Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


FRAKTUR VERTEBRAE
Oleh: Jayanta Permana Hargi, S.Kep (072311101008)


1. Kasus
Fraktur Vertebrae

2. Proses terjadinya masalah
a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon,
kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2005). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis luasnya (Brunner
& Suddart, 2002). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan
tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006).
Tulang belakang atau vertebrae merupakan suatu satu kesatuan yang kuat
diikat oleh ligamen di depan dan di belakang serta dilengkapi diskus
intervertebralis yang mempunyai daya absorbsi tinggi terhadap tekanan
atau trauma yang memberikan sifat fleksibel dan elastis. Semua trauma
tulang belakang harus dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal
pertolongan pertama dan transpotasi ke rumah sakit harus diperlakukan
dengan hati-hati. Trauma tulang dapt mengenai jaringan lunak berupa
ligament, discus dan faset, tulang belakang dan medulla spinalis. Penyebab
trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan
olah raga(22%), terjatuh dari ketinggian (24%), kecelakaan kerja.
Fraktur atau cidera vertebrae menurut kestabilannya terbagi menjadi cedera stabil
dan cedera tidak stabil. Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan
hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser
dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla
spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera
stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser dengan gerakan
normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek, Fraktur medulla spinalis
disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen posterior.
Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiograf.
Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik
kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yamg harus
dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media
dan kompleks anterior (kolumna anterior). Pembagian bagian kolumna
vertebralis adalah sebagai berikut :
1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan duapertiga
bagian anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis
2. kolumna media yang terbentuk dari satupertiga bagian posterior dari
corpus vertebralis, diskus dan annulus vertebralis
3. kolumna posterior yang terbentuk dari pedikulus, sendi-sendi permukaan,
arkus tulang posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa
b. Etiologi
1. Trauma langsung yang menyebabkan terjadinya fraktur pada titik
terjadinya trauma tersebut. Misalnya tulang kaki terbentur bumper
mobil maka tulang akan patah tepat di tempat benturan.
2. Trauma tidak langsung yang meyebabkan fraktur di tempat yang jatuh
dari tempat terjadinya trauma.
3. Trauma akibat tarikan otot.
4. Trauma akibat faktor patologis, misalnya adanya metastase kanker
tulang yang dapat melunakkan struktur tulang dan menyebabkan
fraktur, ataupun adanya penyakit osteoporosis

c. Patofisiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi
pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor.
Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
daripada laki-laki yang berhubungan dengan rneningkatnya insidens
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause.
Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks,
sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah
ini merupakan keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab
dapat menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi
menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera yang apabila di
tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang
mengakibatkn syok neurogenik. (Mansjoer Arief, 2002). Kerusakan pada
sistem persarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat
berakibat paralisis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan
gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera. Sewaktu tulang patah
perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan
sisa-sisa sel mati di mulai dan di tempat patah terdapat fibrin hematoma
fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru.
Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yg
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru
mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati (Mansjoer Arief,
2002).
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat fatal
dalam beberapa jam setelah cidera; emboli lemak, yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih; dan sindrom kompartemen, yang berakibat
kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera.
Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan fraktur adalah infeksi,
tromboemboli (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian beberapa
minggu setelah cedera, dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur, yaitu:
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan
jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang
baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium satu (pembentukan hematoma)
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang
yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali.
2) Stadium dua (proliferasi seluler)
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi
fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone
marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung jenis fraktur.
3) Stadium tiga (pembentukan kallus)
Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi
oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium empat (konsolidasi)
Bila aktivitas osteoklast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoklast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoklast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium lima (remodelling)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-
menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya.
d. Tanda dan gejala
1. Deformitas adalah pergeseran fragmen pada fraktur
2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
3. Bengkak: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi
darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
4. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
5. Tendernes/keempukan
6. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
8. Pergerakan abnormal
9. Syok hipovolemik dari hilangnya hasil darah
10. Krepitasi, terjadi akibat gesekan antara fragmen satu dengan fragmen
yang lainnya
e. Kemungkinan Komplikasi yang Muncul
1. Dini
a. Compartement syndrome
Merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedem atau perdarahan yang menekan otot, saraf
dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti
gips, dan pembebatan yang terlalu kuat. Tekanan
intracompartement dapat diukur langsung dengan cara whitesides.
Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus dilakukan
fascioterapi.
b. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedi infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi juga bisa karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plate.
c. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkmans Ischemia.
d. Syok
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi, biasanya terjadi pada fraktur (Padila, 2012).
2. Lanjut
a. Malunion
Biasanya terjadi pada fraktur yang komminutiva sedang
immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi
(untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi).
b. Delayed union
Terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi
atau pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat diatasi dengan
operasi bonegraft alih tulang spongiosa.
c. Non union
Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai
dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone
grafting menurut cara papineau.
d. Kekakuan sendi
Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada
persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal
ini dapat diatasi dengan fisioterapi.
f. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya dilakukan setelah riwayat kesehatan
dikumpulkan, pemeriksaan fisik yang lengkap biasanya dimulai secara
berurutan dari kepala sampai ke jari kaki:
a. Inspeksi
Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit pucat, laserasi,
kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya faktur, adanya spasme
otot dan keadaan kulit.
b. Palpasi
Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakan otot oleh sentuhan
kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana daerah yang sakit
biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan di daerah luka insisi.
c. Perkusi
Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasus fraktur.
d. Auskultasi
Pemeriksaan dengan cara mendengarkan gerakan udara melalui struktur
berongga atau cairan yang mengakibatkan struktur solit bergerak. Pada
pasien fraktur pemeriksaan ini pada areal yang sakit jarang dilakukan.

2. Pemerikasaan Penunjang
1. Foto Rontgen
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b. Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum
dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik

2. Artelogram bila ada kerusakan vaskuler
3. Hitung darah lengkap HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal
setelah fraktur.
4. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah
transfusi multiple atau trauma hati.
5. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi
6. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
7. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
8. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.
9. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
g. Terapi yang Dilakukan
Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi
dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
1. Rekognasi
Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai
neurovaskular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui
kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cidera
harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih
parah. Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai
petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan
bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus
dilakukan pada cidera tulang belakang bagian servikal, di mana
contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala menunjukkan
perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan fraktur
tulang belakang bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan
diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya (Smeltzer C dan B.
G Bare, 2001).
2. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang
fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu:
a. Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan
bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang
cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang
cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan
memasukkan pins / kawat ke dalam tulang.
3. Reduksi
Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2
yaitu:
a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup,
traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu
yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap sama.
b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau
yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur
yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal
dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan
dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang
biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah
fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan
untuk dressings.
4. Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
5. Operatif
Apabila terjadi dislokasi yang cukup lebar atau permukaan sendi tibia
hilang lebih dari 2 mm, dilakukan reduksi terbuka dan dipasang fiksasi
interna satu dengan batress plate dan cancellous screw.













3. Pohon Masalah (Pathway, Masalah Keperawatan yang Muncul, dan Data
yang Perlu Dikaji
a. Pohon Masalah










































Putusnya
vena/arteri
Laserasi kulit
Protein plasma hilang
Edema
Kerusakan integritas kulit Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer
Trauma langsung
Fraktur
Trauma tidak langsung Kondisi patologis
Pergeseran fragmen tulang Diskontinuitas tulang
Spasme otot
Nyeri akut
Pergeseran fragmen tulang
Kerusakan fragmen tulang
Perubahan jaringan sekitar
Tekanan sumsum tulang
lebih tinggi dari kapiler
Deformitas
Peningkatan tekanan
kapiler
Pelepasan katekolamin
Gangguan fungsi ekstremitas
Hambatan mobilitas fisik
Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak
Bergabung dengan trombosit
Emboli
Penekanan pembuluh
darah
Menyumbat pembuluh
darah
Perdarahan
Kehilangan volume cairan
Resiko syok
(hipovolemik)
b. Masalah keperawatan yang muncul
a. Nyeri akut
b. Kerusakan integritas kulit
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
e. Resiko syok (hipovolemik)

c. Data yang Perlu Dikaji
Pengkajian
a. (Pengkajian primer)
1. Airway: Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuK
2. Breathing: Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas,
timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
3. Circulation: TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi
pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap
dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,
sianosis pada tahap lanjut
b. (Pengkajian sekunder)
1. Aktivitas/istirahat: kehilangan fungsi pada bagian yang terkena,
Keterbatasan mobilitas
2. Sirkulasi: hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),
takikardi, penurunan nadi pada bagian distal yang cidera,
Capilary refill time melambat, pucat pada bagian yang terkena,
masa hematoma pada sisi cedera
3. Neurosensori: kesemutan, deformitas, krepitasi, pemendekan,
kelemahan
4. Kenyamanan: nyeri tiba-tiba saat cidera, spasme/ kram otot
5. Keamanan: laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan lokal

4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik akibat pergeseran
fragmen tulang
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
ekstremitas
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan mobilitas fisik
d. Resiko infeksi sekunder berhubungan dengan luka terbuka
e. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan dengan kehilangan volume
cairan

5. Rencana Tindakan Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria
Hasil
Rencana Tindakan Rasional
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik akibat pergeseran fragmen
tulang

Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama....x....jam nyeri
pasien dapat teratasi
Kriteria Hasil:
1. Pasien tidak meringis
kesakitan
2. Menunjukkan teknik
relaksasi secara
individu yang efektif
3. Skala nyeri berkurang

1. Kaji tanda-tanda vital

2. Kaji skala nyeri (skala
PQRST)
3. Atur posisi pasien
senyaman mungkin
4. Anjurkan teknik
relaksasi (napas dalam)
5. Kolaborasi: pemberian
analgesik
1. Mengetahui kondisi umum
pasien
2. Mengetahui tingkat nyeri pasien

3. Mengurangi rasa nyeri

4. Mengurangi rasa nyeri

5. Analgesik dapat memblok
reseptor nyeri pada susunan
saraf pusat
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan gangguan fungsi ekstremitas

Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selamaxjam
diharapkan pasien
meningkatkan mobilitas
pada tingkat yang paling
tinggi
Kriteria Hasil:
1. Klien meningkat dalam
aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas

1. kaji kemampuan klien
dalam melakukan
aktivitas
2. bantu dan dorong dalam
perawatan diri pasien
3. mengubah posisi secara
periodik sesuai dengan
keadaan pasien
4. dorong atau
pertahankan asupan
cairan 2000-3000
ml/hari
5. berikan diet tinggi
kalsium dan tinggi
protein
1. untuk mengetahui seberapa
kemampuan klien

2. meningkatkan kekuatan otot dan
sirkulasi
3. mencegah terjadinya luka
dekubitus atau komplikasi kulit

4. mempertahankan hidrasi yang
adekuat dan mencegah konstipasi


5. kalsium dan protein yang cukup
diperlukan untuk proses
penyembuhan
3. Defisit perawatan diri berhubungan
dengan gangguan mobilitas fisik















Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selamaxjam,
perawatan diri pasien
terpenuhi
Kriteria Hasil:
Pasien dapat
berpartisipasi pada
aktivitas sehari-hari dalam
meningkatkan perawatan
dirinya




1. Kaji kemampuan klien

2. Bantu pasien dalam
personal hygiene
3. Bekerjasama dengan
klien untuk
memprioritaskan tugas-
tugasmerawat diri
4. Berikan motivasi dalam
perawatan diri sesuai
kondisi klien
5. Dorong atau gunakan
teknik penghematan
energi seperti
dudukdalam melakukan
aktivitas dan
peningkatan bertahap.
6. Libatkan keluarga dalam
perawatan klien
1. Kondisi dasar dapat menentukan
kekurangan ataukebutuhan
2. untuk meningkatkan kontrol
pasien dan kesehatan diri
3. meningkatkan kemampuan
dalam perawatan diri


4. meningkatkan harga diri,
meningkatkan rasa kontrol
dankemandirian
5. menghemat energi atau
menurunkan kelemahan
danpeningkatan kemampuan
klien


6. untuk pencapaian hasil yang
maksimal harus ada
partisipasiaktif anggota keluarga
dan untuk mengukur derajatdari
kemandirian pasien
4. Resiko infeksi sekunder berhubungan
dengan luka terbuka

Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama..x..jam diharapkan
infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil:
1. tidak ada tanda dan
gejala infeksi
2. leukosit dalam batas
normal

1. Cuci tangan sebelum dan
sesudah aktivitas
walaupun menggunakan
sarung tangan steril
2. Perawatan luka secara
steril dan prosedur
aseptik

3. Analisa hasil
pemeriksaan
laboratorium

4. Kolaborasi pemberian
antibiotik.
1. mengurangi kontaminasi silang



2. untuk mencegah terjadinya
infeksi atau meminimalkan
kontaminasi kuman dari luar

3. leukositosis biasanya terjadi pada
proses infeksi


4. untuk mematikan bakteri atau
kuman penyebab infeksi.
5. Resiko syok (hipovolemik) berhubungan
dengan kehilangan volume cairan

Tujuan:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan
selama....x...jam klien
tidak mengalami tanda-
tanda syok
Kriteria Hasil:
1. nadi dalam batas
normal
2. irama jantung,
frekuensi napas dan
irama pernapasan
dalam batas yang
diharapkan
1. Kaji tanda-tanda vital

2. Monitor status sirkulasi,
warna kulit, denyut
jantung, irama jantung,
dan kapiler refill
3. Monitor suhu dan
pernapasan

4. Kolaborasi pemberian
cairan infus yang tepat
sesuai kebutuhan


1. Mengetahui tanda-tanda infeksi
dari keadaan umum klien
2. Mengetahui tanda-tanda
ketidaknormalan pada tubuh
klien

3. Keadekuatan pernapasan dapat
melancarkan transportasi oksigen
ke seluruh tubuh
4. Pemberian cairan yang tepat
mengurangi resiko kekurangan
cairan dan sesuai dengan terapi


5. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang tanda
dan gejala syok
5. Memberikan pengetahuan dan
segera melaporkan apabila
terlihat tanda dan gejala syok




Daftar Pustaka

Herdman,T. Heather. 2012. Nanda International Nursing Diagnosis: Definitions
& Classification 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.

Hudak dan Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistic. Jakarta: EGC

Nanda International. 2011. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014. Jakarta : EGC

Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA and NIC-NOC. Jakarta: Mediaction Publishing.

Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius FK UI

Smeltzer & Bare, 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8.Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai