Hiruk pikiuk kontestasi meraih kekuasaan tampaknya membawa khilaf
humanistik para elite politik. Mereka menjadi lupa makna kekuasaan dalam demokrasi adalah amanah warga untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat.
Paham Politik
Paham politik akan berbeda dalam menanggapi keputusan politik SBY dan partainya dalam memilih cawapres karena parpol parpol dalam koalisi dengan Partai Demokrat. Hal ini disebabkan oleh keputusan SBY dalam memilih cawapres yang beliau pilih dari non parpol, sehingga partai partai merasa gelisah dari hasrat berkuasa yang terancam. Keraguan dari cawapres yang dipilih oleh SBY muncul tentang kapasitasnya menjadi pendamping SBY dalam rangka mendampingi presiden menciptakan kemakmuran kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini.
Negara Humanistik
Negara yang mampu menciptakan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas sosial rakyatnya selalu berakar pada paham politik humanistik rejim berkuasa (Tilly, 2007). Karena politik humanistik menciptakan kebijakan kebijakan yang berupaya menyelamatkan rakyat dari penderitaan. Secara real politik demokrasi, menciptakan negara humanistik sebenarnya adalah proses kontestasi dari berbagai hasrat seperti antara hasrat berkuasa dan hasrat humanistik. Hanya saja yang mengkhawatirkan, kontestasi menjadi rejim di negara ini hanya terjadi antara hasrat berkuasa dan hasrat berkuasa saja. Pada dasarnya kontestasi dari hasrat hasrat kekuasaan elite politik mengaburkan konsep negara humanistik. Refleksi dari hasrat berkuasa ini dapat kita lihat dari Megawati yang menggandeng Prabowo. Megawati sudah tidak punya pilihan cawapres yang cukup popular untuk mendongkrak suara. Walaupun keputusan tersebut harus mengorbankan ingatan kolektif PDI-Perjuangan sendiri bahwa Megawati dan Prabowo ada sejarah kekerasan yang menjadi tragedi. Pada kondisi ini bagaimana mungkin menciptakan negara yang kebijakan kebajikannya pro rakyat ?
Natur Demokrasi
Pada pemilu presiden 2009 ini rakyat tengah dihadapkan pada pilihan yang sangat sempit. Karena calon calon rejim negara ini adalah pantulan kesadaran dari hasrat kekuasaan semata.Warga bisa jadi tidak memilih alias golput berkaitan dengan upaya terbentuknya negara humanistik. Yaitu kembali pada natur demokrasi dengan mengembalikan kekuasaan rakyat dalam politik negara. Melalui natur demokrasi, upaya menciptakan negara humanistik menjadi lebih mungkin. Daripada hanya menggantungkan harapan pada para elite yang rapuh paham politik humanistiknya. *
* Artikel Merapuhnya Politik Humanistik ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 22 Mei 2009
Eskalasi Politik Degil : Kasus Skandal Century
Dinamika politik dam Pansus Century menuju pada tingkat eskalasi praktik kekerasan para elite politik. Praktik kekerasan yang mengabaikan etika politik tersenut tercermin dari banyaknya pertanyaan yang hanya berkutat pada masalah pencarian pihak yang bertanggungjawab tentang skandal century tersebut, bukan kepada substansi materi dan proses pengambilan kebijakan yang mengakibatkan skandal century.
Jebakan Kekerasan
Fakta eskalasi politik degil tersebut memperlihatkan bahwa isu skandal Bank Century mengalami kerancuan, antara isu penegakan hukum dan isu kepentingan parsial kelompok kelompok politik. Sebagaimana halnya dalam kasus kebijakan bailout Bank century, dan merger menjadi Bank Mutiara. Pada layar kasusini, Pansus Century adalah manifestasi alamiah konflik kepentingan dalam struktur politik nasionalo Indonesia. Segala praktik dalam hubungan konflik harus berdasar pada informasi yang lengkap dan terverifikasi sehingga para pihak berkonflik mampu menemukan pemecahan masalah. Jebakan kekerasan adalah lingkungan yang telah terisi oleh berbagai reaksi praktik komunikasi kekerasan sehingga mengikat para pihak berkonflik terus mereproduksi komunikasi kekerasan. Jika mengamati dinamika poltik dalam Pansus Bank Century, dua sebab eskalasi politik tersebut memang cukup kentara. Isu penegakan hukum pada kasus kebijakn bailout Bank Century yang seharusnya dimulai dengan investigasi dan pengumpulan oinformasi yang lengkap dan terverifikasi, ternyata dimulai dengan praktik komunikasi kekerasan sepaerti menuduh dan menghakimi. Sebab kedua, yaitu kepentingan parsial asali dalam bentuk hasrat pada kepemilikan sumberdaya, terutama posisi kekuasaan politik, juga mulai menjadi perbincangan di balik punggung politik terbuka. Isu yang mulai hangat adalah siapa pengganti Boediono atau siapa pengganti Sri Mulyani, jelas memiliki keterkaitan dari eskalasi politik degil Pansus Bank Century.
Jalan Transendental
Jalan transendental adalah upaya pemecahan masalah dalam visi elite politik seharusnya berorientasi pada kebijakan dan kerakyatan, bukan kepentingan asli parsial, yang pertama dimulai dengan mereduksi semua bentuk praktik komunikasi kekerasan. Proses investigasi informasi tidak harus dengan menuduh dan menghakimi. Kedua adalah menanggalkan kepentingan asali parsial kelompok yang hanya mencari kemenangan sendiri dalam memperjuangkan sumberdaya kelompok semata. Dalam upaya memberantas praktik korupsi dan menyelamatkan hukum demi kesejahteraan rakyat seharusnya menggunakan prinsip prinsip kemanusiaan dan etika politik demokrasi. Sehingga tidak masuk pada jebakan kekerasan yang menciptakan eskalasi politik degil. Karena bangsa bangsa Indonesia tidak bisa dibangun dengan cara cara kekerasan yang direproduksi dari kepentingan parsial kelompok kelompok tertentu. Semoga npara elite politik dalam Pansus Bank Century bisa menemukan jalan transendental ini.*
Artikel ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia, 2009.