Anda di halaman 1dari 47

Rahasia Dokter-Pasien Terhadap Penyakit Menular Seksual Pasien

Prilly Pricilya Theodorus


Mahasiswi Semester VII / 102009160 / C5
PBL 30 - Kasus 6

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk, Jakarta 11510
e-mail : prilly.p.theodorus@hotmail.com


Abstrak
Dewasa ini, setiap harinya terjadi hubungan timbal balik antara dokter-pasien. Salah
satunya ialah ketika pasien menggunakan haknya agar dokter menjaga informasi-informasi
yang dianggap pasien pribadi untuk tidak diberitahukan ke siapa saja bahkan sampai
keluarganya sendiri.
Jika sang dokter memberitahukan informasi tersebut tanpa sepengetahuan pasien,
maka pasien berhak menuntut dokter karena dokter tersebut telah melanggar kode etik
kedokteran. Akan tetapi, untuk sesuatu hal yang menyangkut hukum, dengan ketetentuan
tertentu, rahasia tersebut dapat dibuka dan dokter dilindungi dalah hal ini. Hal-hal mengenai
informasi rahasia umumnya berasal dari pasien yang mengalami penyakit keganasan, atau
juga penyakit menular seksual. Dengan ini, dokter berada dalam posisi terdesak karena ia
harus dengan baik dan bijak dalam menangani dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari
orang-orang terdekat pasien. Maka dari sinilah berangkatnya penerapan kode etik kedokteran.

Kata kunci : rahasia pasien, menuntut, dilindungi hukum, kode etik kedokteran.

PENDAHULUAN
Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, keputusan hendaknya
mempertimbangkan Etika Profesi Kedokteran. Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari
baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau
institusi dilihat dari moralitas.
A. Etika Profesi Kedokteran

Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri
sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada
Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran
juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang
dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-
buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi
moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis.
Penilaian baik-buruk, benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan
pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang
paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Deontologi
mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu
sendiri sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan
melihat hasil atau akibatnya. Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi
dan budaya, sedangkan teologi lebih kearah penalaran (reasoning) dan pembenaran
(justifikasi) kepada azas manfaat.
1

Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah
penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat
dibersamakan dengan prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi
berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan
mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan prima facie. Konsil
Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan
bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral (sering
disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika), juga prima facie dalam penerapan
praktiknya.




Kaidah dasar tersebut ialah :
1. Beneficence
Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan
kesehatannya (patient welfare). Pengertian berbuat baik diartikan bersikap
ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajiban. Kaidah ini secara
amnya bermaksud melakukan yang terbaik untuk pasien. Apa sahaja yang
dilakukan adalah demi kebaikan pasien. Kebajikan pasien adalah yang paling
utama. Beneficense juga membawa arti menyediakan kemudahan dan
kesenangan kepada pasien seperti mengambil langkah positif untuk mengelak
dan mencegah kemusnahan daripada pasien.
1
Ciri-ciri bagi kaidah ini ialah :
Mengutamakan Alturisme yaitu rela berkorban dan menolong tanpa pamrih.
Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak hanya
menguntungkan dokter.
Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak di bandingkan
dengan keburukannya.
Paterbalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
Memaksimali pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
Minimalisasi akibat buruk
Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
Memberikan obat berkasiat
Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik seperti
yang orang lain inginkan.
Contoh dalam scenario adalah:
Dokter berusaha untuk mengobati secara menyeluruh hingga ke istrinya
sehingga tidak terjadi fenomena ping-pong.

2. Non-Maleficense
Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran
haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar
manfaatnya. Misalnya segera melakukan pemeriksaan karena kecurigaan.
Kaidah ini pula penting terutama sekali ketika waktu-waktu emergensi
atau gawat darurat. Kaidah ini bermaksud tidak menimbulkan bahaya atau
kecederaan kepada pasien dari segi fizikal atau psikologis. Prinsip non-
maleficense ini boleh digambarkan dengan kata ini yaitu primum non nocere
iaitu pertama jangan menyakiti. Prinsip ini menjadi satu kewajiban apabila :
Tindakan dokter tadi ialah yang paling efektif pada waktu itu.
manfaat bagi pasien adalah lebih berbanding manfaat kepada dokter.
Pasien berada dalam keadaan yang sangat berbahaya atau berisiko kehilangan
sesuatu yang penting sperti nyawa atau anggota badan.
1-2


Ciri-ciri kaidah Non-Maleficense ialah :
Menolong pasien emergensi
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien
Tidak menghina atau memanfaatkan pasien
Tidak memandang pasien sebagai obyek
Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
Tidak melakukan White collar Crime dalam bidang kesehatan atau
kerumahsakitan yang merugikan pihak pasien atau keluarganya
Memberikan semangat hidup
Melindungi pasien dari serangan
Manfaat bagi pasien lebih banyak dari pada kerugian dokter
Contoh dalam scenario adalah:
Mengobati penyakit pasien tersebut dan tidak membeberkan perihal
penyakit menular seksual yang dideritanya agar tidak dikucilkan.
Dokter pun tidak memarahi pasien akibat jajan yang menyebabkan
penyakit tersebut.
3. Autonomy
Menghormati martabat manusia (respect for person / autonomy).
Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus
diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan
nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau
hilang perlu mendapatkan perlindungan.
Misalnya dengan memberikan surat rujukan, tidak memberitahu penyakit
pasien kepada orang lain. Kaidah ini pula berarti pasien sendiri diberi hak untuk
berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri. Autonomy ini juga
bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela,
membiarkan pasien demi dirinya sendiri.
1-2
Ciri-ciri yang dimiliki kaidah ini ialah :
Menghargai hak menentukan nasib sendiri
Berterus terang
Menghargai privasi
Menjaga rahasia pasien
Melaksanakan Informed Consent
Contoh dalam scenario adalah:
Dokter berterus-terang mengenai gejala-gejala dan prognosis perjalanan
penyakitnya.
Sebelum melaksanakan pemeriksaan AIDS dokter memberikan informed
consent dahulu
Dokter tetap menyerahkan keputusan terhadap pasien perihal pengobatan
istrinya
Dokter tetap menjaga rahasia rekam medik pasien
4. Justice
Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi,
pandangan politik, agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan
kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan gender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan
lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter. Justice pula
adalah kaidah yang berarti pelakuan sama rata dan adil terhadap pasien untuk
kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut.
1-2
Ciri-ciri bagi kaidah ini ialah :
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
Menghargai hak sehat pasien
Menghargai hak hukum pasien
Menghargai hak orang lain
Menjaga kelompok rentan(yang paling merugikan)
Tidak membedakan pasien atas dasar SARA, status social, dll.
Tidak melakukan penyalahgunaan
Memberikan kontribusi yang sama terhadap pasien
Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat
Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit
Pembuatan keputusan etik terutama dalam situasi klinik, dapat juga
dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar
moral diatas. Jonsen, Siegler, dan Winslade mengembangkan teori etik yang
menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu:
1. Medical indication. Pada topic ini dimasukkan semua prosedur diagnostic dan
terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya.
Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama
menggunakan kadiah beneficence dan non-maleficence. Pertanyaan etika
pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada informed consent.
1

2. Patient preferences. Pada topic ini kita memperhatikan nilai dan penilaian
pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti
cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang
kompetensi pasien, sifat volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas
informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan
keyakinan yang dianut pasien, dan lain-lain.
3. Quality of life. Topic ini merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran,
yaitu, memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa,
siapa, dan bagaiman melakukan penilaian kualitas hidup merupakan
pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non-
maleficence, dan autonomy.
4. Contextual features. Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek
non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi,
agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya, dan faktor hukum.


Kode Etik Kedokteran Indonesia
Kodeki terdiri dari 4 kewajiban, yaitu kewajiban umum, kewajiban terhadap
pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri. Bunyi
pasal-pasalnya adalah:
Kewajiban Umum
- Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
- Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.

- Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi
oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
- Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
- Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.
- Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan
hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

- Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
- Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa
kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.


- Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien
- Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan
hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
- Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.

- Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang
menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-
sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-
benarnya.
- Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
- Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk
pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
- Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau
dalam masalah lainnya.


- Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
- Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
- Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
- Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
- Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.
- Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Hubungan Dokter dengan Pasien
Hubungan Hukum antara Dokter dengan Pasien
Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, dokter sebagai
pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.
Dokter yang pakar dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit.
Hubungan tanggungjawab tidak seimbang itu, menyebabkan pasien yang
karena keawamannya tidak mengetahui apa yang terjadi pada waktu tindakan medik
dilakukan, hal ini dimungkinkan karena informasi dari dokter tidak selalu dimengerti
oleh pasien.
Seringkali pasien tidak mengerti itu, menduga telah terjadi
kesalahan/kelalaian, sehingga dokter diminta untuk mengganti kerugian yang
dideritanya. Yang seringkali menjadi pendapat yang salah adalah bahwa setiap
kesalahan/kelalaian yang diperbuat oleh dokter harus mendapat gantirugi. Bahkan
kadang-kadang kalau ada sesuatu hal yang diduga terjadi malpraktek, maka dipakai
oleh pasien sebagai kesempatan untuk memaksa dokter membayar ganti rugi.
Pada penentuan bersalah tidaknya dokter dan pembayaran ganti rugi harus
dibuktikan terlebih dahulu dan ditentukan oleh hakim di Pengadilan. Masalahnya
dokter sangat rentan terhadap publikasi, sehingga seringkali dokter yang enggan
menjadi sorotan di media massa, membayar komplain pasien, tanpa melalui proses
hukum.
Kesalahan ini sering disalah gunakan oleh pasien, menyebabkan dokter akan
melindungi dirinya dengan berbagai cara untuk menghindari gugatan dari pasien.
Salah satu cara yaitu dengan mengalihkan tanggungjawab kepada pihak ketiga yaitu
asuransi ; atau bekerja ekstra hati-hati. Pada gilirannya pasien juga yang rugi, karena
biaya pengobatan menjadi lebih besar dan pasien yang harus menanggung beban.
Di Indonesia informed consent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/1989. Persetujuan tindakan medik
(informed consent) dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa,
faktor campur tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan,
faktor perbedaan kepentingan antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.
Sebab dalam konsep ini dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan
kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan
perhatiannya sesuai dengan standard profesinya. Jadi Seorang dokter dapat dikatakan
melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan profesinya, apabila dia tidak
memenuhi kewajibannya dengan baik, yang berdasarkan kemampuan tertinggi yang
dimilikinya sesuai dengan standard operasional (SOP).

Pola Komunikasi antara Dokter dengan Pasien
Komunikasi dokter-pasien yang efektif adalah terciptanya rasa nyaman dengan
terapi medis yang diberikan dokter pada pasien. Faktor perilaku dokter terhadap
pasiennya, kemampuan dokter untuk mendapatkan dan menghormati perhatian pasien,
tersedianya informasi yang tepat dan timbulnya empati serta membangun kepercayaan
pasien ternyata merupakan kunci yang menentukan dalam kenyamanan yang baik
dengan terapi medis pada pasien.
Sikap empati yang ditunjukkan oleh dokter kepada pasien akan menumbuhkan
rasa kepercayaan pasien kepada dokternya yang kemudian dapat menimbulkan
kepuasan dan kepatuhan pasien pada pengobatan. Komunikasi dokter pasien yang
efektif ditandai dengan adanya proses yang interaktif antara dokter dan pasien,
dimana terjadi penyampaian informasi yang timbal balik antara dokter dan pasien
secara efektif baik secara verbal maupun non verbal. Komunikasi yang kolaboratif,
proaktif dan menghargai pendapat pasien dalam pengambilan keputusan medis serta
ternyata dapat membawa efek yang baik bagi outcome pengobatan.
Saat ini diketahui bahwa terdapat beberapa pendekatan yang berbeda dalam
mengambil keputusan terapi terhadap pasien, yaitu: pendekatan paternalistik, berbagi
dan informatif (konsumeris). Masing-masing memiliki implikasi yang berbeda dalam
peran dokter terhadap pasien dalam hal mengkomunikasikan informasi dan untuk tipe,
jumlah dan arus informasi diantara keduanya.
1

Dokter yang mengadopsi pendekatan paternalistik kurang memiliki
ketertarikan dalam diskusi dan mendapatkan perhatian pasien. Dokter tipe ini
seringkali menginginkan deskripsi gejala fisik yang singkat sehingga mereka dapat
mengubahnya menjadi kategori diagnostik. Tipe murni pendekatan dokter semacam
ini dapat kemudian membuat suatu keputusan terapi yang menurut mereka terbaik
untuk pasien tanpa harus mengetahui nilai dan perhatian masing-masing pasien.
1
Dokter yang menggunakan pendekatan informatif terhadap pasien mengacu
pada suatu peran yang lebih aktif dalam menemukan masalah pasien dan menentukan
terapi yang tepat. Tipe murni peran dokter dalam pendekatan tipe ini meliputi
kesediaaan informasi penelitian yang relevan mengenai pilihan terapi beserta
keuntungan dan risiko terapi sehingga pasien dapat membuat keputusan yang jelas.
Hanya pada pendekatan berbagi, dokter berkomitmen kepada dirinya sendiri kepada
suatu hubungan interaktif dengan pasien dalam membangun suatu rekomendasi terapi
yang konsisten dengan nilai dan pilihan pasien. Untuk menciptakan hal ini terjadi,
dokter harus membuat suatu atmosfer terbuka dimana pasien dapat
mengkomunikasikan semua hal yang ada dalam agenda mereka. Pendekatan ini
memberikan pertukaran informasi yang membantu dokter memahami pasien dan
meyakinkan bahwa pasien diberikan informasi pilihan terapi beserta risiko dan
keuntungannya. Hal tersebut juga memudahkan pasien untuk mengetahui apakah
mereka merasa bahwa mereka dapat membangun suatu hubungan kepercayaan
dengan dokternya
B. Informed Concent
1-3

Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45
serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent
adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2
menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran
seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
1,2
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut,
tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis
yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan
sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
1-2
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:

1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran :
a. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
b. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter
yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1
Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan
tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada
persetujuan ( Ayat 2 ).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan
persetujuan tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera
bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi
situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
1,2
Tujuan Informed Consent:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan
medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )

Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery,
bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008,
persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan
kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak
(yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya.
4

Tiga elemen Informed consent:
1. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena
sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang
kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat
keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya
merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga
memiliki kompetensi yang penuh.
Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu
(keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa,
sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa
diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan
keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit
mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi
terganggu.
1-2

2. I nformation elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat
membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi
(disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang
adekuat.
Dalam hal ini, seberapa baik informasi harus diberikan kepada pasien, dapat
dilihat dari 3 standar, yaitu :
Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi
ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai
dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang tidak bermakna
(menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial
pasien.
Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara
pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut
dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara
individual dianut oleh pasien.



Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu
dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan
umumnya orang awam.

3. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun
paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.
1,2

Consent dapat diberikan :
(1) Dinyatakan (expressed)
a. Dinyatakan secara lisan
b. Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila
dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif
atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna.
Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua
jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

(2) Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun
melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun
consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling
banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan
lengannya ketika akan diambil darahnya.

Keluhan pasien tentang proses informed consent :
Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada
waktu untuk tanya jawab.
Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna
informasi
Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

Keluhan dokter tentang informed consent:
Pasien tidak mau diberitahu.
Pasien tak mampu memahami.
Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
1-2


C. Rahasia Kedokteran
Salah satu ayat lafal sumpah dokter Indonesia berdasarkan peraturan pemerintah
no 26 tahun 1960 berbunyi :saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui
karena pekerjaan saya dan arena keilmuan saya sebagai dokter. Dalam bab II KODEKI
tentang kewajiban dokter terhadap pasien dicantumkan antara lain: Seorang dokter wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien karena kepercayaan yang
diberikan kepadanya, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia.
2
Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan dokter, telah
dikeluarkan peraturan pemerintah No. 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia
kedokteran, dinyatakan bahwa menteri kesehatan dapat melakukan tindakan
administrated berdasarkan pasal 111 Undang-undang tentang kesehatan jika tidak dapat
dipidanakan menurut KUHP.

Rahasia pekerjaan dokter adalah segala sesuatu yang diketahui dan harus
dirahasiakan berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan setelah menyelesaikan
pendidikannya. Rahasia jabatan dokter adalah rahasia dokter sebagai pejabat struktural.

Untuk memahami rahasia jabatan ditilik dari sudut hukum,tingkah laku seorang
dokter dibagi menjadi 2 jenis :






1. Tingkah laku yang bersangkutann dalam pekerjaan sehari-hari
Dalam hal ini yang harus diperhatikan ialah :
a. Pasal 322 KUHP yang berbunyi :
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan
atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu ia diwajibkan
untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana perkara paling lama sembilan
bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah
(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang yang tertentu,maka perbuatan itu
hanya dituntut atas pengaduan orang tersebut .
Undang-undang ini diperkuat dengan luas norma-norma kesusilaan yang telah ada
karena tidak hanya mengancam pelanggaran yang dilakukan pada waktu si pelanggar
masih bekerja aktif.
a. Pasal 1365 KUH Perdata
Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannnya menyebabkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut

2. Tingkah laku dalam keadaan khusus
Menurut hukum, setiap warga Negara dapat dipanggil oleh pengadilan untuk didengar
sebagai saksi. Selain itu, seorang yang mempunyai keahlian dapat dipanggil sebagai
ahli. Dengan demikian, dapatlah terjadi, bahwa seorang yang mempunyai keahlian,
umpamanya seorang dokter, dipanggil sebagai saksi, sebagai ahli sekaligus sebagai
saksi ahli.
2
Sebagai saksi atau saksi ahli mungkin sekali ia diharuskan memberi keterangan
tentang seorang yang sebelum itu telah menjadi pasien yang diobatinya. Ini berarti ia
seolah-olah diharuskan melanggar rahasia pekerjaannya. Kejadian ini bertentangan
dan dapat dihindarkan karena adanya hak undur diri seperti yang tercantum dalam
pasal 277 reglemen Indonesia yang diperbaharui, bunyinya :
(1) Barang siapa yang martabatnya, pekerjaannya atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta mengundurkan ddari memberi
penyaksian, akan tetapi hanya dan terutama mengenai hal yang diketahuinya
dan dipercayakan kepadanya karena martabatnya, pekerjaannya atau
jabatannya itu.

Dalam pasal 48 UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pada paragraph 4
mengenai rahasia kedokteran, dinyatakan bahwa setiap dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpang rahasia kedokteran.
Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukumn permintaan
pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan undang-undang.
2

D. Aspek Hukum
Pemberian Pelayanan
Pasal 52
1. Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
2. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Pasal 53
1. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
3. Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien disbanding kepentingan
lainnya.

Pasal 54
1. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab,
aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.

Pasal 55
1. Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan.
2. Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
3


Perlindungan Pasien
Pasal 56
1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
2. Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam
masyarakat yang lebih luas;
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat.
3. Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57
1. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah
dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
2. Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.

Pasal 58
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
3. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3


Pasal 50 KUHP:
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang,
tidak dipidana.
Pasal 45 UU RI No.29 tahun 2004
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan
Penjelasan:
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan
medis adalah pasien yang bersangkutan. Namun, apabila pasien yang bersangkutan
berada dibawah pengampunan (under curatele) persetujuan atau penolakan
tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat antara lain suami/istri,
ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam
keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan
persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah
memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Dalam hal
pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar, maka penjelasan diberikan
kepada keluarganya atau yang mengantar. Apabila tidak ada yang mengantar dan
tidak ada keluarganya sedangkan tindakan medis harus dilakukan maka penjelasan
diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien
sudah sadar.
3
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sekurangkurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. alternatif tindakan lain dan risikonya
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Penjelasan:
Penjelasan hendaknya diberikan dalam bahasa yang mudah dimengerti karena
penjelasan merupakan landasan untuk memberikan persetujuan. Aspek lain yang
juga sebaiknya diberikan penjelasan yaitu yang berkaitan dengan pembiayaan
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan.
Penjelasan:
Persetujuan lisan dalam ayat ini adalah persetujuan yang diberikan dalam bentuk
ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang diartikan sebagai
ucapan setuju.
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi
harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan tindakan medis berisiko tinggi adalah seperti tindakan bedah
atau tindakan invasif lainnya.
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 diatur dengan
Peraturan Menteri
3


Pasal 17 Permenkes No.1419/Menkes/Per/I X/2005
6

1. Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang
tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
2. Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat 1 harus mendapat persetujuan dari
pasien.
3. Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2
dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan
Sanksi seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran:
Sanksi pidana
- penyerangan (assault)
- kalau seorang dokter melakukan operasi kepada pasien tanpa persetujuan
tindakan kedokteran dapat kena sanksi pidana Pasal 351 KUHP tentang
penganiayaan.
Sanksi perdata
- Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawwa kerugian kepada setiap orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian itu.

- Pasal 1367 KUH Perdata
Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang orang yang
menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang barang yang berada di
bawah tanggungannya.


- Pasal 1370 KUH Perdata
dalam hal terjadi pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya, maka suami
atau istri, anak, orang tua korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan
korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus dinilai menurut keadaan
dan kekayaan kedua belah pihak.

- Pasal 1371 KUH Perdata
Sanksi Administratif
a. Pasal 69 UU RI No.29 tahun 2004
- Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat
dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia.
- Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa dinyatakan
tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
- Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa:
o pemberian peringatan tertulis
o rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin
praktik
o kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Pasal 25 Permenkes No.1419/Menkes/Per/I X/2005
6

1. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran peraturan ini.
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat berupa peringatan lisan,
tertulis sampai dengan pencabutan SIP.
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam memberikan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud ayat 2 terlebih dahulu dapat mendengar pertimbangan organisasi profesi.

Pasal 26 Permenkes No.1419/Menkes/Per/I X/2005
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIP dokter dan dokter gigi:
- Atas dasar keputusan MKDKI
- STR dokter atau dokter dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia
- Melakukan tindakan pidana

E. GONORRHOEA
7

Gonore disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting dan merupakan infeksi kedua yang paling umum dilaporkan.
Gonore paling sering menyebar pada saat melakukan kontak seksual. Namun, juga dapat
ditularkan melalui proses kelahiran, menyebabkan oftalmia neonatorum dan infeksi neonatal
sistemik. Masa inkubasi biasanya 2-8 hari. Ada berbagai berbeda 'strain' kuman ini, dan
sayangnya resisten antibiotik yang telah menjadi lebih umum selama abad ke-21. Pada
wanita, serviks adalah bagian yang paling sering diserangoleh bakteri ini, sehingga
endocervicitis dan uretritis, yang dapat menjadi komplikasi pada penyakit radang panggul
(PID). Pada pria, menyebabkan gonore uretritis anterior.
Epidemiologi
Untungnya, insiden ini berkurang secara substansial selama bagian pertama abad ke-21,
mungkin karena lebih banyak orang yang mempraktekkan seks aman. Namun pada tahun
2010, total Inggris naik lagi menjadi 18.600 kasus. Angka ini terdiri dari sekitar 5.700 wanita
dan 12.900 pria. Dari laki-laki, sekitar 30 persen adalah laki-laki yang berhubungan seks
dengan laki-laki (LSL). Penyakit yang paling sering terjangkit pada usia 15 sampai 30 tahun.
Harap dicatat bahwa gonore adalah lebih umum di banyak wilayah lain di dunia, terutama
bagian-bagian dari daerah tropis. Oleh karena itu, seks bebas sangat berisiko.

Tract genitourinaria perempuan
Pada wanita infeksi paling umum dari bakteri gonokokal adalah endoserviks (80% -
90%), diikuti oleh uretra (80%), rektum (40%), dan pharynx (10% - 20%). Jika timbul gejala,
mereka sering bermanifestasi dalam waktu 10 hari setelah infeksi.
Gejala utama meliputi keputihan, disuria, perdarahan intermenstrual, dispareunia, dan
nyeri perut yang ringan yang lebih rendah. Ketika servisitis gonore adalah baik tanpa gejala
atau tidak dikenal, pasien mungkin berkembang menjadi PID, sering dekat dengan periode
menstruasi. PID juga mungkin asimtomatik dan terjadi pada 10-20% dari wanita yang
terinfeksi. Gejala PID adalah sebagai berikut:
1. Perut bagian bawah nyeri (gejala yang paling konsisten dari PID)
2. Peningkatan cairan vagina atau cairan uretra yang mukopurulen
3. Disuria (biasanya tanpa urgensi )
4. Serviks gerak melemah
5. Nyeri pada adneksa (biasanya bilateral) atau massa adneksa
6. Perdarahan intermenstrual
7. Demam, menggigil, mual, dan muntah (kurang umum)
Perihepatitis akut (Fitz-Hugh-Curtis syndrome) terjadi terutama melalui ekstensi
langsung dari N gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis dari tuba falopi pada kapsul hati
dan peritoneum bagian atas.

Tract genitourinaria pria
Pada pria, uretritis merupakan manifestasi utama infeksi gonokokal. Karakteristik awal
meliputi terbakar pada buang air kecil dan keluarnya cairan serosa. Beberapa hari kemudian,
biasanya menjadi lebih banyak, purulen, dan, dapat diwarnai darah. Epididimitis akut juga
bisa disebabkan oleh N gonorrhoeae, terutama pada pria yang lebih muda dari 35 tahun. Hal
ini biasanya unilateral dan sering terjadi hubungannya dengan eksudat uretra.

Manifestasi klinik
Dari mereka, terinfeksi sekitar setengah perempuan dan beberapa pria tidak menunjukkan
gejala apapun. Pada pria, gejala utama adalah nyeri buang air kecil. Ada juga cairan dari
ujung penis, yang mungkin berwarna putih, kuning atau hijau. Gonore dalam rektum dapat
terjadi pada orang yang mempraktekkan hubungan seks anal. Anal gonore mungkin gejala-
bebas. Tetapi bisa memberi sakit dubur, iritasi atau debit dari anus. Pada wanita, gejala
gonore yang lebih terbatas atau tidak ada. Tapi mungkin ada nyeri buang air kecil dan debit
dari vagina.

Dalam kedua jenis kelamin, infeksi tenggorokan dapat terjadi sebagai akibat dari oral seks
dengan pasangan yang terinfeksi. Kadang-kadang sakit tenggorokan disertai dengan demam.
Namun, mungkin tidak ada gejala sama sekali.

Pemeriksaan fisik
Pasien dengan infeksi gonokokal mungkin memiliki tanda-tanda khas dan
gejala penyakit gonokokal, terutama di saluran kelamin. Kadang-kadang, pasien
mungkin tidak memiliki tanda-tanda atau gejala lokal.
Tract genitourinaria perempuan
Mukopurulen atau purulen serviks.
Perut bagian bawah nyeri
Kelembutan adneksa(berhubungan dengan infeksi ascending)
Kelembutan gerak serviks (berhubungan dengan infeksi ascending)
Demam
Nyeri perut kanan atas (dengan Fitz-Hugh-Curtis syndrome)
Tract genitourinaria pria
Mukopurulen atau purulen uretra
Kelembutan epididimis Unilateral dan edema dengan atau tanpa discharge atau
disuria penis
Edema penis tanpa tanda-tanda peradangan lainnya
Striktur uretra (jarang)

Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis infeksi gonokokal tergantung pada identifikasi dari N gonorrhoeae pada bagian
yang terinfeksi.
A. Spesimen : Nanah dan sekresi diambil dari urethra, cervix, rektum, conjunctiva,
tenggorokan, atau cairan synovial untuk dibuat kultur dan hapusan. Kultur darah diperlukan
pada penyakit sistemik, tetapi sistem kultur spesial sangat membantu, karena gonococci (dan
meningococci) sensitif terhadap polyanethol sulfonate pada media kultur darah standar.

B. Smear : Smear dari urethra atau eksudat dari endocervix yang diberi pewarnaan gram akan
menampakkan banyak diplokokus di dalam sel nanahnya.
Smear eksudat dari urethra pria yang telah diberi pewarnaan tersebut memiliki tingkat
sensitivitas 90% dan spesifikasi 99%. Smear dari eksudat dari endocervical yang telah diberi
pewarnaan memiliki tingkat sensitivitas 50% dan tingkat spesifitas 95% ketika diuji dengan
mikroskop. Kultur dari eksudat urethral pria tidak diperlukan lagi bila hasil pewarnaannya
positif, namun kultur harus dilakukan bila eksudat urethralnya berasal dari wanita. Smear dari
eksudat conjunctiva yang telah diberi pewarnaan juga dapat didiagnosa, namun hapusan dari
spesimen tenggorokan atau rektum umumnya tidak membantu.

C. Kultur : Sesaat setelah pengumpulan nanah atau selaput lendir, dipindahkan ke dalam
media selektif yang telah diperkaya (seperti media Thayer-Martin yang telah dimodifikasi -
Public Health rep 1966; 81:559) dan diinkubasi pada atmosfir yang mengandung 5% CO,
pada.suhu 37
o
C.
Untuk menghindari pertumbuhan yang berlebihan dari organisme tersebut, media kultur
seharusnya mengandung obat antimikroba (seperti vancomycin 3 g/mL; colistin 7,5 g/mL;
amphotericin B1 g/mL; dan trimethroprim 3 g/mL). Jika inkubasi tidak dapat segera
dilakukan, spesimen sebaiknya disimpan dalam sistem kultur yang mengandung CO
2
48 jam
setelah kultur, organisme akan cepat teridentifikasi melalui: penampakannya pada pengecatan
gram; oksidase yang positif; dan melalui koaglutinasi pada pewarnaan immunofluorescence
atau melalui tes-tes laboratorium lainnya. Spesies dari bakreri yang telah disubkultur dapat
diketahui dengan reaksi fermentasi.

D. Serologi: Serum dan cairan genital yang mengandung antibodi IgG dan 1gA bekerja
melawan pili gonococci, membran protein paling luar dan LPS. Beberapa lgM dari serum
manusia bersifat bakterisidal terhadap gonococci pada percobaan in vitro.

Preventif
- Hindari seks dengan banyak pasangan.
- Praktikkan seks aman - menggunakan kondom.
- Jika Anda berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan lain, pertimbangkan
berhubungan seks dengan siapa pun.
- tidak melakukan oral seks.
Pengobatan
Gonore diobati efektif dengan penisilin. Tapi penicillin-resistant strain kuman muncul dalam
30 tahun terakhir, sehingga para ahli beralih ke obat yang disebut cefixime, diberi oral.
Namun pada Maret 2011, Asosiasi Inggris untuk Kesehatan Seksual dan HIV (BASHH)
direkomendasikan bahwa pengobatan 'baris pertama' yang baru gonore harus diubah, karena
masalah semakin umum resistensi terhadap cefixime. Dan pada bulan Oktober 2011,
Perlindungan Kesehatan Inggris Agency (HPA) mengumumkan bahwa 17,4 persen dari
sampel bakteri gonorrhea kini cefixime-tahan. Jadi, mereka merekomendasikan bahwa ketika
mengobati gonore, dokter untuk selanjutnya harus menggunakan kombinasi dua obat:

1. Ceftriaxone, yang diberikan melalui suntikan
2. Azitromisin, yang diberikan secara lisan.

Catatan: ceftriaxone dikatakan oleh produsen untuk berinteraksi dengan kontrasepsi oral. Jadi
jika pasien berada dalam penggunaan KB, silakan berkonsultasi hal ini dengan dokter.
Dalam skesnario seorang dokter harus bisa menjaga rahasia pasien terkait masalah
penyakitnya, dan segala tindakan yang dilakukan dokter didasari oleh Etika dan Moral
profesi kedokteran. Sebagai dokter, kita harus tahu apa saja hak-hak pasien yang tidak
bisa kita langgar. Tindakan kita pun untuk menangani segala pasien tidak boleh
merugikan pasien atau mengambil keuntungan dari pasien. Dalam skenario ini dokter
harus mengambil prinsip-prinsip kedokteran dan kaidah dasar seperti beneficience :
Dokter berusaha untuk mengobati secara menyeluruh hingga ke istrinya sehingga
tidak terjadi fenomena ping-pong. Kemudian dokter juga harus mengobati penyakit
pasien tersebut, tidak membeberkan penyakitnya dan tidak memarahinya, dokter juga
harus menjelaskan dampak dari penyakit tersebut yang akan menyebabkan fenomena
ping-pong dan tetap menyerahkan keputusan terhadap pasien perihal pengobatan
istrinya dan tetap menjaga rekam medik pasien .

F. AIDS
8

AIDS adalah singkatan dari sindrom defisiensi imun dan merupakan tahap akhir dari infeksi
yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV atau Human Immunodeficiency Virus. Virus
menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh.

Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Sebuah retrovirus, Human Immunodeficiency Virus (HIV) diidentifikasi pada tahun 1983
sebagai patogen yang bertanggung jawab atas Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS). AIDS ditandai dengan perubahan dalam populasi T-sel limfosit yang memainkan
peran kunci dalam sistem pertahanan kekebalan tubuh. Pada individu yang terinfeksi, virus
menyebabkan penipisan T-sel, yang disebut "T-helper sel", yang meninggalkan pasien rentan
terhadap infeksi oportunistik, dan keganasan tertentu. Kredit: CDC / Goldsmith C., P.
Feorino, EL Palmer, WR McManus

Epidemiologi
AIDS adalah penyebab utama kematian di antara keenam orang berusia 25-44 di Amerika
Serikat. Ini adalah perbaikan karena itu adalah pembunuh nomor satu pada tahun 1995. Pada
akhir tahun 2010, diperkirakan 91.500 orang di Inggris yang hidup dengan HIV. Dari jumlah
tersebut, sekitar 1 dalam 4 (22.000 total) tidak tahu bahwa mereka terinfeksi. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 34 juta orang di dunia hidup dengan
HIV. Virus ini sangat luas di sub-Sahara Afrika, seperti Afrika Selatan, Zimbabwe dan
Mozambik.

Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh
meninggalkan rentan individu untuk infeksi yang mengancam jiwa dan kanker. Bakteri
umum, ragi, parasit, dan virus yang biasanya tidak menyebabkan penyakit yang serius pada
orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat mengubah mematikan untuk pasien
AIDS.

Patofisiologi
HIV ditemukan di semua cairan tubuh termasuk air liur, jaringan sistem saraf dan cairan
tulang belakang, darah, air mani, cairan mani pra-, yang merupakan cairan yang keluar
sebelum ejakulasi, sekret vagina, air mata, dan air susu ibu. Hanya darah, air mani, dan air
susu ibu telah terbukti menularkan infeksi kepada orang lain. Virus ini ditularkan melalui
kontak seksual, termasuk oral tanpa kondom, vagina, dan seks anal dan melalui transfusi
darah yang tercemar yang mengandung HIV. Cara lain penularan adalah berbagi jarum atau
suntikan dengan orang yang terinfeksi HIV. Seorang wanita hamil dapat menularkan virus ke
bayi yang dikandungnya melalui peredaran darah bersama mereka, atau ibu menyusui dapat
menularkan ke bayinya ASI-nya. Infeksi HIV tidak ditularkan melalui kontak biasa, nyamuk,
menyentuh atau memeluk.


Pemeriksaan fisik
Tidak ada temuan fisik yang khusus untuk infeksi HIV. Temuan fisik adalah dari infeksi atau
penyakit. Limfadenopati generalisata adalah gambaran umumnya. Penurunan berat badan
mungkin jelas. Bukti untuk faktor risiko infeksi oportunistik atau (misalnya, lesi herpetic
pada pangkal paha, kandidiasis oral secara luas) mungkin petunjuk untuk infeksi HIV.
Skrining untuk human immunodeficiency virus (HIV) adalah yang terpenting, karena
individu yang terinfeksi dapat tetap asimtomatik selama bertahun-tahun sementara infeksi
berlangsung. Tes serologi adalah studi yang paling penting dalam evaluasi untuk infeksi HIV.

Pengujian sekunder yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis atau penentuan stadium
meliputi:
kultur
Biopsi kelenjar getah bening
DNA provirus polymerase chain reaction (PCR)
Genotip DNA virus / RNA
Stadium penyakit HIV sebagian didasarkan pada presentasi klinis, tetapi tes
laboratorium lain dapat membantu dalam memutuskan apakah akan memulai atau mengubah
pengobatan.

Faktor resiko
Mereka yang berisiko tertinggi termasuk pengguna narkoba suntikan yang berbagi jarum,
bayi yang lahir dari ibu dengan HIV (terutama jika si ibu tidak menerima ART selama
kehamilan), mereka yang melakukan hubungan seks vaginal atau dubur tanpa kondom
dengan orang HIV positif, dan mereka yang transfusi darah yang diterima atau produk
pembekuan antara 1977 dan 1985 (sebelum skrining untuk HIV menjadi praktek standar).

Manifestasi klinik HIV / AIDS
Infeksi HIV bisa terjadi tanpa gejala selama satu dekade atau lebih. Pada tahap pembawa
dapat menularkan infeksi kepada orang lain tanpa sadar. Jika infeksi ini tidak terdeteksi dan
diobati, sistem kekebalan tubuh secara bertahap melemah dan AIDS berkembang.

Infeksi HIV akut membutuhkan beberapa minggu untuk bulan untuk menjadi non-gejala
infeksi HIV. Kemudian menjadi gejala awal infeksi HIV dan kemudian berkembang menjadi
AIDS.

Bagaimana perkembangan penyakit ditandai?
Dengan memajukan infeksi HIV darah menunjukkan lebih tinggi viral load dan CD4 T-cell
count turun di bawah 200 sel/mm3. Sel CD4 adalah jenis sel T. Sel T adalah sel-sel sistem
kekebalan tubuh. Mereka juga disebut "sel pembantu." Ada sekelompok kecil pasien yang
mengembangkan AIDS sangat lambat, atau tidak pernah sama sekali. Pasien-pasien ini
disebut nonprogressors, dan banyak tampaknya memiliki perbedaan genetik yang mencegah
virus dari signifikan merusak sistem kekebalan tubuh mereka.

Infeksi oportunistik
Ini adalah infeksi yang biasanya tidak mempengaruhi individu dengan sistem kekebalan
tubuh yang sehat namun pasien AIDS rentan terhadap infeksi ini. Ini termasuk infeksi virus
seperti:

- herpes simplex virus
- herpes zoster Infeksi
- kanker seperti sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin
- jamur infeksi seperti kandidiasis
- infeksi bakteri seperti tuberkulosis

Infeksi lain termasuk bacillary angiomatosis, Candida esophagitis, Pneumocystic pneumonia
jiroveci, demensia AIDS, diare Cryptosporidium, meningigits kriptokokus dan Ensefalitis
toksoplasma.

Pengobatan AIDS
Tidak ada obat untuk AIDS setelah berkembang. Ada agen yang tersedia yang dapat
membantu menjaga gejala di teluk dan meningkatkan kualitas dan panjang hidup bagi mereka
yang telah mengembangkan gejala. Obat melawan HIV termasuk ART. Ini mencegah
replikasi virus HIV di dalam tubuh. Kombinasi obat antiretroviral beberapa, yang disebut
terapi antiretroviral (ART), telah sangat efektif dalam mengurangi jumlah partikel HIV dalam
aliran darah.
Mencegah virus dari replikasi dapat meningkatkan jumlah T-sel atau jumlah CD4 dan
membantu sistem kekebalan tubuh pulih dari infeksi HIV. Obat juga diresepkan untuk
mencegah infeksi oportunistik jika jumlah CD4 yang rendah.

Hasil dari HIV
AIDS hampir selalu berakibat fatal tanpa pengobatan. ART namun telah secara dramatis
meningkatkan jumlah waktu orang dengan HIV tetap hidup.

Pencegahan HIV
Tindakan seks aman dengan menggunakan kondom, menghindari penggunaan obat-obatan
terlarang atau jarum bersama atau jarum suntik, menghindari kontak dengan darah dan cairan
dengan mengenakan pakaian pelindung, masker, kacamata dan lain-lain membantu mencegah
penularan. HIV-positif pada perempuan yang ingin hamil mungkin memerlukan terapi
sementara mereka sedang hamil untuk mencegah penularan kepada bayi mereka. Dinas
Kesehatan merekomendasikan bahwa perempuan terinfeksi HIV di Amerika Serikat
menghindari menyusui untuk mencegah penularan HIV kepada bayinya melalui ASI.

Jika didalam skenario didapatkan bahwa pasien ternyata (+) HIV maka sebagai
seorang dokter harus dapat menjelaskan mengenai hal tersebut pada saat situasi
yang tepat, dan memberikan sikap empati terhadap pasien, dalam melakukan
penyampaian dokter harus menyampaikan dengan baik dan bijak, sehingga tidak
menyinggung atau membuat pasien tertekan.

