FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
1
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA Aspek Aspek Budaya Mengantri dalam Masyarakat
A. Latar Belakang Kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan, dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya secara berkesinambungan (Herimanto dan Winaryo, 2012). Jadi generasi berikutnya (anak-anak) hanya meniru. Dalam kebudayaan asli kita hampir tidak ada antri, yang didahulukan itu adalah yang lebih tua, yang lebih terhormat atau yang lebih kuat. Bukan yang datang duluan. Yang lebih muda, tidak punya pangkat, lebih lemah dan lebih miskin, harus mengalah. Ini ciri kebudayaan feodal, di mana ada juragan (pamong, bangsawan, hartawan, bos dan tentara) di satu pihak dan ada wong cilik (kawula, buruh, abdi, kuli, hamba dan budak) di pihak yang lain. Antri yang dimaksud bukan hanya sekedar berjejer menunggu giliran untuk memperoleh atau untuk melakukan sesuatu (Oxford Dictionary), namun antri yang dimaksud juga harus menerapkan nilai-nilai dan prinsip antri itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa antri telah ada sejak zaman dahulu kala, dan biasanya berkembang di suatu daerah yang memiliki penduduk dengan tingkat intelegensi dan kemasyarakatan yang tinggi. Yunani kuno misalnya, masyarakatnya selalu patuh pada norma antri dalam setiap kesempatan meskipun hal itu lebih dikarenakan kekuasaan raja yang memiliki kedudukan tinggi di hati rakyatnya. Contoh lain adalah dari artefak di pinggiran kota Roma, yang menunjukan bahwa pada zaman Romawi kuno antri telah menjadi budaya pada daerah itu. Dapat dilihat bahwa orang berbondong- bondong dengan rapi saat akan menyaksikan pertunjukan di Collosseum. Masih banyak bukti yang menunjukkan bahwa antri telah ada sejak zaman kuno, utamanya di daerah Eropa. Oleh masyarakat barat, budaya antri seperti telah benar-benar mendarah daging. Budaya antri tersebut menurut kami mempengaruhi atau berhubungan dengan kemajuan pola pikir masyarakat pelaku budaya antri tersebut. Sehingga dapat
2
dikatakan bahwa masyarakat yang baik dalam menjalankan antri maka baik pula pola pikir dan kehidupan sosialnya. Bangsa yang baik dalam menjalankan antri maka baik pula pola pikir dan kehidupan sosial bangsa tersebut.
Lokasi survei : Supermarket (Hardys). Jl. Ngurah Rai No.85, Gianyar, Bali
Gambar 1. Suasana mengantri saat pembayaran di kasir
Waktu survei : Sabtu 31 Maret 2014. Pukul 18:14 WITA Narasumber : Kristin Ratnawati Komentar narasumber : Menurut ibu Kristin budaya mengantri adalah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena dari budaya mengantri kita dapat belajar mengenai nilai nilai seperti kesabaran, rasa menghargai, toleransi, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya. Menurutnya, budaya mengantri di Indonesia pada umumnya, dan di Bali pada khususnya belum sepenuhnya maksimal karena masih ada pihak pihak yang lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Ibu Kristin juga berpendapat bahwa budaya mengantri ini sudah seharusnya diajarkan sejak masa kecil.
3
B. Aspek Aspek Budaya Mengantri dalam Masyarakat Dalam hal pewarisan budaya bisa muncul masalah seperti sesuai atau tidaknya budaya warisan tersebut dengan dinamika masyarakat jaman sekarang (Herimanto dan Winaryo, 2012). Seperti halnya di Indonesia yang sangat sulit untuk menerapkan budaya antri. Terdapat alasan yang kuat mengapa budaya antri yang baik di negara- negara maju, khususnya negara barat dan Jepang dapat membuat kagum bangsa lain. Hal itu dikarenakan tidak lain karena terdapat aspek-aspek istimewa yang terkandung dalam budaya antri tersebut. Aspek-aspek dalam budaya antri tersebut menunjang kemajuan pola pikir dan kemajuan kehidupan sosial masyarakat suatu bangsa. Dalam budaya antri mengandung aspek kedisiplinan. Tentu saja dalam antri kita dituntut bersikap disiplin. Tidak ragu terhadap keputusannya dan mantap menjalani antrian. Aspek kedisiplinan juga ditunjang dengan aspek tanggung jawab. Artinya orang antri harus dapat mempertanggungjawabkan posisinya. Mampu mempertahankan posisi dan berusaha keluar dari pengaruh buruk yang dapat sewaktu-waktu terjadi. Selain kedisiplinan dan tanggung jawab, budaya antri juga mengajari kita menjadi dewasa. Dewasa dalam arti kita dibimbing untuk berpikir bahwa masalah tidak benar- benar selesai dengan jalan curang. Kita dipaksa berpikir dewasa bahwa dengan sedikit menunggu dan sedikit belajar, pasti akan datang juga waktunya bagi kita. Dengan kata lain, belajar menjadi dewasa sama dengan memajukan pola pikir dan intelegensi. Dengan budaya antri kita dapat memahami bahwa dengan menyatukan pola pikir maka kita akan dapat membangun pondasi yang kuat untuk Indonesia yang sejahtera. Selain itu aspek yang lainnya adalah respek. Dalam budaya antri kita diajari untuk toleransi terhadap yang lainnya. Kita harus belajar respek. Dengan adanya respek maka akan muncul perasaan iba dengan penderitaan orang lain. Dengan toleransi maka akan tumbuh perasaan saling memahami bahwa semua dihadapkan dalam kondisi yang sama. Dengan respek pula kita dapat menilai bahwa dengan antrian yang baik maka proses menggapai tujuan akan berjalan lancar.
