Anda di halaman 1dari 19

Metode Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Oleh Suyatno

Setelah Metode Kolaboratif dimunculkan garduguru di beberapa hari yang lalu, berikut ini
dipaparkan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning dengan
harapan dapat memperkaya guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Pembelajaran
Berbasis Masalah (PBM) merupakan metode pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai
langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Seperti halnya CL,
metode ini juga berfokus pada keaktifan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Peserta
didik tidak lagi diberikan materi belajar secara satu arah seperti pada metode pembelajaran
konvensional. Dengan metode ini, diharapkan peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan
mereka secara mandiri. PBL juga memberi kesempatan peserta didik untuk mempelajari teori
melalui praktek. Peserta didik bukan hanya perlu mencari konklusi tetapi juga perlu menganalisis
data.

Boud dan Felleti (1991, dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa Problem Based Learning is
a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student
activity. H.S. Barrows (1982) menyatakan bahwa PBM adalah sebuah metode pembelajaran
yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk
mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang
ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong
keilmuannya.

PBM adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam
kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari masalah
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior
knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru.
Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL.

Tidak selamanya proses belajar dengan metode PBM berjalan dengan lancar. Ada beberapa
hambatan yang dapat muncul. Yang paling sering terjadi adalah kurang terbiasanya peserta didik
dan pengajar dengan metode ini. Peserta didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan metode
konvensional, pemberian materi terjadi secara satu arah. Faktor penghambat lain adalah
kurangnya waktu. Proses PBM terkadang membutuhkan waktu yang lebih banyak. Peserta didik
terkadang memerlukan waktu untuk menghadapi persoalan yang diberikan. Sementara, waktu
pelaksanaan PBM harus disesuaikan dengan beban kurikulum.

Dengan menggunakan pendekatan PBM ini, siswa akan bekerja secara kooperatif dalam
kumpulan untuk menyelesaikan masalah sebenarnya dan yang paling penting membina
kemahiran untuk menjadi siswa yang belajar secara sendiri (Hamizer, dkk, 2003).
Siswa akan membina kemampuan berpikir secara kritis secara kontinu berkaitan dengan ide yang
dihasilkan serta yang akan dilakukan. Dalam melaksanakan proses pembelajaran PBM ini,
Bridges (1992) dan Charlin (1998) telah menggariskan beberapa ciri-ciri utama seperti berikut.
1.Pembelajaran berpusat dengan masalah.
2.Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan dihadapi
oleh siswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
3.Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh siswa saat proses pembelajaran disusun berdasarkan
masalah.
4.Para siswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5.Siswa aktif dengan proses bersama.
6.Pengetahuan menyokong pengetahuan yang baru.
7.Pengetahuan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8.Siswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9.Kebanyakan pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok kecil.

Berikut langkah-langkah PBM. Guru memulai sesi awal PBM dengan presentasi permasalahan
yang akan dihadapi oleh siswa. Siswa terstimulus untuk berusaha menyelesaikan permasalahan
di lapangan. Siswa mengorganisasikan apa yang telah mereka pahami tentang permasalahan dan
mencoba mengidentifikasi hal-hal terkait. Siswa berdiskusi dengan mengajukan pertanyaan
tentang hal-hal yang tidak mereka pahami. Guru mendampingi siswa untuk fokus terhadap
pertanyaan yang dianggap penting. Setelah periode self-study, sesi kedua dilakukan. Pada awal
sesi ini siswa diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka peroleh. Siswa menguji
validitas dari pendekatan awal dan menyaringnya. Siswa berlatih mentransfer pengetahuan
dalam konteks nyata melalui pelaporan di kelas.

PBM berbeda dengan metode konvensional. Metode konvensional berupa ceramah yang
memusatkan perhatian siswa sepenuhnya kepada guru sehingga yang aktif di sini hanya guru,
sedangkan siswa hanya tunduk mendengarkan penjelasan yang dipaparkan. Partisipasi siswa
rendah karena hanya diberi kebebasan untuk bertanya mengenai materi yang telah dijelaskan
oleh guru sehingga metode konvensional masih kurang menggugah daya pemikiran siswa.
Sedangkan, metode PBM adalah metode pembelajaran yang berbasis kepada partisipasi para
siswa. Pada jam pertama pembelajaran, metode yang diterapkan adalah diskusi. Guru
memberikan pertanyaan kepada siswa yang ditunjuk secara acak. Pertanyaan yang diajukan
bersifat menggali pendapat dan mengembangkan kemampuan analisis siswa. Kemudian, pada
satu jam terakhir, guru memberikan rangkuman dan inti dari diskusi pada hari itu disertai dengan
inti dari konteks materi dihubungkan dengan implementasi di lapangan.

Perlu diingat, PBM bukanlah satu-satunya metode yang baik. Masih banyak metode
pembelajaran yang baik pula. Untuk itu, guru perlu berpikir divergen dalam menggunakan
metode pembelajaran sehingga tidak selalu mengagungkan sebuah metode pembelajaran karena
metode pembelajaran adakalanya buruk jika tidak dapat mencapai tujuan.

http://garduguru.blogspot.com/2008/12/metode-pembelajaran-berbasis-masalah.html




A. Pengertian PBL (Problem Based Learning)
23-04-2012 09:35:56, pada PTK
Problem Based Learning(pembelajaran berbasis masalah) adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang
cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan
dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk
merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk didalamnya
belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan
masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
PBL merupakan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah
melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang
berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan
masalah.
Problem Based Learning yaitu proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan
masalah dalam kehidupan nyata dan lalu dari masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari
masalah ini berdasarkan pengetahuan dan pengalaman baru.
Problem Based Learning (Pembelajaran berbasis masalah) yang dinyatakan oleh kunandar
bahwa tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran
ide secara terbuka. Secara garis besar pembelajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan
kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan
kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahin dan Nur,2004) telah mendeskripsikan
karaketeristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.
Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan
pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan disekitar prinsip-prinsip atau
keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan
pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan
secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk
menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk
situasi itu.
Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata
pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa
meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
Penyelidikan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswa untuk
melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.
Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi, melakukan eksperimen (jika
diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan
Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBL menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang
menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut
dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian
didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari dan
menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
Kerjasama. Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu
sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama
memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan
memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan
keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
Tahap-Tahap PBL
Pengajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahap, seperti dijelaskan tabel berikut ini;
Tahapan Kegiatan guru
Tahap 1 :

Orientasi siswa terhadap masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan perangkat yang dibutuhkan,
memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2 :

Mengorganisasi siswa untuk
belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3 :

Membimbing penyelidikan
individual dan kelompok.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai dan melaksanakan
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan serta
pemecahan masalahnya.
Tahap 4 :

Mengembangkan dan menyajikan
Guru membantu siswa merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
video, dan model serta membantu mereka
berbagi tugas dengan temannya.
hasil karya.
Tahap 5 :

Menganalisis dan mengevaluasi
proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau
evaluasi teerhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka gunakan.
Komentar :
http://editopan.guru-indonesia.net/artikel_detail-21987.html



















