Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Hasil pertanian merupakan bahan yang bersifat perishable (mudah rusak).

Sifat hasil pertanian yang mudah rusak tersebut mengharuskan dilakukannya penanganan hasil pertanian. Penanganan hasil pertanian dilakukan dalam dua kelompok besar yaitu penanganan pasca panen dan pengolahan menjadi makanan atau bahan pangan. Salah satu pengolahan hasil pertanian yaitu penggorengan. Penggorengan adalah suatu operasi yang digunakan untuk mengubah mutu makan suatu bahan pangan dengan menggunakan minyak sebagai media panas. Penggorengan juga berfungsi mengawetkan makanan karena adanya destruksi mikroorganisme dan aktivitas enzim oleh panas, serta karena penurunan aw pada pemukaan bahan pangan, jika digoreng dengan dalam bentuk irisan tipis. Bahan makanan menjadi kering karena ada proses hidrasi sebagai akibat pindah panas dari minyak goreng ke bahan. Produk goreng umumnya mengandung proporsi resapan minyak goreng yang tinggi sebagai akibat kontak bahan pangan dengan minyak goreng selama proses penggorengan. Metode penggorengan pada praktikum ini menggunakan deep fat frying. Dengan metode ini diharpkan praktikan dapat mengetahui proses penggorengan dan menganalisis kekerasan, kematangan, dan cita rasa makanan.

1.2 1.2.1

Tujuan Instruksional Tujuan Instruksional Umum (TIU) Mahasiswa dapat mengetahui peralatan deep fat fryer untuk proses penggorengan

1.2.2

Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Mahasiswa dapat menganalisis dan mempelajari perubahan kekerasan, kematangan, serta cita rasa bahan pangan selama penggorengan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penggorengan Salah satu cara pengolahan makanan adalah dengan menggoreng.

Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng yang bertujuan untuk melakukan pemanasan bahan pangan, pemasakan dan pengeringan pada bahan yang digoreng. Pemanasan yang terjadi selama proses penggoraengan akan memberi efek deksrtrusi panas yang dapat membunuh mikroba dan menginaktivasi enzim dimana keduanya berperan dalam kerusakan bahan pangan. Selain itu penggorengan juga akan menurunkan aktivitas air yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba, sehingga bahan pangan menjadi lebih awet. Selama proses penggorengan akan terjadi pemasakan yang akan meningkatkan mutu makanan (eating quality) karena adanya konversi zat gizi ke dalam bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat dicerna oleh organ pencernaan manusia. Dari segi organoleptik (aroma, rasa dan tekstur), produk pangan yang telah digoreng cenderung lebih disukai. Dibandingkan cara pengolahan yang lain, penggorengan biasanya bersifat cepat karena perubahan pada bahan pangan memerlukan waktu yang lebih singkat pada suhu tinggi. Sifat produk hasil penggorengan juga khas. Timbul flavor khas gorengan yang tidak ditemui pada cara pengolahan bahan pangan yang lain. Selama proses penggorengan, air akan keluar melalui rongga-rongga bahan yang lebih besar terlebih dahulu. Ruang-ruang yang ditinggalkan ini nantinya akan dimasuki oleh lapisan minyak goreng. Ketebalan lapisan minyak goreng ini akan mengontrol laju pindah panas dan pindah massa bahan, yang ditentukan dari kekentalan dan kecepatan pengadukan minyak yang akan mendorong keluarnya air dari bahan. Dengan masuknya minyak yang panas akan menyebabkan terbentuknya crust (kerak) yaitu permukaan bahan pangan yang kering atau keras. Lama waktu penggorengan bahan pangan dipengaruhi oleh jenis bahan, suhu minyak, metode penggorengan (deep fat frying atau shallow frying), ketebalan bahan dan tingkat perubahan sesuai mutu yang diinginkan.

Bahan pangan basah biasanya digoreng sampai bagian pusat bahan matang agar mikroba patogen didalamnya dapat dimusnahkan. Suhu penggorengan menjadi pertimbangan ekonomis dan kualitas produk yang dihasilkan. Pada suhu tinggi, waktu penggorengan lebih singkat dan laju produksi meningkat. Naumn suhu tinggi juga memepercepat kerusakan minyak dengan adanya pembentukan asam lemak bebas sehingga akan mengakibatkan perubahan kekentalan, flavor dan warna minyak. Berkaitan dengan mutu produk yang diinginkan suhu penggorengan dapat ditentukan tinggi atau rendahnya. Suhu yang tinggi akan membentuk crust pada permukaan bahan dengan cepat sehingga menghambat laju perpindahan air keluar dari bahan. Jika menginginkan produk yang mengandung kerak yang kering dan bagian dalam yang basah dilakukan dengan suhu penggorengan tinggi. Sementara jika menginginkan produk dengan tekstur kering seluruhnya seperti keripik digunakan suhu rendah.