4
Apabila membicarakan budaya antri maka terasa kurang apabila tidak membahas kesabaran. Antri sangat erat kaitannya dengan kesabaran. Orang yang tidak mau antri maka dapat dikatakan dia orang yang tidak sabar. Dalam hal ini tidak sabar dapat disebabkan oleh berbagai alasan, mungkin karena situasi pikiran yang kondusif, namun bisa juga karena memang sedang dikejar-kejar waktu dan dalam jadwal yang padat. Namun yang pasti orang-orang semacam itu tidak dapat mengendalikan pikiran dan emosinya sehingga mendapat kesan selalu terburu-buru. Dan orang seperti adalah orang yang paling tidak suka melakukan budaya antri. Dan akibatnya akan timbul pemikiran-pemikiran jahat dan menyebabkan kerusakan- kerusakan barisan antrian dan lain sebagainya. Banyak sekali aspek atau nilai yang dapat kita ambil dari budaya antri. Namun nilai utama dan yang paling utama adalah bahwa budaya antri mengajari kita tentang persamaan. Budaya antri tidak mengenal gender, jabatan, agama, ras atau warna kulit. Budaya antri membuka mata kita bahwa semua orang itu sama, memiliki hak dan kewajiban untuk memperoleh sesuatu, tidak peduli latar belakangnya. Sikap menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi persamaan inilah yang sangat jarang kita temui di negeri tercinta ini. Budaya Antri sudah tidak dikenal lagi di Indonesia , hanya orang - orang yang tahu etika dan beradab yang masih memakanya. Kenyataan yang jelek bahwa orang Indonesia masih sering mau menang sendiri dan tidak peduli dengan orang lain apalagi di kota-kota besar yang sangat padat dan sudah semakin individualis. Apakah sebab orang kita dikenal tidak dapat berdisiplin untuk antri? Pertama tentu karena kesadaran bermasyarakatnya kurang. Kedua, karena rasa ego yang berlebihan dan ingin cepat dan enak sendiri. Ketiga, karena bangsa Indonesia terkenal luwes. Padahal syarat mutlak antrian dapat tertib adalah rasa lugas itu. Yang dulu dilayani duluan, yang kemudian menyusul atau lebih dikenal dengan istilah first in first out (FIFO). Antrian yang lancar memang tak kenal tua atau muda, pria atau wanita, kaya- atau miskin.
5
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. Hilangnya Budaya Antri di Masyarakat http://sosbud. kompasiana.com/2012/08/07/hilangnya-budaya-antri-di-masyarakat- 484171.html diakses 5 april 2014 Herimanto, Winarno. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Askara Irfan. 2009. budaya-antri-indonesia http://jawaposting.blogspot.com/2009/10/budaya- antri-indonesia.html diakses 5 april 2014 Irsyadi, AC. 2011. Budaya Antri di Masyarakat http://afifchoirulirsyadi.blogspot. com/2011/11/blog-post.html diakses 5 april 2014 Rasimun. 2011 Budaya Antri dan Hilangnya Nilai Nilai http://rasimunway. blogspot.com/2011/11/budaya-antri-dan-hilangnya-nilai-nilai.html Wariani, I. 2012. Budaya Antri http://girlsindaah.blogspot.com/2012/05/budaya- antri.html diakses 5 april 2014