Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 17
PENERAPAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA DITINJAU DARI FILSAFAT HUKUM Oleh Siti Humulhaer*) Abstrak Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan pandangan hidup negara. Di dalam sejarah hukum pidana dikenal dengan filsafat pemidanaan yang pada akhirnya melahirkan teori-teori tentang tujuan pemidanaan, mengingat karakteristik filsafat adalah mencari kebenaran hakiki dan hukum pidana adalah sama-sama berusaha untuk mencari kebenaran dan memasukan definisional serta jawaban moral terhadap tujuan pemidanaan, jadi terdapat keterkaitan erat antara keduanya. Dan penerapan pidana mati pada dasarnya tidak dibenarkan dalam pandangan hidup kekeluargaan yang dilandasi dan dijiwai oleh cinta kasih sebagai sikap dasar yang menjiwai hubungan antar manusia dengan masyarakat, yang pada hakikatnya bersumber pula pada cinta kasih sejati Tuhan Yang Maha Esa. Secara singkat pidana mati bertentangan dengan pancasila. Oleh karena itu, pancasila menjadi landasan atau dasar pokok hukum nasional, sehingga ia menjadi sumber dari segala hukum, maka dapat disimpulkan bahwa pidana mati tidak dapat dibenarkan dalam filsafat pancasila. Kata Kunci : Hukuman Mati, Filsafat Pancasia A. PENDAHULUAN Pidana mati merupakan suatu problema yang paling kontroversial. Kontroversial dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama tetapi berakhir dengan hasil yang berlawanan. Juga kontroversial dalam arti ada dua buah landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak semula. Eksekusi pidana mati sepanjang sejarah dilaksanakan dengan berbagai macam cara. Ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum semaju seperti sekarang ini, caranya sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan kalau kita menilai- nya dari sudut pandang masa kini. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan manusia, teknologi pun semakin berkembang pesat. Namun de- mikian, masih belum ada kata sepakat tentang cara pelaksanaan pidana mati. Hal ini disebabkan eksekusi pidana mati akan tetap menyentuh sumber emosi manusia yang paling dalam. Filsafat merupakan suatu analisis secara hati-hati terhadap penalaran- penalaran mengenai sesuatu masalah dan menyusun secara sengaja serta sistematis atas suatu sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan. Dan hendaknya diingat, bahwa kegiat- an yang kita namakan kegiatan kefilsafatan itu sesungguhnya merupa- kan perenungan atau pemikiran. Berkaitan dengan persoalan pidana mati di Indonesia, yang secara filosofi- kal akan dianalisis dengan mengguna- kan Pancasila sebagai norma funda- mentalnya, penulis tidak berpretensi *) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 18 bahwa hasil renungan kefilsafatannya adalah paling benar adanya tanpa melalui pemahaman intersubjektif terlebih dahulu. Namun, mengingat Pancasila secara intersubjektif telah disetujui menjadi Pandangan Hidup bangsa Indonesia, karena secara koheren diyakini kebenarannya, maka sejatinya hasil renungan kefilsafatan ini dapat pula dijadikan dasar pertimbang- an untuk menentukan benar tidaknya atau dapat dipertanggungjawabkan tidaknya suatu tindakan. B. PEMBAHASAN KAJIAN TEORI MENGENAI HUKUMAN MATI DITINJAU DARI FILSAFAT HUKUM A. Hukuman atau Pidana Pengertian hukuman atau pidana Yang dimaksud hukuman atau pidana ialah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan suatu vonis kepada orang yang telah melanggar undang- undang hukum pidana. Hukuman yang biasa dijatuhkan oleh guru kepada murid atau hukuman disiplinair yang diberikan oleh pejabat polisi kepada bawahannya tidak termasuk dalam pengertian ini. Menurut filsafat, tujuan hukuman itu bermacam-macam tergantung dari sudut mana persoalan tersebut ditinjau: a. Emmanuel Kant mengatakan bah- wa hukuman adalah suatu pemba- lasan berdasarkan atas pepatah kuno siap membunuh harus di- bunuh. Pendapat ini biasa disebut teori pembalasan (vergelding- theorie). b. Feurbach antara lain berpendapat bahwa hukuman harus dapat menakuti orang supaya jangan ber- buat jahat. Teori ini biasa disebut teori mempertakutkan (afchrik- kings-theorie). c. Penulis lain berpendapat bahwa hukuman itu dimaksudkan pula untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan. Teori ini biasa disebut teori memperbaiki (verbeterings-theorie). d. Selain itu ada penulis-penulis yang mengatakan bahwa dasar dari penjatuhan hukuman itu adalah pembalasan, akan tetapi maksud- maksud lainnya (mencegah, mena- kut-nakuti, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama, memper- baiki orang yang telah berbuat) tidak boleh diabaikan. Mereka ada- lah penganut teori yang disebut teori gabungan (verenigings theorie). Secara sederhana maka tujuan hukum pidana adalah : a. Untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahat- an, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah men- jalankan kejahatan, agar di kemu- dian hari tidak melakukan kejahat- an lagi (speciale preventie); atau b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menanda- kan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Teori hukum pidana dapat dibagi dalam tiga golongan: a. Teori absolut atau mutlak (absolute straftrechtstheorien); berpendapat bahwa seseorang yang telah ber- buat jahat mutlak harus mendapat hukuman yang setimpal dengan Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 19 perbuatannya, jadi hukuman itu merupakan suatu pembalasan (vergelding) terhadap perbuatan hahat yang telah dilakukan. b. Teori Relatif atau Nisbi; berpenda- pat bahwa suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana, tetapi harus dipersoalkan perlu dan bermanfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya mejatuhkan pidana saja, sehingga dinamakan juga teori tujuan (doel-theorien). Tujuan ini pertama- tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (preventie). Teori relatif lain melihat bahwa usaha menjatuhkan pidana adalah untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik. c. Teori Gabungan (verenigings- theorien); teori ini disatu pihak mengakui adanya unsur pemba- lasan dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur preventie dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. B. Filsafat Hukum Pengertian filsafat hukum, adalah berbagai-bagai seperti antaranya : a. Filsafat hukum merupakan ilmu. Hal ini dikemukakan oleh para fisolof seperti Plato dan Aristoteles, ilmu disini diartikan sebagai kegiatan berfikir; b. Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat. Pengertian ini dikemu- kakan oleh Gustav Radbruch dan Prof. Dr. Mochtar Kusumatmadja, SH.,LLM. Menambah pengertian tersebut, bahwa juga filsafat hukum menyangkut hati nurani manusia. 1 c. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat yang objeknya khusus hukum. Memang kalau kita hubungkan dengan sekema filsafat yang dikemukakan Aristoteles, bahwa filsafat bagian- bagian adalah : 1) Logika; 2) Teoritis (kosmologi), yang meli- puti : ilmu pengetahuan alam, matematika, metafisika; 3) Praktis (etika), yang diatur : norma agama, norma kesopan- an, norma kesusilaan, norma hukum; dan juga bisa diartikan yang ada hubungannya dengan norma politik dan norma ekonomi; 4) Poetika (aestetika), yang meliputi kesenian, keindahan (peman- dangan, lukisan). Jadi filsafat hukum kalau dikaitkan dengan pendapat Aristoteles terse- but merupakan bagian dari filsafat etika. Etika sendiri adalah tingkah laku manusia yang baik atau yang buruk. Yang erat kaitannya dengan filsafat hukum dari sekema filsafat tersebut di atas adalah (filsafat) logika dan etika. Logika, mengenai pengertian-pengertian hukum, se- dangkan etika adalah tingkah laku manusia yang diatur oleh norma hukum; d. Filsafat hukum merupakan filsafat khusus, hal ini dikemukakan oleh Zevenbergen. Kalau kita analisa, ada juga yang menyangkut khusus 1 Prof. Darji Darmodiharjo, SH. DR. Sidarta, SH., M.Hum. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. Hal. 243 Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 20 yang lainnya seperti filsafat agama, kesopanan dan kesusilaan; e. Filsafat hukum merupakan filsafat terapan, hal ini dikemukakan oleh Zoacheim Friedrich. Bila kita ana- lisa artinya, bahwa filsafat hukum dapat diterapkan dalam masyara- kat dengan cara menyusun teori hukumnya. Seperti kita ketahui teori hukum itu sendiri menyang- kut dasar-dasar bagaimana menyu- sun hukum positif. f. Filsafat hukum merupakan filsafat praktis, hal ini lebih banyak dike- mukakan para ahli dari dunia Anglo-Amerika. Dapat diartikan, bahwa filsafat hukum agak mudah diterapkan dapat harus disusun oleh teori hukumnyal atau kalau kita hubungkan dengan pengertian yurisprudensi dapat dikatakan sama artinya. Prof. Mochtar Kusu- maatmadja memberikan pengertian pada yurisprudence yaitu ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian dasar dan sistem dari pada hukum secara lebih mendalam. g. Filsafat hukum merupakan filsafat teoritis. Pandangan ini pada umum- nya dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari dunia Eropa Kontinental antara lain dikemuka- kan oleh Bellefroid. Menurut Bellefroid dalam bukunya Inleiding tot de Recht Wettenschap, bahwa hukum meliputi : 1) Recht dogmatiek 2) Algemeine Recht Leer (termasuk di dalam teori hukum) 3) Recht Sociologie, Recht vergelij- king, Recht historie 4) Recht Politiek 5) Recht Filosofe Jadi pengertian teoritis disini, bahwa filsafat hukum dibicarakan sendiri begitu pula teori hukum (termasuk bagian dari Aggemeine Recht Leer). h. Bender berpendapat bahwa : filsafat adalah genus, filsafat etika adalah species, dan filsafat hukum meru- pakan sub speciesnya. 2 ANALISA MENGENAI PIDANA MATI DITINJAU DARI FILSAFAT HUKUM Sesungguhnya teori apapun yang digunakan untuk menjadi dasar pem- benar ditetapkannya pidana mati, secara korespondensif tidaklah menun- jukkan kebenara paripurna. Malahan, dengan menggunakan analisis teoritis cenderung menunjukkan pertimbangan pragmatik dan menghalalkan segala cara hanya demi memenuhi keinginan- keinginan (baca: tujuan-tujuan) terten- tu yang scara logikal filsafati tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itulah, dalam menganalisis pidana mati seyog- yanya kembali menggunakan induk dari ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai landasan telaahnya. Dengan perkataan lain, memerlukan renungan pemikiran secara radikal berupa telaah filsafati untuk memperoleh jawaban mendasar terhadap persoalan dibenar- kan tidaknya pidana mati di Indonesia. Mengingat pidana mati ini penetap- an dan penerapannya di Indonesia, maka secara reflektif, telaah terhadap pokok persoalan sebagaimana dimak- sud di atas adalah dengan mengguna- kan renungan filosofis bangsa sendiri, yaitu Pancasila. Dengan demikian akan diketahui apakah pidana mati (yang akan ditetapkan dalam sistem hukum pidana di Indonesia (RKUHP Baru)) telah mempunyai pijakan filosofis menurut falsafah bangsa Indonesia, sehingga eksistensinya dapat dibenar- kan dan dipertanggungjawabkan. 2 Prof. Darji Darmodiharjo, SH. DR. Sidarta, SH.,M.Hum. Ibid. Hal 244 Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 21 Pengaturan lebih lanjut pidana mati dalam RKUHP Nasional Pidana mati pokok yang bersifat khusus Setelah adanya pengakuan atau ada pada pihak yang pro terhadap pidana mati walaupun dengan syarat maka kemudian menarik untuk mem- perhatikan aturan lebih lanjut menge- nai sanksi pidana tersebut. Keter- tarikan terkait dengan apa yang terjadi alasan pembentuk RKUHP Nasional menempatkan pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif, walaupun tidak mencantumkannya menjadi satu dengan jenis-jenis pokok lainnya. Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancam dengan alternatif dari per- nyataan sebagai pidana yang bersifat khusus, maka di dalam RKUHP Nasional dikenal 3 (tiga) jenis pidana, Pertama, pidana pokok yang terdiri dari : a. Pidana penjara; b. Pidana tu- tupan; c. Pidana pengawasan; d. Pidana denda; dan e. Pidana kerja sosial. Kedua, Pidana tambahan yang terdiri dari : a. Pencabutan hak ter- tentu; b. Perampasan barang tertentu; c. Perampasan barang tertentu dan atau tagihan; Pengumuman putusan hakim; d. Pembayaran ganti kerugian; dan e. Pemenuhan wajib adat. Ketiga, pidana pokok yang bersifat khusus dalam hal ini adalah pidana mati. A. Pro dan Kontra Terhadap Pidana Mati dan Teori-teori Pemidanaan Potret di atas hanyalah sedikit gambaran persoalan yang mewarnai diskursus tentang pro (kaum retensi- onis) dan kontra (kaum abolisionis) tehadap eksistensi pidana mati di Indonesia, mungkin juga di seantero jagat raya ini. Baik argumen yang menghalalkan (pandangan pro) mau- pun yang mengharamkan (pandangan kontra) tentang pidana mati, sejatinya sama-sama memiliki landasan argu- mentatif yang secara logikal masing- masing dilandasi oleh kerangka teori- nya sendiri-sendiri. Bagi kaum retensi- onis yang menghalalkan pidana mati mendasarkannya pada teori-teori yang bersifat pembalasan, seperti teori absolut dan retributif yang di dalam hukum pidana termasuk aliran klasik. Juga dengan menggunakan teori relatif atau teori tujuan, atau menggabungkan antar teori pembalasan dengan teori tujuan (teori gabungan, termasuk alir- an neo klasik). Sedangkan yang kontra (kaum abolisionis), sangat mengharam- kan pidana mati dengan mendasarkan teori perbaikan dan teori prevensi sebagai landasan ilmiah untuk menolak keberadaan pidana mati. 1) Aliran klasik dengan paham indeterminisme merupakan acuan teori absolut atau pembalasan (retributive theory atau vergelding theorien). Aliran ini hanya melihat perbuatan yagn dilakukan dan menghendaki pidana yang dijatuh- kan seimbang dengan perbuatan. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakuan kejahatan. Jadi, pidana terletak pada adanya atau terjadi- nya kejahatan itu sendiri, yakni untuk memuaskan tuntutan keadil- an. Secara ekstrim dapat dikata- kan, bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat ke belakang. Sedangkan teori relatif, pidana ditekankan pada tujuannya. Sanksi pidana dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Kare- Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 22 nanya, teori ini disebut juga teori perlindungan masyarakat. 3 2) Dengan demikian, pidana tidak dipandang untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana tidak hanya sekadar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Dalam pemberian pidana aliran ini lebih melihat ke depan. Aliran ini disebut juga aliran modern (aliran positif) karena pertama-tama meninjau pembuatnya (pelaku kejahatan), dan menghendaki individualisasi pidana, artinya dalam pemidanaan memperhatikan sifat-sifat dan keadaan si pelaku kejahatan. 4 3) Dalam perjalanan waktu, ada pula yang menggabungkan (menginte- grasikan) kedua teori tersebut. Menurut Muladi teori ini disebut teori retributif-teleologis yang ber- pandangan bahwa tujuan pemidaan bersifat plural karena menggabung- kan antara prinsip-prinsip teleolo- gis dan retributif sebagai satu kesatuan, sehingga teori ini sering disebut teori integratif. 5 Muladi sebagai pengemuka konsep tujuan pemidanaan ini di Indonesia, mengatakan bahwa perangkat tujuan pemidanaannya adalah (a) pencegahan umum dan khusus; (b) perlindungan masyarakat; (c) memelihara solidaritas masyarakat; (d) pengimbalan/ pengim- bangan. Tujuan manakah yang meru- pakan titik berat, hal itu sifatnya kasuistis. Muladi memberi nama 3 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, Hal. 10-16 4 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1980, hal. 80 5 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hal. 49-51 teorinya itu dengan teori tujuan pemi- danaan yang integratif (kemanusiaan dengan sistem Pancasila). Berdasarkan kedua aliran hukum pidana di atas, lahirlah ide individuali- sasi pidana. Sebagai konseksuensinya, sistem pemidanaan dalam hukum pidana modern juga berorientasi pada pelaku dan perbuatan (daad-dader strafrecht), sehingga jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi juga sanksi tindakan yang relatif lebih bermuatan pendidikan daripada penderitaan. 6 Sistem pemidanaan yang demikian ini, mengutamakan pendekatan huma- nistik dalam penggunaan sanksi pidana dengan tujuan perlindungan masyara- kat (social defence) guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Namun, ide individualisasi pidana ini tetap ber- sumber pada tujuan rehabilitatif. B. Pidana Mati di Indonesia Tetap Eksis Dalam skala lebih besar, negara Indonesia termasuk kategori reten- tionist country. Karena baik secara de jure maupun de facto mempertahankan pidana mati untuk segala jenis ke- jahatan (Vide Pasal 10 (a) (1e) KUHP jo UU No. 2 PNPS 1964 tentang Pelak- sanaan Pidana Mati dari digantung menjadi ditembak). Selain hal di atas, dikenal pula pengelompokan negara yang menganut paham abolionist de facto, yakni de facto menghapuskan pidana mati namun secara de jure tetap mengaturnya di dalam hukum. Secara de facto disini maksudnya dalam tempo 10 tahun terakhir negara yang ber- sangkutan tidak pernah menjatuhkan pidana mati dan atau mengekse- 6 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 58 Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 23 kusinya. Namun pada suatu saat tertentu, negara tersebut mengaktifkan kembali pidana mati dengan alasan tertentu. Pada akhir-akhir ini istilah abolisionist de facto bergeser penger- tiannya menjadi abolisionist in practice. Sedangkan bagi negara-negara yang benar-benar menghapuskan pidana mati secara parpurna terhadap semua jenis kejahatan, termasuk tindak pidana militer, politik, terorisme, perang dan lain sebagainya (abolisionist for all crimes) dikelompokan dalam negara-negara yang menganut paham completely abolisionist. C. KUHP adalah Warisan Belanda tetapi Belanda Sendiri Telah Menghapuskan Pidana Mati Sebagaimana telah dikatakan, pidana mati di Indonesia secara de jure telah memiliki landasan hukum yang kuat di dalam KUHP (WvS) bahkan sejak Januari 1918. Namun yang menarik adalah di Belanda sendiri pada tahun 1870 telah menghapuskan pidana mati untuk kejahatan biasa, dan pada tahun 1982 menghapuskan pidana mati untuk seluruh kejahatan. D. RKUHP Baru Mempertahankan Pidana Mati sebagai Pidana Eksepsional Pada dewasa ini perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam kerang- ka Konsep Rancangan KUHP Baru menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional. Maksudnya untuk men- jaga keseimbangan antara kelompok retensionis dan kelompok abolisionis dalam bentuk pidana mati bersyarat. Artinya pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara sementara, apabila dalam kurun waktu tertentu terpidana mati menunjukkan sikap- sikap yang terpuji dan menjadi orang baik. Apabila kondisinya tetap demi- kian, tidak mustahil terpidana mati akan bebas dari pelaksanaan pidana mati dan pada akhirnya akan kembali menikmati kebebasan di dalam masya- rakat. Apakah yang menjadi makna pidana mati merupakan pokok yang bersifat khusus? Merupakan penjelasannya dikata- kan pidana mati yang tercantum dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana itu benar-benar bersifat istimewa jika dibandingkan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu harus dian- camkan secara alternatif. Ternyata dari penjelasan, kita tidak memperoleh kejelasan apa makna khu- sus tersebut dan tidak menjadi satu dengan pidana pokok lainnya, demikian juga pendapat dari pakar hukum pidana Prof. Dr. Barda Nawawi Arif, SH. yang menyatakan ...pertimbangan utama digeserkan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakannya atau diguna- kannya hukuman pidana (sebagai salah satu sarana kebijakan kriminal dan kebijakan sosial), pidana mati memang bukan salah satu sarana utama (sarana pokok) untuk mengatur menertibkan dan memperbaiki masya- rakat. Pidana mati hanya sarana untuk perkecualian, pemikiran demikian dapat diidentikkan dengan sarana amputasi atau operasi di bidang kedokteran yang pada hakekatnya juga bukan saran atua obat yang utama, tetapi hanya merupakan perkecualian sebagai sarana atau obat terakhir, jadi kata khusus tersebut tidak hanya sekedar menunjukkan hanya pada penempatannya yang khusus, akan tetapi juga dengan mengingat dari pidana mati yang bukanlah sarana utama (sarana pokok) untuk mengatur, Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 24 menertibkan dan memperbaiki masya- rakat. Tentunya menimbulkan perta- nyaan apakah memang benar pidana mati digambarkan demikian. Dengan mengingat pendapat-pendapat yang pro terhadap pidana mati di atas. 7 Pentingkah filsafat hukum perbandingan hukum sejarah hukum; bagaimana peranan hukum dalam hukum yang dicita-citakan; kapan suatu hukum dinyatakan berlaku ? Filsafat hukum penting, antara lain sebagai alat ukur atas efektivitas hukum positif, artinya apakah hukum positif memenuhi tujuannya baik untuk mencapai ketertiban dan keadilan kedamaian kebahagiaan kepastian maupun hukum sebagai alat/sarana pembaharuan masyarakat. Perbandingan hukum penting, bahwa kita dapat memahami bahwa hukum- hukum tersebut mencerminkan filsafat/pandangan hidup masyarakat/ negara yang bersangkutan, kita dalam hal-hal tertentu yang sifatnya netral dapat mencontohkannya yang berguna bagi hukum nasional kita (UU narkotik, sanksi bagi pengedar adalah hukuman mati). Sejarah hukum penting, kita dapat mensortir hukum-hukum yang pernah berlaku akan tetapi masih bisa dipakai pada situasi sekarang. Peranan filsafat hukum dalam yang dicita-citakan, adalah menciptakan suatu keadaan yang harmoni dalam masyarakat yang abadi. Suatu hukum dinyatakan berlaku : - UU secara formil (resmi), setelah diumumkan dalam lembaran 7 Rudy Sartio Mukantardjo RKUHP Nasional. Menghindari Pidana Mati. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan. Tahun 2004 negara, dan para penegak hukum melaksanakannya secara konse- kuen pada setiap pelanggar segera dijatuhi hukuman ke pengadilan. - Hukum adat, setelah adanya putus- an dari penguasa adat dan putusan masyarakat adat (beshingen leer) - Hukum kebiasaan setelah kebiasa- an itu berulang-ulang dan mengikat masyarakat. 8 PEMIDANAAN DALAM PANDANGAN PANCASILA A. Pancasila sebagai Filsafat Pemidanaan Seiring dengan derasnya arus globalisasi dewasa ini, dirasakan makin kuat pula desakan untuk terus mene- rus mengkaji Pancasila, tersebut, kita tetap taat asas (konsisten) pada nilai- nilai dasar yang telah disepakati bersama. Berdasarkan hal tersebut kita perlu kembali menegaskan perbedaan pe- ngertian antara filsafat (nya) Pancasila dan filsafat tentang Pancasila. Dua pengertian di atas sering disalah sering disatu istilahkan menjadi Filsafat Pancasila, padahal perbedaan makna istilah di atas membawa membawa implikasi yang tidak kecil terhadap eksistensi Pancasila. Telah sama-sama diketahui, bahwa jika kita mendengar kata filsafat maka dalam benak kita terdapat dua pema- haman metode, dan sistematika ter- tentu, dan kedua, filsafat sebagai pan- dangan hidup. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan pandangan hidup negara. Pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas adalah pertanyaan filosofis. Oleh karena itu, harus dijawab dengan 8 Otje Salman, SH. Ikhtisar Filsafat Hukum Cetakan ketiga 1992. hal. 69-70 Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 25 pemikiran filosofikal (di dalam sejarah hukum pidana dikenal dengan filsafat pemidanaan yang pada akhirnya melahirkan teori-teori tentang tujuan pemidanaan). Jadi, terdapat keterkait- an erat antara keduanya. Mengingat karakteristik filsafat adalah mencari kebenaran hakiki, maka muncullah beberapa pemikiran filsafat yang ka- dang-kadang sama dan kadang-kadang berbeda satu dengan yang lainnya tentang tujuan pemidanaan. Sebagai akibatnya muncul pula beragam teori mengenai tujuan pemidanaan tersebut. Sesungguhnya bila diamati, baik para filosuf maupun para saintis hukum pidana adalah sama-sama berusaha untuk mencari dan menemukan jawab- an definisional dan jawaban moral terhadap tujuan pemidanaan. Sehubungan dengan hal di atas perlu dipahami, bahwa filsafat pemida- naan berfungsi sebagai dasar pijakan, asas dan kaidah yang berisikan pemikiran mengenai pedoman, kriteria atau paradigma dalam menyiasati masalah pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu, setiap asas yang telah ditetapkan sebagai prinsip atau kaidah, haruslah diterima dan diakui sebagai suatu kebenaran. Apabila pemikiran tersebut disiner- gikan dengan Pancasila sebagai grund- norm dari bangunan hukum pidana Indonesia sebagaimana telah ditegas- kan di muka, maka filsafat Pancasila dengan sendirinya pula berfungsi sebagai dasar pijakan, asas, dan kaidah yang berisikan pemikiran mengenai pedoman, kriteria atau paradigma dalam menyelesaikan masalah pidana dan pemidanaan (Pancasila sebagai filsafat pemidanaan). Oleh karena itu, apa yang telah ditetapkan sebagai asas maupun kaidah dalam Pancasila sebagai filsafat pemidanaan, secara normatif harus juga menjadi pedoman, kriteria, dan paradigma atau cara berpikir dalam menyelesaikan masalah pidana dan pemidanaan di Indonesia. B. Hukum Dalam Pandangan Pancasila Hukum dalam Pandangan Hidup Pancasila Dengan pandangan hidup kekeluar- gaan di atas, maka B. Arief Sidharta, hukum juga harus bersifat kekeluar- gaan. 9 Sebab ketertiban yang dikehen- daki haruslah juga merupakan keter- tiban dan keteraturan yang bersuasana ketenteraman batin, kesenangan ber- gaul antarsesama, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan ter- selenggaranya interaksi antar manusia yang otentik. Mengingat titik tolak dan tujuan penyelenggaraan ketertiban itu adalah penghormatan atas martabat manusia, maka tujuan hukum berdasarkan Pancasila adalah pengayoman terhadap manusia (di dalam kebersamaan deng- an sesamanya) dalam arti baik pasif maupun aktif. Dalam arti pasif, meliputi upaya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak. Dalam arti aktif, meliputi upaya menumbuhkan kondisi sosial yang manusiawi dan mendorong manusia merealisasikan diri sepenuh mungkin. Tujuan hukum itu meliputi juga pemeliharaan dan pengembangan budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral yang luhur berdasarkan Ketu- hanan Yang Maha Esa. Kesemuanya itu hanya mungkin ada maknanya, jika secara fundamental the sancity of life diakui, dihormati, dan dilindungi. 9 B. Arief Sidarta, Analisis Filosofikal terhadap hukuman mati di Indonesia, Bandung, 2005. hal. 5 Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 26 Pidana Mati Tidak Dibenarkan Dalam Filsafat Pancasila Pidana mati pada hakikinya tidak dibenarkan dalam Pandangan Hidup kekeluargaan yang dilandasi dan dijiwai oleh cinta kasih sebagai sikap dasar yang menjiwai hubungan antar- manusia dan antar manusia dengan masyarakat, yang pada hakikatnya bersumber pula pada cinta kasih sejati Tuhan Yang Maha Esa. 10 Secara sing- kat pidana mati bertentangan dengan jiwa Pancasila, yaitu kekeluargaan. Dapat dikatakan, oleh karena Pancasila idem dito dengan kekeluargaan, maka tidak mungkin dalam kekeluargaan ada pidana mati. Jadi berdasarkan Pancasila, sejati- nya manusia ditempatkan pada kelu- huran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengemban kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Pancasila yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada kita (sebagai rakyat dan bangsa Indonesia), bahwa kebaha- giaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan kese- imbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubung- an berbangsa dan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam memenuhi kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohani. Pidana Mati Tidak Dibenarkan Dalam Sistem Hukum Pancasila Pidana mati tidak dibenarkan dalam sistem hukum Pancasila, karena pidana tersebut di samping tidak taat asas dengan hukum Pancasila yang berasaskan kekeluargaan, juga tidak 10 Eka Darmaputera, Pancasila Identitas dan Modernitas; Tinjauan Etis dan Budaya, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997, hal. 159 sesuai dengan tujuan hukum itu sen- diri, yakni menghormati harkat dan martabat manusia dalam kebersamaan- nya (inklusif tidak menghormati the sancity of (human) life). Dengan demiki- an, pidana mati tidak mempunyai landasan normatif dalam sistem hukum Indonesia. C. PENUTUP Berdasarkan seluruh renungan di atas, secara eksplanasi afirmasi, kris- talisasi renungannya dapat diejawan- tahkan dalam suatu argumen seperti di bawah ini. Pandangan Hidup Pancasila memandang hakiki dan eksistensi manusia Indonesia, adalah berdasar- kan atas kekeluargaan, karena sifat hubungan antarmanusia dan antara manusia dengan masyarakat dilandasi dan dijiwai oleh cinta kasih, yang pada hakikatnya bersumber pada cinta kasih sejati Tuhan Yang Maha Esa (kasih dari Tuhan terhadap Tuhan), sehingga ditenggarai bahwa kekeluargaan adalah jiwa Pancasila. Oleh karena Pancasila menjadi landasan atau dasar pokok hukum nasional, sehingga ia menjadi sumber dari segala sumber hukum, maka hukum nasional juga harus bersifat kekeluargaan dan bertujuan mengayomi setiap manusia Indonesia. Dengan demikian, penetapan sanksi dalam hukum Pancasila, secara impe- ratif kaidah hukumnya harus pula bersifat kekeluargaan atas dasar cinta kasih (berorientasi pada asas keseim- bangan). Meyakini hal itu, maka semua bentuk dan jenis sanksi yang ditetap- kan harus berdasarkan dan tidak bertentangan dengan pengakuan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, inklusif pengakuan dan penghormatan terhadap the sancity of life yang menjadi dasar dari cinta kasih tersebut. Sifat kekeluargaan Supremasi Hukum Volume 7, Nomor 1, Januari 2011 Siti Humulhaer Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang 27 berdasarkan cinta kasih ini, harus pula mengejawantahkan baik dalam proses fungsionalisasi kaidah hukum maupun dalam pelaksanaan sanksi hukum. Berdasarkan argumen deduksi di atas, yang disusun atas dasar model berfikir problematik-sistematik berda- sarkan premis-premis yang telah ada (ditulis sebelumnya), baik yang menyangkut telaah filsafat Pancasila maupun sistem hukum nasional, maka secara silogistik simpulannya adalah : pidana mati tidak dapat dibenarkan, karena tidak dapat dipertanggung- jawabkan. D. DAFTAR PUSTAKA Literatur Mazda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007 Abdullah Yazid dkk., Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Malang : Program Sekolah Demokrasi, 2007 Jimly Asshiddiqie, Konstitusialisme, Cita Negara Hukum dan Keniscayaan NKRI, Orasi Ilmiah Dalam Rangka Dies Natalis Universitas Nasional dan Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, Jakarta, 11 Oktober 2004 Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, LN RI Tahun 1999 Nomor 165 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, LN RI Tahun 2000 Nomor 208