Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Cara Kerja Antijamur

Antifungi/antimikroba adalah suatu bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan
metabolisme mikroorganisme. Pemakaian bahan antimikroba merupakan suatu usaha
untuk mengendalikan bakteri maupun jamur, yaitu segala kegiatan yang dapat
menghambat, membasmi, atau menyingkirkan mikroorganisme. Tujuan utama
pengendalian mikroorganisme untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi,
membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan
dan perusakan oleh mikroorganisme. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh suatu
bahan antimikroba, seperti mampu mematikan mikroorganisme, mudah larut dan
bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia dan hewan, tidak bergabung dengan
bahan organik, efektif pada suhu kamar dan suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan
warna, berkemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap, murah dan mudah
didapat (Pelczar & Chan 1988).

Antimikroba menghambat pertumbuhan mikroba dengan cara bakteriostatik
atau bakterisida. Hambatan ini terjadi sebagai akibat gangguan reaksi yang esensial
untuk pertumbuhan. Reaksi tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk mensintesis
makromolekul seperti protein atau asam nukleat, sintesis struktur sel seperti dinding
sel atau membran sel dan sebagainya. Antibiotik tertentu dapat menghambat beberapa
reaksi, reaksi tersebut ada yang esensial untuk pertumbuhan dan ada yang kurang
esensial (Suwandi 1992).

Mekanisme antijamur dapat dikelompokkan sebagai gangguan pada membran
sel, gangguan ini terjadi karena adanya ergosterol dalam sel jamur, ini adalah
komponen sterol yang sangat penting sangat mudah diserang oleh antibiotik turunan
Universitas Sumatera Utara

polien. Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori dan
melalui pori tersebut konstituen essensial sel jamur seperti ion K, fosfat anorganik,
asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat bocor keluar hingga menyebabkan
kematian sel jamur. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur, mekanisme
ini merupakan mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan imidazol karena
mampu menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma jamur dengan cara
mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam proses
pengangkutan senyawa senyawa essensial yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan metabolik sehingga menghambat pertumbuhan atau menimbulkan
kematian sel jamur (Sholichah 2010).

Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein jamur, merupakan mekanisme
yang disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek antijamur terjadi karena
senyawa turunan pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam sel jamur menjadi
suatu antimetabolit. Metabolik antagonis tersebut kemudian bergabung dengan asam
ribonukleat dan kemudian menghambat sintesis asam nukleat dan protein jamur.
Penghambatan mitosis jamur, efek antijamur ini terjadi karena adanya senyawa
antibiotik griseofulvin yang mampu mengikat protein mikrotubuli dalam sel,
kemudian merusak struktur spindle mitotic dan menghentikan metafasa pembelahan
sel jamur (Sholichah 2010).


2.2 Mekanisme Bakteri dalam Menghambat Fusarium

Secara umum kemampuan bakteri dalam menekan penyakit yang disebabkan oleh
patogen tular tanah dilakukan dengan empat cara yaitu menghambat patogen dengan
cara berkompetisi dalam memanfaatkan besi/hipotesis siderofor, menghambat patogen
dengan bahan yang dapat didifusikan, induksi resistensi dan mengkolonisasi akar dan
menstimulir pertumbuhan tanaman (Djatnika et al. 2003).

Cara lain dengan ketahanan kimiawi ditunjukkan dengan terbentuknya
senyawa kimia yang mampu mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen.
Senyawa yang dimaksud dapat berupa metabolit sekunder di antaranya senyawa
Universitas Sumatera Utara

alkaloida, fenol, flavonoida, glikosida, fitoaleksin, dan sebagainya. Senyawa metabolit
sekunder tersebut bersifat toksin dan menghambat pertumbuhan patogen yang dapat
merusak ketahanan tanaman. Mekanisme ini tidak menghambat pertumbuhan
tanaman, bahkan dapat meningkatkan produksi dan ketahanan terhadap stres
lingkungan pada beberapa tanaman (Vallad & Goodman 2004). Sebagai contoh
Pseudomonas fluorescens P60 mempunyai tiga mekanisme dalam mengendalikan
penyakit layu Fusarium yaitu menyerang daya tahan, antibiosis, dan plant growth
promoting rhizobacteria (PGPR) (Soesanto et al. 2010).

Ada empat mekanisme dalam menghambat perkembangan penyakit tanaman
di lapangan. Satu jenis agen antagonisme kemungkinan mempunyai satu atau lebih
mekanisme. Mekanisme tersebut adalah lisis, miselium agen antagonisme mampu
menghancurkan miselia dari penyakit sehingga mengakibatkan kematian penyakit
tersebut. Antibiosis, penyakit tidak mampu menembus daerah di sekitar agen
antagonis akibatnya terdapat daerah kosong antara agen antagonis dan penyakit.
Parasitisme, miselia dari agen antagonis mampu melilit miselia dari penyakit
yang berperan memparasiti miselia patogen mengakibatkan miselia penyakit menjadi
kosong dan patogen tersebut mati. Penghambatan di zona tumbuh, pertumbuhan agen
antagonisme lebih dominan dibandingkan dengan patogen sehingga ruang lingkupnya
hampir dipenuhi oleh perkembangan agen antagonis dan terdapat seperti pembatas
antara agen antagonis dengan patogen (Retnowati et al. 2002).


2.3 Pengujian Aktivitas Bahan Antijamur

Pengujian aktivitas bahan antimikroba secara in vitro dapat dilakukan melalui dua
cara. Cara pertama yaitu metode dilusi, cara ini digunakan untuk menentukan kadar
hambat minimum dan kadar bunuh minimum dari bahan antimikroba. Prinsip dari
metode dilusi menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi medium cair dan
sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Selanjutnya masing-masing tabung diisi
dengan bahan antimikroba yang telah diencerkan secara serial, kemudian seri tabung
diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan
konsentrasi terendah bahan antimikroba pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil
Universitas Sumatera Utara

biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan jamur merupakan
konsentrasi hambat minimum). Biakan dari semua tabung yang jernih ditumbuhkan
pada medium agar padat, diinkubasi selama 24 jam, dan diamati ada tidaknya koloni
jamur yang tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan pada medium padat yang
ditunjukan dengan tidak adanya pertumbuhan jamur adalah merupakan konsentrasi
bunuh minimum bahan antimikroba terhadap jamur uji (Tortora et al. 2001).

Cara kedua yaitu metode difusi cakram (Uji Kirby-Bauer). Prinsip dari metode
difusi cakram adalah menempatkan kertas cakram yang sudah mengandung bahan
antimikoba tertentu pada medium lempeng padat yang telah dicampur dengan jamur
yang akan diuji. Medium ini kemudian diinkubasi pada suhu 37
o
C selama 18-24 jam,
selanjutnya diamati adanya zona jernih di sekitar kertas cakram. Daerah jernih yang
tampak di sekeliling kertas cakram menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba.
J amur yang sensitif terhadap bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah
hambatan disekitar cakram, sedangkan jamur yang resisten terlihat tetap tumbuh pada
tepi kertas cakram (Tortora et al. 2001).


2.4 Fusarium oxysporum Pada Tanaman Tomat

Di Indonesia penyakit layu sudah lama dikenal, tetapi pada umumnya orang menduga
bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Di negara-negara lain sudah lama dikenal
bahwa sebagian dari penyakit layu pada tanaman Solanaceae disebabkan oleh
Fusarium (Semangun 1996).

Fusarium oxysporum merupakan jamur patogen yang dapat menginfeksi
tanaman dengan kisaran inang sangat luas (Mess et al. 1999). J amur ini menyerang
jaringan bagian vaskuler dan mengakibatkan kelayuan pada tanaman inangnya dengan
cara menghambat aliran air pada jaringan xylem (De Cal et al. 2000).

Spora Fusarium yang berupa konidia dihasilkan dalam bentuk yang sederhana
atau sebagai spora enteroblastik, atau klamidospora merupakan kondisi spesies dalam
fase istirahat (Booth 1971). Koloni Fusarium biasanya berwarna merah muda sampai
Universitas Sumatera Utara

biru violet dengan bagian tengah koloni berwarna lebih gelap dibandingkan dengan
bagian pinggir. Saat konidium terbentuk, tekstur koloni menjadi seperti wol atau
kapas (Fran & Cook 1998). Di alam, jamur ini membentuk konidium. Konidiofor
bercabang-cabang dan makro konidium berbentuk sabit, bertangkai kecil, sering kali
berpasangan (Semangun 2004). Suhu optimum untuk pertumbuhan F. oxysporum
berkisar antara 24
o
C sampai 27
o
C (Abawi & Lorbeer 1972).

Fusarium sangat merugikan pertanian. Layu Fusarium dapat menyerang cabai
merah, tomat, kacang panjang, kentang, kubis dan mentimun (Deptan 2007). Famili
Solanaceae (tomat, kentang, terong, cabai dan tanaman lainnya) diinfeksi oleh jamur
yang dapat menyebabkan layu Fusarium dan layu Verticillium. Organisme penyebab
penyakit biasanya masuk melalui akar muda dan kemudian tumbuh dan berkembang
sehingga akan mengkonduksi bagian pembuluh dari akar dan batang. Di bagian
pembuluh batang tersumbat dan gagal menyalurkan air ke daun (Miller et al. 2004).

Pengendalian penyakit layu Fusarium cukup sulit karena patogen Fusarium
dapat bertahan lama dalam tanah. Tanah yang sudah terinfestasi sukar dibebaskan
kembali dari jamur ini. J amur juga menginfeksi tanaman pada bagian akar.
Kelembapan tanah yang membantu tanaman berkembang, ternyata juga membantu
perkembangan patogen ini. Pengendalian menggunakan fungisida tidak memberikan
hasil yang memuaskan (Semangun 2000), selain itu penggunaan fungisida sintetik
secara terus-menerus juga dapat menyebabkan munculnya populasi patogen yang
lebih tahan dan akan mencemari lingkungan (Freeman et al. 2002).


2.5 Agen Pengendali Hayati

Pengertian agen hayati (biokontrol) menurut FAO adalah mikroorganisme alami
seperti bakteri, cendawan, virus dan protozoa, maupun hasil rekayasa genetik
(genetically modified microorganisms) yang digunakan untuk mengendalikan
organisme pengganggu tumbuhan. Agen hayati tidak hanya meliputi mikroorganisme,
tetapi juga organisme yang ukurannya lebih besar dan dapat dilihat secara kasat mata
seperti predator atau parasitoid untuk membunuh serangga. Dengan demikian,
Universitas Sumatera Utara

pengertian agen hayati perlu dilengkapi dengan kriteria menurut FAO yaitu organisme
yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, arthropoda
pemakan tumbuhan, dan patogen (Supriadi 2006).

Pengendalian hayati jamur penyakit tanaman sering dilakukan dengan
menggunakan mikroba seperti jamur dan bakteri. Sumber biologi untuk pengendalian
hama dan penyakit tanaman tetap merupakan alternatif potensial yang penting sebagai
pengganti pestisida, dan sering dianjurkan untuk mengganti pengendalian berbasis
kimia terhadap penyakit atau untuk mengendalikan penyakit yang jika dikendalikan
dengan bahan kimia tidak ekonomis (Suryanto 2009). Salah satu pertimbangan dalam
memilih agen pengendali hayati berupa kemampuan biopestisida bertahan dalam
waktu lama dan tidak memerlukan tempat penyimpanan khusus (Powell & Faull
1989).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri
dalam menghambat jamur patogen, seperti Pseudomonas fluorescens GI34 dan
Bacillus subtilis BBO1 yang digunakan untuk mengendalikan penyakit pustul pada
tanaman kedelai yang disebabkan oleh Phaeoisariopsis griseola (Dirmawati 2005).
Beberapa bakteri dari genus Bacillus, seperti B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B.
megaterium dan B. pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk
mengendalikan pertumbuhan jamur Fusarium sp. (El-Hamshary & Khattab 2008).
Beberapa bakteri lain yang dimanfaatkan sebagai biokontrol yaitu Pseudomonas
putida terhadap Fusarium oxysporum (Boer et al. 2003), P. fluorescens terhadap
Ganoderma boninense (Susanto et al. 2005), P. sutzeri terhadap F. Solani dan B.
circulans, Streptomyces, Nocardia terhadap F. solani (Potgieter & Alexander 1966),
Rhizobium leguminosorum terhadap Phytium sp. (Bardin et al. 2004).

Menurut Mansoor et al. (2007), berdasarkan uji in vitro aplikasi Pseudomonas.
aeruginosa dapat menghambat diameter pertumbuhan Macrophomina phaseoilina,
Rhizoctonia solani dan Fusarium oxysporum dengan menghasilkan zona
penghambatan secara berturut-turut 2, 6, dan 10 mm. Menurut Azadeh & Meon
(2009), P. aeruginosa strain UPM P3 berpotensi menekan patogen Ganoderma
boninense, penyebab penyakit busuk batang Basal Stem Rot (BSR) pada kelapa sawit.
Universitas Sumatera Utara

Menurut Saikia et al. (2006), P. aeruginosa dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman padi dan menekan penyakit hawar daun yang disebabkan oleh Rhizoctonia
solani.

Menurut Suryanto et al. (2010), isolat bakteri kitinolitik yang diisolasi dari
tanah memiliki kemampuan dalam menghambat jamur Fusarium oxysporum penyebab
layu Fusarium pada kecambah cabai merah. Isolat tersebut adalah BK08, BK09,
KR05, LK08, dan BK07 yang memiliki potensi sebagai agen biokontrol. Isolat bakteri
kitinolitik asal tanah memiliki kemampuan dalam menghambat jamur patogen seperti
Ganoderma boninense, Penicillium citrinum, dan Fusarium oxysporum (Suryanto et
al. 2011).






















Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai