Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
PENDAHULUAN

Keluhan dyspepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis
sehari-hari. Diperkirakan hamper 30% kasus pada praktek umum dan 60% praktek
gastroenterologis merupakan kasus dyspepsia. Istilah dyspepsia mulai gencar dikemukakan sejak
akhir tahun 80-an yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri
dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa
penuh di perut, sendawa, regurgitasi dan dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau
keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit tentunya termasuk pula
penyakit lambung, yang diasumsikan oleh orang awam seperti penyakit maag/lambung, Penyakit
hepatitis, pancreatitis kronik, kolesistitis kronik) merupakan penyakit tersering setelah penyakit
yang melibatkan gangguan patologis pada tukak peptic dan gastritis. Beberapa penyakit di luar
system gastrointestinal dapat pula bermanifestasi dalam bentuk sindrom dyspepsia, seperti
gangguan infark miokard, penyakit tiroid, obat-obat dan sebagainya.
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami oleh
seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang
dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data di Negara barat di dapatkan
prevalensinya berkisar 7-41% tapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis. Belum ada
data epidemiologi di Indonesia.

\
Gejala yang esensial adalah selalu adanya komponen dari nyeri atau gangguan abdomen
bagian atas. Untuk membedakannya dari ICS (Irritable Colon Syndrome) dikatakan bahwa
dyspepsia meliputi gejala-gejala yang berpredominasi pada abdomen bagian atas. Sejak
pemakaian istilah dyspepsia hingga sekarang banyak timbul bermacam-macam batasan
mengenai dyspepsia.


2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut
rasa penuh atau begah.

Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan oleh suatu
kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang terdiri dari keluhan - keluhan yang
disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat berupa mual atau
muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus,
yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu sindrom
klinik yang bersifat kronik.
Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan gastritis. Hal ini
sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak semua dispepsia
disebabkan oleh gastritis dan tidak semua kasus gastritis yang terbukti secara patologi anatomik
disertai gejala dispepsia. Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam
menghadapi sindrom klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.

Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ
tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang
empedu, dan lain-lain.

2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak jelas
penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi setelah 3 bulan
dengan gejala dyspepsia.

3

2.2 ETIOLOGI
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau duodenum, gastritis,
tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic, digitalis,
teofilin dan sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit
sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan
atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau dispepsia non
ulkus.
2.3 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut mungkin
berperan penting (multifaktorial):
Abnormalitas Motorik Gaster
Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia non
ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam gaster. Demikian pula
pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial, tetapi
hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-gejala dispepsia tidak jelas. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa fundus gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap
sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna
makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga
pengisian bagian antrum terlalu cepat.



4

Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi gaster
atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi seperti
makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau distensi dini
bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.
Stres dan faktor psikososial
Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas psikiatri
lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus daripada subyek kontrol
yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres mencetuskan keluhan dispepsia.
Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal,
berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus
menyerupai pasien Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan
tanda neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan
non-gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah letih.
Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya akibat nyeri dan
mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien dispepsia organik. Demikian pula
bila dibandingkan orang normal. Gambaran psikologik dispepsia non ulkus ditemukan
lebih banyak ansietas, depresi dan neurotik.
Gastritis Helicobacter pylori
Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis non-erosif
non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran histologik yang ada
tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa
endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori sangat sulit karena sering kali
gambarannya tidak khas. Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi
gambaran endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran
endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
5

c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah korpus.
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui,
tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus masih kontroversi. Di
negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita infeksi Helicobacter pylori,
sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori negatif dapat
juga menjadi penyebab dari beberapa dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif.
Bukti terbaik peranan Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan
yang nyata setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf
pembuktian studi ilmiah.

Kelainan gastrointestinal fungsional
Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan fungsional GI, termasuk di
sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80%
dengan Sindrom Kolon Iritatif menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan
dispepsia kronis juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti
ini sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan ginekologi.
Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri
abdomen mereda setelah defikasi, perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya
mengalami perubahan, perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.
Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh
masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih darah. Ini
memerlukan perbaikan tingkah laku.Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua
peneliti dan tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari
bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung keanekaragaman
kelompok ini.
2.4 MANIFESTASI KLINIK
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi
dispepsia menjadi tiga tipe :
6

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).


2.5 ANAMNESIS
Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan atau anamnesis dengan
lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan, adakah berkaitan
dengan konsumsi makanan? Adakah pengambilan obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat
menghilangkan keluhan atau memperberat keluhan? Adakah pasien mengalami nafsu makan
menghilang, muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada?


Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat obat tertentu? Atau adakah dalam masa
terdekat pernah operasi? Adakah ada riwayat penyakit ginjal, jantung atau paru? Adakah pasien
menyadari akan kelainan jumlah dan warna urin?

Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual
bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan
jenis makanan tertentu perlu diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm" (peringatan) seperti
7

disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah
yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan
penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT
Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus,
pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah
anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua, mertua,
tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar,
cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah jabatan, tidak naik
pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum
biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan
tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan
pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk
setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik
(bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut.
Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus,
gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan
sering terjadi pada ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih sering mengeluhkan gejala
di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai riwayat pemakaian psikotropik.

2.6 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra lumen yang
padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan adanya rangsang
peritoneal/peritonitis.

Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut,
hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karekteristik motilitasnya.
Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran organ dan timpani.

Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular.

8

Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan lainnya. Perlu ditanyakan perubahan
tertentu yang dirasai pasien, keadaan umum dan kesadaran pasien diperhatikan. Auskultasi bunyi
gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan
lakukan pemeriksaan terhadap ektremitas, adakah terdapat perifer edema dan dirasakan adakah
akral hangat atau dingin. Lakukan juga perabaan terhadap kelenjar limfa.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada dasarnya langkah pemeriksaan penunjang diagnostic adalah untuk mengeksklusi
gangguan organic atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi
pancreas dsb), radiologi (barium meal, USG) dan endoskopi merupakan langkah yang paling
penting untuk eksklusi penyebab organic ataupun biokimiawi. Untuk menilai patofisiologinya,
dalam rangka mencari dasar terapi yang lebih kausatif, berbagai pemeriksaan dapat dilakukan,
walaupun aplikasi klinisknya tidak jarang dinilai masih kontroversi.
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi (leukositosis),
pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 19-9, AFP).

Biasanya
meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine.
Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti
kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma
pankreas perlu diperiksa CA 19-9.

2. Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus dapat dilakukan pada
orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau
mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan. Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya
tukak atau gambaran ke arah tumor.

9

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus
halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung
terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain
sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.

Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan
bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut alarm symptoms, yaitu adanya
penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah
darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi pada usia lebih dari
45tahun.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian
4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan
kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di
Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan
sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di
esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang
meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin.
Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche,
yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak
umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung secara radiologis,
akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari
lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda
seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin
terutama di jejunum yang disebut sentina loops.
10

5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi esofagus atau respon
esofagus terhadap asam.
2.8 DIAGNOSIS
Dispepsia melalui simptom-simptomnya saja tidak dapat membedakan antara dispepsia
fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah
ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus disingkirkan
melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah pemeriksaan
endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di oesophagus, lambung
dan duodenum. Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada
saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis.
Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab dispepsia seperti
diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu
diperiksa pertanda tumor.

Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III yaitu:
1. berasa terganggu setelah makan
2. cepat kenyang
3. nyeri epigastrik
4. panas/ rasa terbakar di epigastrik
Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang dapat
menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.
Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis sekurang-
kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.

2.9 DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau gejala dan
bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis dyspepsia adalah seperti box 1. Sangat
penting mencari clue atau penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa
11

ditemukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 50%60% kasus, didapati tidak ada
penyebab yang terdeteksi di mana pasien dikatakan merupakan dispepsia fungsional. Prevalensi
ulkus peptikum adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah 5%-15%. Kanker digestif
bagian atas < 2%. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada umur <50 tahun,
pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi
pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan
muntah yang terlalu teruk.
2

Box 1: Diagnosis banding dispepsia
Dispepsia non ulkus
Gastro-oesophageal reflux disease.
Ulkus peptikum.
Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium, digoxin.
Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).
Cholelithiasis or choledocholithiasis.
Pankreatitis Kronik.
Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective tissue
disease).
Parasit intestinal.
Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).

2.10 PENATALAKSANAAN
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan
skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli
(gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan
dispepsia di masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
12

1. Antasid
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam
lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat.
Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa
nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben
sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk
senyawa MgCl
2
. Sering digunakan adalah gabungan Aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida.Aluminum hidroksida boleh menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat;
magnesium hidroksida bisa menyebabkan BAB encer. Antacid yang sering digunakan adalah
seperti Mylanta, Maalox, merupakan kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida. Magnesium kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa
menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik neurotoksik pada
pasien tersebut.

2. Antagonis reseptor H
2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial
seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H
2
antara lain simetidin,
roksatidin, ranitidin, dan famotidin.

3. Penghambat pompa proton (proton pump inhibitor = PPI).
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi
asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan
pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah ~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya
sekresi asid gastrik kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal,
digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.

4. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat
sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi
meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi,
13

meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa menyebabkan
konstipasi (23%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1 g per
hari.

5. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan
mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).

6. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada sebagian pasien dan
biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin (Amoxil), clarithromycin (Biaxin),
metronidazole (Flagyl) dan tetracycline (Sumycin).

Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan cemas)
pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan
dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.










14

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diagnosis dyspepsia fungsional didasarkan pada keluhan /symptom/sindroma dyspepsia
dimana pada pemeriksaan penunjang baku dapat disingkirkan kausa organic/biokimiawi,
sehingga masuk dalam kelompok penyakit gastrointestinal fungsional. Mempunyai patofisiologi
yang kompleks dan multifaktorial, dimana tampaknya berbasiskan gangguan pada motilitas atau
hipersensitivitas visceral. Modalitas pengobatannyapun menjadi luas, berdasarkan komplesitas
patogenesisnya, serta lebih kea rah hanya menurunkan/menghilangkan symptom. Pilihan
pengobatannya berdasarkan pengelompokan gejala utama dapat dianjurkan, walaupun masih
dapat diperdebatkan manfaatnya.












15

DAFTAR PUSTAKA

D Dharmika. Dispepsia fungsional. In : Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. 5 th Ed.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2009.p.529-33.
Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association technical
review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology. 2005;129:1754
Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal.
2003;79:25-29.
Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.
Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan Tahun 2007.
Edisi 2010. Diunduh dari,
http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id.
Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional. Bagian
Psikiatri FK USU 2003.
Dyspepsia. Edition 2010. Available from: http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.

Anda mungkin juga menyukai