2. Proses terjadinya masalah a. Pengertian Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2005). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis luasnya (Brunner & Suddart, 2002). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006). Tulang belakang atau vertebrae merupakan suatu satu kesatuan yang kuat diikat oleh ligamen di depan dan di belakang serta dilengkapi diskus intervertebralis yang mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan atau trauma yang memberikan sifat fleksibel dan elastis. Semua trauma tulang belakang harus dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transpotasi ke rumah sakit harus diperlakukan dengan hati-hati. Trauma tulang dapt mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset, tulang belakang dan medulla spinalis. Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga(22%), terjatuh dari ketinggian (24%), kecelakaan kerja. Fraktur atau cidera vertebrae menurut kestabilannya terbagi menjadi cedera stabil dan cedera tidak stabil. Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek, Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen posterior. Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiograf. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior). Pembagian bagian kolumna vertebralis adalah sebagai berikut : 1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan duapertiga bagian anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis 2. kolumna media yang terbentuk dari satupertiga bagian posterior dari corpus vertebralis, diskus dan annulus vertebralis 3. kolumna posterior yang terbentuk dari pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa b. Etiologi 1. Trauma langsung yang menyebabkan terjadinya fraktur pada titik terjadinya trauma tersebut. Misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil maka tulang akan patah tepat di tempat benturan. 2. Trauma tidak langsung yang meyebabkan fraktur di tempat yang jatuh dari tempat terjadinya trauma. 3. Trauma akibat tarikan otot. 4. Trauma akibat faktor patologis, misalnya adanya metastase kanker tulang yang dapat melunakkan struktur tulang dan menyebabkan fraktur, ataupun adanya penyakit osteoporosis
c. Patofisiologi Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan rneningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause. Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini merupakan keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkn syok neurogenik. (Mansjoer Arief, 2002). Kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralisis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati di mulai dan di tempat patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yg disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati (Mansjoer Arief, 2002). Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cidera; emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih; dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera, dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID). a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur, yaitu: 1) Faktor Ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. 2) Faktor Intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang. b. Biologi penyembuhan tulang Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: 1) Stadium satu (pembentukan hematoma) Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 2) Stadium dua (proliferasi seluler) Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung jenis fraktur. 3) Stadium tiga (pembentukan kallus) Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 4) Stadium empat (konsolidasi) Bila aktivitas osteoklast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoklast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoklast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. 5) Stadium lima (remodelling) Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus- menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. d. Tanda dan gejala 1. Deformitas adalah pergeseran fragmen pada fraktur 2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti : a. Rotasi pemendekan tulang b. Penekanan tulang 3. Bengkak: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur 4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur. 5. Tendernes/keempukan 6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan 7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan) 8. Pergerakan abnormal 9. Syok hipovolemik dari hilangnya hasil darah 10. Krepitasi, terjadi akibat gesekan antara fragmen satu dengan fragmen yang lainnya e. Kemungkinan Komplikasi yang Muncul 1. Dini a. Compartement syndrome Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedem atau perdarahan yang menekan otot, saraf dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips, dan pembebatan yang terlalu kuat. Tekanan intracompartement dapat diukur langsung dengan cara whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus dilakukan fascioterapi. b. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedi infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plate. c. Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia. d. Syok Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi, biasanya terjadi pada fraktur (Padila, 2012). 2. Lanjut a. Malunion Biasanya terjadi pada fraktur yang komminutiva sedang immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi (untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi). b. Delayed union Terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat diatasi dengan operasi bonegraft alih tulang spongiosa. c. Non union Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut cara papineau. d. Kekakuan sendi Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisioterapi. f. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang 1. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan dikumpulkan, pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara berurutan dari kepala sampai ke jari kaki: a. Inspeksi Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit pucat, laserasi, kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya faktur, adanya spasme otot dan keadaan kulit. b. Palpasi Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakan otot oleh sentuhan kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan di daerah luka insisi. c. Perkusi Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur. d. Auskultasi Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada pasien fraktur pemeriksaan ini pada areal yang sakit jarang dilakukan.
2. Pemerikasaan Penunjang 1. Foto Rontgen a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung b. Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik
2. Artelogram bila ada kerusakan vaskuler 3. Hitung darah lengkap HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal setelah fraktur. 4. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau trauma hati. 5. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray: a. Bayangan jaringan lunak b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi 6. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. 7. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. 8. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. 9. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. g. Terapi yang Dilakukan Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi. 1. Rekognasi Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovaskular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cidera harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih parah. Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya (Smeltzer C dan B. G Bare, 2001). 2. Traksi Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu: a. Skin Traksi Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam). b. Skeletal traksi Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang. 3. Reduksi Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu: a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation) Pada fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. 4. Imobilisasi Fraktur Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 5. Operatif Apabila terjadi dislokasi yang cukup lebar atau permukaan sendi tibia hilang lebih dari 2 mm, dilakukan reduksi terbuka dan dipasang fiksasi interna satu dengan batress plate dan cancellous screw.
