Anda di halaman 1dari 1

Dalam seminar bertajuk "Continuing Professional Development (CPD)" di Fakultas Kedokteran

Gigi (FKG) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, drg Wieke Lutviandari menyatakan ilmu
kedokteran gigi mulai berperan membantu proses identifikasi korban bencana massal sejak
1981.

"Itu terjadi saat tenggelamnya kapal penumpang Tampomas II di perairan Masalembo, Sulsel
pada 1981, kemudian berlanjut pada bencana terorisme," katanya.

Bencana terorisme dimaksud antara lain Bom Bali I (2002), peledakan Hotel JW Marriott (2003),
bom di depan Kedubes Australia (2004), Bom Bali II (2005), identifikasi tokoh teroris Dr Azahari
(2005), dan kasus lainnya.

"Peran penting itu semakin menonjol karena Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi
terhadap bencana, terutama bencana letusan gunung berapi, tsunami, gempa, dan bencana
alam lainnya," katanya.

Umumnya, korban membutuhkan keahlian dokter gigi forensik, karena korban hangus terbakar
dan mengalami pembusukan tingkat lanjut yang sulit untuk dikenali serta tidak dapat dilakukan
identifikasi melalui
pemeriksaan konvensional.

"Berdasarkan pengalaman di lapangan, identifikasi korban meninggal massal melalui gigi-geligi
mempunyai kontribusi yang tinggi dalam menentukan identitas seseorang," katanya.

Dalam kesempatan itu, drg Wieke menunjuk contoh pada kasus Bom Bali I yang mampu
mengidentifikasi korban berdasarkan gigi-geligi hingga 56 persen.

"Untuk korban kecelakaan lalu lintas di Situbondo hingga 60 persen, sedang korban jatuhnya
Pesawat Garuda di Yogyakarta mencapai 66,7 persen," katanya.

Anda mungkin juga menyukai