Prinsip-prinsip Kunci Teori Konstruktivisme Vygotskyan
Ratumanan (2004:45) menguraikan 5 prinsip-prinsip kunci teori Konstruktivisme oleh Vygotsky:
1. Penekanan pada hakekat sosiokultural belajar. ygotsky menekankan pentingnya peranan
lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe
manusia. Siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya
yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya
perkembangan intelektual siswa. Menurut Vygotsky fungsi kognitif manusia berasal dari
interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Pengetahuan dan pengertian
dikonstruksi bila seorang terlibat secara sosial dalam dialog. Pembentukan makna adalah dialog
antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga
interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Prinsip ini melahirkan model
pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
2. Daerah Perkembangan Terdekat ( Zone of Proximal Development = ZPD). Vygotsky yakin bahwa
belajar terjadi jika anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi
tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan proksimal mereka. Daerah
proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini,
artinya bahwa daerah ini adalah daerah antara tingkat perkembangan sesungguhnya (aktual)
dan tingkat perkembangan potensial anak. Tingkat perkembangan aktual adalah pemfungsian
intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk mempelajari sesuatu dengan
kemampuannya sendiri (kemampuan memecahkan masalah secara mandiri), sedang tingkat
perkembangan potensial anak adalah kondisi yang dapat dicapai oleh seseorang individu dengan
bantuan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu.
(kemampuan memecahkan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya). Jadi
pada saat siswa bekerja dalam daerah perkembangan terdekat (ZPD) mereka, tugas-tugas yang
tidak dapat mereka selesaikan sendiri, akan dapat mereka selesaikan dengan bantuan teman
sebaya atau orang dewasa. Pembelajaran di sekolah hendaknya bekerja dalam daerah ini,
menarik kemampuan-kemampuan anak dengan maksud mendorong pertumbuhan
seefektifnya.
3. Pemagangan kognitif. Vygotsky menekankan bahwa pemagangan kognitif mengacu pada proses
di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui
interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang menguasai permasalahan yang
dipelajari, jadi dapat berupa orang dewasa atau teman sebaya. Dalam konteks koperatif, siswa
yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat merupakan pakar bagi teman-teman dalam
kelompok tersebut.
4. Perancahan (Scaffolding). Perancahan (scaffolding) mengacu kepada pemberian sejumlah
bantuan oleh teman sebaya atau orang dewasa yang berkompeten kepada anak. Menurut Slavin
(Ratumanan, 2004:47) scaffolding berarti memberikan kepada anak sejumlah besar dukungan
selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah
ia mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa
dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan
baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal dalam meraih
keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya
mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang
lebih tinggi menjadi optimum. Prinsip ini melahirkan metode penemuan terbimbing dalam
pembelajaran.
5. Bergumam (Private Speech). Berguman adalah berbicara dengan diri sendiri atau berbicara
dalam hati untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri sendiri. Menurut Vygotsky private
speech dapat memperkuat interaksi sosial anak dengan orang lain. Private speech dapat dilihat
pada seorang anak yang dihadapkan pada suatu masalah dalam sebuah ruangan di mana
terdapat orang lain, biasanya orang dewasa. Anak kelihatannya berbicara pada dirinya sendiri
mengenai masalah tertentu, tetapi pembicaraanya diarahkan pada orang dewasa. Private
speech kemudian dihalangi, tertangkap dan ditransformasikan ke dalam proses berfikir.
Ratumanan (2004:49) mengemukakan bahwa bahasa memiliki makna untuk menyatakan ide-ide
dan menyampaikan pertanyaan. Bahasa juga memberikan kategori-kategori dan konsep-konsep
untuk berfikir. Ketika kita mempertimbangkan suatu masalah, kita biasanya berfikir dalam kata-
kata dan bagian kalimat-kalimat.
Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam
pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar
kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan
masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua,
pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan
scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk
pembelajarannya sendiri. Untuk keperluan ini dapat digunakan pengajaran terbalik. Tharp dan
Gallimore (Ratumanan, 2004:50) menyarankan penggunaan pendekatan yang disebut penemuan
terbimbing.
http://www.masbied.com/2011/08/26/prinsip-prinsip-kunci-teori-konstruktivisme-vygotsky/
http://bupulenambudi.blogspot.com/2011/10/teori-konstruktivisme-vygotsky.html
http://blog.elearning.unesa.ac.id/tag/kelebihan-dan-kelemahan-teori-konstruktivisme-vygotsky-dalam-
pembelajaran
http://007indien.blogspot.com/2012/03/teori-konstruktivisme-vygotsky-dan.html

Teori Konstruktivisme Vygotsky dan
Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik
Vygotsky