Asperk Hukum terhadap HIV-AIDS
9,10,11

Seberapa hak orang dengan HIV/AIDS dilindungi?
Bagaimana sisi hukum atas diskriminasi Orang Dengan HIV/AIDS?
Bolehkah seseorang dipaksa untuk tes HIV?

Kata HIV dan AIDS merupakan momok masyarakat masa kini, bahkan mendengarnya saja
sudah cukup membuat bulu kuduk merinding. Tak bisa dipungkiri, penyakit ini memang
mematikan (deadly disease). Dalam tulisan ini, penulis tidak akan mengulas bagaimana
proses terjadinya (patofisiologi) penyakit ini, hanya sedikit disinggung mengenai cara
penularannya secara umum, dan yang ditekankan adalah aspek kaitan legal atau hukum.




Selayang pandang penularan HIV/AIDS
9

Tentu kita semua tahu, baik melalui bacaan artikel kesehatan maupun sumber informasi
lainnya, bahwa cara penularan HIV dan AIDS tergolong pribadi. Lebih dari 60% penularan
penyakit ini melalui jalur aktivitas seksual, entah itu aktivitas seks dengan sesama jenis
(homoseksual) maupun dengan lawan jenis (heteroseksual). Cara penularan lainnya yaitu
melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik bersama pada komunitas pengguna narkoba
(IDU=Injected Drug User), maupun beberapa cara lainnya yang persentasenya kecil. Hal lain
yang tidak kalah menakutkannya adalah bahwa penyakit ini belum ada obat maupun vaksin
yang dapat mencegahnya. Obat-obatan yang ada sekarang berfungsi untuk menghambat
berkembangnya virus HIV, dengan harapan penderita HIV dapat memiliki harapan hidup
yang lebih panjang.

Dampak Diskriminasi HIV/AIDS
Penyebaran penyakit ini yang sangat cepat menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang
berlebihan pada masyarakat. Situasi yang demikian ini yang kemudian menimbulkan dampak
di bidang sosial ekonomi, kultur, dan hukum. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Javier Perez
de Cuellar berkata: AIDS rises crucial, social, humanitarian, and legal issues, threatening to
undermine the fabric of tolerance and understanding upon which our societies function.

Bila dikaji lebih lanjut, yang menjadi sumber dari keprihatinan beliau sebenarnya adalah
karena adanya perlakuan diskriminatif terhadap penderita HIV/AIDS oleh masyarakat,
lembaga-lembaga pemerintahan ataupun swasta, dan bahkan lembaga-lembaga kesehatan
sendiri. Para penderita tersebut dikucilkan, dipecat dari pekerjaannya, dikeluarkan dari
sekolah, atau bahkan dilarang memasuki suatu negara. Lebih menyedihkan lagi, perlakuan
diskriminatif tersebut dialami penderita HIV/AIDS hingga meninggal, di mana banyak
petugas pemakaman yang menolak menguburkan mereka.

Yang patut disayangkan adalah jika tindakan diskriminatif itu dilakukan oleh lembaga
kesehatan, karena seharusnya lembaga tersebut dapat menjadi contoh dan teladan bagi
masyarakat dalam memperlakukan penderita HIV/AIDS. Kasus pemecatan seorang dokter
spesialis penyakit dalam oleh sebuah rumah sakit swasta di Jakarta karena dipersalahkan
merawat seorang penderita HIV/AIDS di rumah sakit tersebut boleh jadi menjadi bukti
adanya perlakuan diskriminatif oleh lembaga kesehatan. Bukti nyata lainnya adalah betapa
sulitnya mencari instansi kesehatan yang bersedia menampung penderita HIV/AIDS di saat
mereka membutuhkan layanan kesehatan. Seribu satu macam alasan dapat kita dengar, entah
itu alasan rumah sakit penuh ataupun dipersulit dalam hal birokrasi dan administrasinya.

Masalah Hukum
Pertanyaan besar yang perlu diajukan adalah bagaimana memperlakukan penderita
HIV/AIDS secara benar, sebab sekarang ini dunia kesehatan telah berhasil menghimpun
banyak data ilmiah tentang penyakit ini, sehingga dapat dijadikan acuan guna menciptakan
perlakuan yang humanistik terhadap penderita dan sekaligus dapat menunjang upaya
pencegahan berkembangnya penyakit ini.
Perlakuan yang humanistik mengandung pengertian bahwa dari aspek filosofis tidak
menyimpang, dari aspek psikologis tidak berdampak negatif, dari aspek etis dapat diterima,
dan dari aspek hukum dapat dipertanggungjawabkan.

Dari aspek hukum perlu disadari lebih dahulu bahwa hukum memiliki fungsi:

1. Menciptakan kedamaian dalam masyarakat.
2. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
3. Merekayasa masyarakat (social engineering).

Dalam kaitannya dengan penyakit HIV/AIDS, aspek hukum tersebut perlu digarisbawahi
mengingat perlakuan terhadap penderita HIV/AIDS yang terlalu menekankan pada aspek
pencegahan meluasnya penyakit berpotensi menimbulkan persoalan hukum yang serius.

Memang benar bahwa hak masyarakat (social right) dan kepentingan masyarakat (social
interest) harus dilindungi, akan tetapi perlakuan yang terlalu menekankan pada kepentingan
masyarakat cenderung mengabaikan hak pasien/penderita (individual right) dan kepentingan
pasien/penderita (individual interest). Jadi, permasalahan pokok yang menyangkut hukum
berkaitan dengan penyakit HIV/AIDS adalah bagaimana menarik garis keseimbangan antara
kedua hak dan kedua kepentingan tersebut.

Susan Scholle Connor (1989) merinci masalah pokok tersebut menjadi 4 bagian, yaitu:

Bentuk pendekatan yang bagaimanakah yang sebaiknya dilakukan terhadap penderita
HIV/AIDS serta hak-hak apa saja yang mereka miliki?
Siapa saja yang diharuskan menjalani mandatory testing atau compulsory testing?
Siapa sajakah yang berhak mengetahui jika ada seseorang menderita AIDS atau mengidap
HIV, di samping adakah kewajiban bagi dokter untuk memperingatkan mereka?
Bagaimanakah caranya melindungi masyarakat dari penderita HIV/AIDS yang tidak
bertanggung jawab atau bahkan yang dengan sengaja menularkan penyakitnya kepada orang
lain?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tentu tidak mudah untuk dijawab, sebab kedua hak
dan kepentingan yang saling berlawanan itu sama pentingnya. Akan tetapi, negara sebagai
pemegang the Police Power (the power of state to protect the health, safety, morals, and
general welfare of its citizens) mempunyai kewenangan untuk menentukan sikapnya.
Namun demikian, data-data ilmiah, pendapat pakar dari berbagai disiplin ilmu, serta pendapat
kelompok representatif (kelompok penderita dan kelompok masyarakat berisiko tinggi/risti)
harus dijadikan pertimbangan.

Dalam kaitannya dengan masalah hukum ini, maka Swedia adalah negara pertama yang
memberlakukan undang-undang yang mewajibkan dokter melaporkan setiap pasien
HIV/AIDS. Hingga bulan April 1988, tak kurang dari 60 negara sudah memiliki instrumen
hukum untuk mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan penyakit ini.

Beberapa aspek spesifik dari HIV/AIDS memang perlu dipersoalkan kembali atau
digarisbawahi mengenai kedudukan hukumnya. Aspek konfidensialitas (kerahasiaan) medik
misalnya, untuk penderita penyakit ini mestinya lebih diperhatikan lagi, mengingat efek
stigmatisasinya yang lebih menyakitkan dibandingkan penyakitnya sendiri. Persoalan
selanjutnya adalah, bagaimana istri atau suami serta masyarakat yang terancam penularan,
sebab tentunya masyarakat tidak bisa berharap bahwa semua penderita penyakit ini akan
mengikuti jejak Magic Johnson, seorang public figure masyarakat Amerika Serikat, yang
dengan sukarela dan penuh tanggung jawab mengumumkan sendiri penyakitnya.

Masalah hukum lainnya
Apa yang hendak dilakukan jika penderita tidak jujur dan terus-menerus mengancam anggota
masyarakat lainnya? Dapatkah mereka dihukum karena menganiaya, membunuh, atau
meracuni pasangan seksualnya? Pertanyaan selanjutnya bagi para profesional medis,
bagaimana tanggung jawab para dokter yang merawat penderita, sebab mereka tahu persis
bahwa penderita HIV/AIDS berpotensi menularkan penyakitnya kepada orang lain? Salahkah
jika dokter memberitahukan kepada orang-orang yang terancam penularan? Salahkah dokter
jika di kemudian hari benar-benar ada orang lain yang tertular disebabkan karena ia lebih
suka menjunjung tinggi sumpah dokter dan berpegang teguh pada asas konfidensialitas
medik? Masalah-masalah ini sungguh tidak mudah untuk dijawab dan perlu diangkat ke
permukaan, sebab hal-hal seperti ini merupakan kenyataan di lapangan yang tidak dapat
diabaikan begitu saja.

Pada suatu kasus di Amerika Serikat, hakim memutuskan suatu hal yang menarik tentang
konfidensialitas medik, bahwa kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran
berakhir manakala ada ancaman bahaya terhadap masyarakat. Menurut teori hukum pidana,
keadaan seperti itu disebut keadaan darurat (necessity) yang dapat dijadikan alasan
penghapus pidana jika seandainya dokter yang menghadapi situasi tersebut melakukan tindak
pidana membocorkan rahasia kedokteran.

Bolehkah orang dipaksa untuk tes HIV?
Hal lain yang perlu mendapatkan klarifikasi dari aspek hukumnya adalah tentang
pemeriksaan darah, yang dalam rangka pencegahan meluasnya penyakit sering dipaksakan
kepada kelompok tertentu di dalam masyarakat berisiko tinggi. Persoalannya adalah bahwa
setiap bentuk intervensi medik, berdasarkan doctrine of informed consent, memerlukan izin
terlebih dahulu dari pasien yang bersangkutan. Apakah compulsory testing atau mandatory
testing tidak bertentangan dengan doctrine of informed consent yang bersumber pada hak
menentukan nasibnya sendiri (the right to self-determination)? Di sisi lain juga dapat
dipertanyakan keuntungan model pemeriksaan seperti itu bagi upaya pencegahan, sebab
tentunya orang akan berusaha menghindar mengingat pemeriksaan tersebut dapat
menimbulkan bencana, seperti misalnya kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, kesempatan
belajar, kesempatan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di masyarakat, dan sebagainya.
Tetapi kalau tidak dipaksakan, kapan dapat ditemukan pengidap HIV pada tingkat sedini
mungkin, sehingga lebih banyak orang dapat dihindarkan dari penyakit yang mematikan ini?

Sekali lagi, hal ini merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Banyak
pandangan pro dan kontra dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam tulisan ini.
Tentunya, masing-masing punya alasan tersendiri yang tidak bisa dikesampingkan pula. Oleh
sebab itu, dibutuhkan kebijaksanaan dan kajian yang mendalam yang melibatkan beberapa
pihak dalam memutuskan apa yang terbaik bagi suatu kasus yang dihadapi. Perlu diingat pula
bahwa apa yang terbaik bagi suatu kasus, belum tentu merupakan keputusan yang tepat bagi
kasus lain dalam situasi dan tempat yang berbeda.
9


a. Situasi HIV/ AIDS di Indonesia
10

Sejak tahun 1987 kasus HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan perkembangan yang
mengkhawatirkan bila dilihat dari segi jumlah dan cara penularan.
Kasus AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan dan diidentifikasi pada seorang
laki-laki asing di Bali yang kemudian meninggal pada April 1987. Pada Juni 1988 di tempat
yang sama juga ditemukan orang Indonesia pertama yang meninggal karena AIDS. Kasus ini
kemudian mulai menjadi perhatian terutama oleh kalangan tenaga kesehatan.
Dari hasil pemeriksaan darah yang dilakukan pada sekitar tahun 1990 di berbagai ibukota
propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi HIV telah menyebar ke berbagai propinsi
meskipun prevalensinya masih rendah. Pemeriksaan sekitar 10.500 darah donor yang
diperiksa hasilnya ternyata negatif. Gejala-gejala meningkatnya infeksi HIV di Indonesia
mulai nyata ketika pemeriksaan darah donor pada tahun 1992/1993 menunjukkan HIV positif
pada 2 diantara 100.000 donor darah yang kemudian meningkat menjadi 3 per 100.000 donor
darah pada tahun 1994/1995.
Perubahan epidemi HIV AIDS terjadi pada tahun 2000 dimana kasus meningkat secara nyata
diantara pekerja seks dan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Di Tanjung Balai
Karimun, Propinsi Riau hanya ditemukan 1 % pada 1995/1996 kemudian meningkat menjadi
lebih dari 8,38%, pada tahun 2000. Prevalensi HIV pada pekerja seks di Irian Jaya (Merauke)
sebesar 26,5%, di DKI Jakarta (Jakarta Utara) sebesar 3,36% dan di Jawa Barat sebesar 5,5%.
Pada tahun yang sama, hampir semua propinsi di Indonesia telah melaporkan infeksi HIV.
Meskipun prevalensi HIV secara umum masih rendah, tetapi Indonesia digolongkan sebagai
negara dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic) karena
terdapatnya kantong-kantong epidemi dengan prevalensi yang lebih dari 5% dari sub-
populasi tertentu.
Pada tahun 1999 terjadi fenomena baru dalam penularan HIV/AIDS yaitu infeksi HIV mulai
terlihat pada penyalahguna Napza suntik. Penularan HIV diantara penyalahguna Napza suntik
terjadi sangat cepat karena penggunaan jarum suntik bersama. Pada tahun 1999, 18% dari
para penyalahguna Napza yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO)
Jakarta yang terinfeksi HIV dan meningkat menjadi 40% pada tahun 2000 dan 48% pada
tahun 2001. Sedangkan pada tahun 2000 di Kampung Bali di Jakarta 90% dari penyalahguna
Napza suntik terinfeksi HIV.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 terjadi
peningkatan kasus hampir 17,5%. Pada tahun 1996 hanya 2,5 % dari kasus AIDS melalui
Napza suntik, dan pada tahun 2002 sudah hampir 20 %.
Dalam 16 tahun terakhir sampai dengan akhir tahun 2002 telah dilaporkan sebanyak 1.016
kasus AIDS. Jumlah yang tercatat tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari prevalensi yang
sesungguhnya, karena adanya fenomena gunung es. Pada tahun 2002 diperkirakan jumlah
orang yang terinfeksi HIV berkisar antara 90.000-130.000 orang. (Stratanas Penanggulangan
HIV/AIDS 2003-2007).
Sedangkan data terbaru yang diperoleh dari laporan Ditjen PP dan PL Kemerdekaan RI,
jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia menurut jenis kelamin sampai dengan akhir Juni
2011 sebanyak 26.483 kasus dimana kasus ini paling banyak ditemukan dan pada jenis
kelamin laki-laki (19.139 kasus) dan pada kelompok umur 20-49 tahun (23.225 kasus). Hal
ini tentu menjadi hal yang memprihatinkan mengingat kelompok umur ini merupakan usia
produktif.

b. Tinjauan tentang Aspek Hukum HIV/ AIDS
Sejak ditemukannya kasus AIDS yang pertama di Bali pada tahun 1987, pemerintah
Indonesia sudah menyadari bahwa aspek hukum menjadi urgen dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/ AIDS. Akan tetapi legalisasi untuk mendapatkan suatu peraturan
perudangan membutuhkan proses yang panjang dan tidak sederhana.
Sejalan dengan perkembangan epidemi HIV/ AIDS baik skala global maupun skala nasional,
maka sejak tahun 1994, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1994 tanggal 30 Mei 1994 tentang Komisi
Penanggulangan AIDS. Berdasarkan Keppres tersebut, dibentuklah Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) yang bertujuan untuk:
1. Melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau strategi global pencegahan dan
penanggulangan AIDS yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa;
2. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya AIDS dan meningkatkan
pencegahan dan/atau penanggulangan AIDS secara lintas sektor, menyeluruh, terpadu dan
terkoordinasi.
Untuk mengejawantahkan tujuan Keppres 36 Tahun 1994 maka Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat yang ditunjuk sebagai Ketua Komisi Penanggulangan AIDS,
menerbitkan Keputusan Nomor: 9/KEP/MENKO/KESRA/VI/1994 tanggal 16 Juni 1994
tentang Strategi Nasional (STRANAS) Penanggulangan AIDS di Indonesia. Adapun tujuan
yang diusung STRANAS dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah:
1. Mencegah penularan virus HIV dan AIDS.
2. Mengurangi sebanyak mungkin penderitaan perorangan serta dampak sosial dan
ekonomis dari HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.
3. Menghimpun dan menyatukan upaya-upaya nasional untuk penanggulangan HIV dan
AIDS.


Seiring pergerakan dan kecendrungan epidemi HIV dan AIDS maka pada tahun 2003,
Komisi Penanggulangan AIDS menerbitkan STRANAS Pencegahan dan Penanggulangan
HIV tahun 2003-2007 yang dirancang untuk sedapat mungkin mengakomodir seluruh
perkembangan yang ada di dunia, terutama perkembangan dalam pertemuan Sidang Umum
PBB, dikenal dengan Unitetd Nation General Assembly Special Session (UNGASS) yaitu
satu pertemuan negara-negara anggota PBB dalam rangka membahas upaya global
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, tanggal 25-27 Juni tahun 2001. Hasil dari
pertemuan tersebut didokumentasikan sebagai Deklarasi Komitmen Sidang Umum PBB
tentang HIV dan AIDS dan Pemerintah Indonesia ikut menandatanganinya.
Segera setelah itu, pada bulan Maret tahun 2002, dilaksanakan Rapat Kabinet yang khusus
membahas laju perkembangan epidemi HIV dan AIDS di dunia umumnya dan di Indonesia
khususnya sekaligus merekomendasikan langkah-langkah strategis yang harus dilaksanakan
dalam rangka menekan laju epidemi global ini. Langkah-langkah strategis sebagaimana
dimaksud di atas, dituangkan dalam STRANAS 2003-2007.
Strategi Nasional 2003-2007 disusun dengan memperhatikan kecenderungan epidemi HIV
dan AIDS, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang pengobatan, dan
perubahan sistem pemerintahan ke arah desentralisasi. Secara umum Strategi Nasional yang
baru telah menggambarkan secara komprehensif segala hal yang diperlukan demi suksesnya
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Hal ini terlihat jelas
dalam penetapan area prioritas yang meliputi: (1) Pencegahan HIV dan AIDS, (2) Perawatan,
Pengobatan dan Dukungan terhadap ODHA, (3) Surveilans HIV dan AIDS dan IMS, (4)
Penelitian, (5) Lingkungan Kondusif, (6) Koordinasi Multipihak dan (7) Kesinambungan
Penanggulangan (Simplexius Asa, dkk, 2009).

c. Perlindungan Hukum dan HAM terhadap Pengidap HIV/AIDS
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat dipisahkan dari aspek
hukum dan hak Asasi manusia (HAM). Permasalahan pokok yang menyangkut hukum
berkaitan dengan maraknya kasus HIV/ AIDS adalah bagaimana menyeimbangkan antara
perlindungan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pengidap HIV dan penderita
AIDS (Indar, 2010).
Aspek hukum dan HAM merupakan dua komponen yang sangat penting dan ikut
berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program penanggulangan yang dilaksanakan. Telah
diketahui bahwa salah satu sifat utama dari fenomena HIV & AIDS terletak pada keunikan
dalam penularan dan pencegahannya. Berbeda dengan beberapa penyakit menular lainnya
yang penularannya dibantu serta dipengaruhi oleh alam sekitar, pada HIV & AIDS justeru
penularan dan pencegahannya berhubungan dengan dan atau tergantung pada perilaku
manusia.
Perilaku manusia selalu bersentuhan dengan hukum dan HAM. Hukum adalah suatu alat
dengan dua fungsi utama, yakni sebagai social control dan social engineering. Sebagai social
control, hukum dipakai sebagai alat untuk mengontrol perilaku tertentu dalam masyarakat
sehingga perilaku tersebut tidak merugikan diri sendiri dan anggota masyarakat lainnya.
Sebagai social engineering, hukum dijadikan sebagai alat yang dapat merekayasa sebuah
masyarakat sesuai keinginan dan cita-cita hukum (Asa, Simplexius, 2009).
Terdapat dua hak asasi fundamental yang berkaitan dengan epidemi HIV/ AIDS yaitu : hak
terhadap kesehatan dan hak untuk bebas dari diskriminasi. Dibandingkan dengan hak
terhadap kesehatan, jalan keluar dari masalah diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS ini
jauh lebih kompleks dan sulit.
Pada banyak kasus, penderita akhirnya bisa berdamai dengan kenyataan bahwa mereka
memang mengidap HIV dan mungkin akan meninggal dengan dan karena AIDS. Akan tetapi
penderitaan yang lebih parah justru dialami karena adanya stereotype yang dikenakan kepada
mereka. Orang terinfeksi acap kali dihubungkan dengan orang terkutuk (amoral) karena
perilakunya yang menyimpang dan memang harus menanggung penderitaan sebagai karma
atas dosa-dosanya. Tidak hanya dalam bentuk stereotip tetapi di banyak tempat ditemukan
pula berbagai pelanggaran HAM berupa stigmatisasi dan diskriminasi, bahkan juga
penganiayaan dan penyiksaan. Pelbagai pelanggaran HAM dan hukum sebagai yang
tergambar di atas pada akhirnya merupakan fakta sosial yang menjadi bagian dari penderitaan
orang terinfeksi bahkan merupakan penyebab sekunder/non medis bagi kematian mereka.
Dalam pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak atas kesehatan. Hak atas
kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia karena terkait dengan kepastian akan
adanya pemenuhan atas hak yang lain, seperti pendidikan dan pekerjaan. Secara garis besar di
dalam UU Kesehatan perlindungan hukum terhadap penderita HIV/ AIDS diatur mengenai :

- Hak atas pelayanan kesehatan
Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh
masyarakat tanpa kecuali termasuk penderita HIV AIDS. Dalam Pasal 5 UU Kesehatan
dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber
daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.Tugas
pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga medis, paramedik dan tenaga kesehatan
lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan
menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.
Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta jaminan ketersediaan obat dan alat
kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.

- Hak atas informasi
Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
informasi dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada pasal 8.
Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV dan AIDS termasuk metode
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan pemahaman masyarakat
mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV dan AIDS, misalnya melalui
penyuluhan dan sosialisasi merupakan upaya dalam memberikan informasi mengenai
HIV/AIDS.



- Hak atas kerahasiaan
Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57 dimana setiap orang
berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No. 29/2004 juga mengatur
mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada paragraph 3 dan 4 tentang rekam medis
dan rahasia kedokteran.
Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter - pasien. Ini berarti
seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang
dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien. Masalah HIV / AIDS banyak
sangkut pautnya dengan Rahasia Medis sehingga kita harus berhati hati dalam menanganinya.
Dalam mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan kepentingan
mana yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi, hak asasi seseorang harus
diindahkan, namun hak asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari hak asasi
seseorang adalah hak asasi orang lain didalam masyarakat itu. Jika ada pertentangan
kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap kepentingan masyarakat banyak.

- Hak atas persetujuan tindakan medis
Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan medis atau
informed consent. Masalah AIDS juga ada erat kaitannya dengan Informed Consent.
Merupakan tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi tentang
penyakit-penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping
wajib merahasiakannya. Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus dilindungi.
Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien setelah pasien
diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,implikasi hasil tes positif ataupun
negatif yang berupa konseling prates.
10


Penyakit HIV AIDS merupakan isu etik manajemen informasi kesehatan yang sensitif.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia dan kemudian dapat menimbulkan AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome
(AIDS) adalah suatu kondisi medis berupa kumpulan tanda dan gejala yang diakibatkan oleh
menurunnya atau hilangnya kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV, sering berwujud infeksi
yang bersifat ikutan (oportunistik) dan belum ditemukan vaksin serta obat
penyembuhannnya.
11


Kewajiban etik yang utama dari professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah
melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga
kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga kesehatan
adalah privacy, confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti menghormati hak
privacy pasien, confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai
rahasia, fidelity berarti kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan
kejujuran.

Menurut Permenkes RI No. 269 tentang rekam medis pasal 10 , hal yang harus diperhatikan
bagi profesional MIK dalam pengelolaan informasi pasien adalah :

Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan
riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga
kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpina sarana pelayanan kesehatan
Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan
riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal :
Untuk kepentingan kesehatan pasien;
Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum
perintah pengadilan;

1.Permintaan dan / atau persetujuan pasien sendiri;
2.Permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan;
3.Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak
menyebutkan identitas pasien.

Pengelolaan informasi pasien HIV AIDS di tempat kerja juga diatur Menurut Kepmenaker
No. KEP. 68/MEN/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS :

Pasal 6
Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan
kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku bagi data rekam medis.

Dalam kaitannya aspek hukum kerahasiaan pasien HIV AIDS , kode etik administrator
perekam medis dan informasi kesehtan ( PORMIKI, 2006) adalah :

Selalu menyimpan dan menjaga data rekam medis serta informasi yang terkandung di
dalamnya sesuai dengan ketentuan prosedur manajemen, ketetapan pimpinan institusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan hak atas informasi pasien yang
terkait dengan identittas individu atau social.
Administrator informasi kesehtan wajib mencegah terjadinya tindakan yang
menyimpang dari kode etik profesi.

Perbuatan / tindakan yang bertentangan dengan kode etik adalah menyebarluaskan informasi
yang terkandung dalam laporan rekam medis HIV AIDS yang dapat merusak citra profesi
rekam administrator informasi kesehatan. Disisi lain rumah sakit sebagai institusi tempat
dilaksanakannya pelayanan medis, memiliki Kode Etik Rumah Sakit ( Kodersi ) dalam
kaitannya manajemen informasi kesehatan :

Pasal 4 : Rumah sakit harus memelihara semua catatan / arsip, baik medik maupun non
medik secara baik.

Pasal 9 : Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien

Pasal 10: Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan
apa yang hendak dilakukan.

Pasal 11: Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien ( informed consent ) sebelum
melakukan tindakan medik.

Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun
2004 pasal 47 ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas. UU tersebut memang hanya menyebut
dokter, dokter gigi dan pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai rahasia, namun
PP No 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran tetap mewajibkan seluruh
tenaga kesehatan dan mereka yang sedang dalam pendidikan di sarana kesehatan untuk
menjaga rahasia kedokteran.

PP No 10 tahun 1966

Pasal 3
Yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran adalah

Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan
Mahasiswa kedokteran , murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan pada
waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.

Dokter wajib menyimpan rahasia medis pasien. Hal ini berdasarkan KODEKI maupun kode
etik petugas kesehatan Pasal 13 :

Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuninya tentang seorang penderita
bahkan juga setelah meninggal dunia.

Pelanggaran mengenai ketentuan wajib simpan rahasia kedokteran dapat dipidana dengan
pasal 322 KUHP :

Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama 9 bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.

Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan
adalah untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya status
kesehatan.

Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA memuat hak
pasien terhadap kerahasiaan sbb:

o Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi
medis, diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya
pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat
pasien mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan
mengenai resiko kesehatan mereka.

1. Informasi rahasia hanya boleh dibeberkan jika pasien memberikan ijin secara eksplisit
atau memang bisa dapat diberikan secara hukum kepada penyedia layanan kesehatan lain
hanya sebatas apa yang harus diketahui kecuali pasien telah mengijinkan secara eksplisit.
2. Semua data pasien harus dilindungi. Perlindungan terhadap data harus sesuai selama
penyimpanan. Substansi manusia dimana data dapat diturunkan juga harus dilindungi.

Dalam kasus dimana pasien tidak kompeten dalam membuat keputusan medis, orang lain
harus diberi informasi mengenai pasien tersebut agar dapat mewakili pasien tersebut dalam
membuat keputusan. Dokter secara rutin menginformasikan kepada anggota keluarga pasien
yang sudah meninggal tentang penyebab kematian. Pembeberan terhadap kerahasiaan ini
dibenarkan namun harus tetap dijaga seminimal mungkin, dan bagi siapa yang mendapatkan
informasi rahasia tersebut harus dipastikan sadar untuk tidak mengatakannya lebih jauh lagi
dari pada yang diperlukan untuk kebaikan pasien. Jika mungkin pasien harus diberitahu
bahwa telah terjadi pembeberan.

Alasan lain yang dapat diterima terhadap pembeberan kerahasiaan adalah untuk memenuhi
tuntutan hukum. Jika dokter dibujuk untuk memenuhi tuntutan hukum untuk membuka
informasi medis

dokter harus melihat secara hati-hati dan kritis terhadap dengan pasien perlunya semua
permintaan hukum untuk pembeberan kerahasiaan dan dari pasien. Contohnya bagi
memastikan bahwa hal tersebut benar sebelum melakukannya. terlebih dahulu meminta ijin
pasien sebelum yang berwenang dipanggil. Hal ini akan lebih baik jika memang akan ada
intervensi lebih jauh. Terhadap kerahasiaan yang diminta oleh hukum, dokter mempunyai
tugas etik untuk membagi informasi dengan orang yang mungkin berada dalam bahaya
karena pasien tersebut. Dua keadaan dimana hal ini dapat terjadi adalah saat pasien
mengatakan kepada psikiater bahwa dia berniat menyakiti orang lain dan saat dokter yakin
bahwa pasien yang dihadapinya HIV Positif namun tetap meneruskan hubungan seks yang
tidak aman dengan pasangannya atau dengan orang lain.

Tuntutan terhadap pembeberan kerahasiaan yang tidak diminta oleh hukum namun harus
tetap dilakukan adalah saat dimana akan ada bahaya yang diyakini mengancam, serius dan
tidak terbalikkan, tidak terhindarkan, kecuali dengan membeberkan informasi yang
sebenarnya tidak boleh dibeberkan.

Dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informai kepada pasangan atau partner seksnya
saat itu bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan jika pasien tidak bersedia
menginformasikannya kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia (mereka) dalam resiko.
Pembenaran dari pembeberan informasi haruslah berdasar: partner beresiko terinfeksi HIV
namun tidak mengetahui kemungkinan terinfeksi; pasien menolak memberi tahu pasangan
seksnya; pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter telah mengatakan
kepada pasien untuk memberitahu pasangannya. Dokter harus mengungkapkan status
penderita HIV pada anak, orangtua, pengasuh atau pasien itu sendiri. Perlu dilakukan
konseling untuk mengatasi efek psikologis dan efek medis dari penyakit, termasuk
didalamnya diskusi antara pasien dan konselor.Pasien harus melaporkan dan mengungkapkan
mengenai penyakitnya baik kepada keluarga, teman, dan lainnya.

Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi HIV AIDS terdapat 3 masalah etik, yaitu ;

1. Pelanggaran prinsip kebutuhan untuk mengetahui ( need-to-know principle ).
2. Penyalahgunaan surat persetujuan atau otorisasi yang tidak tertentu ( blanket
authorization).
3. Pelanggaran privasi yang terjadi sebagai akibat dari prosedur pengungkapan sekunder (
secondary release ).

Rekam medis bersifat rahasia. Pelepasan informasi pasien menular maupun HIV AIDS dapat
diberikan dengan tetap memperhatikan tujuan maupun kegunaan dari pelepasan informasi
tersebut. Hal ini sesuai dengan UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 memberikan
peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):

1. untuk kepentingan kesehatan pasien
2. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum
3. permintaan pasien sendiri
4. berdasarkan ketentuan undang-undang

Alasan lain yang diperbolehkan untuk membuka rahasia kedokteran adalah ( Dewi, 2008 Hal
257 ):

Keadaan memaksa

Hal ini diatur di dalam pasal 48 KUHP : Siapapun tak terpidana jika melakukan tindakan
karena didorong oleh keadaan terpaksa.Keadaan ini dapat pula disebut overmatch yang
oleh Prof. Moeliono terdapat dua pengertian ;

Absolute Overmatch
Seseorang dikatakan di dalam keadaan terpaksa apabila ia dihadapkan kepada kekerasan
untuk tekanan jasmani atau rohani sedemikian, hingga ia kehilangan kehendak untuk
melakukan suatu hal lain daripada satu-satunya tindak pidana yang merupakan pelanggaran
hukum.


Nisbi Overmatch
Keadaan memaksa timbul karena adanya tekanan rohani sehingga yang bersangkutan berbuat
suatu hal yang pasti tidak akan diperbuatnya, jika keadaan terpaksa atau darurat tersebut tidak
ada.

1. Perintah Jabatan

Pasal 170 KUHP memberikan batasan terkait dengan perintah jabatan sebagai berikut :

Mereka yang karena pekerjaannya, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
Hakim menentukan sah atau tidaknya alasan untuk permintaan tersebut, maka
pengadilan negeri yang memutuskan apakah alasan yang dikemukakan saksi atau saksi ahli
untuk tidak berbicara iti, layak dan dapat diterima atau tidak,
Ketentuan Undang-Undang

Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga berlak pada kondisi kondisi
darurat seperti wabah dan bencana alam, kaitannya dalam masalah ini adalah wabah penyakit
HIV AIDS. Seorang dokter maupun petugas kesehatan tidak boleh membiarkan bencana
terjadi tanpa penanganan yang semestinya hal ini diatur dalam UU No 6 Tahun 1962 tentang
wabah. Undang-undang ini mewajibkan dokter dan petugs kesehatan lainnya untuk segera
melaporkan kondisi-kondisi luar biasa karena wabah penyakit dan penyebarannya, sehingga
segera bisa ditanggulangi.

Hal lain yang merupakan pengecualian wajib simpan rahasia kedokteran adalah ;

a. Jika ada persetujuan dari pasien untuk dibuka informasi tersebut
b. Jika dilakukan komunikasi dokter lain atau perawatlain dari pasien tersebut
c. Jika informasi tersebut tidak tergolong ke dalam informasi yang sifatnta rahasia
d. Tujuan dari komunukasi adlah pengobatan.

Sementara itu dokter dan petugas medis diperkenankan mebuka rahasia pasiennya secara
terbatas kepada pihak tertentu asal memenuhi 3 syarat ( Dewi, 2008 Hal 264 ):

1. Syarat keterbatasan para pihak yang relevan saja. Misalnya kepada suami / Istri,
pengadilan, pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut.
2. Syarat keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan saja.
3. Syarat keterbatasan persyaratan, yakni hanya dibuka informasi jika ada persyaratan-
persyaratan tertentu saja seperti misalnya :
a. Ada resiko penularan penyakit
b. Secara medis informasi tersebut layak dibuka ( Fuady dalam Dewi, 2008 :264 )


Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa:
Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan
ijin tertulis pasien. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis
tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Oleh karena pasien adalah pemilik isi rekam medis, maka sarana kesehatan dapat
menyerahkan dengan lebih tidak ragu-ragu, yaitu dapat dalam bentuk fotokopi rekam medis
ataupun dalam bentuk surat keterangan yang memuat resume perjalanan penyakit dan
perawatannya selama di sarana kesehatan tersebut. Rekam medis asli hanya dapat dibawa
keluar sarana kesehatan atas perintah pengadilan. Sedangkan kepada pihak ketiga, setelah
memperoleh persetujuan pasien, informasi yang disampaikan harus memenuhi prinsip need
to know, yaitu minimal tapi mencukupi, relevan dan akurat.

Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No 749a/MENKES/ PER/XII/1989
menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas (a)
hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam medis, (b) penggunaan oleh orang / Badan yang
tidak berhak.

Menurut dr. Tonang Sebenarnyalah secara yuridis tidak berhak membuka/mengetahui
medical-record. itu hak pasien dan/atau keluarga terdekatnya yang memiliki kuasa. Rekam
medis bisa dibuka / diketahui bila :

1. Pasien/keluarga memberikan kuasa kepada saya secara tertulis
2. Saya adalah bagian dari Tim dokter yang merawat pasien tersebut, atau mendapatkan
kuasa dari dokter / RS yang merawatnya untuk suatu tujuan tertentu yang rasional dan layak
dipertanggung jawabkan (termasuk untuk urusan pendidikan, penelitian dan kepentingan
managerial RS).
3. Karena perintah pengadilan, saya ditugasi menjadi saksi ahli Dengan semakin
banyaknya pengidap AIDS yang hidup dalam jangka waktu yang lebih lama, semakin banyak
pula ditemukan kasus-kasus di pengadilan yang berkaitan dengan AIDS.

Kepercayaan merupakan standar legal dan etis dari kerahasiaan dimana profesi kesehatan
harus menjaganya. Tanpa pemahaman bahwa pembeberan tersebut akan selalu dijaga
kerahasiaannya, pasien mungkin akan menahan informasi pribadi yang dapat mempersulit
dokter dalam usahanya memberikan intervensi efektif atau dalam mencapai tujuan kesehatan
publiktertentu.

Ada banyak kesulitan yang timbul didalam menjaga kerahasiaan informasi pasien yang
sensitif HIV AIDS terutama pada masyarakat Timur yang memiliki kecenderungan untuk
berbagi informasi. Namun dengan sosialiasi dan penanganan yang baik petugas kesehatan
dan medis diharapkan dapat memberikan pengertian terutama pada mereka yang tingkat
pendidikannya rendah.
11


KESIMPULAN
Disini yang harus dijaga oleh seorang dokter adalah untuk tetap menjaga rahasia
kedokteran ialah pertama-tama dokter harus menjelaskan kepada pasien bahwa
pengobatan penyakit tersebut sebenarnya tidak sulit, tetapi karena ia telah berhubungan
juga dengan istrinya, maka kemungkinan istrinya juga sudah tertular dan harus diobati.
Dokter perlu meyakinkan sang suami untuk memberitahukan kepada istrinya agar
penyakit menuslar seksualnya dapat sembuh tuntas tanpa kambuh lagi. Jika pasien tetap
berkebratan, maka ada baiknya pasien menandatangani surat informed consent antara
sang dokter dan pasien, guna berjaga-jaga terjadi hal yang tidak diinginkan. Dokter
memegang prinsip rahasia kedokteran pasien, maka dokter tidak boleh membocorkan
apapun yang dialami pasien kepada siapapun termasuk kepada sang istri .Dokter juga
wajib menjelaskan adanya kemungkinan-kemungkinan dimana AIDS bisa saja tertular
melalui hubungan seksual yang tidak sehat

Dokter hanya bisa menyarankan agar pasien berusaha jujur dan bertanggung jawab atas
apa yang dilakukan nya, tetapi semua keputusan tetap di tangan pasien tersebut, karena
dokter tidak bisa memaksa sesuai hak Autonomy seorang pasien dan sesuai rahasia
jabatan kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Pustaka Dwipar; Jakarta: 2007. h. 8-12,30-32,53-
5,62-7,77-9.
2. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Peraturan perundnga-undangan bidang kedokteran. Ed.1. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1994. h. 17, 20-36.
3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Diunduh dari: http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-29-
2004PraktikKedokteran.pdf. 16 Januari 2013.
4. Bertens K. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001.
5. Shannon A, Thomas. Pengantar bioetika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1995.
6. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC.
2009.h.78-83.
7. Gonorhoea. Delvin D. 31 Juli 2012. Diunduh dari:
http://www.netdoctor.co.uk/diseases/facts/gonorrhoea.htm. 16 Januari 2013.
8. What is HIV-AIDS. Mandal A. Diunduh dari: http://www.news-
medical.net/health/What-is-HIVAIDS.aspx. 16 Januari 2013.
9. Aspek Hukum Pada HIV/AIDS dan ODHA.Yudy V. 2 Desember 2011. Diunduh dari:
http://www.tanyadok.com/kesehatan/aspek-hukum-pada-hivaids-dan-odha. 16 Januari
2013.
10. Aspek etika dan hukum dalam pengelolaan informasi kesehatan pasien HIV AIDS. 20
Juni 2010. Diunduh dari: http://ratnadewipuspa.wordpress.com/2010/06/20/aspek-
etika-dan-hukum-dalam-pengelolaan-informasi-kesehatan-pasien-hiv-aids/. 16 Januari
2013.
11. Makalah hukum dan HIV/AIDS. Diunduh dari:
http://jurnalkesehatanmasyarakat.blogspot.com/2012/01/makalah-hukum-dan-uu-
hivaids.html. 16 Januari 2013.

Anda mungkin juga menyukai