3. Pohon Masalah (Pathway, Masalah Keperawatan yang Muncul, dan Data yang Perlu Dikaji a. Pohon Masalah
Putusnya vena/arteri Laserasi kulit Protein plasma hilang Edema Kerusakan integritas kulit Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer Trauma langsung Fraktur Trauma tidak langsung Kondisi patologis Pergeseran fragmen tulang Diskontinuitas tulang Spasme otot Nyeri akut Pergeseran fragmen tulang Kerusakan fragmen tulang Perubahan jaringan sekitar Tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari kapiler Deformitas Peningkatan tekanan kapiler Pelepasan katekolamin Gangguan fungsi ekstremitas Hambatan mobilitas fisik Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak Bergabung dengan trombosit Emboli Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh darah Perdarahan Kehilangan volume cairan Resiko syok (hipovolemik) b. Masalah keperawatan yang muncul a. Nyeri akut b. Kerusakan integritas kulit c. Hambatan mobilitas fisik d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer e. Resiko syok (hipovolemik)
c. Data yang Perlu Dikaji Pengkajian a. (Pengkajian primer) 1. Airway: Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuK 2. Breathing: Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi 3. Circulation: TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut b. (Pengkajian sekunder) 1. Aktivitas/istirahat: kehilangan fungsi pada bagian yang terkena, Keterbatasan mobilitas 2. Sirkulasi: hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah), takikardi, penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, Capilary refill time melambat, pucat pada bagian yang terkena, masa hematoma pada sisi cedera 3. Neurosensori: kesemutan, deformitas, krepitasi, pemendekan, kelemahan 4. Kenyamanan: nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme/ kram otot 5. Keamanan: laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal
4. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik akibat pergeseran fragmen tulang b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi ekstremitas c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik d. Resiko infeksi sekunder berhubungan dengan luka terbuka e. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume cairan
5. Rencana Tindakan Keperawatan No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Rasional 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik akibat pergeseran fragmen tulang
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama....x....jam nyeri pasien dapat teratasi Kriteria Hasil: 1. Pasien tidak meringis kesakitan 2. Menunjukkan teknik relaksasi secara individu yang efektif 3. Skala nyeri berkurang
1. Kaji tanda-tanda vital
2. Kaji skala nyeri (skala PQRST) 3. Atur posisi pasien senyaman mungkin 4. Anjurkan teknik relaksasi (napas dalam) 5. Kolaborasi: pemberian analgesik 1. Mengetahui kondisi umum pasien 2. Mengetahui tingkat nyeri pasien
3. Mengurangi rasa nyeri
4. Mengurangi rasa nyeri
5. Analgesik dapat memblok reseptor nyeri pada susunan saraf pusat 2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi ekstremitas
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selamaxjam diharapkan pasien meningkatkan mobilitas pada tingkat yang paling tinggi Kriteria Hasil: 1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
1. kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas 2. bantu dan dorong dalam perawatan diri pasien 3. mengubah posisi secara periodik sesuai dengan keadaan pasien 4. dorong atau pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari 5. berikan diet tinggi kalsium dan tinggi protein 1. untuk mengetahui seberapa kemampuan klien
2. meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi 3. mencegah terjadinya luka dekubitus atau komplikasi kulit
4. mempertahankan hidrasi yang adekuat dan mencegah konstipasi
5. kalsium dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan 3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selamaxjam, perawatan diri pasien terpenuhi Kriteria Hasil: Pasien dapat berpartisipasi pada aktivitas sehari-hari dalam meningkatkan perawatan dirinya
1. Kaji kemampuan klien
2. Bantu pasien dalam personal hygiene 3. Bekerjasama dengan klien untuk memprioritaskan tugas- tugasmerawat diri 4. Berikan motivasi dalam perawatan diri sesuai kondisi klien 5. Dorong atau gunakan teknik penghematan energi seperti dudukdalam melakukan aktivitas dan peningkatan bertahap. 6. Libatkan keluarga dalam perawatan klien 1. Kondisi dasar dapat menentukan kekurangan ataukebutuhan 2. untuk meningkatkan kontrol pasien dan kesehatan diri 3. meningkatkan kemampuan dalam perawatan diri
4. meningkatkan harga diri, meningkatkan rasa kontrol dankemandirian 5. menghemat energi atau menurunkan kelemahan danpeningkatan kemampuan klien
6. untuk pencapaian hasil yang maksimal harus ada partisipasiaktif anggota keluarga dan untuk mengukur derajatdari kemandirian pasien 4. Resiko infeksi sekunder berhubungan dengan luka terbuka
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama..x..jam diharapkan infeksi tidak terjadi Kriteria Hasil: 1. tidak ada tanda dan gejala infeksi 2. leukosit dalam batas normal
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan steril 2. Perawatan luka secara steril dan prosedur aseptik
2. untuk mencegah terjadinya infeksi atau meminimalkan kontaminasi kuman dari luar
3. leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi
4. untuk mematikan bakteri atau kuman penyebab infeksi. 5. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume cairan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama....x...jam klien tidak mengalami tanda- tanda syok Kriteria Hasil: 1. nadi dalam batas normal 2. irama jantung, frekuensi napas dan irama pernapasan dalam batas yang diharapkan 1. Kaji tanda-tanda vital
2. Monitor status sirkulasi, warna kulit, denyut jantung, irama jantung, dan kapiler refill 3. Monitor suhu dan pernapasan
4. Kolaborasi pemberian cairan infus yang tepat sesuai kebutuhan
1. Mengetahui tanda-tanda infeksi dari keadaan umum klien 2. Mengetahui tanda-tanda ketidaknormalan pada tubuh klien
3. Keadekuatan pernapasan dapat melancarkan transportasi oksigen ke seluruh tubuh 4. Pemberian cairan yang tepat mengurangi resiko kekurangan cairan dan sesuai dengan terapi
5. Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala syok 5. Memberikan pengetahuan dan segera melaporkan apabila terlihat tanda dan gejala syok