Pembangunan Gedung DPR RI yang Masih Penuh Kontroversi,
Darimanakah Sumber Pembiayannya ?
Kali ini kami akan mencoba mengangkat studi kasus tentang pembiayaan pembangunan Gedung Baru DPR RI yang beberapa tahun lalu sempat menjadi kontroversi dan bahkan sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Seperti yang kita ketahui, gedung DPR yang berada di Senayan masih berdiri megah dan layak ditempati para wakil rakyat kita. Kalaupun mereka bosan dengan kondisi gedung DPR yang sekarang, tinggal panggil desainer interior yang handal untuk merombaknya. Karena itulah, mengapa gedung baru DPR ini harus didirikan?. DPR RI merencanakan melakukan pembangunan gedung baru dengan anggaran yang sangat besar yaitu berkisar 1,6 triliun. Gedung DPR RI yang baru ini akan dilengkapi berbagai fasilitas yang begitu mewah padahal telah kita ketahui kinerja anggota DPR RI masih belum maksimal sehingga pembangunan gedung ini banyak menuai kontroversi. Alasan mereka mengusulkan adanya pembangunan gedung baru ini dikarenakan gedung Nusantara I dirasa sudah tidak muat menampung maupun mengatur jumlah karyawan yang ada sehingga kurang menunjang kinerja para anggota DPR RI. Pertanyaan pun bermunculan saat berita pembangunan gedung yang rencanannya memiliki 27 lantai dan luas total 120 ribu meter persegi ini, salah satunya adalah darimanakah sumber pembiayaan pembangunan gedung yang mewah ini?. Total biaya pembangunan gedung DPR RI yang baru ini berkisar Rp1.162.202.186.793 (Rp1,162 triliun). Biaya tersebut belum termasuk anggaran fasilitas pendukung misalnya Perlengkapan IT, Security System dan Furniture/mebelair. Rincian dana untuk pembangunan gedung DPR RI yang baru yaitu:
Seperti yang kita ketahui, sumber pembiayaan pembangunan dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan konvensional dan non-konvensional. Pada kasus kali ini, sumber pembiayaan pembangunan gedung baru DPR RI ini berasal dari dana 3 tahun APBN dengan asumsi pada tahun 2010 sebesar Rp.50 milyar, tahun 2011 sebesar 800 milyar dan 2012 menutupi sisa dari anggaran proyek pembangunan gedung DPR RI, maka pembiayaan pembangunannya bersifat konvensional. Dimana kucuran dana konvensional dari APBN tersebut didapatkan dari Pajak, DAU, DAK, dan juga Retribusi Nasional. Pihak swasata sama sekali tidak bisa berinvestasi dalam proyek ini, dikarenakan gedung DPR termasuk barang Toll Goods. Artinya adalah, semua orang berhak masuk ke dalam gedung DPR, tetapi harus sesuai dengan kepentingan. Tetapi kepentingan disini bukanlah kepentingan dalam mencari keuntungan. Oleh karena itu sumber pembiayaan yang sesuai dengan status gedung DPR sebagai pelayanan masyarakat adalah pembiayaan konvensional. Tetapi, jika melihat nilai proyek yang mencapai triliunan ini, pembiayaan konvensional melalui APBN dirasa terlalu membebani negara. Tingkat prioritas yang harus dibiayai oleh APBN harusnya peningkatan kualitas masyarakat terlebih dahulu, misalnya dengan peningkatan fasilitas pendidikan ataupun fasilitas kesehatan. Jika memang memaksa Gedung DPR baru ini untuk terus dibangun, maka pemerintah harus mengurangi pengeluaran pembayaran gaji pegawai (Terutama anggota DPR) supaya dana APBN bisa bertambah dan layak untuk diinvestasikan dalam proyek ini. Selain itu, pemerintah harus mulai berinovasi dengan bekerjasama dengan pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan, misalnya dengan BOT (Build Operate Transfer), Konsesi, Joint Venture, dan juga Kontrak pelayanan. Adanya kucuran dana dari investor tersebut juga mempercepat pengembangan proyek. Dengan demikian, APBN pun tidak terlalu terbebani dengan nilai proyek yang mencapai triliunan. Sehingga kesejahteraan masyarakat bisa terpenuhi meskipun secara perlahan.