2.2

Metode Penggorengan Menurut Lawson (1995), proses penggorengan dapat dibedakan

menjadi 3 metode yaitu: griddling, pan frying, dan deep fat frying. Metode griddling dan pan frying banyak digunakan dalam pengolahan pangan skala rumah tangga. Metode griddling adalah proses penggorengan dengan menggunakan griddle (alat penggoreng dengan permukaan datar) dan minyak goreng yang sangat sedikit, sehingga membentuk lapisan film minyak pada permukaan griddle. Sedangkan goreng gangsa (pan frying/contact frying) adalah teknik menggoreng dimana bahan bersentuhan langsung dengan pemanas dan hanya dibatasi oleh selapis tipis minyak/lemak. Secara tradisional umumnya proses ini hanya berlangsung pada satu permukaan dari bahan yang digoreng, sehingga bahan perlu dibolak-balik agar matang secara merata. Sedangkan metode deep fat frying yaitu proses menggoreng dengan menggunakan pindah panas yang langsung dari minyak yang panas kemakanan yang dingin (Lawson, 1995). Dimana metode ini biasa digunakan dalam industri-industri makanan. Pengertian menggoreng cenderung mengarah ke pengertian deep fat frying, dimana seluruh bagian bahan pangan terendam dalam banyak minyak

dan seluruh bagian permukaannya mendapat perlakuan panas yang sama sehingga berwarna seragam. Proses penggorengan ini terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama disebut tahap pemanasan awal. Pada tahap ini pindah panas yang terjadi antara minyak dan bahan adalah konveksi dan belum terjadi penguapan air dari bahan. Sedangkan pada tahap kedua lapisan luar bahan pangan mulai mendidih, dan penguapan air bahan mulai terjadi sehingga terbentuk renyahan. Tahap ketiga (falling rate) ditandai dengan banyaknya keluar air dari bahan pangan dengan suhu permukaan bahan diatas 100 C, temperatur lapisan core mulai mencapai titik didih dan lapisan renyahan terus terbentuk. Sedangkan pada tahap keempat yang disebut dengan bubble end point, proses yang terjadi yaitu laju penguapan air berkurang dan tidak ada gelembung terlihat dilapisan permukaan bahan. Perpindahan massa yang terjadi dalam proses penggorengan ada dua, yaitu penguapan air dan penyerapan minyak. Bahan makanan mengalami penurunan kadar air selama proses penggorengan dalam dua cara, pertama transfer massa air terjadi dari dalam ke permukaan bahan kemudian
o

menguap ke lingkungan, dan kedua perubahan massa air menjadi uap terjadi di dalam bahan. Prinsip penggorengan deep fat frying yaitu minyak, bahan pangan dan panas sebagai input proses sedangkan outputnya berupa makanan

gorengan, uap air, uap minyak, minyak jelantah dan remah-remah bahan pangan. Metode ini sangat penting karena prosesnya cepat, mudah dan produknya mempunyai tekstur dan aroma yang lebih disukai.

By products berminyak Uap air + panas Bahan Mentah Minyak Goreng Panas Remah-remah berminyak Produkgorengan berminyak

Uap minyak panas

Gambar 1 Kesetimbangan masa dan panas pada proses penggorengan secara deep fat frying (modifikasi Robertson, 1967).

2.3

Minyak Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat

digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng biasanya digunakan sebagai media menggoreng bahan pangan (penghantar panas), penambah cita rasa, ataupun penambah nilai kalori pada produk pangan. Lemak nabati yang berbentuk cair dapat dibedakan atas tiga golongan yaitu : (a). Drying oil yang akan membentuk lapisan keras bila mengering di udara, misalnya minyak yang digunakan untuk cat dan pernis (b). Semi drying oil seperti minyak jagung, minyak kapas dan minyak bunga matahari, dan (c). Non drying oil, misalnya minyak kelapa dan minyak kacang tanah

Berdasarkan sifat titik cair, dikenal dua macam istilah dalam gliserida yaitu minyak dan lemak. Minyak adalah gliserida yang berbentuk cair sedangkan lemak berbentuk padat pada suhu kamar. Oleh karena ketidak jenuhan gliserida mengakibatkan perbedaan titik cair gliserida (Winarno, et al., 1980). Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidriolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya

dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu penggorengan adalah 177-221C (Winarno, 1997). Selain itu, minyak

goreng sebaiknya memiliki sifat stabil pada cahaya matahari, tidak merusak flavor hasil gorengan, sedikit gum, menghasilkan produk dengan tekstur dan rasa yang bagus, serta menghasilkan warna keemasan pada produk (Wijana, 2005).

Standar mutu minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI-3741-1995 sebagai berikut : Tabel 1. Standar Mutu Minyak Goreng Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kriteria Uji Bau Rasa Warna Cita Rasa Kadar air Berat jenis Asam lemak bebas Bilangan peroksida Bilangan iodium Bilangan penyabunan Titik asap Indeks bias Persyaratan Normal Normal Muda jernih Hambar Max 0,3% 0,900 g/L Max 0,3% Max 2meg/Kg 45-46 196-206 Min 200oC 1,448-1,450

BAB III METODOLOGI PENGAMATAN DAN PENGUKURAN

3.1

Alat dan Bahan

3.1.1 Alat 1. Deep fat fryer 2. Penetrometer 3. Piring 4. Pisau 5. Thermokopel 6. Tisu

3.1.2 Bahan 1. Kentang 2. Nugget

3.2 Prosedur Percobaan 1. Pengukuran perubahan kekerasan sampel selama penggorengan a. Menyiapkan sampel bahan pangan berupa kentang dan nugget mentah sebanyak 2 (ulangan suhu) x 6 (waktu) = 12 (sampel tiap menggoreng), 10 sampel digoreng dan 2 sampel tidak digoreng sebagai tawal sama dengan nol untuk setiap sampel bahan pangan. b. Menyiapkan penggorengan berisi minyak goreng kemudian memanaskan hingga mencapai suhu konstan thermokopel. c. Menyiapkan 10 buah sampel dalam saringan kawat kemudian mencelupkam dalam minyak yang telah panas secukupnya dengan variasi lama pemanasan 1-5 menit. Dengan mengangkat dua sampel tiap satu menit. d. Mengukur kekerasan dengan penetrometer kerucut untuk 10 buah sampel yang digoreng dan 2 buah sampel yang tidak digoreng. C). Suhu panas diukur dengan

2. Pengukuran pengaruh suhu pada laju perubahan kekerasan a. Melakukan hal yang sama seperti langkah nomor 1 dengan minyak pada suhu dan C.

b. Melakukan pengamatan yang sama seperti langkah nomor 1 dengan lama penggorengan yang sama. c. Membandingkan hasil pengamatan bahan pangan antara kentang dan nugget pada suhu dan C.

3. Uji sensori kematangan sampel a. Menyiapkan sampel hasil penggorengan dari setiap lama penggorengan. Mengambil satu sampel oleh salah satu praktikan dari setiap perlakuan, kemudian mencicipi sampel tersebut dengan cara mencicipi untuk menentukan tingkat kematangannya, cukup mengunyah tidak menelannya. Dari pengalaman mencicipi makanan tersebut, menentukan warna sampel, tingkat kematangan dan kekerasan sampel berdasarkan skor berikut: No. Perubahan Warna 1. 2. 3. 4. 5. Putih Agak putih Kuning Coklat muda Coklat tua Tingkat Kematangan Mentah Agak mentah Sedang Agak matang Matang Kekerasan Sangat keras Agak keras Sedang Agak lunak Lunak

b. Menghubungkan tingkat skor keatangan dan kekerasan hasil cicip dengan hasil pengukuran penetrometer kerucut.

DAFTAR PUSTAKA

Lawson H. 1995. Food Oils and Fats: Technology, Utilization, and Nutrition. New York: An International Thomson Publishing Company. Robertson, C.J. 1967. The practice of deep fat frying. J. Food. Tech. 21 (1). 34-36 SNI No. 01-3741-1995. Syarat Mutu Minyak Goreng. Departemen Perindustrian Indonesia. Sugiyono. 2012. Penggorengan. Availabe at: http://id.shvoong.com/exactsciences/engineering/2286355-pengertian-penggorengan/#ixzz2zXOJVhyE. (Diakses pada tanggal 21 April 2014 pukul 23.01 WIB) Wijana, S., N. Hidayat., dan A. Hidayat, 2005. Mengolah Minyak Goreng Bekas. Trubus Agrisarana, Surabaya. Winarno FG. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Jakarta : Balai Pustaka. Winarno, F.G . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarno, F.G., 1980. Enzim Pangan. Bogor :Pusbangtepa.

Anda mungkin juga menyukai