A. Teori Konstruktivisme Vygotsky
Teori konstruktivisme adalah salah satu dari banyak teori belajar yang telah didesain dalam
pelaksanaan pembelajaran matematika. Seperti halnya behaviorisme dan kognitivisme, konstruktivisme
dapat diterapkan dalam berbagai aktivitas belajar baik pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu eksakta.
Dalam matematika, konstruktivisme telah banyak diteliti, diterapkan, dan diuji coba pada situasi
ruangan kelas yang berbeda-beda. Dari berbagai percobaan itu telah banyak menghasilkan berbagai
pandangan yang ikut mempengaruhi perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran. Lahirnya
berbagai pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosio-kultur, pembelajaran kontekstual, dan lain-
lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari teori pembelajaran.
Sebelum membahas lebih jauh tentang Teori Konstruktivisme
Vygotsky, berikut ini saya mencoba memaparkan tentang biografi Vygotsky. Nama lengkap Vygotsky
adalah Lev Semonovich Vygotsky lahir pada tahun 1896 di Tsarist Russia, di suatu kota Orscha,
Belorussia dari keluarga kelas menengah Keturunan Yahudi. Dia tumbuh dan besar di Gomel, suatu
kota sekitar 400 mil bagian barat Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia tertarik pada studi-studi
kesusasteraan dan analisis sastra, dan menjadi seorang penyair dan Filosof.
Memasuki usia 18 tahun, dia menulis suatu ulasan tentang Shakespeare's Hamlet yang
kemudian dimasukkan dalam satu dari berbagai tulisannya mengenai psikologi. Dia memasuki sekolah
kedokteran di Universitas Moscow dan dalam waktu yang tidak lama kemudian dia pindah ke sekolah
hukum sambil mengambil studi kesusasteraan pada salah satu universitas swasta. Dia menjadi tertarik
pada psikologi pada umur 28 tahun.
Vygotsky mengajar kesusasteraan di suatu sekolah Propinsi sebelum memberi kuliah psikologi
pada suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya membawakan kuliah psikologi walaupun secara formal
tidak pernah mengambil studi psikologi. Dari sinilah dia semakin tertarik dengan kajian psikologi
sehingga menulis disertasi Ph.D. mengenai Psychology of Art di Moscow Institute of Psychology pada
tahun 1925.
Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria and Alexei Leontiev dalam membuat dan
menyusun proposal penelitian yang sekarang ini dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya
Vygotsky mendapat tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para penganut idelogi
politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya.
Setelah dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat muda (38 tahun), pada tahun 1934
akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC), barulah seluruh ide dan teorinya diterima oleh
pemerintah dan tetap dianut dan dipelajari oleh mahasiswanya.
Kepeloporannya dalam meletakkan dasar tentang psikologi perkembangan telah banyak
mempengaruhi sekolah pendidikan di Rusia yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di
seluruh dunia hingga saat ini.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalampembelajaran. Lingkungan
sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut.
Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan pengetahuan siswa bermula
dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi
(Taylor, 1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial
dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu
tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif
seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila
anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung
(supportive), dalam
bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.
Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini, banyak pemerhati pendidikan yang
megembangkan model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model
pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem poshing.
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky
berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui
interaksi sosial dan intrapsikologi(intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang
sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-
psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide; Pertama,
bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah
pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa
perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign system) setiap individu selalu
berkembang (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya
diciptakan untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya
budaya bahasa, system tulisan, dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip
oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1. Pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky
menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih
cakap;
2. ZPD (zone of proximal development).
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja
dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu
setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si
anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari
pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
3. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui
interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai;
4. Pembelajaran Termediasi (mediated learning).
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan
kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Sedangkan Ratumanan (2004:45) menguraikan 5 prinsip-prinsip kunci teori Konstruktivisme oleh
Vygotsky:
1. Penekanan pada hakekat sosiokultural belajar. ygotsky menekankan pentingnya
peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-
tipe manusia. Siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya
yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya
perkembangan intelektual siswa. Menurut Vygotsky fungsi kognitif manusia berasal dari
interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Pengetahuan dan pengertian
dikonstruksi bila seorang terlibat secara sosial dalam dialog. Pembentukan makna adalah dialog
antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga
interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Prinsip ini melahirkan model
pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
2. Daerah Perkembangan Terdekat ( Zone of Proximal Development = ZPD). Vygotsky
yakin bahwa belajar terjadi jika anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan proksimal
mereka. Daerah proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan
seseorang saat ini, artinya bahwa daerah ini adalah daerah antara tingkat perkembangan
sesungguhnya (aktual) dan tingkat perkembangan potensial anak. Tingkat perkembangan aktual
adalah pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk mempelajari sesuatu
dengan kemampuannya sendiri (kemampuan memecahkan masalah secara mandiri), sedang
tingkat perkembangan potensial anak adalah kondisi yang dapat dicapai oleh seseorang individu
dengan bantuan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih
mampu. (kemampuan memecahkan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau teman
sebaya). Jadi pada saat siswa bekerja dalam daerah perkembangan terdekat (ZPD) mereka,
tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri, akan dapat mereka selesaikan dengan
bantuan teman sebaya atau orang dewasa. Pembelajaran di sekolah hendaknya bekerja dalam
daerah ini, menarik kemampuan-kemampuan anak dengan maksud mendorong pertumbuhan
seefektifnya.
3. Pemagangan kognitif. Vygotsky menekankan bahwa pemagangan kognitif mengacu
pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian
melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang menguasai permasalahan
yang dipelajari, jadi dapat berupa orang dewasa atau teman sebaya. Dalam konteks koperatif,
siswa yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat merupakan pakar bagi teman-teman dalam
kelompok tersebut.
4. Perancahan (Scaffolding). Perancahan (scaffolding) mengacu kepada pemberian
sejumlah bantuan oleh teman sebaya atau orang dewasa yang berkompeten kepada anak.
Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:47) scaffolding berarti memberikan kepada anak sejumlah
besar dukungan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah ia mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri. Bantuan yang
diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah
dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga
kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa
mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa
gagal dalam meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing
siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar
pencapaian siswa ke jenjang lebih tinggi menjadi optimum. Prinsip ini melahirkan metode
penemuan terbimbing dalam pembelajaran.
5. Bergumam (Private Speech). Berguman adalah berbicara dengan diri sendiri atau
berbicara dalam hati untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri sendiri. Menurut
Vygotsky private speech dapat memperkuat interaksi sosial anak dengan orang lain. Private
speech dapat dilihat pada seorang anak yang dihadapkan pada suatu masalah dalam sebuah
ruangan di mana terdapat orang lain, biasanya orang dewasa. Anak kelihatannya berbicara pada
dirinya sendiri mengenai masalah tertentu, tetapi pembicaraanya diarahkan pada orang
dewasa. Private speechkemudian dihalangi, tertangkap dan ditransformasikan ke dalam proses
berfikir.
Ratumanan (2004:49) mengemukakan bahwa bahasa memiliki makna untuk menyatakan ide-ide
dan menyampaikan pertanyaan. Bahasa juga memberikan kategori-kategori dan konsep-konsep untuk
berfikir. Ketika kita mempertimbangkan suatu masalah, kita biasanya berfikir dalam kata-kata dan
bagian kalimat-kalimat.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari
pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi
kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky
juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari
namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada
dalam zona of proximal development mereka.

B. Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik Vygotsky
Berdasarkan teori Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat
dirancang/didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
1. Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi.
Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk
mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur
kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
2. Penyusunan program pembelajaran.
Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran.
3. Orientasi dan elicitasi,
Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal
pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun
agar mereka
mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya seharihari. Pengungkapan gagasan
tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut
kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar
siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan
diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan
sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
4. Refleksi.
Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifatmiskonsepsi yang muncul pada tahap
orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi
ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan
merestrukturisasikannya.
5. Resrtukturisasi ide, berupa:
a. tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat
diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan
memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu.
b. konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau
salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan mereka
meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka.
Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan
sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan
proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator
dan mediator.
c. membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep
yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu
d. memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
6. Aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi
ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam
situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris.
Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara
keilmuan.
7. Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam
upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi
pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting
dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang
pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

Sumber :
Slavin, Robert E. (1997). Educational Psychology-Theory and Practice. Fourth Edition. Boston, Allyn and
Bacon.
Vygotskys Educational Theory in Cultural Context, Cambridge Universty press, 2003
http://www.masbied.com/2011/08/26/prinsip-prinsip-kunci-teori-konstruktivisme-vygotsky/
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2191934-biografi-vygotsky/
http://masbied.files.wordpress.com/2011/05/modul-matematika-teori-belajar-vygotsky.pdf


