
adalah kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan kalori, disamping juga karena
ibu-ibu yang miskin sebelumnya juga kurang gizi.
d.
Jarak Persalinan
e. Paritas
Paritas atau jumlah kelahiran merupakan faktor penting dalam menentukan
nasib ibu serta bayi yang dikandungnya selama kehamilan dan persalinan.
Menurut Depkes (2004) ibu hamil yang telah memiliki anak lebih dari empat
orang perlu diwaspadai, karena semakin banyak anak, rahim ibu pun semakin
lemah. Menurut Suriani (2010) ada pengaruh paritas dengan kejadian BBLR ini
terbukti signifikan (nilai p = 0,032) dengan OR = 1,24 (95% CI: 1,02-1,54).
Artinya bahwa kemungkinan mempunyai risiko melahirkan BBLR pada
responden dengan paritas 1 atau > 3 anak adalah 1,24 kali lebih besar
dibandingkan responden dengan paritas 2-3 anak. Ibu hamil dengan paritas lebih
dari tiga kali, umumnya akan mengalami gangguan dan komplikasi dalam masa
kehamilannya. Komplikasi yang sering terjadi adalah gangguan pada plasenta,
yaitu abruptio plasenta (plasenta tidak seluruhnya melekat pada dinding uterus),
plasenta letak rendah dan solutio plasenta. Komplikasi ini mempunyai dampak
terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin, yang selanjutnya akan
menyebabkan kejadian BBLR.
f. Komplikasi Kehamilan
Penelitian Suriani (2010) menyimpulkan bahwa ada pengaruh komplikasi
kehamilan terhadap kejadian bayi berat lahir rendah dengan p = 0,003 (OR =
1,53; CI= 1,16 2,02). Dapat berhubungan dengan kejadian bayi berat lahir
rendah. Suriani (2010) menyatakan bahwa infeksi selama hamil dapat
berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan kejadian BBLR,
seperti infeksi pada penyakit malaria, toksoplasma, plasmodium dan infeksi
virus. Infeksi virus menghambat pertumbuhan janin bahkan dapat menyebabkan
kematian janin seperti pada infeksi virus rubella dan cytomegalo virus. Diduga
virus-virus tersebut mengeluarkan toksin yang dapat mengurangi suplai darah
ke janin. Infeksi pada saluran kemih juga sering berhubungan dengan kejadian
BBLR dimana infeksi ini dapat menyebabkan infeksi pada air ketuban dan
plasenta sehingga mengganggu suplai makanan ke janin.
Disamping penyakit infeksi penyakit non infeksi juga berhubungan dengan
kejadian BBLR seperti penyakit ginjal kronis, hipertensi, dan diabetes melitus.
2. Faktor Kehamilan
a. Hamil dengan hidramnion
b. Hamil ganda
c. Perdarahan antepartum
d. Komplikasi hamil: preeklampsia/eklampsia, ketuban pecah dini.
3. Faktor Janin
a. Cacat bawaan
b. Infeksi dalam rahim
Perawatan Antenatal
1. Pengertian Perawatan Antenatal
Kunjungan antenatal care (ANC) adalah kunjungan ibu hamil ke
bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk
mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan antenatal
(ANC), petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi ibu
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan diagnosis
kehamilan intra uterine serta ada tidaknya masalah atau komplikasi (Saifudin,
2005).
Menurut Henderson (2006), kunjungan antenatal care (ANC) adalah
kontak ibu hamil dengan pemberi perawatan/asuhan dalam hal mengkaji
kesehatan dan kesejahteraan bayi serta kesempatan untuk memperoleh
informasi dan memberi informasi bagi ibu dan petugas kesehatan. Asuhan
c. Dua kali pada usia kehamilan tujuh sampai sembilan bulan (triwulan III).
Standar Pelayanan
Menurut Depertemen Kesehatan Republik Indonesia dalam bentuk Standar
Pelayanan Mininal (SPM), kunjungan ibu hamil sesuai standar adalah
pelayanan yang mencakup minimal:
1. Timbang badan dan ukur tinggi badan
2. Ukur tekanan darah
3. Skrining status imunisasi tetanus (dan pemberian Tetanus Toksoid)
4. Mengukur tinggi fundus uteri
5. Pemberian tablet besi (90 tablet selama kehamilan)
6. Temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling)
7. Tes laboratorium sederhana (Hb, protein urine) atau berdasarkan indikasi
(HbsAg, Sifilis, HIV, malaria, TBC).
Namun dalam perakteknya standar baku masih tetap menggunakan prinsip 5T
standar pemeriksaan / perawatan kehamilan ( ANC) (Arali, 2008).
2. Asfiksia Perinatal
2.1.4. Patofisiologi
Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir;
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbon dioksida. Pembuluh arteriol yang ada
di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan
oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan
tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin,
sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih
rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta(Perinasia,
2006).
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru
sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan
diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara.
Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke
dalam pembuluh darah di sekitar alveoli(Perinasia, 2006).
Arteri
dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik.
Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli,
pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan
terhadap aliran darah bekurang(Perinasia, 2006).
Keadaan
relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah
dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat
sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang
diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan
darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung
kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen
meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus
mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus
sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk
dialirkan ke seluruh jaringan tubuh(Perinasia, 2006). Pada akhir masa
transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paruparunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan
napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen
dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi
pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam
pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru
menjadi kemerahan(Perinasia; 2006).
Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal ;
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke
dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari
alveoli ke insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke
arterio pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan
ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap
terisi cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat
oksigen(Perinasia, 2006).
Pada saat pasokan oksigen berkurang,
akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan
kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil
atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian
distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organorgan vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung
terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan
peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang
mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang. Sebagai
akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan
menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan
organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan
akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus
otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain;
depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia
(penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot
jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen
pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang
kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan, takipnu
(pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru dan
sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah(Perinasia, 2006).
2.1.9. Penilaian
Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya
resusitasi lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut:
(1) Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan
dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang
megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan
intervensi lanjutan(Perinasia, 2006).
(2) Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung
dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10
sehingga akan dapat diketahui frekuensi jantung permenit(Perinasia,
2006).
(3) Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah
frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis
sentral yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah dari
biru menjadi kemerahan adalah petanda yang paling cepat akan adanya
pernapasan dan sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis
sentral belum tentu menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak
perlu diberikan terapi oksigen. Hanya sianosis sentral yang memerlukan
intervensi(Perinasia, 2006).
2.1.10. Penghentian resusitasi
Bila tidak ada upaya bernapas dan denyut jantung setelah 10 menit, setelah
usaha resusitasi yang menyeluruh dan adekuat dan penyebab lain telah
disingkirkan, maka resusitasi dapat dihentikan. Data mutakhir menunjukkan
bahwa setelah henti jantung selama 10 menit, sangat tipis kemungkinan selamat,
dan yang selamat biasanya menderita cacat berat(Vain NE, 2004).
Inggeris. Ini adalah diagnosis klinis pada bayi baru lahir prematur dengan
kesulitan pernapasan, termasuk takipnea (> 60 napas/menit), retraksi dada, dan
sianosis di ruangan biasa yang menetap atau berlangsung selama 48-96 jam
pertama kehidupan, dan gambaran foto rontgen dada yang karakteristik (pola
retikulogranular seragam dan bronkogram udara perifer).
a. Epidemiologi
Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab utama dari
PMH. Konstituen utama surfaktan adalah dipalmitoyl fosfatidilkolin (lesitin),
phosphatidylglycerol, apoprotein (protein surfaktan SP-A,-B,-C,-D), dan
kolesterol. Dengan pertambahan usia kehamilan, jumlah fosfolipid yang disintesis
meningkat dan disimpan dalam sel alveolar tipe II. Bahan aktif-permukaan ini
akan dilepaskan ke dalam alveoli, di mana mereka akan mengurangi tegangan
permukaan dan membantu mempertahankan stabilitas alveolus dengan mencegah
runtuhnya ruang udara kecil pada akhir ekspirasi. Jumlah yang dihasilkan atau
dilepaskan mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasca kelahiran
karena immaturitas. Surfaktan yang hadir dalam konsentrasi tinggi pada paru janin
mengalami homogenasi pada usia kehamilan 20 minggu, tetapi tidak mencapai
permukaan paru-paru sampai nanti. Ia muncul dalam cairan amnion pada waktu
di antara 28 dan 32 minggu. Tingkat maturitas dari surfaktan paru biasanya terjadi
setelah 35 minggu.
Meskipun jarang, kelainan genetik dapat berkontribusi untuk terjadinya gangguan
pernapasan. Kelainan pada gen protein surfaktan B dan C serta sebuah gen
bertanggung jawab untuk mengangkut surfaktan melintasi membran (ABC
transporter 3 [ABCA3]) berhubungan dengan penyakit pernapasan berat dan
sering
mematikan
yang
diturunkan.
Sebagian sintesis surfaktan bergantung pada pH normal, suhu, dan perfusi.
Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, khususnya terkait dengan hipovolemia,
hipotensi, dan stres dingin, dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paruparu juga dapat terluka oleh konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek dari
manajemen respirator, sehingga mengakibatkan pengurangan surfaktan yang
lebih lanjut.
b. Etiologi
c. Faktor Resiko
d. Patofisiologi
Kegagalan untuk mencapai kapasitas residu fungsional (Fungsional Residual
Capacity [FRC]) yang memadai dan kecenderungan paru-paru yang terkena untuk
menjadi atelektatik berkorelasi dengan tegangan permukaan yang tinggi dan tidak
adanya surfaktan paru. Atelektasis alveolar, pembentukan membran hialin, dan
edema interstisial membuat paru-paru kurang komplians, sehingga tekanan lebih
besar diperlukan untuk mengembangkan alveoli dan saluran-saluran napas yang
kecil. Pada bayi yang sudah terkena PMH, bagian bawah dinding dada ditarik ke
e.
Gambar 1. Patogenesis Penyakit Membran Hialin.
Hipoksia, asidosis, hipotermia, dan hipotensi dapat mengganggu produksi
dan/atau sekresi surfaktan. Pada sebagian neonatus, toksisitas oksigen dengan
barotrauma dan volutrauma pada paru-paru mereka yang belum matang secara
struktural menyebabkan influks sel inflamasi, yang memperburuk cedera vaskular,
menyebabkan displasia bronkopulmonal (Bronchopulmonary Dysplasia [BPD]).
g. Tatalaksana
Terapi Pengganti Surfaktan
Terapi pengganti surfaktan sekarang dianggap sebagai standar perawatan pada
pengobatan bayi diintubasi dengan PMH. Sejak akhir 1980-an, lebih dari 30
percobaan klinis telah dilakukan secara acak yang melibatkan >6000 bayi telah
dilakukan. Tinjauan sistematis terhadap uji coba ini (Soll & Andruscavage, 1999)
menunjukkan surfaktan ini, apakah digunakan secara profilaksis dalam ruang
persalinan untuk mencegah PMH atau dalam pengobatan penyakit yang telah
terjadi, menyebabkan penurunan yang signifikan dalam risiko pneumotoraks dan
risiko kematian. Manfaat ini diamati baik di uji coba surfaktan ekstrak alami atau
surfaktan
sintetik.
Surfaktan
pengganti,
meskipun
terbukti
segera efektif dalam mengurangi keparahan PMH, tiada bukti jelas ia dapat
menurunkan
kebutuhan oksigen jangka panjang atau perkembangan perubahan kronis paruparu.
Saat ini, penelitian tindak lanjut jangka panjang tidak menunjukkan perbedaan
yang signifikan antara pasien yang diobati surfaktan dan kelompok kontrol yang
tidak diobati sehubungan dengan PDA, IVH, RBP, NEC, dan BPD. Ada bukti
menunjukkan bahwa lamanya penggunaan ventilasi mekanik dan ventilator total
telah berkurang dengan penggunaan surfaktan pada semua tingkat usia
kehamilan, walaupun dengan peningkatan bayi berat badan lahir sangat rendah.
Sebuah kejatuhan dramatis pada kematian akibat PMH dimulai pada tahun 1991.
Ini mungkin mencerminkan pengenalan terapi surfaktan pengganti di negaranegara tentang. Dalam tindak lanjut studi jangka panjang, tidak ada efek samping
disebabkan terapi surfaktan telah diidentifikasi.
Dukungan Pernapasan
3. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik adalah terapi andalan untuk bayi
dengan PMH yang mengalami antaranya apnea atau hipoksemia dengan asidosis
respiratorik yang berkembang. Ventilasi mekanis biasanya dimulai dengan kadar
30-60 napas/menit dan rasio inspirasi-ekspirasi 1:2. Sebuah PIP awal 18-30 cm
H2O digunakan, tergantung pada ukuran bayi dan keparahan penyakit. Sebuah
PEEP dengan 4-5 cm H2O menunjukkan hasil oksigenasi yang meningkat,
mungkin karena membantu dalam pemeliharaan dari FRC yang efektif. Tekanan
h. Komplikasi
tidak selalu jelas pada bayi yang kritis. Ekokardiogram memungkinkan dokter
untuk mengkonfirmasikan diagnosis. Tatalaksana PDA dengan ibuprofen atau
indometasin, yang dapat diulang selama 2 minggu pertama jika PDA membuka
kembali. Dalam insiden penyakit membrane hialin yang refraktori atau pada bayi
yang memiliki kontraindikasi terapi medis, dilakukan operasi penutupan PDA.
Perdarahan paru
Kejadian perdarahan paru meningkat pada bayi prematur kecil, terutama setelah
terapi surfaktan. Tingkatkan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) pada
ventilator dan berikan epinefrin intratrakeal untuk mengelola perdarahan paru.
Pada beberapa pasien, perdarahan paru mungkin terkait dengan PDA; perdarahan
paru
pada
individu
tersebut
harus
segera
mengobati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dudell GG, Stoll BJ. Respiratory Distress Syndrome (Hyaline Membrane Disease).
Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia: Saunders; 2007.
2. Mohamed FB. Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Dalam:
Gomella TL, Eyal FG, Zenk KE, editors. Neonatology: Management, Procedures, OnCall Problems, Diseases, and Drugs. Edisi ke-5. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2004.
3. Thilo EH. The Newborn Infant. Dalam: Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM,
Deterding RR, editors. Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Edisi ke-18.
Colorado: The McGraw-Hill Companies; 2007.