Anda di halaman 1dari 3

Pada praktikum kali ini dilakukan pegujian terhadap obat sistem syaraf otonom (antikolinergik) dalam pengendalian fungsi-fungsi

vegetatif tubuh yaitu sekresi saliva dan hipersaliva pada hewan percobaan. Pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dilakukan dengan cara mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus. Pada evaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor paraismpatikus digunakan obat atropin sebagai obat penginhibisi saliva dan hipersaliva yang akan diketahui efeknya berdasarkan dosis dan cara pemberiannya. Adapun untuk membantu merangsang saliva dan hipersaliva pada hewan uji digunakan obat pilokarpin sebagai obat kolinergik. Pengeluaran saliva dan hipersaliva berada di luar pengaruh kesadaran maka hewan uji diberi obat uretan sebagai obat anastetik yaitu penghilang kesadaran. Pada praktikum ini diamati banyaknya pengeluaran saliva dengan mengukur diameter saliva pada rentang waktu setiap lima menit sekali dengan vareasi ketinggian tempat dimana hewan uji yang diberi obat antikolinergik dan yang tidak diberi obat antikolinergik diletakkan. Hal yang pertama dilakukan dalam percobaan ini adalah menyiapkan mencit sebanyak 3 ekor. Mencit yang diuji adalah mencit jantan bobot badan 20-25 g yang dipuasakan sebelum percobaan. Hal ini dilakukan agar efek obat dalam tubuh lebih cepat. Hewan uji dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari mencit uji I sebagai uji kontrol, mencit uji II dan mencit uji III. Setelah itu masing-masing mencit ditimbang berat badannya untuk menentukan dosis peroral obat atropin dan dosis intraperitonial obat uretan. Ketiga mencit ditimbang menggunakan neraca analitis. Diperoleh berat mencit I adalah 12,7 g, berat mencit II adalah 16,2 g, dan berat mencit III adalah uji 18,6 g. Berat badan dari ketiga mencit ini digunakan untuk menentukan dosis pada setiap obat uji degan berbagai rute pemberian. Setelah penimbangan, mencit diberi tanda dengan menggunakan spidol pada ekornya untuk memudahkan dalam membedakan mencit agar tidak tertukar dalam pemberian perlakuan yang berbeda. Setelah ditimbang, masing-masing mencit diberi perlakuan. Perlakuan menginhibisi saliva dan hipersaliva pada mencit digunakan obat antikolinergik. Antikolinergik disebut juga antimuskarini bekerja pada alat yang dipersyarafi pascaganglion kolinergik. Atropin ,merupakan ester organik dari asam tropat dengan tropanol atau skopin sebagai basa organik. Ditemukan pada Atropa belladonna dan Datura stramonium. Walaupun selektif menghambat reseptor muskarinik, pada dosis sangat besar akan memperlihatkan efek penghambatan juga di ganglion otonom dan otot rangka yang reseptornya nikotinik. Hambatan oleh atropin bersifat reversibel. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen. Skopolamin memiliki efek depresi sentral lebih besar dibanding atropin. Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ. Diperlukan dosis lebih besar untuk menghambat peristaltik usus dan sekresi kelenjar

lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip dengan denervasi serabut pascaganglion dan di keadaan ini biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata. Pasa ganglion otonom dan otot rangka, tempat asetilkolin juga bekerja, penghambatan oleh atropin hanya terjadi dengan dosis yang sangat besar. Kelompok obat ini memperlihatkan kerja yang hampir sama, tetapi dengan afinitas yang sedikit berbeda terhadap berbagai alat; pada dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya, atropin hanya menekan sekresi air liur, mucus bronkus, dan keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan N. vagus terhadap jantung baru terlihat pada dosis yang lebih besar (0,5 1,0 mg). Dosis yang lebih besar lagi diperlukan untuk menghambat peristalsis usus dan sekresi kelenjar di lambung. Penghambatan pada reseptor muskarinik mirip denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata. Antimuskarinik ini memperlihatkan efek sentral terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik. Saat ini terdapat antimuskarinik yang digunakan untuk mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya, antispasmodic, penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum., memperoleh efek sentral misalnya, obat untuk penyakit Parkinson, efek bronkodilatasi dan m emperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna. Adapun perlakuan untuk menimbulkan saliva dan hipersaliva pada mencit digunakan obat kolinergik. Obat kolinergik disebut juga parasimpatomimetik, berarti obat yang cara kerjanya merangsang saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara anatomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik. Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan, yaitu ester kolin, dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol: antikolinesterase, termasuk di dalamnya eserin (fisostigmin), prostigmin (neostigmin), diisopropil-fluorofosfat (DFP), dan insektisid golongan organofosfat: dan alkaloid tumbuhan, yaitu muskarin, pilokarpin dan arekolin. Obat kolinergik yang digunakan pada praktikum adalah pilokarpin. Secara farmakologi, pilokarpin berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi dan Pilokarpus microphyllus. Umumnya bekerja pada efektor muskarinik dan memperlihatkan efek nikotinik. Efek nikotinik ini juga terlihat setelah diadakan denervasi. Pilokarpin terutama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar kenringat, kelenjar air mata dan kelenjar ludah. Efek terhadap kelenjar keringat ini terjadi karena perangsangan langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik). Suatu kekhususan dari kelenjar keringat adalah bahwa, secara anatomi kelenjar ini termasuk sistem simpatik, tetapi

neurotrasmitornya asetilkolin. Ini yang menjelaskan terjadinya hiperhidrosis oleh zat kolinergik. Antikolinesterase diikat oleh protein plasma, kemudian mengalami hidrolisis oleh erterase plasma dan hati, dimana yang satu lebih cepat daripada yang lain. Pada manusia, 1 mg prostigmin, akan dirusak dalam waktu 2 jam setelah pemberian subkutan. Ekskresi terjadi dalam urin sebagai metabolit hasil hidrolisis maupun bentuk utuhnya.

Anda mungkin juga menyukai