http://origami-indonesia.com/test-post.html
Origami sebagai Alat Diagnostik dan Teurapeutik
Origami dapat didefinisikan sebagai seni membuat objek, rata-rata yang digunakan
adalah selembar kertas. Berbeda dengan bentuk-bentuk seni lainnya, di mana
sebuah keharusan seseorang harus berbakat untuk menjadi kreatif, Origami dapat
dipelajari oleh hampir semua orang. Dalam beberapa tahun terakhir, Origami telah
banyak digunakan oleh pendidik dan terapis . Para Guru telah menemukan bahwa
origami adalah kegiatan yang sesuai idealnya ke dalam program interdisipliner dan
multi-budaya.
Terapis telah menemukan bahwa origami memiliki mempengaruhi pola pasien
mereka, dan mereka sering menggunakannya sebagai alat diagnostik dan
terapeutik. Melipat kertas memiliki dan menimbulkan keuntungan menjadi instruktif
dan menarik. Ini merangsang kemampuan kreatif, inventif dan konstruktif anak-
anak. Adalah seorang FriedrichFroebel (1782 1852), pendidik Jerman dan pendiri
TK, yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk eksplorasi proses belajar
anak-anak muda,menyadari bahwa permainan untuk anak-anak adalah alat
pendidikan dari nilai yang besar.
Origami dalam arti yang memiliki karakteristik permainan. origami adalah kegiatan
menyenangkan yang mengikuti aturan tertentu, melibatkan emosi,menggairahkan,
menghibur, dan pada saat yang sama mengajarkan melalui melakukan. Seorang
anak tak akan curiga bahwa dari selembar kertas akan mengalami transformasi
bentuk menjadi model 3 dimensi, hal ini sangat menakjubkan bagi seorang anak,
bahkan kita orang dewasa.

Origami dan Manfaatnya
Origami kata ini tentu saja telah familiar di antara kita, apa sih origami?
Origami adalah seni melipat kertas. Sementara di USA terkenal dengan paper
folding dan di Spanyol dikenal dengan Papiroflexia. Kata Origami sendiri diambil
dari bahasa Jepang , yaitu Ori yang berarti melipat dan gami diambil dari kata
benda Kami yang berarti kertas. Namun, hal ini bukan berarti origami diciptakan
di Jepang. Origami pertama ditemukan di Cina perkiraan abad pertama atau kedua
dan kemudian menyebar ke Jepang sekitar abad keenam. Di Jepang origami
berkembang secara pesat dan menjadi kebudayaan, bahkan setiap aspek
kehidupan orang Jepang selalu mengaitkan dengan origami. Mulai dari kehidupan
sehari-hari hingga perayaan keagamaan mereka, hal ini membuat seni melipat
kertas di dunia lebih dikenal dengan nama ORIGAMI.
Manfaat apa yang akan didapat saat ananda belajar origami secara konsisten
adalah :
1. Ananda akan semakin akrab dengan konsep-konsep dan istilah-istilah Matematika
geometri, karena pada saat bunda atau sorang guru menerangkan origami akan sering
menggunakan istilah matematika geometri contohnya : garis, titik, perpotongan 2 buah
garis, titik pusat, segitiga, dll.
2. Bermain origami akan meningkatkan keterampilan motorik halus ananda , menekan
kertas dengan ujung-ujung jari adalah latihan efektif untuk melatih motorik halus
ananda.
3. Meningkatkan dan memahami pentingnya akurasi, saat membuat model origami
terkadang kita harus membagi 2, 3 atau lebih kertas, hal ini membuat ananda belajar
mengenai ukuran dan bentuk yang diinginkan serta keakuratannya.
4. Meningkatkan citra diri dan bakat ananda.
5. Saat bermain origami ananda akan terbiasa Belajar mengikuti instruksi yang runut.
6. Mengembangkan pemikiran logis
7. Bermin origami secara konsisten juga merupakan latihan berkonsentrasi, membuat
sebuah model origami tentu saja membutuhkan konsentrasi,dan hal ini dapat dijadikan
sebagai ajang latihan untuk memperpanjang rentang konsentrasi seorang anak, dengan
syarat origaminya dilakukan secara kontinyu dan model yang diberikan bertahap dari
yang paling mudah yang dapat dikerjakan oleh ananda lalu terus ditingkatkan sesuai
kemampuanya.
8. Meningkatkan persepsi visual dan spasial
9. Mendapatkan untuk tahu lebih banyak tentang hewan dan lingkungan mereka, ha ini
karena bentuk origami yang dibuat dapat dililih oleh kita dan dapat dijadikan sebagai
media pengenalan hewan dan lingkungan ananda.
10. Memperkuat ikatan emosi antara orang tua dan anak, bermain origami disertai
komunikasi yang menyenangkan ini akan membangun ikatan yang sungguh baik antara
anak dan orang tua atau guru dan murid.

Anda mungkin juga menyukai